Ulas Lirik “Nahinali Bakkudu” Ciptaan Nahum Situmorang

Lirik Nahinali Bakkudu

Ue amang doli o amonge
(Hei, hei, hei)
Ue amang doli o amonge
(Hei, hei, hei)

Nahinali bakkudu da sian bona ni bagot
Beha maho doli songon boniaga so dapot
Ue amang doli o amonge

Boniaga sodapot lakku dope nasaonan
Beha maho doli tarloppo ho parsombaonan
Ue amang doli o amonge

Atik parsombaonan dapot dope da pinelle
Beha maho doli songon buruk-buruk ni rere
Ue amang doli o among e

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan

Boniaga sodapot lakku dope nasaonan
Beha maho doli tarloppo ho parsombaonan
Ue amang doli o amonge
(O Amonge)

Atik parsombaonan dapot dope da pinelle
Beha maho doli songon buruk-buruk ni rere
Ue amang doli o among e

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan (Paraul-aulan)

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan (Paraul-aulan)

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan

Mate maho amang doli
Mate di paralang-alangan da amang
Mate di paraul-aulan


Ada beberapa versi yang menyanyikan lagu ini. Salah satu yang paling populer adalah versi yang dinyanyikan Victor Hubarat. Buat Saya pribadi, suara Victor masih yang paling tepat menyanyikannya sejauh ini.

 


Kasih Tak Sampai

Seperti pernah diulas juga sebelumnya di blog ini, “Nahinali Bakkudu” ciptaan Nahum Situmorang ini adalah contoh lirik lagu yang susastra. Jenis lirik yang kita mau lebih banyak hadir dalam lagu-lagu Batak zaman sekarang.

Nahum menuliskannya untuk menggambarkan dirinya yang merana karena “kasih tak sampai”. Keinginannya ditampik oleh wanita pujaan hati. Konon wanita pujaan hati ini adalah “pariban”-nya sendiri.

Sebagaimana kita ketahui, “pariban” atau “boru ni tulang” (putri dari laki-laki saudara ibu kita) adalah sosok yang menempati prioritas nomor satu sebagai wanita untuk diajak menikah menurut kebiasaan orang Batak zaman itu (mungkin juga masih berlangsung hingga sekarang).

Itulah sebabnya sampai sekarang, jika seorang pemuda Batak mendekati dan berencana menikah dengan seorang perempuan yang bukan “pariban”-nya, orangtua akan memberikan penguatan dengan umpasa ini:

Hot pe jabu i,

tong do magulanggulang

Sian dia pe dialap boru i,

tong do i boru ni tulang.

Dalam resepsi perkawinan dan ritual adat istiadatnya pun hal ini terlihat secara visual, antara lain dengan mekanisme berbagi “jambar hata” dan “jambar juhut” antara keluarga pemilik pariban dan keluarga pemilik perempuan yang dinikahi pemuda tadi. Jadinya, kedua keluarga itu adalah sama-sama “tulang” bagi pemuda tadi. Demikian sehingga “umpasa” di atas terkesan sebagai hata togar-togar atau kata-kata penghiburan saja bagi keluarga si pariban. Secara khusus untuk menghibur hati si ibu, yang dianggap orang yang paling bahagia jika putranya menikahi putri saudaranya.

Menarik memang membahas “marpariban” ini. Mengapa sampai sekarang bahkan arranged marriage ini masih menjadi primadona bagi banyak orang Batak? Termasuk bagi orang Batak yang mengaku maju sekalipun, tak sedikit mereka yang berpendidikan tinggi dan sadar penuh kekurangan dari perkawinan dengan pariban, tapi dalam praktek sehari-hari tetap mendukungnya. Dari segi hereditas, misalnya, disadari bahwa anak hasil dari perkawinan marpariban ini lebih rentan.

Tapi nanti jadinya melebar kemana-mana. Untuk saat ini kita fokus ke pesan atau nilai (value) yang mau disampaikan Nahum dalam “Nahuli Bakkudu” saja dulu.

