Membuat Logline bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 2)

Elevator Pitch

Sebuah logline (intisari cerita) harus singkat, seperti sebuah elevator pitch. Apa itu elevator pitch?

Jessy ingat Pak Heru sudah pernah menjelaskan ini, bahkan guru muda yang kritis itu menuliskan juga di blognya ketika ia mengulas tentang premis.

Intinya: sebuah kalimat yang harus menarik perhatian seorang produser film atau investor, harus selesai diucapkan ketika berpapasan di elevator. Jessy membayangkan dirinya menaiki eskalator dari lantai 1 menuju ke lantai 2, sementara di seberangnya seorang produser turun dari lantai 2 menuju ke lantai 1.

Oke. Jadi sekarang Jessy harus membuat sebuah logline. Sebuah intisari cerita yang singkat, yang selesai diucapkan ketika Jessy berpapasan dengan sang produser di eskalator imajiner itu.

Jessy berfikir. Kalau ia hendak mengembangkan cerita tentang petualangannya di Indomaret di hari Valentine itu, ia harus membuat logline: sebuah kalimat singkat intisari cerita 110 halaman yang akan ditulisnya.

Hmmm. Apa ya?

Oh iya.

Ia membayangkan dirinya sebagai protagonis. Diketiknya:

Jessy pergi ke Indomaret untuk membeli coklat.

Dia membaca kembali kalimat itu sebentar. Tidak menarik.

Baru diingatnya. Ternyata sebuah logline itu harus mengandung konflik, pertaruhan (stake), ada kekuatan emosi serta karakter yang unik. Keempat elemen (character, conflict, stake, goal) itu harus ada dalam sebuah kalimat singkat.


Merumuskan Logline

Maka, Jessy mulai mengetik lagi. Tidak cocok, dihapusnya. Begitu beberapa kali, sampai akhirnya ia tersenyum membaca kalimat terakhir di layar laptopnya:

Jessy, cewek SMA yang mau membeli coklat di Indomaret untuk hadiah Valentine buat Rachel sahabatnya, terpaksa merebut pisau dari perampok bertopeng di meja kasir.

Ia tampak puas. Kalimat ini sudah mengandung elemen prasyarat sebuah logline.

Ada karakter menarik (anak remaja putri yang masih duduk di bangku SMA).

Kekuatan emosi (siapa sih yang tidak akrab dengan kebiasaan memberi hadiah coklat di hari Valentine).

Konflik besar oleh karakter lemah (seorang cewek SMA yang umumnya dianggap lemah, tiba-tiba entah mendapat keberanian dari mana, bergerak cepat merebut pisau tajam dari tangan salah satu dari dua pria perampok bertubuh tinggi besar).  Lalu, ada pertaruhan: jika ia tidak merebut pisau itu secepat kilat, besar kemungkinan ia akan ikut dibunuh, atau setidaknya menjadi sandera.

Seperti mendapat ilham, Jessy kemudian mencatat: Ternyata logline itu ada formulanya, yakni: Somebody wants something real bad, but having a hard time while having it.

Eh, tiba-tiba Jessy teringat sesuatu. Di file Word satunya lagi kan Jessy ingin menulis tentang Ben, si cowok ganteng di kelasnya yang sudah lama membuat hatinya hangat dan pipinya memerah.

Kalau yang ini, logline-nya apa ya?

Tapi sepertinya seru kalau dia menggunakan samaran, supaya kalau logline-nya dibaca Rachel dan Cassandra, kedua sahabatnya itu tidak menggodainya. Seperti bergerak sendiri, jemari Jessy mengetik di keyboardnya:

Vanessa, cewek SMA yang sejak kecil ditinggal ayahnya, sekelas dengan Ben yang wajah dan suaranya sangat mirip dengan ayahnya, tetapi ia tidak suka dengan sifat Ben yang temperamental dan terkenal suka berkelahi.



Ini adalah bagian kedua dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR (too long didn't read) yang pastinya kamu akan suka.

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence – Sekuens 7 dan 8

Kini sampailah kita pada Act III dari metode 8 Sequence.  Jika dalam struktur klasik (kerangka dramatik Yunani Kuno) Act III ini memuat akhir cerita berupa kemenangan atau kekalahan; dalam metode 8 sequence bagian ini berisi resolusi salah (sekuens 7) dan resolusi benar (sekuens 8)


Sekuens 7 – New Tension & Twist

Inilah bagian ketegangan yang lengkap tetapi tetap sederhana, singkat tetapi sekaligus memuat pemaparan yang penting. Lebih sederhana dan lebih cepat alur ceritanya, berisi adegan singkat dan tidak lagi ada bangunan cerita yang benar-benar baru, melainkan ketegangan baru (new tension) akibat mulainya fase kebangkitan (revival) atas segala jatuh-bangunnya karakter utama mulai dari sekuens 1-6.

Sekuens 7 kerap dianggap sebagai tahap yang paling sulit sekaligus penting karena tuntutan ini. Pada tahap ini, karakter utama harus bangkit untuk memperbaiki kesalahan atau kegagalannya. Biasanya, adegan revival ini dipicu dari 3 hal yakni:

1) kebetulan,

2) datang dari orang lain, atau

3) menuai “petunjuk” (clue) yang sudah ditabur sejak awal.

Contohnya, dalam film petualangan, karakter bisa mengetahui letak harta karun dari 1) insiden tidak sengaja menggali tanah tau-tau ketemu, 2) diberi tahu orang lain “harta karunnya ada disana”, atau 3) mengikuti petunjuk sejak awal hingga akhirnya menemukan harta karun.

Sebaik-baiknya kisah, tetaplah ingat untuk menyelaraskan logika dan perasaan. Maka, sebaiknya jangan pernah menyatukan ketiga pemicu revival tadi dalam satu naskah karena akan menjadi “too good to be true”. Sama seperti kebanyakan pengalaman orang dalam kehidupan mereka, sumber ide untuk penyelesaian masalah itu tidak banyak, datangnya satu saja. Jika kebanyakan, akan menjadi tidak masuk akal. Sebab, pembaca atau penonton akan bereaksi: “kalau sedari awal karakter utama sudah memiliki solusi sebanyak ini atas permasalahan yang dihadapinya, mengapa tidak dari awal saja cerita ini selesai?

Ingat, sekuens 7 belumlah akhir cerita. Itu sebabnya, sekuens 7 sering juga disebut resolusi salah. Pada tahap ini, karakter utama akan menemukan pilihan. Ia akan memilih secara sadar antara dua kemungkinan. Cerita belum selesai juga.


Sekuens 8 – Resolution

Inilah resolusi sebenarnya. Disini, semua mesti jelas. Jika para petualang itu mengambil jalan kiri, maka semuanya baik-baik saja; tetapi jika mereka mengambil jalan kanan, maka dunia yang kita kenali ini akan berakhir alias kiamat. Ketegasan yang sama harus kita tunjukkan: apakah pria karakter utama akan berhasil mendapatkan gadis pujaannya, apakah berhasil menjinakkan bom, atau apakah dia berhasil selamat dari perahu yang bocor dan mulai tenggelam di tengah lautan yang dipenuhi ikan hiu?

Pembeda antara sekuens 7 dan sekuens 8 ialah:  pada sekuens 8, karakter utama kita sudah tidak bisa melakukan usaha penyelesaian. Ia hanya menjalani hasil dari penyelesaian konflik yang ada di sekuens 7. Jadi, sekuens 7 ini adalah efek dari revival. Kalau kita masih memasukkan usaha karakter menyelesaikan masalah, itu berarti naskah yang kita tulis masih berada di sekuens 7, belum sampai pada akhir cerita.

