Belajar Menjiwai Peran dari Ahlinya: David Wenham

David Wenham

Aku pernah menjadi pengacara, pernah pula menjadi penjahat.

Ketika menjadi pengacara, Aku mewakili sejumlah penjahat terkenal. Ketika menjadi penjahat, Aku berhasil mengamankan pundi-pundi uang sebanyak USD 2,000 (lebih dari 310 juta jika dirupiahkan). Lalu rumahtanggaku berantakan, pernikahanku hancur. Aku dipenjara karena ketahuan berbisnis pengiriman obat-obatan terlarang.

Dulu Aku seorang imam (pastor) dan sebelum menjadi pastor, Aku sempat menjadi tentara. Tepatnya, Aku pernah menjadi sepuluh tentara dengan identitas berbeda. Aku pernah menjadi polisi, waktu itu kepalaku botak. Aku bahkan pernah menjadi Tuhan (tentu saja, cuma sekali)

Aku menikah puluhan kali, rekor yang sepertinya lebih banyak dari Elizabeth Taylor. Aku menjadi ayah dari banyak anak-anak yang bahkan tak kuingat namanya saking banyaknya.

Perkenalkan. Namaku David. Dan Aku adalah seorang aktor.


Apa itu akting?

Mengapa aku berakting?

Apa tujuannya?

Mengapa orang mau menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya hanya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya?

Sejak kecil, aku memang suka membuat orang tertawa. Entah dengan cara apapun, dan dalam situasi apapun. Kadang dengan suara yang menggelikan. Atau sekedar menaikkan celana pendek hingga ke atas pinggang, melewati pusarku. Pokoknya, teknik melucu sederhana yang membuat orang terkekeh-kekeh.

Seiring dengan berjalannya waktu, dari yang awalnya hanya sekedar suka membuat orang tertawa, aku merasakan dorongan yang lain untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

Sekarang, mari kita bahas apa pengertian dari akting? Definisi terbaik kudapat dari Sanford Meisner, guru akting-ku. Katanya: Berakting adalah berlaku dan bertindak sungguh-sungguh dalam situasi imajiner (khayal). Behaving truthfully in an imaginary situation.

Hingga tiba di suatu titik, Aku menyadari bahwa motivasiku menjadi seorang aktor tidak hanya sekedar keinginan untuk membuat orang lain tertawa. Waktu itu ada pertunjukan seni di sekolah. Lakon yang kami bawakan yaitu Henry IV bagian I karya Shakespeare. Saat casting, Aku mendapat peran sebagai Hotspur, seorang pemimpin yang gagah berani, keras kepala dan mudah marah. Saat itu menjelang sesi latihan yang panjang dimulai, Aku menemukan sebuah sudut sepi di belakang panggung teater kami, persis di samping sebuah pohon oak. Lalu aku mulai mengayunkan pedang kayu (yang digunakan sebagai properti latihan) dengan penuh amarah ke batang pohon oak yang tak berdosa. Aku ayunkan berkali-kali hingga nafasku tersengal, hampir tersedak karena kecapaian. Sembari mengayunkan pedang kayuku berkali-kali, Aku membayangkan (memvisualisasikan) secara akurat seperti apa karakter yang akan aku perankan. Latihan yang benar-benar kulakukan seperti layaknya aku sedang berada di sebuah pertempuran berdarah-darah.

Benarlah. Ketika tiba saatnya memasuki pintu teater sebagai Hotspur, Aku berada pada kesadaran sepenuhnya untuk mampu mengingat semua ketakutan yang harus bisa kutunjukkan kepada semua orang, persis yang dilakukan oleh Hotspur. Aku tidak meniru Hotspur seperti pada naskah. Aku benar-benar menjadi Hotspur dalam sebuah situasi dan lokasi imajiner, yaitu gedung kuliah teater yang berhadapan dengan King’s Court di London. Sudah 12 tahun Aku tidak lagi pergi ke sekolah teater itu dan tidak lagi memikirkan apa yang terjadi saat itu, tapi aku melakukannya secara instingtif.

Saat ini ada banyak variasi teknik ini diajarkan dan dilatihkan ke banyak orang.

