Komunitas Yahudi di Indonesia

Jejak komunitas Yahudi di Indonsia memang tampak samar. Selain tidak dikenali secara luas, kelompok ini seperti ada dan tiada.

Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia menimbulkan keengganan bagi komunitas ini untuk tampil di muka publik

Prof. Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel menulis: “Kehadiran orang Yahudi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1290. Mereka adalah saudagar dari Fustat, Mesir yang berdagang di Barus, Sumatera Utara”

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya perusahaan Belanda (VOC) pada tahun 1602. Perkembangan komunitas Yahudi di Indonesia semakin meningkat pada 1870. Saat itu, komunitas Yahudi Amsterdam mengirim seorang rabi ke Indonesia. Kemudian, pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa. Dia melaporkan, saat itu terdapat dua ribu orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.

Kaum Yahudi di Indonesia terbagi atas tiga golongan:

Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dulu dipekerjakan pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru dan dokter.

Kedua, Yahudi Baghdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor dan pemilik toko. Yahudi Bagdadi ini dikenal religius, bahkan ada yang ultra-ortodoks.

Ketiga, Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka berasal dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Beberapa diantaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Indonesia.

Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur.

Akan tetapi, nasionalisasi segala yang berbau asing oleh Presiden Sukarno di awal 1950-an memantik migrasi besar-besaran keturunan Yahudi dari Indonesia kembali ke tempat asal mereka setelah situasi aman, atau ke tempat lain. Ditambah lagi Penetapan Presiden tahun 1965 tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama resmi yang diakui (difasilitasi) pemerintah.

Tahun 2004, komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya Sinagoga “Ohel Yaakov” di kota Manado, Sulawesi Utara. Yang paling mencolok adalah dibangunnya sebuah menorah berukuran raksasa setinggi 19 meter, di sebuah puncak dataran tinggi di pinggiran kota Manado. Sinagoga (synagogue) adalah tempat beribadah orang Yahudi, sementara menorah adalah lambang suci yang dipakai dalam ritual ibadat Yahudi.

Di Jakarta Selatan (Batavia), ada tujuh kuburan berlambang bintang Daud dan berbahasa Ibrani di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, menjadi bukti kaum Yahudi pernah tinggal dan berbaur dengan warga kota Jakarta.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, mengatakan bahwa sebelum perang Arab-Israel tahun 1948 warga Yahudi hidup rukun dengan warga lainnya. Mereka bercampur-baur dengan warga muslim Jakarta. Apalagi, banyak Yahudi dari Timur Tengah yang juga masih bisa bahkan fasih berbahasa Arab, dan wajah mereka pun sangat mirip dengan bangsa Arab lainnya yang ada di Jakarta. Dalam kegiatan dagang, mereka tidak menyembunyikan identitas ke-Yahudi-annya.

Keberadaan komunitas Yahudi di Jakarta juga tergambar dari salah satu prajurit Belanda keturunan Yahudi bernama Leendert Miero (1755-1834). Selain menjadi prajurit, dia juga pernah menjadid tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi sekarang. Nama “Pondok Gede” (gedung/rumah yang sangat besar) sendiri merujuk pada kediaman Miero. Kini, bekas peninggalan rumah gedong milik Leendert Miero itu menjadi pusat perbelanjaan.

Sebuah artikel Selisip.Com mengisahkan Dorothy Marx, seorang pendeta dan teolog berdarah Yahudi. Dorothy dikeal luas di GKI, PGI, kampus UKI, ITB, UPI (dulu IKIP Malang), Universitas Kristen Maranatha, STT Bandung, STT Jakarta, SAAT Malang, Perkantas serta berbagai lembaga persekutuan di Bandung. Dorothy, yang lahir di Munchen (Jerman) pada 16 Februari 1923, pindah ke Inggris jelang Perang Dunia II. Ia pertama kali melayani Indonesia pada 1957 sbagai misionaris OMF (Overseas Missionary Fellowship) usai ia lulus dari Universitas Tubingen dan Lousiana Baptist University. Dorothy dikenal luas atas tulisan dan kontribusinya terhadap pendidikan para calon pendeta, terutama GKI.