Bagaimana kita yakin bahwa ini adalah akhir dari seluruh cerita yang kita susun? Ingatlah kembali “wants” (keinginan) dan “needs” (kebutuhan), yakni aspek karakter yang sejak awal kita sudah tetapkan ketika merumuskan premis. Akhir cerita berarti  kedua aspek ini sudah tercapai. (Tentu saja, kita selalu punya kesempatan untuk mencipta twist pada sekuens ini untuk membuat penonton tetap terkejut). Pada bagian inilah pembaca atau penonton bisa menyimpulkan bahwa cerita yang kita tulis berakhir dengan kemenangan karakter utama (happy ending) atau Tujuan/Goals mengalahkan Obstacle/Hambatan; atau berakhir dengan kekalahan karakter utama (sad ending) atau Obstacle/Hambatan yang mengalahkan Tujuan/Goals.

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence – Sekuens 5 dan 6

Setelah mengulas Sekuens 3 dan 4 dari metode 8 sequence, sekarang kita lanjutkan dengan sekuens 5 dan 6 (biasa disebut Act II B)


ACT II B

Sekuens 5 – Subplot & Rising Action

Di sekuens 5, kita menginginkan tensi naik (rising action) akan tetapi belum sampai pada puncak utama konflik.

Ingat bahwa sebelumnya, di sekuens 4, kita sudah menguraikan puncak pertama, titik terendah yang dialami si karakter utama; yakni titik terendah yang paralel dengan nasib yang dialami si aktor utama di akhir cerita. Sementara puncak utama konflik baru terjadi di sekuens 6. Maka pada bagian ini kita harus menciptakan alur baru (subplot), yang berbeda dengan yang sudah pembaca/penonton ketahui sebelumnya.

Kedengaran tidak mudah. Lantas, apa yang harus kita isi pada sekuens 5 ini?

Sekuens 5 sering juga disebut sebagai Twists and Turns dari Act II.  Singkatnya, “Pemutarbalikan alur cerita”. Disinilah kita menulis situasi ketika akhirnya rahasia-rahasia terungkap, hubungan diuji, tensi meninggi, halangan semakin berat dan semakin menantang, dan karakter utama (protagonis) benar-benar diuji.  Di sekuens 5 ini, protagonis secara khusus diperlihatkan hendak memberontak atas segala perubahan yang terjadi, menunjukkan penolakan atas segala masalah yang harus dihadapinya: jika bisa dia ingin semuanya kembali seperti sedia kala, seperti ketika belum terjadi apa-apa. Sedikit ingatan kembali ke status quo yang menciptakan efek romance atau kegundahan akan sangat membantu.


Sekuens 6 – Main Culmination

Inilah puncak utama (main culmination), yakni puncak dari segala penolakan, keputusasaan dan pembalasan dendam atas segala masalah yang sudah terlanjur menghantui hari-hari di kehidupan karakter utama. Tantangan terakhir yang paling tinggi, alternatif terakhir yang masih ada, serta akhir dari semua ketegangan yang kita ciptakan. Situasi yang menghantar pembaca/penonton pada klimaks atau pertaruhan hidup mati di sekuens 7 nanti.

Jika karakter utama kita hendak memenangkan peperangan, maka disinilah dia bergegas menuju gelanggang. Jika karakter utama hendak menceraikan pasangannya, maka disinilah dia menuju pengadilan. Jika karakter utama hendak menyatakan cintanya pada karakter lain yang sudah lama ingin dilamarnya, maka disinilah dia berangkat hendak menemui orangtua calonnya.

Penting dicatat: Karena midpoint dan akhir cerita itu paralel, maka di sekuens 6 yang akan menjadi akhir dari Act II ini kita isi dengan sebuah titik alur (plot point) yang persis berlawanan dengan kedua poin tadi. Jika kita hendak memenangkan karakter utama di midpoint dan akhir cerita, maka disini kita membuatnya berada pada titik terjauh dari kemenangan. Jika kita hendak membuat karakter utama kalah di akhir cerita, maka di sekuens inilah kita membuatnya terlihat seperti menikmati semua kejayaan yang mungkin diraihnya.

 

Plot Andalan Menulis Naskah yang Storytell-able

Tahukah kamu apa itu “the seven basic plots” (7 plot dasar)?

Bukan hal baru lagi bahwa disana-sini, kamu mendengar dan mengalami sendiri bahwa kemampuan storytelling (bertutur) menjadi skill andalan yang dibutuhkan dimana-mana.

Seorang ustad atau pendeta yang menyisipkan inti kotbahnya dengan gaya storytelling cenderung akan disukai lebih baik jemaat. Seorang manajer yang mampu mempresentasikan program marketing dengan gaya storytelling cenderung disukai oleh jajaran direksi. Bahkan para diplomat menggunakannya dalam pertemuan internasional membicarakan isu global nan mahapenting. Pidato-pidato heroik bahkan klip video motivasi Reels Instagram yang kamu dengar dan membuatmu merinding, kebanyakan juga menggunakan gaya storytelling. Sebagai siswa, kamu juga pasti lebih senang jika teman yang presentasi tugas kelompok di depan kelas mampu menyajikan materi bahasan mereka dengan gaya bercerita.

Pokoknya, banyak deh gunanya.

Inilah yang kita sebut sebagai the power of storytelling. 

Akan tetapi, apakah kamu benar-benar memahami storytelling?

 

Tangkapan layar screenplay oleh Tri Ebigael Sinaga

Semua plot (alur cerita) berfokus pada hero (karakter utama). Maka tetapkan dulu karakter utama kamu siapa/apa. Bisa jadi hero-mu adalah sosok nabi yang kamu kagumi, seekor anjing kampung yang menyelamatkan petani dari ancaman ular berbisa, sebatang pohon ingul yang kayunya digunakan membuat solu, kamu sendiri, atau bahkan sesuatu yang tidak material seperti gagasan (kemiskinan, ketabahan, daya juang, dan seterusnya).

Secara ringkas, sang hero mengalami fase Antisipasi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan fase Mimpi, fase Frustrasi, fase Mimpi Buruk dan berakhir dengan fase Resolusi. Atau dengan redaksi yang lain, misalnya metode 8 sekuens yang merupakan pengembangan dari metode tradisi teater Yunani kuno 3 acts structure alias drama tiga babak (permulaan, konflik/perjalanan, akhir cerita).

Mari kita bahas pelan-pelan.

 

Plot 1: Overcoming the monster

Si hero menempatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan antagonis.

Pada tahap ini, sang nabi berhadapan dengan nabi-nabi lain yang menjadi hamba ilah palsu. Anjing kampung menyadari bahwa tuannya sang petani, sedang dalam bahaya sebab ia mendengar desis ular yang mendekat. Tanaman ingul yang masih kecil, susah payah mencari sinar matahari sebab masih berada di pot, diletakkan di gudang yang gelap. Atau kamu yang merasa bahwa seisi kelas tidak ada yang mencakapimu, seakan kamu melakukan aib yang membuat mereka memandangmu dengan rasa jijik padahal kamu tidak melakukan apa-apa.

Umumnya, daya antagonis itu mengancam sang karakter utama atau tempat tinggalnya. Plot seperti ini berakhir ketika sang pahlawan akhirnya menaklukkan kekuatan antagonis yang jahat itu.

Plot 2. Rags to riches

Pada plot ini, sang hero itu miskin, lemah atau tak berdaya. Tetapi alur cerita menuntun pada peristiwa dimana dia akhirnya memperoleh karunia luar biasa entah itu berupa kekuatan hebat, mendapat harta karun rahasia, menemukan sahabat yang setia atau pasangan jiwa yang sudah lama ditunggu. Sang hero kehilangan karunia luar biasa itu tetapi ia akhirnya mendapatkannya kembali. Dia berkembang secara personal seiring dengan pengalaman atau petualangan yang dialaminya.