Setelah Aku lulus dari sekolah akting itu, Aku mendapat peran pada lakon karya Dennis Potter yang berjudul Blue Remembered Hills. Filmnya berkisah tentang sekelompok anak usia tujuh tahunan yang bercengkerama di sebuah hutan di belahan utara Inggris. Seluruh bocah itu diperankan oleh aktor dewasa. Setiap kali menjelang sesi latihan, Aku akan pergi ke dinding bata yang kasar dekat gedung teater, menghunjamkan siku dan lututku ke tembok itu. Hasilnya adalah lutut yang luka dan lengan tergores yang lama-lama membentuk borok. Ketika malam tiba, pada jarak yang sangat dekat dengan penonton, sebagai Willy (peran yang akan kumainkan), Aku menggosoknya dengan serpihan tanah berlumpur. Darah bercucuran dari lutut dan sikuku. Pada momen ini, yang sedang terjadi ialah: aku menggunakan teknik eksternal yang membantuku mendapat olah sukma (rasa) dari seorang anak berusia tujuh tahun dan benar-benar menjadi peran itu.

Itulah metode yang kulakukan. Tentu saja ada banyak teori dan metode latihan akting.


Lakon itu Kisah. Aktor Menceritakannya

Tetapi, mengapa Aku melakukan semua itu? Apa tujuannya?

Sepanjang sejarah, para aktor sebenarnya adalah pencerita/pendongeng (storyteller). Melalui cerita atau kisah, kita berbagi keprihatinan, mimpi, luka, dukacita, penderitaan, kegembiraan. Kisah bersifat universal. Kisah atau cerita membantu kita memahami diri sendiri dengan lebih baik. Bercerita membantu kita menemukan kesamaan dan kemiripan kita dengan orang lain di seluruh belahan dunia ini. Aku merasa beruntung bisa terlibat menceritakan kisah tentang orang sungguhan di dunia nyata. Beberapa kisah yang dituturkan itu  bahkan mendapatkan apresiasi yang luar biasa, kerap dalam waktu yang cukup lama sejak kisahnya diperdengarkan. Ada yang menyembuhkan. Ada yang menginspirasi. Contoh yang sangat jelas yang bisa Aku ceritakan saat ini adalah dampak dari film – yang tak banyak diketahui orang – yakni film “Molokai” (Molokai: The Story Of Father Demien), sebuah kisah imam asal Belgia yang dengan sukarela tinggal bersama orang-orang kusta yang sengaja dikucilkan di sebuah pulau terpencil bernama Molokai. Aku berperan sebagai Father Damien.

Ketika Hawaii diserang wabah lepra pada sekitar tahun 1874, pemerintah Hawaii yang saat itu belum menjadi negara bagian Amerika Serikat memutuskan untuk mengisolasi penduduk yang terkena wabah tersebut ke sebuah pulau bernama Molokai.

Pihak Gereja Katolik di Honolulu kemudian meminta beberapa imam sukarelawan untuk membantu para penderita kusta yang terkesan ditinggalkan pemerintah di pulau tersebut. Father Demian (David Wenham) merupakan imam pertama yang mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan. Dibelakangnya ada lagi tiga orang imam. Gereja memutuskan: Father Demian yang berangkat ke pulau tersebut. Ia pun berangkat. Disana ia bertugas di sebuah daerah bernama Kalaupapa di pulau Molokai. Ketika ia tiba, ia disambut oleh pengawas pulau bernama Rudolph Meyer (Kris Kristofferson) yang menganjurkannya untuk menghisap rokok guna mengurangi bau tidak sedap saat berinteraksi dengan penduduk, yakni para penderita kusta itu.

Di Kalaupapa Father Demian melihat kehidupan para penderita kusta yang putus asa serta kemorosotan moral yang diakibatkan depresi. Father Demian lalu mulai membersihkan kembali Gereja yang sudah lama tidak terpakai kemudian menanam beberapa pohon untuk melindungi perkampungan tersebut dari badai. Pada interaksinya dengan penduduk dia mulai akrab dengan Bishop (Ryan Rumbaugh) anak kecil penderita kusta yang menawarkan diri menjadi anak altar, William (Peter O’Toole) penderita kusta tua yang bersimpati terhadap misi Father Demian, serta Malulani (Keanu Kapuni-Szasz) gadis belia yang mulai terjangkiti kusta.

Father Demian juga berupaya meminta bantuan obat obatan dan pakaian kepada pemerintah setempat namun sayangnya pihak pemerintah terkesan mengabaikan permintaan tersebut, bahkan pihak gereja terkesan hati hati dalam menilai misi Father Demian meskipun pemimpin gereja Honolulu Father Leonor (Derek Jacobi) tetap menyemangati Father Demian.

Tanpa sadar setelah beberapa tahun melayani penduduk Kalaupapa, virus penyakit lepra pun menjangkiti Father Demian. Namun justru hal itu membuatnya semakin giat dan bersemangat untuk meningkatkan fasilitas bagi penduduk Kalaupapa. Ia akhirnya berhasil membuat pemerintah Hawaii mulai memperhatikan kondisi penduduk di pulau Molokai.