Sekalipun komunitas Yahudi telah berjejak lama, dengan warisan seni dan budaya termasuk yang juga mereka bawa dan pelihara, namun Indonesia tetap tidak mengakui keberadaan negeri asal komunitas Yahudi itu, yakni Israel. Konflik antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah terutama dengan Palestina telah mewariskan sentimen negatif pada masyarakat Indonesia terhadap komunitas Yahudi.

Sentimen negatif terhadap Israel (termasuk komunitas Yahudi di Indonesia juga menerima imbasnya) diduga juga “dibakar” dengan kutipan dan interpretasi liar atas ayat-ayat Kitab Suci untuk tujuan tertentu. Padahal, Indonesia khususnya melalui ABRI sudah sejak lama menjalin hubungan dengan Israel, seperti pembelian pesawat A-4 Skyhawk, belum lagi kerjasama intelijen dalam memerangi terorisme. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kelompok simpatisan teroris di Indonesia gencar melancarkan propaganda anti-Israel dan anti-Yahudi karena mereka tahu gerakan mereka akan dibantai oleh teknologi maju dari Israel itu.

Tambahan lagi, sebagian masyarakat Indonesia terlanjur percaya dengan keberadaan Yahudi yang konon tidak bisa lepas dari gerakan Freemasonry, yakni gerakan diam-diam orang Yahudi untuk menguasai dunia.

 


Disadur dari berbagai sumber

 

 

 

Tentara Sumatera Timur Penumpas Laskar Islam Itu Bernama Nokoh Barus*

Ilustrasi: Counter Strike

Pada 1947, Belanda membentuk negara boneka di Sumatra yang diperkuat oleh tentara federal yang bernama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur.

Sejumlah bekas pejuang kemerdekaan yang kecewa kepada pemerintah melakukan pemberontakan. Mereka melakukan aksinya di sekitar Kebumen dan menamakan diri Angkatan Oemat Islam (AOI) yang dipimpin Kiai Somalangu.

Penumpasan gerakan ini menjadi tanggung jawab Letnan Kolonel Ahmad Yani selaku Komandan Brigade Q. Suatu hari, Yani melakukan peninjauan ke lapangan disertai beberapa anak buahnya.

“Ia (Ahmad Yani) mengambil anak buah Nokor Baros sebagai pengawalnya,” tulis penyusun buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1981:226).

Di batas kota, rombongan Yani diserang gerombolan AOI. Namun, para pengawalnya berhasil menghalau gerombolan dan perjalanan bisa dilanjutkan.

Nokor Baros, seperti dicatat istri Yani dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan (1981:123), berasal dari Sumatra Utara. Dia masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani bersama hampir satu batalion kawan-kawannya dari Sumatra Utara.

Nokor Baros juga kerap ditulis Nokoh Barus. Di zaman Jepang, menurut catatan Mestika Zed dalam Gyugun: Cikal-Bakal Tentara Nasional Sumatra (2005:197), Nokoh Barus termasuk pemuda yang dilatih masuk Gyugun (tentara sukarela) di Sumatra Timur.

Salah satu kolega Nokoh Barus, Richardo Siahaan, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (1983:315) menyebut Nokoh Barus termasuk 40 yang dilatih jadi perwira, dan mereka kebanyakan pernah belajar di MULO (singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP). Nokoh Barus juga termasuk yang berontak di akhir zaman pendudukan Jepang dan sempat ditahan Kempeitai (polisi militer Jepang).

Bekas Gyugun di Sumatra mayoritas terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang sangat kacau. Kekacauan dan revolusi sosial terjadi di sejumlah tempat dan memakan banyak korban. Penyair Amir Hamzah misalnya, jadi korban revolusi sosial meski ia sejatinya seorang nasionalis sejak lama. Ada pula keluarga Dokter Nainggolan, yang di awal revolusi berpihak pada Republik, juga jadi korban.

