Ricardo Semler: Mengelola tanpa Mengatur-atur

Ricardo – Belajar Berhenti

Setiap Senin dan Kamis, Ricardo belajar cara untuk mati. Dia menyebutnya hari perhentian. Sang istri, Fernanda, tidak suka dengan istilah itu, tapi banyak garis keluarganya yang meninggal karena kanker melanoma, termasuk orangtua dan kakeknya juga.

Ricardo mulai berfikir, suatu hari dia akan duduk di hadapan seorang dokter yang melihat hasil pemeriksaan atas dirinya dan berkata: “Ricardo, situasinya mulai buruk. Kemungkinan kamu hanya akan bertahan enam bulan, paling lama satu tahun lagi”

Kalau kamu berada dalam situasi serupa, apa yang akan kamu lakukan? Mungkin kamu akan berkata, “Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Aku akan bepergian ke beberapa tempat, mendaki gunung. Pokoknya aku mau melakukan hal yang dulu ingin kulakukan tapi tak pernah kesampaian karena tak punya waktu”

Apapun itu, ini akan menjadi kenangan suka-duka. Sulit melakukannya. Barangkali kamu akan menghabiskan banyak waktu dengan menangis.

Ricardo memutuskan melakukan sesuatu yang lain.

Jadi, setiap Senin dan Kamis tadi, Ricardo benar-benar menggunakan hari perhentian tadi. Apa yang dilakukannya? Dia akan melakukan apapun seakan-akan dia telah mendapat kabar buruk tadi.

Idleness

Kebanyakan kita menganggap bahwa lawan kata dari “bekerja” adalah “waktu luang”. Sering kita berkata: “aku terlalu lelah bekerja sekian lama ini, aku butuh waktu luang”. Masalahnya, waktu luang pun ternyata adalah hari yang sangat sibuk. Kita berolahraga, bertemu dengan teman, nongkrong, pergi makan atau nonton bioskop. Waktu luang menjadi hari yang penuh dengan orang, orang dan orang lagi.

Lawan kata dari bekerja adalah tak berbuat apa-apa (idleness). Tapi, masalah muncul lagi. Kebanyakan kita tidak tahu mau ngapain dengan idleness.

Jika kita lakukan kilas balik atas perjalanan hidup selama ini secara umum, kita akan menyadari bahwa ketika kita punya banyak uang, waktu sedikit. Ketika akhirnya punya waktu, kita tak punya uang lagi atau kesehatan tidak memungkinkan lagi.

Manajemen di SEMCO Partners

Hal inilah yang menjadi pertimbangan Ricardo dan rekan kerjanya sebagai sebuah perusahaan selama tiga puluh tahun terakhir ini. Sebagai gambaran, perusahaan yang dikelolanya cukup kompleks dengan ribuan karyawan, aset ratusan juta dolar untuk merancang berbagai sistem bahan bakar roket, 4000-an ATM di seluruh Brazil dan melakukan pendampingan pajak untuk ribuan perusahaan.

Apa yang mereka lakukan?

Pelan-pelan mereka membebaskan para karyawannya dari berbagai aturan yang mirip asrama. Aturan seperti dimana harus menandai diri ketika hadir, begini cara berpakaian, ini etiket yang harus dilakukan dalam rapat, ini yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Lalu melihat seperti apa hasilnya.

Mereka sudah mulai melakukan hal ini 30 tahun yang lalu. Termasuk ketika berurusan dengan sebuah isu pensiun. Merujuk ke soal grafik hidup tadi, daripada menunggu akhirnya baru kesampaian mendaki gunung pada usia 82 tahun, bagaimana kalau si karyawan melakukannya minggu depan? Bagaimana mereka melakukannya.

Program pun dibuat. Mereka akan memberikan si karyawan libur setiap hari Rabu dengan potongan 10% dari gajinya. Hal yang sama berlaku untuk karyawan yang selama ini hendak mengasah kemampuan bermain biola tapi tak sempat karena harus bekerja sepanjang minggu. Mereka pun jadinya bisa melakukannya  setiap hari Rabu.