Father Demian akhirnya harus menyerah saat penyakit lepra semakin menggerogoti tubuhnya, ia pun wafat setelah 15 tahun tinggal bersama penduduk yang diisolasi karena penyakit kusta di pulau Molokai. End of the story.


Katharsis

Pengambilan gambar (syuting) untuk film Molokasi langsung dilakukan di lokasi yang sama pada tahun 1999. Saat itu pemerintah telah lama menghentikan pengiriman penderita kusta kesana. Akan tetapi, disana masih ada 55 orang penderita sakit kusta. Bersama film director Paul Cox, Aku tinggal di komunitas itu selama lima bulan. Selama periode itu, penggunaan kamera untuk pengambilan gambar dilarang. Pelan-pelan Paul mendapat simpati dan mereka mulai percaya. Satu persatu mereka datang menghampiri Paul dengan sukarela untuk turut diambil gambarnya. Mereka ingin supaya masyarakat luas mengetahui persis apa yang telah penyakit kusta lakukan terhadap tubuh dan wajah mereka.

Setahun setelah periode syuting itu selesai, Aku dan Paul kembali lagi kesana untuk mengajak mereka menonton film tersebut. Berhubung di tempat itu tidak ada tempat untuk menonton film, maka kami diaturlah supaya satu persatu penderita kusta itu diangkut menggunakan pesawat terbang berukuran mini ke daerah yang lebih ke puncak. Penerbangannya hanya 8-10 menit. Begitu mereka semua mendarat, sebagian dipopong, sebagian lagi dibantu dengan segala macam cara, akhirnya mereka tiba di aula setempat. Disana dibuatlah layar untuk menonton.

Begitu film mulai diputarkan, mereka, para penderita kusta ini – yang sebelumnya tak pernah melihat wajah mereka muncul di tayangan film bahkan sebuah foto pun tidak – mulai menangis tersedu. Mereka sadar, saat itu, bukan hanya kisah mereka saja yang sedang ditunjukkan ke seluruh dunia, tetapi juga kisah dari generasi sebelum mereka. Mereka sedih melihat tayangan itu, tapi lalu merasa bangga dan bahagia karena telah terlibat dalam sebuah kisah mahapenting: sejarah mereka dan budaya mereka.

Sebagai bagian dari mereka, Aku merasa tersanjung bisa ikut menuturkan kisah mereka, bersama mereka.

Itulah sebabnya Aku menjadi seorang aktor.

Kisah/cerita bisa mengubah kita.

Kisah bisa mengubah sudut pandang kita.

Kisah bisa mengubah pendapat, mood, dan pola pikir kita.

Storytelling alias menuturkan kisah benar-benar sebuah pengalaman katharsis.

Aku adalah seorang aktor. Mengapa? Karena Aku senang menceritakan kisah. Kisah yang menjaga kita tetap manusiawi.

Terima kasih.


©® Tulisan ini sebagian besar berasal dari transliterasi mandiri dari sesi bicara David Weinham di Ted Talk.

 

Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit

Anak Favorit

Jika menelisik batin dengan jujur, kemungkinan besar setiap kita pernah merasakan bahwa ada perbedaan perhatian dan kasih sayang dari orang tua ke kita anak-anaknya. Atau bagi anak-anak yang tak sempat mengenal orang tua, di panti asuhan misalnya, ada perbedaan dari pengasuh ke anak-anak asuhnya. Ada hipotesa yang berbahaya kalau dicari-cari pembenarannya untuk menjadi teori yakni, “Memang ada kelakuan spesial kepada abang atau adik kita”. Efek yang ditimbulkan dari sikap yang ditunjukkan orang tua yang (menurut kita) memihak tersebut menyebabkan perubahan tingkah laku, dan mental dari seorang anak.

Tentu saja, kalau kita tanyakan kepada setiap orang tua, kemungkinan besar jawabannya sama: “tidak ada spesial, sayang semua”. Inong pangintubu saya bilang:

Dang adong mardingkan au tu hamu. Ai sian butuhakkon do hamu sude

(bagi yang tidak tahu artinya, silahkan ulik-ulik di Kamus Daerah).

Tapi ada seorang ilmuan barat yang namanya Katherine Conga. Beliau meneliti hampir dari 500 anak, dengan pertanyaan bagaimana kelakuan orang tua terhadap mereka. Katherine juga meneliti sikap yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anaknya. Katherine berhasil menyelesaikan penelitianya dan menemukan fakta bahwa memang benar biasanya orang tua memberi perhatian yang lebih kepada si sulung.