Plot 3. The quest

Pada plot ini, sang hero tidak sendirian. Dia sudah punya kawanan, yakni teman-teman yang setia bersamanya dalam waktu yang cukup lama dan pertemanan yang sudah teruji.

Si pahlawan dan kawanannya kemudian bersepakat untuk mencari sebuah benda atau mencapai sebuah tempat. Selama perjalanan itu, mereka menemukan banyak tantangan dan godaan (terutama godaan untuk menyimpang dari tujuan awal mereka).

Plot 4. Voyage and return

Sang pahlawan pergi ke negeri antah berantah, dimana dia dan gerombolannya harus menaklukkan sejumlah tantangan dan mempelajari pelajaran hidup yang sulit. Ia kembali setelah jiwanya berkembang, diperkaya melalui pengalaman-pengalaman itu.

Plot 5. Comedy

Komedi yang dimaksud disini tak sekedar humor. Di dalamnya ada konflik dan kebingungan (yang sering semakin meningkat dengan cepat seiring dengan jalannya cerita), tetapi semuanya berubah tone, menjadi serius kembali di akhir cerita.

Plot 6. Tragedy

Disini sang pahlawan ditunjukkan dengan kesalahan atau cacat yang serius atau khilaf yang membuatnya malah harus menjalani nasib sial dan tidak menguntungkan. Akhir cerita seperti ini berujung pada momen yang membuat pendengar atau pembaca merasa kasihan.

Plot 7. Rebirth

Sebuah kejadian dramatis memaksa sang hero untuk mengubah jalan hidupnya sendiri dan menjadi orang yang lebih baik.


Selesai.

Lho, mana resep andalannya, Pak?

Silakan kamu racik sendiri. Menggunakan ketujuh plot itu semuanya, atau beberapa saja. Aku sendiri sedang berlatih untuk membuat hidangan menggunakan ramuan plot 1 Overcoming the Monster, plot 2 Rags to Riches dan plot 7 Rebirth untuk naskah storytelling di berbagai kesempatan. Untuk mudahnya, ingat saja Formula 127.

Kamu boleh meniruku atau mengembangkan sendiri sesuai seleramu.


7 Seven Basic Plots ditulis oleh Christopher Booker.

Teknik Menulis Skenario dengan Mudah menggunakan Template dan Style Microsoft Word

Untuk menghasilkan tulisan skenario, kamu bisa membeli tool penulisan skenario semacam Arc Studio Premium. Tapi, kamu juga bisa melakukannya secara gratis tanpa perlu menghabiskan sekian rupiah untuk perangkat lunak penulis skenario. Cukup dengan aplikasi di komputer yang sudah biasa kamu gunakan, yaitu Microsoft Word secara offline (luring atau ‘luar jaringan’) atau Google Docs secara online (daring atau ‘dalam jaringan’). Yang terakhir ini bertujuan supaya lebih kompatibel dengan aplikasi pembelajaran yang saat ini banyak digunakan selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yakni Google Classroom, sama-sama produk Google.

Pada tulisan kali ini kita akan melihat bagaimana cara membuat skenario yang profesional menggunakan Microsoft Word. Jika sudah selesai, kamu tinggal mengupload file-nya ke Google Drive-mu untuk menghasilkan Google Docs (Dokumen Google).

Penulisan skenario dengan MS Word dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kamu dapat menggunakan macros (program kecil yang merekam tombol yang Anda tekan dan mengotomasikannya untuk tugas yang sama) atau menciptakan sendiri pilihan style and formatting untuk membuat skenario yang siap ditampilkan dalam TV, film, atau teater.

Metode 1: Menggunakan Pola Template

  1. Buka dokumen baru. Setelah membuka MS Word, pilih File dalam menu di pojok kiri atas layar, kemudian pilih New. Proses ini akan memberikan pilihan gaya dan tata letak dokumen yang ingin kamu buat.
  2. Cari pola skenario. Dalam kotak pencarian, ketiklah “screenplay.” Saat ini, Microsoft menyediakan satu pola screenplay untuk MS Word 2013/2016. Klik dua kali setelah pencarian selesai dilakukan dan kamu akan mendapatkan dokumen yang telah diformat dengan pola skenario. Di dalam MS Word 2010, langkah-langkah yang harus dilakukan umumnya sama. Buka dokumen baru, pilih pola, dan cari Microsoft Office Online. Pilih salah satu dari dua pola, kemudian unduh.
  3. Sesuaikan pola skenario sesuai keinginan. Tidak ada peraturan yang ketat tentang tata cara penulisan skenario, tetapi terdapat panduan umum, kosakata, dan fitur umum. Bertanyalah kepada studio yang kamu tuju agar kamu mengetahui penyesuaian apa yang harus Anda lakukan terhadap dokumen. Pikirkan bagaimana menyesuaikan margin, ukuran huruf, jenis huruf, dan spasi antarbaris.
  4. Buatlah pola Anda sendiri. Jika Anda telah menulis atau memiliki skenario yang tersimpan dalam komputer, bukalah di MS Word. Pada menu save as type di bawah kotak nama, pilih “Word Template”. Jika dokumen mengandung macro, pilih “Word Macro-Enable Template”. Klik “save”. Jika kamu ingin mengubah lokasi file, klik “File”>”Options”>”Save”. Di dalam kotak lokasi utama penyimpanan pola, tik lokasi yang ingin kamu gunakan.

Menggunakan Style and Formatting

  1. Metode kedua yakni dengan menggunakan “Style and Formatting” untuk mengatur pola skenario. Jika kamu tidak begitu sreg dengan pola yang disediakan oleh Word, kamu dapat memodifikasi gaya dan format dokumen untuk menciptakan pola format baru. Pola-pola ini dapat digunakan lagi jika kamu menyimpannya. Kamu juga dapat membuat pola baru berdasarkan dokumen yang telah menggunakan aturan gaya dan format yang kamu butuhkan.
  2. Pilih satu baris teks. Teks bisa berupa nama karakter, potongan dialog, atau arahan panggung. Letakkan kursor di pinggir kiri baris teks dan pilih baris teks dengan menekan tombol kiri mouse. Atau, kamu juga dapat memilih teks dengan menekan tombol kiri mouse dan menariknya ke kiri atau ke kanan baris teks yang ingin kamu sesuaikan. Akhirnya, kamu dapat memilih teks yang akan kamu format dengan cara menarik kursor di teks yang telah kamu tulis dan menahan tombol shift dan tanda panah. Untuk memilih teks di sebelah kiri kursor, gunakan tanda panah kiri. Untuk memilih teks di sebelah kanan kursor, gunakan tanda panah kanan. Jika ada beberapa baris teks, kamu dapat memilihnya satu per satu dan ubah format seluruh baris yang Anda pilih.
  3. Buka panel Styles and Formatting. Setelah memilih teks, klik “Format” di menu. Menu tersebut akan menampilkan beberapa pilihan. Klik “Styles and Formatting.” Panel “Styles and Formatting” akan terbuka. Atau, kamu dapat membuka panel “Styles and Formatting” dengan memilih tombol “Styles and Formatting” di toolbar. Untuk membuka panel, klik tombol “Styles and Formatting” yang terletak di sebelah menu drop-down karakter tulisan. Tombol terletak di ujung kiri toolbar. Tombol ini bersimbol dua huruf “A” dengan dua warna berbeda, huruf “A” pertama berada di sebelah atas kiri huruf “A” kedua.
  4. Pilih teks yang memiliki format serupa. Klik kanan teks yang tadi sudah kamu pilih. Menu drop down akan muncul dengan berbagai pilihan. Opsi terbawah adalah “Select Text with Similar Formatting.” Klik kiri mouse kamu untuk memilih opsi tersebut. Seluruh teks dengan format yang serupa dengan yang telah Anda pilih akan terseleksi. Jadi, contohnya, jika seluruh nama karakter Anda menggunakan jenis dan ukuran huruf tertentu, ditempatkan di tengah pas di atas sebaris teks, Anda dapat memilih nama karakter apa pun, kemudian gunakan opsi “Select text with similar formatting” untuk menyeragamkan format nama karakter secara bersamaan.
  5. Pilih format yang Anda inginkan. Setelah kamu memiliki seluruh teks yang ingin kamu beri style tertentu, pilih sebuah style dari panel di sebelah kanan. Panel “Styles and Formatting” seharusnya masih terbuka di bagian kanan layar. Klik kiri format gaya yang Anda inginkan untuk mengubah teks pilihan Anda.
  6. Buat Style baru. Jika teks yang Anda pilih tidak sesuai dengan gaya yang ada, Anda dapat menambahkan format dan gaya teks tersebut sebagai gaya baru. Beri nama format dan gaya tersebut dengan memilih tombol di bagian atas panel bertuliskan “New Style.” Anda dapat memberi nama, memilih rata kiri atau kanan, memilih jenis huruf, dan membuat penyesuaian-penyesuaian lain yang diperlukan.