Menarik menyimak apa yang Ricardo dan rekan-rekannya temukan selanjutnya.

Para karyawan yang tertarik dengan program ini berusia rata-rata 29 tahun.

Mereka mulai mengevaluasi kembali beberapa hal, termasuk menanyakan ulang alasan awal mengapa pihak manajemen ingin mengetahui jam berapa karyawan hadir di kantor, jam berapa pulang dan lain-lain.

Apa tidak ada cara lain untuk mengganti rutinitas ini dengan semacam kontrak untuk membeli sesuatu dari para karyawan, barangkali berupa kerjaan? Untuk apa sebenarnya gedung kantor pusat yang megah dibangun? Apakah hanya supaya terlihat solid, besar, gagah? Dan begitupun, para karyawan harus melewati dua jam macet setiap harinya?

Satu persatu pertanyaan diajukan.

Pertama, bagaimana caranya mendapat karyawan?

Caranya ialah dengan menjelaskan kepada pelamar– ketika merekrut: “Jadi gini, ketika kamu melamar ke perusahaan ini, dua atau tiga kali interview tidak akan cukup untuk membuatmu mengikatkan diri ke kami seperti layaknya kamu memilih pengantin untuk menikah dan mengikatkan diri padanya. Bukan begitu caranya. Jadi, datanglah untuk interview dan mari kita lihat seperti apa intuisi yang muncul pada dirimu setelahnya. Bukan malah mengandalkan item pada formulir lamaran bahwa kamu orang yang tepat untuk posisi yang kamu lamar. Lalu, datanglah lagi. Habiskanlah setengah hari, atau satu hari untuk berbicara dengan siapapun yang kamu ingin ajak berbicara. Pastikan bahwa kami benar-benar pengantin yang kamu lamar, bukan omong-kosong yang kamu lihat di papan reklame.”

Perlahan manajemen memasuki proses dimana mereka tidak ingin seorangpun menjadi leader di perusahaan jika mereka belum diwawancarai dan disetujui oleh calon bawahannya. Setiap enam bulan, setiap karyawan dievaluasi secara anonim, sebagai leader.  Jadi, kalau mereka misalnya tidak mencapai nilai 70 atau 80, posisi mereka akan berganti.

Selanjutnya, mengapa karyawan tidak bisa menentukan sendiri gaji yang akan mereka terima? Untuk itu, mereka harus tahu 3 (tiga) hal pokok tentang penggajian:

  • Berapa pemasukan yang karyawan hasilkan bagi perusahaan
  • Berapa pemasukan yang disumbangkan karyawan di perusahaan lain di bisnis sejenis
  • Berapa total pemasukan yang dihasilkan perusahaan

Jadi, manajemen membagikan ketiga informasi ini. Di kantin, ada komputer yang bisa digunakan setiap karyawan untuk mengetahui informasi perihal pengeluaran, pemasukan, keuntungan yang dihasilkan, keuntungan yang perusahan hasilkan, margin, dan lain-lain. Hal ini sudah berlangsung selama 25 tahun.

Nah, begitu informasi ini sampai ke karyawan, pihak manajemen tidak perlu melihat laporan pengeluaran karyawan, berapa hari libur yang diambil, atau di unit mana yang bersangkutan bekerja. Begitulah situasinya. Dengan 14 unit kantor, 5000 (lima ribu) karyawan, perusahaan hanya punya 2 orang di bagian HRD. Bahkan, tetap cukup meski salah satunya sudah pensiun. Jadi, tinggal satu orang.

Era Kebijaksanaan

Maka, pertanyaan yang pantas diajukan adalah: bagaimana caranya perduli terhadap manusia? Inti dari perusahaan adalah orang, tenaga kerjanya. Tak ada departemen yang bisa terus mengurusi dan menjaga para karyawan. Sebenarnya, inilah yang dipikirkan Ricardo selama Hari Perhentian-nya: bagaimana caranya membuat kebijaksanaan (wisdom), bukan sekedar kebijakan (policy).