Lalu bagaimana dengan si adik? Mereka dilahirkan dengan tingkat perhatian yang kurang. Jadi mereka menganggap orang tua berada di dua ekstrem.

Pertama, orang tua cenderung lebih disiplin terhadap mereka.

Kedua, orang tua cenderung lebih memanjakan mereka dan menuruti begitu saja apapun kemauan dan permintaan mereka kendati menyadari akibat buruk dari sikap memanjakan tersebut bagi masa depan si anak di kemudian hari.

Anak Favorit

Dalam konteks keberlangsungan keluarga, supaya siblings war tidak menodai keutuhan keluarga, solusi yang paling mendamaikan dan perlu dipupuk adalah mendorong setiap anak untuk merasa bahwa masing-masing mereka adalah anak favorit. Maka, alih-alih mencari sejuta perbedaan perlakuan orang tua terhadap kakak dan adik, fokus yang mesti dituju adalah mencari pengalaman pada momen membanggakan antara si anak dengan orang tuanya. Lagipula, umumnya orang tua tidak mengakui bahwa mereka punya anak yang favorit, kendatipun ada anak (kalau bukan setiap anak) merasakannya.

Bahwa orang tua cenderung menerapkan perhatian dan sikap yang berbeda-beda bagi setiap anak, mereka punya alasan tersendiri untuk itu. Mereka mengenali anak sulungnya yang ekstrovert, dominan dan ingin memimpin. Maka mereka memberikan perhatian supaya si sulung memiliki sikap kepemimpinan yang benar. Mereka tahu bahwa anak kedua cenderung introvert, pendamai. Maka orang tua mengarahkannya untuk menjadi penengah yang baik setiap kali ada siblings rivalry, baik yang potensial maupun yang sudah jelas kelihatan terjadi. Demikian seterusnya, hingga anak ketiga, keempat sampai ke anak bungsu.

Jika setiap anak bisa mengerti hal ini, maka sah-sah saja jika masing-masing mereka merasa sebagai anak favorit. Sepanjang tidak menimbulkan iri hati. Jika mereka sudah sampai ke tahap ini, mereka sudah bukan anak-anak lagi. Mereka sudah dewasa. Mereka adalah children (anak-anak) yang tidak childish (kekanak-kanakan) lagi. Bahkan, jika ternyata ada keluarga di mana masing-masing anak merasa demikian, rasanya itu akan menjadi keluarga paling romantis yang pernah ada di bumi ini.

 

Lucunya, sudah setua ini peradaban yang dilalui agama-agama samawi, masih banyak pengikutnya yang tetap kekanak-kanakan.

Baik Yahudi, Islam maupun Kristen (Katolik), tetap merasa bahwa mereka adalah anak favorit dari YHWH, Bapa mereka. (Tentu saja, kalau bicara statistik, selalu ada eksepsi. Tak semua mereka begitu.)

Kitab Suci Perjanjian Lama, yang konon merupakan refleksi dari umat Yahudi tentang penyelenggaraan sang Ilahi atas bangsa mereka, bahkan tidak malu-malu menunjukkan bahwa si YHWH juga terkesan memberi perlakuan berbeda terhadap anak-anak pertama dari manusia pertama, si Adam, yang terbuat dari tanah (adamah) itu. Siblings rivalry memenuhi kisah-kisah legendaris itu.

Ada Kain yang membunuh Habel karena rasa iri terkait persembahan mana yang paling disukai oleh YHWH. Tak tanggung-tanggung, rasa iri ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan lebih itu bahkan hingga menuntun Kain pada niat untuk membunuh Habel.  Teman-teman yang sudah tidak lagi membaca Kitab Suci, bahkan mengelaborasi lebih lanjut dan mencibir: “Dan YHWH pun tidak melakukan apa-apa untuk mencegah Kain membunuh Habel.” Hmmmm ….Hal yang sama juga kita temukan dalam kisah persekongkolan antara Yakub dengan ibunya, Ribka. Persekongkolan itu berhasil merebut hak kesulungan Esau, pindah ke Yakub. Berlanjut pada iri hati dari anak-anak Yakub yang membuat mereka sampai menjerumuskan Yusuf ke perbudakan.

Tak berhenti hanya pada laki-laki saja, siblings rivalry juga terjadi pada perempuan. Dua bersaudari Leah dan Rakhel pun berkompetisi untuk mendapatkan cinta si Yakob.