Tulisan ini diubahsuaikan dari WikiHow

 

Istilah Umum dalam Film dan Screenwriting

Dear warga BOEMI,

Pernah nggak sih saat saat ngomongin film dengan teman kamu, atau ketika mendengar ceramah dan celoteh alias penjelasan dari guru Seni Budaya, kamu tidak mengerti dengan istilah-istilahnya?

Pasti dalam hati kamu jadi malu. Apalagi kamu jadi tidak bisa mengikuti pembahasan topiknya. Belum lagi kalau ternyata nanti istilah itu masuk ujian, kebayang betapa repotnya kamu nanti.  Kalau kamu pernah mengalami hal tersebut, berarti istilah-istilah dalam dunia film dan penulisan skenario ini wajib kamu simak dan pahami.


1. Sekuel

Sekuel itu berarti kontinuitas cerita dari sebuah film yang pernah dibuat sebelumnya. Contoh: Transformer 2 merupakan sekuel cerita dari Transformer yang pertama; Dilan 1991 adalah sekuel dari Dilan 1990.

Meskipun demikian, sekuel tidak harus selalu merupakan kelanjutan dari film sebelumnya. Yang penting judul, tokoh dan asal usulnya masih satu benang merah dengan film pendahulunya. Untuk konteks Marvel, misalnya, sekuel ini bisa sangat banyak sampai harus dibagi lagi menjadi beberapa phase (fase).

Marvel sejak awal hingga sekarang sudah menyelesaikan deretan film berikut.

Captain America: The First Avenger (1942)
Captain Marvel (1995)
Iron Man (2010)
Iron Man 2 (2011)
The Incredible Hulk (2011)
Thor (2011)
The Avengers (2012)
Iron Man 3 (2012)
Thor: The Dark World (2013)
Captain America: The Winter Soldier (2014)
Guardians of the Galaxy (2014)
Guardians of the Galaxy 2 (2014)
Avengers: Age of Ultron (2015)
Ant-Man (2015)
Captain America: Civil War (2016)
Spider-Man: Homecoming (2016)
Doctor Strange (2016-2017)
Black Panther (2017)
Thor: Ragnarok (2017)
Ant-Man and the Wasp (2017)
Avengers: Infinity War (2017)
Avengers: Endgame (2018-2023)
Spider-Man: Far From Home (2023)

2. Prekuel

Berbeda dengan sekuel, prekuel adalah persis kebalikannya. Prekuel merupakan cerita asal usul yang melatarbelakangi kejadian film yang sebelumnya.

Contohnya: Monster University (terbit belakangan) yang menceritakan kejadian sebelum terjadinya Monster Inc. (terbit duluan).

Contoh lainnya: Trilogi The Hobbit (terbit belakangan) yang menceritakan kejadian di masa sebelum Lord of the Rings (terbit duluan).

3. Remake

Remake itu artinya dibuat ulang.  Jadi, sebuah film yang di-remake itu adalah penceritaan kembali sebuah film baik dirombak total atau masih menyerupai aslinya, namun tetap memiliki benang merah dengan film sebelumnya.

Contohnya: Internal Affairs, yang dibuat ulang menjadi The Departed. Contoh lainnya: Warkop DKI, di-remake menjadi Warkop DKI Reborn: Djangkrik Boss (part 1) dan Warkop DKI Reborn: Djangkrik Boss (part 2). Bahkan, karena antusiasme penonton sangat besar, versi remake ini dibuat lagi sekuelnya menjadi Warkop DKI Reborn: Djangkrik Boss (part 3) dan Warkop DKI Reborn: Djangkrik Boss (part 4).

4. Reboot

Istilah reboot sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan remake dalam dunia perfilman. Umumnya disepakati bahwa reboot itu biasanya tidak berbeda cerita dalam pembuatan antara versi pertama dan versi kedua (versi reboot). Jadi, hanya diproduksi ulang untuk menghidupkan karakter dengan kondisi yang lebih fresh sesuai dengan perkembangan zaman.

Contohnya:  Fantastic Four dan Hitman Agent 47.

5. Spin Off

Spin off merupakan film yang dibuat untuk secara khusus menceritakan suatu kejadian yang dialami sebuah karakter yang memiliki fanbase sendiri. Spin off ini adalah film pribadi seorang karakter yang memiliki perhatian yang besar dalam dunia perfilman.

Contohnya: X-Men Origins: Wolverine dan Minions.

6. Twist

Twist didalam sebuah film itu adalah sebuah ending atau alur cerita yang tidak terduga oleh penonton dan biasanya juga tidak mempunyai clue/hint (petunjuk)  sama sekali di cerita sebelumnya.

7. Trilogy

Trilogi merupakan film yang dibuat hanya sampai 3 bagian saja dan tidak ada kelanjutannya lagi.

Contohnya: Batman, Spiderman, Lord of The Rings dan The Hobbit.

8. BCU (BIG CLOSE UP)

Pengambilan gambar dengan jarak yang sangat dekat. Biasanya, untuk gambar-gambar kecil agar lebih jelas dan detail, seperti anting tokoh.

9. CAMERA FOLLOW

Petunjuk pengambilan gambar dengan cara mengikuti pergerakan obyek.

10. CAMERA PAN TO

Petunjuk pengambilan gambar dengan cara mengalihkan kamera kepada obyek yang dituju dari obyek sebelumnya.

11. COMMERCIAL BREAK

Jeda iklan. Penulis skenario harus memperhitungkan jeda ini, dengan memberi kejutan atau suspense agar penonton tetap menunggu adegan berikutnya.

12. CREDIT TITLE

Penayangan nama tim kreatif dan orang yang terlibat dalam sebuah produksi.

13. CU (CLOSE UP)

Pengambilan gambar dengan jarak yang cukup dekat. Biasanya, untuk menegaskan detail sesuatu seperti ekspresi tokoh yang penting, seperti senyum manis atau lirikan mata. Tokoh biasanya muncul gambar wajah saja. Bisa juga untuk menyembunyikan detail pada seorang karakter, seekor hewan atau sebuah objek.

14. CUT BACK TO

Transisi perpindahan dalam waktu yang cepat untuk kembali ke tempat sebelumnya. Jadi, ada satu kejadian di satu tempat, lalu berpindah ke tempat lain, dan kembali ke tempat semula.