Dengan kesadaran akan fakta kebiasaan di atas, tentu kita bisa mafhum bagaimana Nahum merasa diri tak berarti, tersingkir dari kehidupan, bagai tikar usang yang lusuh. Hatinya membeku tak bergeming untuk wanita yang lain. Segalanya terasa tersia-sia. Saking ekstrem-nya, Nahum menerima situasi “patah hati (mate rongkap)” ini sehingga ia sendiri, si pencipta lagu ini, tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya.

Sampai disini, nuansa lagu menjadi murung. Terasa gelap benar jadinya. Berangkat dari kesan awal ini, pantas kita bertanya:

Pertama, apakah Nahinali Bakkudu melulu mewakili kemurungan dan kegalauan abadi seorang Nahum?

Kedua, ataukah justru lewat lirik ini secara tersirat ia ingin mengkritik kebiasaan masyarakat Batak zaman dulu yang memprimadonakan “kawin dengan pariban” sehingga jika seorang pemuda memilih wanita lain yang bukan paribannya jadi kurang didukung pihak keluarga?

Pertanyaan terakhir ini mungkin akan lebih kena dengan teman-teman Batak yang memutuskan tidak menikah hingga usia tua. Jumlah mereka cukup banyak dan sepertinya jumlah itu akan meningkat.

(Tren ini tidak baru sebetulnya, terutama di kota-kota besar. Di beberapa negara lain bahkan hal ini menjadi concern serius, misalnya di Korea Selatan dan Jepang, sampai-sampai pemerintah membuat program dan bantuan untuk mendorong para pemudanya menikah dan berketurunan).

Terbaca kesan sekilas: Kaum muda tidak begitu berminat lagi dengan perkawinan. 

Benarkah kesan ini? Mari kita selidiki, observasi langsung dengan lingkungan kita. Mungkin bisa dimulai dari skop terkecil, dari rumah sendiri, di lingkungan atau RT lalu ke masyarakat luas. Hasil observasi yang didukung statistik ini akan menjadi presentasi yang menarik.

Terlepas dari statistik, para “panglatu“ atau Panglima Lajang Tua” – label peyoratif yang disematkan untuk pria Batak yang memutuskan tidak menikah hingga lanjut usia – pasti menangis mendengar lagu ini. Pesannya kena dengan mereka. Bagi mereka yang besar dengan bahasa Batak sebagai bahasa sehari-hari, lagu ini lebih menyayat hati dibanding lagu “Kasih Tak Sampai” milik group band Padi, misalnya.

“Nahinali Bakkudu” adalah kidung ratapan mereka di tengah konstruksi budaya masyarakat Batak yang masih menganggap berketurunan sebagai sebuah keharusan. Membujang hingga akhir hayat adalah aib yang mesti dihindarkan. Secara jelas dan kejam, Nahum menulisnya:

” … mate ma ho amang doli, mate di paralang-alangan”

Dari dua pertanyaan di atas, mana yang hendak dijawab Nahum dengan Nahinali Bakkudu? Yang pertama atau yang kedua?

Kita tidak tahu.

Mungkin juga kita tidak akan pernah tahu sebab Nahum sendiri membawa apa maksud asli lagu ini hingga ke liang kuburnya.

Lirik Susastra dan Semiotika Ringkas

Lirik “Nahinali Bakkudu” (Nahinali bangkudu) di atas, jika kita amati, terdiri atas beberapa repetisi (pengulangan syair). Jika kita peras, maka lirik utamanya adalah sebagai berikut.

Na hinali bangkudu da sian bona ni bagot
Boha ma ho Doli songon boniaga so dapot
Ue, Amang Doli o Among e

Boniaga so dapot langku dope masa onan
Boha ma ho Doli tarlompoho parsombaonan
Ue Amang Doli o Among e

Atik parsombaonan dapot dope da pinele
Boha ma ho Doli songon buruk-buruk ni rere
Ue amang doli o Among e

(Refrain)
Mate ma ho Amang Doli
Mate diparalang-alangan da Amang
Mate di paraula-ulan

Ini terjemahan lepas dalam Bahasa Indonesia.