Kita telah melalui zaman revolusi, revolusi industri, era informasi, era pengetahuan, tetapi belum sampai ke era kebijaksanaan. Contoh sederhana: sebuah keputusan cerdas yang tidak salah:

Tugasmu sebagai karyawan adalah menjual item X sebanyak 57 unit per minggu. Jadi, kalau kau sudah menjualnya pada hari Rabu, sesudahnya pergilah berlibur ke pantai. Jangan bikin masalah buat perusahaan, buat bagian manufaktur, buat unit developer aplikasi, karena kemudian manajemen harus membeli perusahaan baru, membeli perusahaan kompetitor, dan lain-lain karena kamu menjual terlalu banyak, lebih banyak dari yang ditargetkan. Jadi, pergilah mandi di pantai. Hari Senin, kembali lagi untuk bekerja.

Proses yang dilalui ialah pencarian kebijaksanaan. Selama proses berlangsung, manajemen memberitahukan apapun yang pantas diketahui karyawan.


Kira-kira itu yang bisa Saya tangkap dari penjelasan Ricardo Semler, CEO SEMCO Partners di TED Talk.

Rangrang ni Namarsiamianaminan

Jotjot do tabege didok akka natua-tua, sai marsiamin-aminan ma hamu songon lappak ni gaol i. Ndada holan i, diboanhon do tong i di bagasan piga-piga andung manang logu. Ra alani jotjotna gabe olo do tar hira moru pangantusionta disi. Hape, apala “marsiamin-aminan” on ma sada habisuhon jala hasomalan na ingkon sitiopon jala torushononta nian, unang mago sian hita bangso Batak.

Jempek do rangrang na sinurat ni amanta Palambok Pusu-pusu on, alai mangarongkom lapatanni hata “marsiamin-aminan”. Ninna boti:

Boasa Maol Pasohon Na Marisap On

Molo laho hita mardalani rupani sian Medan manang sian Kualanamu tu huta na humaliang Tao Toba, lam takkas ma tarida mansai maol situtu do akka ianakkon ni bangso i malua sian hasomalon na hurang denggan, i ma marisap (mangisap sigaret). Tarlumobi ma i marisap di loloan.

Taparrohahon ma godang ni akka iklan ni sigaret, adong do di ganup huta, jala dang pola godang na situtu mamparrohaon boha do mandongani akka ianakkon ni parhuta i, tarlumbi ma dakdanak asa manat nasida mamaillit dia do na ikkon sibaheonon, jala dia do na ikkon sipadaoon.

Inna iklan ni GG Mild mandok “Break the limit” (Lapatanna: Baen ma sahat tu parsudana)

Didok A Mild pareme-ramehon: “Go ahead” (Lapatanna: Baen, torushon!!!)

Boi dohonon, songon na nienet sian Mumbrella, molo tabandinghon godang ni iklan sigaret on dohot na asing, ndada palobi-lobihon molo didok marbanding 50:1. Ra adong do deba iklan ni bir Bintang manang gombar ni partai politik manambai.

Leakna panghirimon na patut sitioponta dohot gomos asa unang dohot angka dakdanakta on marisap i ma molo tapadao akka iklan sisongon on.
Bereng hamu ma muse didok Surya: “Rise and shine” (Lapatanna: Nangkok ma ho jala marsinondang)

Ia na tinodo ni iklan on i ma sude akka parisap di bangsonta Indonesia, hurang lobi adong ma i 57 juta halak. Lapatanna, dua partolu sian akka baoa ni Indonesia, marisap do sude.

Mura dope hita mangihuthon slogan ni Nike i “Just Do It” (Lapatanna: Baen ma, toe!).

On muse do na unjebu. Inna Dunhill: “Taste the power” (Lapatanna: Daionmu do hagogoon i)

Lusi dan followers berbagi hikmah dari COVID-19

Lusi, seorang Freethinker Indonesia, yang mengatakan bahwa Indonesia sedang kehilangan identitasnya, diganti dengan kultur barbar Timur Tengah, punya akun Twitter. Di situ Lusi menyebut bahwa pelajaran yang bisa dia petik dari COVID-19 ini ialah:

Banyak orang pintar, tapi tidak banyak orang yang peduli

 

Tak lama,muncul berbagai respon lain dari para follower-nya.