15. CUT TO FLASH BACK

Petunjuk untuk mengalihkan gambar ke adegan flash back. 

16. CUT TO

Mengakhiri adegan secara langsung tanpa proses transisi. Perpindahan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi bersamaan, tetapi di tempat yang berbeda atau kelanjutan adegan di hari yang sama. Transisi cut to kerap digunakan untuk menekankan lagi perubahan karakter atau  perpindahan/pergerakan emosi. Singkatnya, cut to menggambarkan perubahan adegan pada sebuah frame film.

17. DISSOLVE TO

Perpindahan dengan gambar yang semakin lama semakin kabur sebelum berpindah ke adegan berikutnya.

18. ESTABLISHING SHOT

Pengambilan gambar secara keseluruhan, biasa disingkat ESTABLISH saja.

19. EXT. (EXTERIOR)

Menunjukan tempat pengambilan gambar diluar ruangan.

20. FADE IN

Petunjuk transisi memasuki adegan secara perlahan dan smooth dari situasi gelap total menuju sebuah adegan.

21. FADE OUT

Petunjuk transisi mengakhiri adegan secara perlahan dan smooth dari layar menuju gelap total.

22. FLASH BACK CUT TO

Petunjuk untuk mengakhiri adegan flash back.

23. FLASHBACK

Ulangan atau kilas balik peristiwa. Biasanya, gambarnya dibedakan dengan gambar tayangan sekarang.

24. FLASHES

Penggambaran sesuatu yang belum terjadi dalam waktu cepat. Misalnya: momen orang melamun.

25. FREEZE

Aksi pada posisi terakhir. Harus diambil adegan yang terjadi pada tokoh utama dan dapat membuat penonton penasaran sehingga membuat penonton bersedia menunggu kelanjutannya.

26. INSERT

Sisipan adegan pendek, tetapi penting di dalam satu scene. Sering dimaksudkan sebagai petunjuk halus akan kejadian yang akan terjadi pada menit-menit berikutnya, entah secara langsung berurutan maupun acak dalam rangkaian film.

27. INT. (INTERIOR)

Pengambilan gambar pada jarak jauh. Biasanya untuk gambar yang terlihat secara keseluruhan.

28. INTERCUT

Perpindahan dengan cepat dari satu adegan ke adegan lain yang berbeda dalam satu kesatuan cerita.

29. LS (LONG SHOT)

Pengambilan gambar pada jarak jauh. Biasanya untuk gambar yang terlihat secara keseluruhan. Contohnya: pada tren saat ini, digunakan drone untuk menunjukkan keseluruhan kota (sky view) dimana lokasi-lokasi syuting film terjadi sehingga penonton menangkap kesan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi (sekalipun hanya dalam film).

30. MAIN TITLE

Judul cerita pada sinetron atau film.

31. MONTAGE

Beberapa gambar yang menunjukkan adegan berurutan dan mengalir. Bisa juga menunjukkan beberapa lokasi yang berbeda, tetapi merupakan satu rangkaian cerita.

32. OS (ONLY SOUND)

Suara orang yang terdengar dari tempat lain; berbeda tempat dengan tokoh yang mendengarnya.

33. PAUSE

Jeda sejenak dalam dialog, untuk memberi intonasi ataupun nada dialog.

34. SCENE

Berarti adegan atau bagian terkecil dari sebuah cerita.

35. SFX (SOUND EFFECT)

Untuk suara yang dihasilkan di luar suara manusia dan ilustrasi musik. Misalnya: suara telepon berdering, bel sekolah.

36. SLOW MOTION

Gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Untuk menunjukkan hal yang dramatis.

37. SPLIT SCREEN

Adegan berbeda yang muncul pada satu frame atau layar.

38. TEASER

Adegan gebrakan di awal cerita untuk memancing rasa penasaran penonton agar terus mengikuti cerita.

39. VO (VOICE OVER)

Orang yang berbicara dalam hati. Suara yang terdengar dari pelakon namun bibir tidak bergerak. Disebut juga NARASI (NARRATION)

40. ZOOM IN

Petunjuk gerakan kamera dengan menyorot obyek dari jauh sampai dekat atau close-up

41. ZOOM OUT

Petunjuk gerakan kamera dengan menyorot obyek dari dekat sampai jauh.

42. ANGLE ON

Istilah ini digunakan untuk menyorot sebuah obyek spesifik. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa sudut kamera yang berbeda akan dibuat dari bidikan sebelumnya.

43. BACK TO/BACK TO SCENE

Kamera kembali ke posisi syuting awal setelah sebelumnya menyorot posisi berbeda.

44. BEAT

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan situasi dimana kalimat tertentu atau action tertentu yang dilakukan karakter tiba-tiba berhenti. Sering juga disebut sebagai “action dalam adegan atau “insiden dalam adegan.

45. CLOSE SHOT

Sorotan kamera hanya pada bagian kepala dan bahu sebuah karakter.

46. DOLLY IN/DOLLY OUT

Pergerakan kamera mendekat ke atau menjauh dari sebuah subjek, termasuk gerakan fisik kamera itu sendiri.

47. EXTREME CLOSEUP (E.C.U.)

Sorotan kamera yang secara ekstrem berfokus atau menyembunyikan detail pada seorang karakter, seekor hewan atau sebuah objek.

48. EXTREME LONG SHOT

Sorotan kamera yang diambil dari jarak yang sangat jauh dari sebuah subjek.

49. FOREGROUND (f.g.)

Area dari sebuah adegan (objek atau action) yang paling dekat ke kamera. Biasanya ditulis “f.g.” saja.

50. FREEZE FRAME

Arah pergerakan kamera dimana sebuah frame tunggal diulang pemutarannya selama beberapa kali secara terus-menerus untuk memberi ilusi bahwa semua action sudah berhenti.

51. INSERT

Sebuah sorotan dalam adegan yang mengajak penonton untuk memperhatikan kepingan informasi spesifik, biasanya sebuah objek yang tidak hidup.

52. ISOLATE

Fokus tinggi terhadap sebuah objek atau karakter.

53. JUMP CUT

Akselerasi berlebihan atas sebuah action natural yang menunjukkan kontinuitas sebuah action, posisi kamera atau perjalanan waktu.

Contoh jumpcut: Sorotan terhadap seorang karakter yang berawal dari frame kiri, dan dalam sekejap mata sudah sampai di frame kanan. Dia tampak ‘melompat’ (jump) ke sisi kanan.

54. LIGHTS UP

Transisi pada format Panggung (Stage) yang menunjukkan awal dan proses penjelajahan sebuah adegan panggung dengan memberi efek pencahayaan secara intens ke area tertentu.

55. MAGIC

Singkatan dari “Magic Hour,” yakni periode waktu yang singkat menjelang matahari terbenam (sunset).

56. MEDIUM SHOT (MED. SHOT)

Sorotan kamera ke seorang karakter mulai dari pinggang hingga ke atas.

57. MOVING / MOVING SHOT

Sorotan kamera yang mengikuti apapun objek yang sedang disorot.

58. OFFSCREEN (O.S.)

Menandakan karakter sedang berbicara tapi tidak terlihat di frame, hanya suara saja yang terdengar. Ditulis “O.S” saja.

59. PAN

Dari kata “panorama”, dimana kamera bergerak secara bertahap dari kanan ke kiri atau sebaliknya tanpa berhenti. Tujuannya supaya perhatian penonton beranjak ke objek atau setting lain tanpa memotong adegan.

60. POINT OF VIEW (P.O.V.)

Posisi kamera menggunakan sudut pandang karakter tertentu, dimana si karakter sedang terlibat dalam adegan yang sedang berlangsung. Ditulis “P.O.V” saja.

