Seperti angsa yang ingin, terbang. Menari anggun bersama, alam. Berteman indah sisi kehijauan, rindang. Menampilkan cantik yang, mengagumkan. Tersentuh hati begitu, luluh. Menghayati sekitar ketinggian, itu.
Enggan rasanya menjauh, pergi. Dari suasana yang, mempesona ini. Hati menahan untuk tetap, diam. Tidak ingin melangkah, berpindah.
Jika aku adalah angsa yang, berdiri. Aku kian rapati bulu-bulu, lebarku. Ingin terus merasakan pesona, indah. Akan aku kepakkan sayapku, kelak. Disaat aku ingin terbang untuk, hinggap.
Kebebasan alam yang megah, tercipta. Untuk aku cinta sampai hari, tua. Tiada harus aku berduka, lalu kecewa. Dalam mencintai dan menyayangi, alam disini. Karena aku lebih akan merasa, puas. Akan terlepasnya aku dari garis, zona amanku.
Sungguhpun hasilku menangkap kalimat malam ini Dihalangi oleh barisan kata tidak Aku tetap maju dengan tegak Aku bukan pecundang yang bisa diusir pulang dengan gampang Aku adalah bagian dari kawanan yang sedang berburu Bukan pilu bukan rindu namun tumpahan kata dari udara beku
Perburuan yang melelahkan di lereng Ungaran Nafas sedikit tersedak karena dingin cukup menyentak Kalimat yang menyeruak adalah namamu yang akhirnya terkuak Aku eja terbata-bata karena lidahku selalu tersangkut kata cinta Aku berterimakasih meski gelap mulai meraba-raba
Ketika senyap mulai tersundut serabut kabut Pencarianku tak akan lagi luput Aku yakini itu dengan menulis namamu dengan paku Di meja panjang yang terbuat dari jati berusia sepuluh windu
Mimpi semalam jadikah wujud Saat bergegas bangun dengan binar di wajah Ah, manalah mungkin
Rupa asa samar bayang Kusam Dekil Terlindas roda kehidupan yang bersyarat Pun sisa hari esok terbenam dalam timbunan angan
Tangan tangan kecil bertubuh lekat debu jalanan Sanggupkah menggali tumpukkan realita Di waktu yang sebentar dan tak berdasar Atau mengais harap yang tercecer dari peliknya hidup
Biar luka darah tapak bernanah Manalah mungkin terwujud Biar terik matahari kuras peluh Manalah mungkin tergenggam
Molo martumba ho ito
di tonga ni alaman
boan ma salendang
asa dengan mangerbang erbang
Molo masihol ho ingot
ma au di parjalangan
asa di boto ho ito
holan tu ho do angan angan
Molo marsoban ho unang
buat tiang ni sopo
sega sega doi ito
muruk natua tua
Unang dirippu ho au na
lupa na mariboto
daong masa songoni ito
masihol do au tu ho
Unang sai marsak ho
diarsak di angan angan
unang sai tangis ho ito
ala ala pikiran
Ho do ale da hasian
holan ho do di pikiran
Pos ma roham ito pos maroham
huingot dope ho
Pos ma roham ito pos maroham
malungun do au tu ho
“Nus, kok aku baca di timeline-nya temen2, nih pada ribut ngomongin soal Ibu? “, tanya Wongso.
“Ya iyalah. Yang mau dicari kan bukan sembarang Ibu, Wongso”, jawab Nusa sekenanya.
“Maksudnya?”, selidik Wongso.
“Dulu kita punya Ibu yang ramah bagi semua. Namanya Gaia. Tapi lalu anak-anaknya mau misah, mau cari Ibu-nya sendiri2. Ada yang milih London buat jadi Ibu. Ada lagi yang milih Moskwa, Washington, Sydney, Beijing, Seoul. Nah, dulu … waktu itu berhubung Ibu kita rambutnya pirang dan keringatnya masih bau bawang putih, namanya Batavia. Sekarang dibaptis jadi Jakarta. Ini kayaknya kita bakal dapet Ibu baru lagi”, jelas Nusa.
“Itu kokemak-emak namanya aneh-aneh. Kok bukan Endang, Markonah, Tumiyem, atau Tiurma gitu?”, tanya Wongso masih penasaran.
“Yo suka-suka kita donk. Termasuk Ibu kita yang sekarang. Denger-denger sih, Ibu kita yang sekarang, Bu Jakarta itu nggak ramah lagi, nggakngemong lagi. Anaknya yang baik saja, si Ahok, dikurungnya. Entah salah apa dia. Makanya kita mau ganti Ibu ajalah”, timpal Nusa.
“Terus, nanti Ibu kita apa?”, susul Wongso.
“Gue sih maunya Ibu RIS aja. Cumannggakdibolehin sama Eyang Pancasila. Palingan gue ikut sama temen-temen lain aja: Palangkaraya”, ucap Nusa dengan mimik terharu biru, entah mengapa.
“Terus… Nanti Ibu baru kita si Palangkaraya itu ramah nggak?”, cecar Wongso.
“Ya tergantung. Kalau kita anak-anaknya baik, Ibu bakal ramah dan ngemong. Cuman kalau kita nakal berjamaah, ya paling kita digimbali terus dibalbali“, jelas Nusa sambil seruput kopi Khok Thong-nya yang baru saja diseduhnya.
Begitulah Diskusi singkat Nusa dan Bangsa (eh… Wongso) mencari Ibu baru.
Wizards stuck when being told to solve problems in Indonesia