(Demi prinsip anonimitas, hanya respon saja yang akan dimuat dengan pengubahsuaian bahasa. Masing-masing akun responder sengaja tidak dipublikasi).

Berikut berbagai respon yang receh dan serius yang pantas diperhatikan.

Pertama, tentang media massa yang salah mengutip dari nasarumber, lalu berita yang dimuat akhirnya menimbulkan kisruh.Kedua,

Masih klise: banyak yang mencatut penderitaan sesama, beli beras untuk disumbangkan sebanyak 50 ton, minta ditulis kuitansinya 100 ton.

Berikutnya …

  • Sesungguhnya ibadah bisa dilakukan dimana saja, tanpa harus pamer dan selfie di tempat ibadah.
  • A: Alam sedang bersih-bersih maka biarkan. B: Awas tersapu
  • Pentingnya nabung, dan sedikit cicilan
  • Ngurus Indonesia yang terdiri dari beribu pulau itu rumit alias rundut.
  • Pentingnya jaminan penghasilan dasar (sekurangnya penghasilan darurat)
  • Bahwa menjadi berkecukupan adalah kunci
  • A: Pentingnya kembali ke alam. B: Emangnya selama ini di akherat, Mas? A: Lagi merasa di alam kubur
  • Tetangge ane bilang ini ujian dari Allah supaya manusia ingat penciptanya. Begitu, Kakak. Ternyata, Covid-19 ini bukan ujian dari Allah. (Memang bukan. Itu virus. Bukan ujian. Soal tetanggamu, memangnya selama ini dia tidak mengingat penciptanya? Kayaknya malah overdosis mikirin penciptanya. Sesekali mikirin teori relativitas, gitu)
  • Perlunya banyak duit. Kalau disuruh #StayAtHome gak bingung mau makan apa, bagaimana bayar ini itu, dan bisa santuy.
  • Sebenarnya masyarakat itu nggak penting-penting banget kalau nggak pas tahun politik.
  • Potret garong menunjukkan perangai original.
  • Priyayi di negara kita benar benar percaya bahwa bukan saja kebal hukum, tapi mereka juga kebal virus
  • Rasa peduli timbul karena adanya empati. Bisa kita perhatikan, biasanya orang-orang yang berkoar-koar dan bergaya suci (sebatas di mulut) namun tidak mempunyai empati. Bila kita buka mata, akan kita temukan orang-orang itu di sekitar kita. Contoh: Pemuka agama yang kaya-raya hasil jual ayat namun kikir, senyap tak terdengar kiprahnya dalam meringankan beban masyarakat sekitarnya.
  • Bisa lihat mana yang teman sebenarnya
  • Semakin banyak yang nggak takut mati
  • Belajar nerima bahwa masih banyak (banget) pejabat daerah yang egois.
  • Kita belajar bahwa komunikasi yang tidak baik tak akan bisa menyelesaikan masalah dengan masalah
  • Ada orang yang memikirkan orang banyak. Ada yang sangat-sangat egois
  • Setidaknya jadi banyak yang hafal doa qunut
  • Dunia ini tidak adil. Jadi, biasakan dirimu.
  • Banyak orang peduli, tapi lebih banyak lagi yang nggak peduli.
  • Orang bego tuh nggak takut mati
  • Orang pintar banyak tapi orang yang bego jauh lebih banyak!

Kalau menurut kamu, gimana?

 

Kongruensi Kecoa

Kapan terakhir kali kamu merasa dikucilkan dan dituduh “grammar nazi” karena mengomentari kesalahan ketik atau tata bahasa di group chatting? Anehnya lagi, tak ada satupun orang lain yang risih dengan situasi itu, cuma kamu. “Ada yang nggak beres nih”, pikirmu.

Atau merasa aneh sebab berbagai kesalahan ketik atau ejaan dipampang jelas-jelas di depan toko?

Atau berbagai kesalahan cetak lainnya.