61. SUPER (SUPERIMPOSE)

Efek yang diciptakan dengan menumpuk sebuah gambar menimpa gambar yang lain.

62. TWO-SHOT

Sorotan kamera ke dua orang sekaligus, biasanya dari pinggang ke atas.

63. WIDE SHOT

(sama dengan Long Shot)

64. WIPE

Corak transisi yang dihasilkan dengan menunjukkan beberapa gambar (images)  tampak bergerak ke arah (atau mendorong) gambar lainnya keluar dari layar.

 


Sumber:

  1. Star Radio 1073 FM
  2. Radio Times
  3. Insider
  4. Final Draft
  5. Blog Asia Sekarsari
  6. Kreatif Production
  7. Video Youtube: From Script to Screen
  8. ScreenCraft

 

Penulisan Skenario: Menciptakan Karakter (bagian 2)

Pada ulasan sebelumnya kita sudah belajar tentang betapa kompleksnya perumusan karakter dari seorang tokoh. (Kalau dibilang rumit, memang rumit. Siapa bilang jadi penulis skenario itu gampang?).

Sekedar mengingatkan, ada 3 fase karakter: Sejak lahir, ketika menjalani hidupnya, dan saat film dimulai. Semua fase  ini tentu menghasilkan banyak detail, data dan deskripsi yang sudah ada di kepala kita sebagai penulis. Pertanyaannya, semua ini tujuannya untuk apa? Apa hubungannya dengan si tokoh nanti ketika memainkan lakon/perannya dalam film?

Aspek Karakter

Hubungannya adalah untuk menjembatani premis dengan plot (alur cerita). Jembatan yang dimaksud adalah pemetaan atas empat aspek karakter, yakni kekuatan (strength), kelemahan (weakness), keinginan (wants) dan kebutuhan (needs).

Darimana kita mengetahui keempat aspek ini? Tentu saja dari ketiga fase karakter, terutama di fase ketiga (yaitu karakter saat film dimulai). Caranya: dengan memfokuskan setiap keterangan yang kita dapat dari fase-fase karakter menjadi rumusan yang menggambarkan kepribadian si karakter.

Kata kunci ‘memfokuskan’ disini penting sebab tidak semua keterangan pada fase karakter langsung menentukan aspeknya. Misalnya: Karakter atau tokoh utama pada cerita film yang kita rancang adalah seorang bernama Agnes dengan atribut 1) wanita, 2) berusia 17 tahun, 3) pernah jatuh cinta dengan teman sekelasnya, dan 4) berambut panjang. Keempat atribut ini adalah fase karakter pada saat lahir dan saat menjalani kehidupannya. Atribut 1) sampai 3) barangkali turut menggambarkan kepribadiannya, tetapi tidak dengan atribut 4) yakni “rambut panjang” . Karena itulah kita perlu memfokuskan mana keterangan fase karakter yang akan kita buat sangat mempengaruhi kepribadian si karakter, dan mana yang tidak.

Kita akan coba melakukan analisa pada film Cek Toko Sebelah dengan dua tokoh utamanya adalah Ko Afuk (pemilik toko) dan Erwin (putra kedua Ko Afuk).

 

Strength (Kekuatan)

Kekuatan adalah kualitas baik dari karakter yang disukai penonton. Ini kepribadian karakter yang biasanya dominan lebih cepat nempel di ingatan penonton.

Strength Koh Afuk adalah pemilik toko yang baik hati. Dia perhatian terhadap pegawainya. Dia juga ramah dengan pelanggannya, bahkan sampai sering memberi utangan. Selain itu, dia juga tidak pelit membantu karyawannya yang kesulitan keuangan.

Sementara itu, strength Erwin adalah pintar, karirnya sukses, pekerja keras dan sangat menguasai teknologi.

Dari sini, kita tahu bahwa kualitas baik atau strength ini bisa banyak, bisa juga hanya satu. Kerap kualitas itu sederhana. Yang penting, penonton bisa merasakan dan mengingat kualitas baik apa yang membuat seorang karakter unggul.

 

Weakness (Kelemahan)

Weakness (kelemahan) adalah kebalikan dari strength tadi. Inilah kualitas yang membuat seorang karakter dinilai tidak unggul atau jadi tidak disukai oleh penonton.

Pada Cek Toko Sebelah, kelemahan Ko Afuk adalah pilih kasih terhadap anak-anaknya. Karena ia melihat anaknya si Erwin lebih pintar dan rajin belajar, ia lebih memilih Erwin dibandingkan anak sulungnya Johan yang tidak teratur hidupnya, begajulan, belum jelas karirnya, dan jangan lupa juga pengaruh ketidaksukaan Ko Afuk pada wanita pilihan Johan.

Sama seperti strength, kualitas tidak baik atau yang tidak disukai ini bisa ini bisa banyak, bisa juga hanya satu. Kerap kualitas itu juga ditampilkan sekilas saja. Yang penting, penonton bisa merasakan dan mengingat kelemahan karakter itu.

Sampai disini, mungkin kita belum secara jelas melihat bagaimana aspek karakter menentukan plot. Akan semakin jelas ketika kita membahas dua aspek lagi, yaitu keinginan dan kebutuhan karakter.

 

Wants (keinginan)

Wants adalah aspek karakter yang membantu penulis dan penonton untuk merumuskan plot atau alur cerita film, terutama dalam hal menajamkan konflik (dari sisi penulis) atau menangkap konflik (dari sisi penonton).

Dalam Cek Toko Sebelah, konflik terjadi karena keinginan Ko Afuk berbeda dengan keinginan Erwin. Ko Afuk ingin mewariskan tokonya kepada Erwin karena melihat sifat Erwin yang baik, percaya diri, pintar dan kuliah di luar negeri. Tetapi Erwin ingin mempertahankan pekerjaannya sebagai direktur di sebuah perusahaan MNC (multinational company) yang bergaji besar, banyak remunisi dan fasilitas lainnya. Erwin masih ingin mengejar karirnya ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang bisa kita tebak, konflik terjadi. Konflik timbul karena keinginan kedua tokoh utama ini tidak bersambung.

Pada tahap ini, sebagai penulis skenario juga kita harus memfokuskan lagi. Sebab setiap tokoh/karakter bisa saja memiliki beberapa keinginan. Tetapi yang kita fokuskan adalah keinginan-keinginan mana dari tokoh-tokoh utama yang menggerakkan jalannya cerita.  (Pada saat proses penulisan skenario sedang berjalan, kerap penulis lupa dengan prinsip ‘memfokuskan’ ini karena lupa mencatatnya dan menuangkannya ke dalam kerangka cerita/sinopsis/outline).

 

Needs (Kebutuhan)

Kebutuhan ini sifatnya lebih filosofis. Ini bagian paling rumit. Perumusan terhadap needs inilah yang biasanya akan membedakan mana screenwriter/penulis naskah yang sudah berpengalaman dan mana yang baru pemula.

Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan yang sangat mendalam pada diri seorang karakter, terutama karakter/tokoh utama.

Dari skala hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang ditulis oleh filsuf Abraham Maslow, ada 5 perangkat kebutuhan dasar manusia, yakni sebagai berikut.

