Menulis Naskah Film bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 1)

Mencari Ide

Jessy, remaja yang duduk di bangku SMA itu, cukup percaya diri bahwa dia memiliki segudang kreatifitas. Sejak kecil selalu begitu yang dia dengar dari teman-temannya.

Tetapi akhir-akhir ini, muncul keraguan. Soalnya, selama belajar di kelas, sangat jarang Pak Heru – guru Seni Budaya – memberikan penugasan dengan metode active learning. Hanya ceramah, mengupas bacaan dari buku teks, sesekali disuruh menulis analisis sederhana tentang sebuah karya seni, tetapi tidak sampai menghasilkan karya kreatif: sebuah karya yang benar-benar berangkat dari gagasan siswa sendiri dan akhirnya menjadi karya yang bisa dinikmati banyak orang.

Pernah suatu siang, Jessy memberanikan diri bertanya pada Pak Heru. Saat itu Pak Heru sedang duduk di mejanya di kantor guru. Kebetulan para guru lain tampak sudah pulang. “Pak, mau nanya.”

“Eh, ada Jessy. Gimana?”

“Gini, Pak. Kan kebetulan kita sedang membahas materi drama nih. Mengapa kita tidak langsung menciptakan skenario saja?”, tanyanya dengan sikap kritisnya yang khas situ.

Awalnya Jessy sempat ragu, jangan-jangan Pak Heru akan menanggapinya dengan ketus. Tapi, Pak Heru malah antusias. “Makasih loh, Jes. Bapak pikir tidak ada yang memperhatikan ini. For the first note, membuat 30-an orang siswa untuk mencipta scenario from zero to be a writer hero, tentu tidak mudah”, jelas Pak Heru dengan kebiasaannya mencampur-adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia ketika berbicara.

Good insight. Sebenarnya, Bapak sejak kuliah sudah tertarik dengan pendekatan experiential learning atau active learning. Tapi makin kesini kok malah jadi lupa. Untung ada kamu yang mengingatkan lagi. Thanks anyway, Bapak akan mencoba mempertimbangkan saranmu,” lanjut Pak Heru sambil tersenyum.

“Makasih Pak. Saya permisi ya,” ucap Jessy seraya membungkukkan badan sambil meninggalkan gurunya yang sepertinya masih terkejut itu.

Sejak saat itu, Jessy dan Pak Heru semakin intens berkomunikasi. Sesekali ketika bertemu langsung. Selebihnya, melalui chat dan panggilan suara Whatsapp.

Tidak begitu jelas: entah karena sikap Pak Heru yang antusias atau karena sejak awal Jessy memang tertarik dengan dunia tulis-menulis, tetapi yang jelas Jessy semakin tertantang mencipta skenario. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya hingga sekarang.


Belum Mulai Menulis

Sebenarnya, perjalanan menulis Jessy belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai. Begitu  menghidupkan laptopnya, tiba-tiba dia berhenti sejenak. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benaknya. Skenario macam apa yang hendak kutulis? Naskah film berdurasi panjang? Drama? Komedi romantik? Fiksi sains? Horror? Atau apa?

Menulis cerpen Jessy sudah biasa. Apa bedanya sih dengan menulis skenario

Sebenarnya proses kreatif menulis skenario ini apa saja? Ada nggak struktur yang bisa dipakai untuk menghasilkan naskah yang siap baca (pitch ready script)? Kurang lebih 110 halamanlah.

Oh iya. Selalu butuh peer review. Tiba-tiba Jessy ingat dengan Rachel dan Cassandra. Dua teman yang juga sama kutu bukunya dengan dirinya. Aman kalau begitu.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan tadi belum berjawab.

Bahkan, dari percakapan dengan Pak Heru, ia tidak mendapat penjelasan yang menjawab pertanyaan teknis yang ada di kepalanya. “I will guide you, I will show you how to get there. Hopefully, I will inspire you. I will show you how to use script writing software, but I won’t show you how to write or what to write, that is up to you. You are the only one who can illustrate your creative thoughts. I firmly believe that the only way to become a writer is to write, write, write.