Boyke Nainggolan, anak sang dokter adalah kawan Nokoh Barus. Kemudian sang dokter bergabung dengan Negara Sumatra Timur (NST) yang disponsori Belanda dan sempat eksis di sekitar Medan. NST dibangun setelah NICA mulai mapan di sekitar Medan. Di dalam NST terdapat tentara federal. Pasukan ini muncul setelah Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisionil pada 21 Juli 1947.
“Sejak gerakan kepolisian pada bulan Juli 1947, di Siantar atas usaha paduka tuan Djomat Purba telah terbentuk suatu barisan istimewa, yang karena warna pakaian mereka ketika itu, segera mendapat nama julukan Blauw Pijpers (biru tua),” demikian ditulis jawatan propaganda NST dalam buku tipis berjudul Bukti (1949:44).

Dalam buku Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara (1953:235), disebutkan bahwa sebelum mendirikan barisan istimewa, “Djomat Purba adalah Inspektur Polisi Negara Republik Indonesia, yang mempunyai kebebasan dan keleluasaan bergerak antara daerah Republik dengan Medan yang diduduki oleh Inggris/Belanda.”

Dalam membangun Blauw Pijpers, dia tak sendirian. Di Tanjungbalai, pasukan itu dibentuk oleh Saibun; di Tebingtinggi dan Lubukpakam oleh Datuk Baharudin; di Brastagi dan Kabanjahe oleh Ngeradjai Meliala Bertindak; dan di Binjai serta Tanjungpura oleh Tengku Madian bersama Tengku Suleiman. Djomat Purba bertindak sebagai komandan seluruh tentara federal dengan pangkat kolonel.

Pasukan ini kemudian dikenal dengan nama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur. Tak hanya di Sumatra, di Jawa Barat dan Kalimantan juga terdapat tentara federal. Menurut Tan Malaka dalam Gerpolek (1964:83), tentara federal bersifat kolonial juga terpisah dari rakyat. Maka itu, Republik tidak menyukai kehadiran sejumlah tentara federal.

Sebanyak 50 kader Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur yang terdiri dari 23 kopral dan 27 sersan, dilatih di Cimahi–kota tangsi di Jawa Barat yang merupakan tempat pelatihan KNIL. Mereka kembali ke Sumatra Timur pada 7 Juni 1948. Sementara 9 letnan muda yang juga dilatih di Jawa Barat kembali ke Sumatra Timur pada 20 Desember 1948. Seperti tentara federal di sejumlah tempat lainnya, pasukan ini oleh Belanda disebut Veiligheids Batalyon (batalion keamanan disingkat VB).

Benjamin Bouman–mantan perwira Belanda yang pernah berperang dan dilatih jadi perwira di Jawa Barat–dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:404-406) menyebutkan beberapa nama pemuda dari Sumatra Timur yang ikut kursus VB di Opleiding Centrum voor Officieren (OCO) alias pusat pelatihan perwira. Mereka di antaranya adalah Tengku Ali, Tengku Jafar, Jansen Saragih, Oesman, Tengku Razli, Sinaga, Isara Sinaga, dan Sulaeman.

Nokoh Barus, seperti disebut AR Surbakti dalam Perang Kemerdekaan (1978:328), mencapai pangkat letnan muda dan pernah berpangkalan di Seribudolok. Karena kekuatan militer Belanda selama revolusi banyak ditempatkan di Jawa, maka keberadaan tentara federal ini yang jumlahnya sekitar 1949 dan mencapai 4 batalion, cukup dibanggakan Wali Negara NST.

Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, ada ketentuan bekas tentara Belanda di masukan ke dalam TNI atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tak hanya KNIL, tapi juga VB, termasuk yang di Sumatra Timur atau Sumatra Utara.

Hampir satu batalion VB dari Sumatra Timur yang masuk TNI/APRIS kemudian dikirim ke Jawa Tengah, termasuk Nokoh Barus yang mendapat pangkat kapten. Nokoh Barus dan kawan-kawan VB dari Sumatra lalu masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani dan berjasa dalam penumpasan gangguan keamanan di Jawa Tengah.


*(Dipublikasikan ulang dari artikel Tirto yang berjudul “Mantan Tentara Federal Sumatra Timur Menumpas Angkatan Oemat Islam”)