Sedangkan ulat terikat, dicari dari batang pohon enau.
Betapa dirimu pemuda, bagai dagangan yang tidak laku terjual
Wahai anak muda, oh pemuda

Dagangan yang tidak laku pun masih bisa terjual pada hari pasar berikut
Tetapi kau, anak muda seperti persembahan keramat (parsombaonan) yang harus dihindari
Wahai anak muda, oh pemuda

Sedangkan tempat keramat masih dapat dipuja
Tetapi engkau anak muda, seperti tikar usang, lusuh
Wahai anak muda, oh pemuda

Malangnya dirimu Pemuda
Mati sia-sia tak berguna, o anak muda
Hidup bagai orang yang mati…


Saya sendiri awalnya mengalami kesulitan memahami persis arti kata-kata dalam Nahinali Bakkudu ini. Penasaran, kutanya teman-teman lain bahkan ke orangtua. Hasilnya? Sama. Mereka juga mengaku tak mengerti benar arti dari beberapa diksi klasik Batak yang tak biasa dalam gubahan Nahum ini. Ya sudah, kuputuskan mencari sendiri.

Mari kita coba telisik beberapa diksi tak biasa yang dimaksud dan apa padanan artinya dalam bahasa Indonesia.

  1. na hinali: yang terikat
  2. bangkudu = heat, ulat yang nantinya jadi kumbang
  3. bona ni bagot: pohon enau
  4. boniaga: barang dagangan
  5. parsombaonan: persembahan untuk upacara sakral
  6. paralangalangan: nasib tak menentu, “mocok-mocok” (bahasa prokem Medan)
  7. paraulaulan: (sama dengan no. 6)

Bangkudu atau heat memang umumnya berhabitat hanya di bona ni bagot (pohon enau). Bentuknya mirip hirik atau jangkrik, berwarna kuning kehijauan. Kadang juga terdapat di pohon kelapa yang busuk. Bangkudu diambil untuk dimakan setelah direbus, digoreng atau dipanggang. Ukuran Bangkudu sebelum metamorfosa jadi kepompong dalam tanah adalah sebesar jempol. Ia diyakini obat yang sangat manjur untuk pemulihan sel-sel rusak dalam tubuh manusia.

(Masih belum terkonfimasi entah persis sama atau tidak, inilah makhluk yang dalam bahasa Karo disebut Kidu, dan bagi orang Karo masih menjadi lalapan favorit. Seorang teman medsos berkata bahwa di pasar Pancur Batu Medan setiap hari ada yang menjual kidu ini, selalu cepat habis sebelum jam 6 pagi karena banyak pembeli atau sudah dipesan terlebih dahulu).

Disinilah salah satu kelebihan Nahum: Ia seorang pembanding yang jenius. Ia mampu menciptakan komparasi (pembandingan) yang hebat berangkat dari benda atau makhluk yang sehari-hari sering dijumpai orang Batak pada zamannya, lalu tiba-tiba tanpa sadar kita dibawanya pada bahasan filosofis yang berat.  Komparasinya mulai dari hal sederhana (gradus positivus), naik ke analogi lain yang lebih dalam artinya (gradus comparativus), hingga berakhir pada makna puncak (gradus superlativus). Dan semua aspek itu dimasukkannya sembari tetap menjaga supaya lirik tetap kedengaran enak, antara lain dengan menjaga kaidah sajak.

Untuk memahaminya, Saya mengusulkan parafrase ini.

GRADUS POSITIVUS (NORMAL/COMMON)

Ulat enau, si lalapan favorit itu adalah dagangan yang laku dijual. Mengapa kau, seorang manusia, malah tidak laku-laku?

Sajak A-A: bagot - dapot

GRADUS COMPARATIVUS (COMPARATIVE)

Bahkan dagangan yang tak habis terjual hari ini, besoknya pada hari yang tepat (di pasar) ia akan laku juga. Mengapa kau, seorang manusia, malah seperti persembahan keramat saja, tidak laku-laku?