  1.  Phsycological need (kebutuhan psikis)
  2.  Safety needs (kebutuhan akan rasa aman)
  3. Love needs (kebutuhan akan cinta)
  4. Esteem needs  (kebutuhan akan pengakuan/penghargaan)
  5. Self-actualization needs (kebutuhan akan pengaktualisasian diri)

Mengapa aspek kebutuhan ini lebih sulit dirumuskan karena memang tidak terlihat jika hanya sekilas oleh penonton. Jika alur cerita film kita ibaratkan sebagai pohon, maka wants-nya adalah daun dan cabang (penonton secara umum bisa melihat). Sementara needs-nya adalah akar pohon (yang tidak bisa dilihat oleh penonton, kecuali penonton menggali lebih lanjut atau menganalisis film tersebut secara serius setelah menontonnya). Analogi atau perumpaan ini sangat tepat sebab tanpa akar, jangankan berakar dan bercabang, sebatang pohon tidak bisa hidup. Tanpa need yang dirumuskan dengan jelas oleh penulis naskah, jangankan menjadi menarik, film tidak akan memiliki alur cerita yang jelas (sehingga membingungkan penonton).

Masih menggunakan contoh Cek Toko Sebelah, Ernest Prakasa, sang sutradara dan penulis cerita menyampaikan bahwa needs Ko Afuk (tokoh utama) adalah ingin memiliki sebuah legacy. Ia ingin mewariskan sesuatu yang berarti dan bisa dikenang terus oleh anaknya dan cucu-cucunya kelak.

Film Cek Toko Sebelah menjadi menarik karena ternyata di akhir cerita, keinginan Ko Afuk ingin mewariskan toko kepada Erwin tidak terjadi. Bahkan, tokonya tidak ada lagi. Sudah berganti menjadi studio foto, yang dikelola oleh John dan pacarnya. Kendati keinginan Ko Afuk tidak terjadi, tetapi jalan cerita film masih masuk akal dan konsisten. Mengapa? Karena masih sesuai dengan needs Ko Afuk, yakni ingin mewariskan apa yang ia miliki kepada anak-anak dan cucu-cucunya kelak. Wants tidak tercapai tetapi needs Ko Afuk tetap tercapai. Maka, kita bisa simpulkan bahwa Cek Toko Sebelah akhirnya berakhir bahagia (happy ending).

Penonton akhirnya sampai ke pada akhir cerita. Kemungkinan besar, itu pula yang paling diingat penonton dibandingkan semua atribut pada fase karakter (ada 3 fase) dan aspek karakter (ada 4 aspek). Akan tetapi, bagi penulis, adalah tugasnya untuk memetakan dan mematangkan fase karakter dan aspek karakter, karena hanya dengan cara itulah ia bisa menyajikan cerita dari awal sampai akhir kepada penonton.


Sebagai penulis, kita harus menempatkan diri berbeda dengan perspektif yang dimiliki penonton. Penonton menangkap atribut sebuah karakter, penulis yang merumuskan dan menyediakannya. Penonton mengetahui kekuatan, kelemahan, keinginan dan kebutuhan si tokoh utama; penulislah yang bertugas merumuskan dan menyediakan konsepnya secara utuh, jelas dan playable (dapat dilakonkan, dapat dimainkan).

Unsur terakhir dari konsep naskah skenario ini sangat penting. Inilah yang membedakan karya tulisan berupa naskah skenario film sangat berbeda dengan sebuah novel/cerpen atau kisah fiksi lainnya. Pergantian dialog sangat teratur pada novel/cerpen, sementara pada skenario film sering terjadi interseksi (saling memotong) pembicaraan, sebab begitulah biasanya sebuah percakapan yang alami dan natural terjadi. Pada ajang apresiasi kepada penulis skenario pun ada dua kriteria, yakni naskah skenario terbaik dan naskah skenario hasil adaptasi terbaik (sudah Saya ulas pula di blog ini).

Penulisan Skenario: Premis

Apa itu Premis?

Kalau kita melirik kamus, “premis” adalah

sebuah proposisi (kalimat pernyataan yang bernilai benar atau salah) yang berfungsi sebagai alasan dalam sebuah konstruksi argumen

Dalam konteks filmografi atau ilmu seni peran, definisi premis sedikit berbeda. Kita akan lihat dalam tulisan ini.

Semua diawali dengan premis.

“Semua” itu memangnya apa saja sih? Ya semua tahapan pembuatan film.

Mulai dari:

1) development,

2) praproduksi,

3) produksi,

4) pascaproduksi

hingga

5) distribusi.

 

Nah, penulisan skenario ada di tahap awal (poin 1). Pada tahap ini semua SDM pembuatan film harus bahu-membahu untuk merumuskan pengembangan ide, menentukan jenis cerita, genre dan format, serta tak kalah pentingnya: penulisan skenario.

Ide untuk pembuatan film bisa datang darimana saja. Bisa dari novel, kisah nyata, atau narasi yang ditawarkan oleh investor film.

Pada tahap inilah dikenal istilah triangle system, yaitu: produser, sutradara dan penulis naskah.


Setelah mendapatkan ide mereka akan bekerjasama untuk membuat premis, sinopsis, treatment kemudian skenario. Selanjutnya produser dan sutradara menyiapkan treatment untuk menyampaikannya kepada investor. Jika berhasil, film ini akan menerima dana untuk proses produksi.

Jika belum berhasil, si triangle ini harus bekerja keras lagi untuk memperbaiki semuanya, sampai investor yakin dengan ide yang disampaikan, lalu setuju mendanai. Sebab, sama seperti di industri manapun, ide secerdas apapun tak akan terjadi tanpa dana, bukan?


Oke. Sebelum melebar dan memanjang kemana-mana, kita kembali ke penulisan skenario, di topik P-R-E-M-I-S.

Sekali lagi, dalam konteks penulisan skenario: Apa itu premis?

Ide dasar.

Film yang sedang dirancang ini, ceritanya tentang apa?

Dengan teknik empati, seorang penulis skenario harus menempatkan diri sebagai penonton: Mengapa Saya sebagai penonton harus menonton film ini?

Karena itulah, premis harus matang dulu di awal. Matang bukan berarti harus lengkap dan serba detail lho ya. Jadi tidak mungkin ujuk-ujuk kita mulai dengan sinopsis, karakter dan sebagainya.

Dari mana sebuah premis berasal?

Proses kreatif masing-masing orang berbeda. Sumber ide berbeda.

Ernest, dilatarbelakangi oleh jam terbang yang tinggi antara lain harus menulis naskah untuk standup comedy-nya, biasanya mendapatkan inspirasi dari keresahan atau kejujuran.

Mengapa harus sesuatu yang meresahkan atau jujur?

Karena ketika kita menceritakan sesuatu yang dekat dengan kita, kita mendapatkan sesuatu yang unik.

Ia berkisah, misalnya ketika mengerjakan film Cek Toko Sebelah.

Fakta: sampai hari ini, ibu Ernest masih memiliki toko tersebut.

Keresahan Ernest secara jujur diungkapkannya, yakni: dia tidak ingin mewarisi toko tersebut. Dia sudah lebih nyaman dengan kerja kantoran, tetapi juga tidak ingin kecewa dengan keinginan orangtua yang ingin supaya usaha warisan keluarga tersebut tidak hilang.

Maka film bercerita tentang perjalanan dan perjuangan para karakter sehingga di akhir cerita penonton memahami pesan yang hendak disampaikan Ernest, sebagai produser, sutradara sekaligus penulis naskah filmnya.

Tugas Mulia seorang Penulis Skenario

 

Keresahan juga menjadi sumber inspirasi Ernest ketika menggarap film Susah Sinyal.

 

Meskipun kejadian di film Susah Sinyal berbeda dengan kehidupan nyata Ernest sebagai seorang penulis skenario, tetapi Ernest berbagi keresahan yang sama.

Ia melihat dan mengalami sendiri bagaimana orangtua modern kerap tidak punya cukup banyak waktu untuk anak-anaknya. Ini menjadi keresahannya juga. Ia relate dengan kisah di Susah Sinyal.