Jadi, cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis, menulis dan menulis? Hmmmm …

Jadi, mau nulis apa nih?

Tidak ada yang spesifik. Tetapi kalau diingat-ingat, ada banyak pengalamannya yang menarik ditulis. Ada banyak orang yang dikenalnya dengan kepribadian yang menarik. Bagus juga kayaknya kalau aku menulis tentang teman-temanku aja?

Menarik semua nih.

Bisa jadi. Tapi tidak akan menjadi film sampai Jessy berhasil menyelesaikan utuh naskahnya. Dan naskahnya tidak akan selesai jika dia tidak mulai membuat paragraf pertama. Paragraf pertama tidak akan selesai kalau dia tidak mengembangkan daya pikir kritis dan analitiknya. Daya kritis dan analitiknya hanya akan terlatih jika ia tidak rajin membaca naskah karya orang lain dan memberikan komentar serta masukan yang otentik, membantu, membangun dan bermakna. Komentar dan masukannya hanya akan bermakna otentik kalau dia membuatnya seakan sedang mengkritik naskah tulisannya sendiri.

Masalahnya: mengembangkan gagasan jauh lebih penting dari gagasan itu sendiri.

Itu yang diingatnya dari Nicholas Baker, seorang penulis yang bisa menulis sebuah novel, padahal hanya mengupas 30 detik di eskalator. Sebuah novel loh. Hebat.

Pikiran kreatif Jessy berpetualang cepat. Berpindah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Oh iya, hari ini di hari Valentine 2023, ia baru saja pergi ke Indomaret membeli coklat untuk Rachel dan Cassandra, dua teman terbaiknya. Sebenarnya, seperti kutu buku lainnya – ditambah introvert lagi – hanya dua orang itu yang dimilikinya.

Jadi apa yang mau kuketik nih?

Indomaret? Coklat? Rachel, atau Cassandra?

Gimana kalau begini saja:

Ketika aku baru saja mau bayar belanjaan ke kasir Indomaret, datang dua orang bertopeng yang mau merampok. Lengkap dengan pisau berkilat tajam. Kedua orang itu tentu saja tidak punya pilihan. Selain kedua kasir yang ketakutan setengah mati itu, pasti mereka juga menculikku. Lalu aku – bermodalkan sedikit kelincahan yang kulatih kala ikut kelas bela diri di SMP – spontan merebut pisau dari tangan salah satu penjahat itu, menusuk cepat di bagian dada dan balik mengancam. Kedua penjahat itu lari ketakutan meninggalkan lokasi Indomaret itu. Naik ke mobil hitam yang sedari tadi sudah parkir, sedia menunggu mereka jika terjadi apa-apa. Aku lupa bahwa seperti lokasi belanja lainnya, Indomaret itu punya rekaman CCTV. Aku menjelaskan susah-payah ke penyidik dari pihak polsek setempat, tetapi mereka tidak menerima. Akhirnya, aku ditahan di penjara. Berkenalan dengan sejumlah pelaku criminal lainnya di penjara: pengedar sabu, pemerkosa, pencuri dan pelaku balas dendam yang membunuh pembunuh orangtuanya.

Hei, ini bakal menarik dijadikan film.

Perlahan tapi pasti, jemari Jessy mulai bergerak di laptopnya. Kosakata, alur, adegan dan nama-nama karakter seakan berlomba untuk ditulisnya.

Muncul masalah baru. Bagaimana ia menertibkan lalu lintas gagasan yang kini memadati pikirannya?


Ini adalah bagian pertama dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR yang tentu tidak akan habis kamu baca.
Facebook Comments

Published by

Donald

A great Big Bang and then it all starts, we have no idea where will it end to ...

2 thoughts on “Menulis Naskah Film bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 1)”

Komentar