Sajak A-A: masa onan - parsombaonan

GRADUS SUPERLATIVUS (SUPERLATIVE)

Bahkan persembahan keramat pun – sekalipun jarang digunakan – tetap juga laku jual, ia dipakai orang pada acara pemujaan. Mengapa kau, seorang manusia, tidak laku-laku?

Sajak A-A: pinele - rere

Tak cukup sampai disana, ia mengambil analogi buruk lainnya (kembali ke hal-hal umum) dengan menyebut nasib pemuda tadi bagaikan “buruk-buruk ni rere“, yakni umbai tikar pandan yang sudah rusak, tentu tidak ada gunanya lagi selain untuk dijadikan sampah dan dibuang atau dibakar. Kurang lebih, “buruk-buruk ni rere” ini sama kandungannya dengan frase populer kekinian sekarang di tengah anak remaja, yakni “seperti remahan renggingang yang tercecer di jalan, tak dihiraukan orang, dianggap sepi, bahkan diinjak tanpa perasaan bersalah sedikitpun

Jleb! Ngeri sekali.

Kabar Baik dan Tugas Penting

Sebuah kabar gembira bagi pecinta lagu Nahum: Walaupun Nahum Situmorang (mungkin) gagal dalam percintaan, tetapi dia sukses merebut hati masyarakat Batak di bidang musik. Walaupun dia sudah lama meninggal tetapi namanya tetap harum sebagai legenda musik Batak.  “Nahinali Bakkudu” hanya satu dari sekian banyak karya hebatnya.

Jika pun Nahum tak bisa memenuhi sekaligus ketiga kriteria sukses orang Batak, yakni  Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan), dan Hasangapon (Kehormatan), tapi dia mendapat keberhasilan luar biasa pada aspek Hasangapon. Dia mati terhormat. Tak tanggung-tanggung, ia meninggalkan legacy berupa lagu-lagu indah dengan syair puitis.

Akan tetapi, sama seperti setiap kabar gembira, selalu ada tugas dan tanggungjawab di dalamnya. Jika untukmu lirik lagu Nahum bagus, apakah kebagusan itu juga bisa dirasakan oleh anak-anak remaja masa kini, yang berbahasa Batak saja tidak lagi mampu, konon pula memahami dan menikmati keindahan syair Nahum?

Ini pertanyaan yang bagus direnungkan.


Sebuah pertanyaan menohok lainnya yang juga kuusulkan menjadi tendens dari Nahinali Bakkudu:

Apakah generasi bona pasogit yang menyebut diri pecinta lagu Nahum juga siap menerima konsekusensi jika anak mereka total menempuh jalan hidup seperti yang dilakukan Nahum? Berkesenian sampai mati tanpa meninggalkan banyak harta serta tidak meninggalkan keturunan biologis? Soalnya ada yang menggelikan juga. Banyak orangtua senang melihat anak kecilnya menggemari musik, tetapi ketika sudah dewasa si anak justru dijauhkan dari totalitas dalam karir musik, malah diarahkan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih jelas uangnya, yang lebih mapan tampilan luarnya.


Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto

Lirik “Sai Tudia Ho Marhuta”

Sai tudia ho marpira, da anduhur nagundesan,
Sai tu dakka ni rantiti, marpusukhon hau mumbang.

Sai tudia ho marhuta, ale sidongan magodang,
Da tu luat sihadaoan, sai horas be ma hasian.

Ingot ma na tinadikkonmu,
Marsahali sabulan i,
Ingot gareja parpunguan,
Na di toru ni dolok i.

(Interlude)

Sai tudia ho marhuta, ale sidongan magodang,
Da tu luat sihadaoan, sai horas be ma hasian

Ingot ma na tinadikkonmu,
Marsahali sabulan i,
Ingot gareja parpunguan,
Na di toru ni dolok i.

 


Sumber: MusixMatch.Com