Belum lagi kamu lagi enak-enak menikmati hidangan yang terasa lezat di sebuah rumah makan dengan lantai yang kelihatan bersih, tetapi lalu terganggu karena ternyata ada kecoak yang tiba-tiba melintas di bawah meja, entah datang dari mana? Kemudian kamu mulai khawatir bukan saja bahwa karena lantainya tidak benar-benar bersih, tapi standar higiene seperti apa yang diterapkan mereka kok segitu buruk.


Begitulah otak kita bekerja. Awalnya otak menangkap gambar atau teks pada persepsi awal, lalu kemudian mencari data tambahan yang mendukung atau melawan persepsi awal tadi. Maka, begitu ada hasil pengamatan yang inkongruen dengan pengamatan awal, tak soal sekecil atau sepele apapun, ini bisa mengubah keseluruhan persepsi.

Oleh Paul Rulkens, fenomena ini dikenal sebagai Kongruensi Kecoa (the cockroach congruency). Penjelasannya begini. Tidak mungkin ada seekor kecoa saja di suatu tempat. Pasti ada teman-teman, kalau bukan malah gerombolannya ngumpet entah dimana. Lanjutannya: jika kamu memperhatikan satu hal saja salah, kamu akan berfikir bahwa ada hal lain juga yang salah. Inilah sebabnya kasus fraud di sebuah korporasi sangat jarang sekali hanya melibatkan satu individu di perusahaan itu, tetapi biasanya menyangkut sebuah kultur yang penuh penipuan diantara berbagai pelaku.

Karena kita tidak selalu mawas terhadap petanda atau penanda yang inkongruen, selalu baik jika kita mengundang pihak luar untuk secara rutin menyampaikan pandangan mereka terhadap organisasi kita, entah itu instansi negara, tempat kerja, keluarga, sekolah atau sekedar klub sehobi.  Mengapa demikian? Karena untuk melihat “kecoa”-nya, kerap kita membutuhkan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda dengan yang kita lakukan selama ini.

Menurutku, jika era media sosial memang kita maksudkan untuk menambah literasi, kita butuh orang lain untuk menemukan kecoa-kecoa yang selama ini luput dari perhatian kita.

Tentu, masalah belum selesai. Di tengah hiruk-pikuk media massa, situasi bisa sangat berbeda: terlalu banyak media yang tanpa malu menunjukkan kecoa-kecoa mereka. Lalu, media mana yang harus dipercayai?

 

Sudah 17 Tahun, Tetapi Apa-apa Masih Minta ke Orangtua?

Spoiled Broke Dude

Satu alasan besar kenapa kamu belum bisa melakukan apa yang kamu mau itu karena: Kamu masih berada di dalam payroll orangtua. Kamu masih digaji mereka: jajan juga minta mereka, beli motor minta mereka, cicil rumah bayar KPR/DP pun dari mereka. You are just a spoiled-broke dude.

Berikut adalah sebuah panduan mandiri dari founder Damogo untuk terlepas dari payroll orangtua.

Dia sendiri mulai lepas dari payroll orangtua umur 19 tahun. Bener-bener lepas dua tahun setelahnya di umur 21 tahun. Biaya makan, hidup, jajan sampai sekolah tidak minta. Saat ini stabil mempunyai pemasukan sendiri dari beberapa sumber pendapatan. Aktif ada, pasif ada. Baginya, uang menjadi sesuatu yang tidak pernah diajarkan di lingkungan keluarganya sehingga ia harus belajar dari nol. Dari belajar cashflow, saham, aset, liabilitas, sampai investing. And now he loves it. He does pray money. 

Tak berhenti hanya pada diri sendiri, saat ini dia mampu menggaji 12 orang sebagai tim. 6 di Korea, 6 di Indonesia. Not bad right for a 25 year old dude?

Nah, saat ini beliau mau diskusi tentang masalah uang. Topik yang sering dianggap tabu oleh kebanyakan orang Jawa, latar belakang keluarganya. Selanjutnya adalah penuturan beliau (dengan parafrase dari Saya sendiri pada bagian tertentu).

Mengapa Tidak Ingin Kaya

Siapa yang mempunyai pendapat bahwa uang itu sesuatu yang buruk? Atau menjadi kaya itu tidak perlu? Atau fokus: Kaya akherat saja. Gak usah kaya dunia.