Perebutan Anak Favorit dari Kitab Suci ke Kitab Sastra

Shakespeare pun menciptakan gambaran siblings rivalry serupa dalam karya sastranya. King Lear memprovokasi perseteruan di angtara ketiga puterinya dengan meminta mereka bertiga untuk menunjukkans seberapa besar cinta mereka pada ayahnya. Ada pula Edmund yang dengan kelicikannya membuat saudara tirinya Edgar terbuang, terusir dari lingkungan kerajaan dengan segala previlesenya.

Pada lakon The Taming of the Shrew, kakak beradik Kate dan Bianca dipertontonkan berkelahi dengan sengit-sengitnya. Hal serupa terjadi antara King Richard III dengan King Edward (dalam lakon Richard III), antara Orlando dan Oliver, kemudian antara Duke Frederick dan Duke Senior (dalam lakon As You Like It).

John Steinbeck, dalam karyanya East of Eden, melukiskan perseteruan antara dua bersaudara Cal dan Aron Trask, serupa dengan Kain dan Abel pada kisah Bibel.

A Song of Ice and Fire, yang lalu dipanggungkan di layar lebar secara kronikal dalam lakon-lakon Game of Thrones, penuh dengan perebutan anak favorit tersebut.

Baratheon

 

Sejatinya, ada tiga pewaris sah House of Baratheon, yakni Robert Baratheon, Stannis Baratheon, dan Renly Baratheon. Sepeninggal Robert, Stannis akhirnya membunuh Renly dengan sihir gelap, kendatipun tidak begitu jelas apakah Stannis benar-benar menyadari bahwa dia yang melakukan kejahatan itu.

Sejarah keluarga Westeros mencatat “Tarian dari Para Naga” (The Dance of the Dragons). Princess Rhaenyra Targaryen dan saudara tirinya Aegon II Targaryen memperebutkan tahta Iron Throne sepeninggal ayah mereka, Viserys I Targaryen. Aegon berhasil membunuh Rhaenyra, tapi tak lama Aegon pun diracun. Akhirnya putra Rhaenyra naik tahta menjadi King Aegon III.

Litani perebutan anak favorit ini masih bisa bertambah panjang lagi. Baik dalam kehidupan nyata maupun dalam kehidupan yang disketsakan lewat serial film, acara televisi, puisi ataupun cerita novel dan balada satir.

Tapi, bagaimana kalau perebutan anak favorit itu tidak hanya milik penghuni planet bumi ini?

Atau, bagaimana kalau ternyata klaim anak favorit dari sang Bapa Semesta inilah yang menjadi awal dari segala peperangan, baik perang apologetis dan militer (dua-duanya sama menjemukan dan tidak berprikemanusiaan), dan ternyata penyebab dari segala penderitaan yang disebabkan oleh manusia sendiri?

Seperti pada klaim anak favorit pada psikologi orang tua di atas, solusi yang paling adequate ialah jika setiap orang tahu Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit.

Gods' Favourite Planet

Klaim berawal dari adanya Galaksi Pilihan Allah.

Kemudian berturut-turut,

  • Lalu ada Bintang dan Tata Surya Pilihan
  • Lalu ada Planet Pilihan
  • Lalu ada Umat Pilihan, lengkap dengan Gurun Pilihan dan Nabi Pilihan.
  • Lalu ada Agama Pilihan
  • Lalu ada Sekte Pilihan

Lalu delusi makin meluas kemana-mana. Tampaknya, ini berlaku untuk semua agama. Padahal dalam sekte atau kelompok manapun (yang menganggap dirinya pilihan), tetap saja ada manusia-manusia di dalamnya. Padahal, pada akhirnya, setiap manusia merasa sebagai Manusia Favorit Penciptanya.

Toh setiap manusia bisa curhat, berkeluh kesah dan menemukan dirinya pada perjumpaan batiniah yang hening dalam renungan yang tenang, menemukan dirinya sendiri.

Hanya ada dia dan Diri-nya.

Lengkap.

Tak ada lagi perbedaan antara Athman dan Brahman di sana.

Tak ada lagi perbedaan mikrokosmos dan makrokosmos disana.

Bahkan ruang paling kecil di mitokondria sel darahnya sama luasnya dengan semesta yang sanggup menampung jutaan galaksi yang ada.

Oh, sungguh indahnya, saat setiap orang tahu Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit.

Saat itu tiba, setiap orang tua akan tersenyum. Sebab mereka tahu, ada Allah dalam setiap anak yang dianugerahkan kepada mereka.