Dalam konteks yang lebih luas, sebagai instrumen penyampai pesan kemanusiaan (humanity) yang sering lebih mengena, produser film dan naskah film secara moral harus menjunjung misi untuk membangkitkan kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) atas segala keresahan, kekecewaan, kesedihan, permasalahan yang dihadapi manusia.

Maka, seorang penulis skenario mengemban tugas mulia. Ia harus berbagi kegembiraan dan harapan sejak dalam pikiran.

Konsekuensi logisnya: untuk bisa sampai ke sana, penulis naskah harus terlebih dahulu merumuskan secara jujur keresahan yang dimaksud. Barulah nanti cerita di naskah maupun ketika sudah menjadi adegan di film nanti akan relatable dengan penonton. “Relatable” maksudnya penonton bisa ikut merasakan apa yang dialami si karakter.

Pada titik ini, mungkin akan muncul kekhawatiran di benakmu sebagai penulis: “Apa jaminannya bahwa yang relatable untukku juga relatable untuk orang lain (penonton)?”

Tidak ada jaminan.

Tapi, jika kamu sensitif (dalam artian peka) terhadap nilai-nilai hidup (life values) dan terus melatihnya sehingga semakin tajam, maka sangat mungkin apa yang menjadi keresahanmu adalah keresahan banyak orang juga.

Ingat apa yang dikatakan si bapak bijak, Mahatma Gandhi:

“Kenyataan yang terbuka untukku, pasti juga terbuka untuk orang lain” 

Saya beri tahu satu rahasia. Meski ini bukan hal baru. Media berita yang menjunjung tinggi misi jurnalisme juga sadar ini. Mana-mana peristiwa yang dipikir perlu disorot supaya menjadi keprihatinan bersama atau keresahan publik, media bertugas menyorotnya sampai tuntas.

  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan masa depanmu, kamu salah. Ada jutaan anak seusia kamu yang juga berbagi keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang cita-cita di masa depan akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan intoleransi dan dikotomi mayoritas-minoritas di Indonesia, kamu salah. Ada jutaan orang Indonesia juga merasakan keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang intoleransi dan diskriminasi akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • (begitu juga dengan keresahan/keprihatinan lainnya: parenting atau pola asuh yang tidak sehat, bully, perpecahan, ketergantungan pada gadget, berkurangnya interaksi nyata antarmanusia, semakin sulitnya bertemu orang yang benar-benar jujur, dan lain sebagainya).

Kupikir cukup ya. Tidak perlu ragu soal relatibility ini. Tapi tentu saja, cara dan proses yang kamu lakukan untuk mengemas premis ini menjadi screenwriting (skenario film) akan menentukan apakah pesan yang ingin kamu suarakan sampai kepada penonton atau tidak.

Jika penonton sampai menangis, tertawa terpingkal-pingkal atau merasa termotivasi menonton sebuah film, maka tujuannya sebagai karya seni tercapai. Jangan lupa, seni bertujuan untuk membangkitkan emosi manusia. Sebagai bagian penting pada tahap awal, penulis skenario pun ikut bertanggung jawab untuk itu.

Cara Terbaik Mendapatkan Premis

Apakah teknik yang dipakai Ernest adalah cara terbaik buat kamu?

Belum tentu.

Karena setiap orang memiliki metode dan proses berkesenian yang berbeda-beda. Latar belakang dan lingkungan masing-masing orang itu khas.

Sebagai anak SMA, kamu punya keresahan yang sangat mungkin berbeda dengan Ernest yang sudah terbilang sukses sebagai seniman di industri perfilman.

Ernest tidak (lagi) bergelut dengan apa yang kamu alami sekarang. Saat ini mungkin kamu sedang berada pada salah satu posisi keresahan ini

  • Sehabis SMA aku ingin melanjutkan kuliah. Orangtuaku bakal setuju nggak ya sama jurusan pilihanku nanti?
  • Sehabis SMA aku maunya langsung bekerja. Tapi, di situasi sulit seperti sekarang, lulusan SMA bisa apa ya untuk mencari kerja yang layak?
  • Di kelasku, aku sulit mendapat teman yang benar-benar sahabat. Aku harus bagaimana?
  • Perasaan, dulu perasaan tubuhku baik-baik saja. Kok sekarang aku merasa aneh. Apakah pubertas memang seaneh ini?
  • Eh, si itu, kok apa-apa disukai cowok. Memangnya aku kurang menarik apa sih?
  • (dan sederet keresahan lainnya).

Ini menunjukkan bahwa faktor usia, lokasi, kondisi sosial-ekonomi, etnisitas dan seterusnya turut menentukan proses kreatif yang cocok untukmu sebagai penulis pemula.

Oke.

Jadi, fix ya. Setiap penulis memiliki alur proses kreatifnya sendiri.

Meskipun demikian, ada prinsip yang tak bisa ditawar dalam industri perilman ini. Semuanya bergerak cepat dan efektif. Jika kamu tak cepat dan efektif, kamu tidak akan dilirik, naskahmu tidak akan pernah digunakan untuk adegan.

Prinsip apa itu?

Ini:

“Jika kamu tak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana, maka kamu tak cukup mengerti”.

Pepatah ini berlaku dalam penulisan skenario. Jadi, silahkan camkan baik-baik pepatah tersebut sebelum kamu memulai proses kreatifmu. Kamu harus bisa menjelaskan ceritamu dalam satu kalimat.

Pernahkah kamu mendengar istilah elevator pitch?

Ini adalah istilah yang menjelaskan sebuah perandaian dimana kamu bertemu seorang produser ternama di sebuah lift dan tiba-tiba ia menanyakan apa yang sedang kamu kerjakan. Penjelasan panjang dan bertele-tele tidak akan membuatnya tertarik, sementara beberapa detik kemudian, ia sudah tiba di kantornya, meninggalkan kamu yang masih belepotan menjelaskan. Jelaskan dengan singkat, lugas, dan tepat.


Apa saja yang terkandung dalam premis?

Lebih lengkap, premis adalah pernyataan cerita dan masalah yang menggerakan cerita.

Dalam sebuah premis terkandung:

(1) karakter & atributnya,

(2) aksi/tindakan,

(3) situasi/tujuan.

Biasanya, ketika menulis premis, nama karakter belum disebut, melainkan menjelaskan atributnya.

Berikut contoh-contoh premis beberapa film Pixar yang terkenal (film Pixar selalu menjadi contoh yang baik, karena premisnya sederhana dan mudah diidentifikasi):

 

1. "Finding Nemo": Seekor ikan badut menantang marabahaya di samudera lepas untuk mencari anak semata wayangnya yang diculik oleh seorang penyelam tak dikenal.

2. "Toy Story": Sebuah boneka koboi kesayangan pemiliknya merasa terancam & cemburu dengan kedatangan mainan Astonot baru.

 

Sekarang apa premis ceritamu? Coba jabarkan dan identifikasi ceritamu ke dalam satu kalimat. Sisihkan dulu detail-detail, karena kita belum sampai pada tahap itu. Lihatlah big picture-nya, identifikasi strukturnya, dan jangan lekas melaju ke tahap berikutnya sebelum premis ceritamu solid.

Coba diskusikan premis ceritamu dengan teman-teman sekelasmu. Bahas bersama kemungkinan-kemungkinan lain. Tampung semuanya dan jangan kesampingkan pendapat teman-temanmu. Pada tahap ini, kamu memang harus terbuka dengan segala kemungkinan. Begitu kamu yakin dengan premis ceritamu, lanjutkan ke tahap berikutnya.

Ingat: Dalam satu kalimat premis, ketiga unsurnya (Karakter/atribut, aksi/tindakan, serta situasi/tujuan) harus ada.

 

Coba, mana premismu?


Disadur seperlunya dari Kelas.Com dan Studio Antelope