Satu pesan buat kamu: Kamu goblok. Sangat goblok. Dan payah.

Uang pada dasarnya kayak pasangan kamu. Kalau kamu ga ada niatan cari, ya ga bakal dapet. They will be jealous and fly away from you.

Berikut beberapa alasan mengapa menjadi kaya sering kamu anggap sebagai sesuatu yang buruk.

Pertama, kamu mencampuradukkan menjadi kaya dan sifat-sifat buruk perilaku terhadap uang: korupsi, menipu, merampok, mencuri sampai berjudi.

Kedua, tidak ada orang kaya di lingkungan keluargamu. Karenanya, boro-boro semangat, niatan pun tidak ada.

Ketiga, kamu berada di lingkungan konservatif yang mau kamu biasa-biasa saja. Tak perlu berkembang.

Keempat, kamu kumpul sama orang-orang miskin tukang mengeluh. Tidak pernah bayar pajak, sedikit-sedikit edgy lansung bikin penggalangan dana.

Merasa tersinggung? Bagus. Teruskan membaca.

Mengapa Harus Lepas dari Payroll Orantua Sedini Mungkin?

Alasannya tidak akan cukup untuk saya taruh di halaman ini, tapi secara ringkas ada 3 alasan besar:

Pertama, It gives you freedom. Memiliki uang dan sanggup membiayai diri sendiri itu beri kamu kebebasan. Suka beli makeup? Monggo. Suka baca komik? Silahkan beli. Suka koleksi motor? Silahkan, bisa beli pake uang sendiri.

Kedua, Teaching you how to manage and behave. Lu akan dites ketika punya uang kuat ga untuk manage. Kalo ga, kemungkinan besar uang yang kamu punya ga akan bertambah.

Ketiga, Stimuli buat kamu. Uang itu stimuli, kalau kamu orang baik dikasih uang akan menjadi an angel. Ketika kamu brengsek dikasih uang ya makin brengsek.

Money is a scoreboard where you can rank how you’re doing against other people (Mark Cuban)

F.U. Money

Dan Lok, seorang corporate Finance Consultant dalam bukunya “F.U. Money” memberikan 6 tips untuk manage uang dan bisa berfikir cerdas tentang uang:

      1. Would you rather be quick or slow? Why neither both.
        Money isn’t equal speed. Ga ada yang namanya peribahasa get rich slow, or get rich quick. You control your own money speed. Daripada milih salah satu antara slow atau quick, highlight on habit. You can’t be a millionaire with $50,000 a year habits.
      2. Be creative on making money. Kalau menjadi kaya itu equal hard-work, kenapa hard-labor people didn’t accumulate those money yet?
        Reason: there are thousand ways to make money, you just need to be creative. Misal: jual barang kamu di rumah yang ga sering terpake, jual subscription atas produk kamu, bagi jasa ke orang lain, dan lain-lain.
      3. Nothing will be totally perfect as you wish. Jump inDon’t wait until everything is just right because it will never be perfect. Daripada berfikir: “think-think-analisa-eksekusi”, (kelamaan!), mending: think-eksekusi-think-eksekusi. Ideas are cheap, execution is extremely expensive.
      4. If your life stinks, it’s your own damn fault. Kalau sekarang, saat ini kamu ga punya uang dikira itu salah perusahaan? Salah orang lain? No. Itu salah kamu. Kenapa nggak nyiapin emergency fund? Kenapa dulu ngeyel ketika diminta investasi? Be financially responsible.
      5. Breath your project or whatever fucks you dreamed of. Dream to be an author? Yaudah, mulai nulis. Dream to do that business? Ya sudah, mulai tulis business plan. If you set a goal now and see a path of how you’re gonna achieve it, by definition the goal is too small. Set a money goal that makes you nervous and excited at the same time.
      6. Choose your F.U. Money friends wiselyThing is when you aim to be rich. People will starts rejecting you. Dari orangtua sampai saudara, mereka akan bilang: “Udah deh ga mungkin” Cara jawabnya: Diem aja. Remember their name and faces well and let them know that one day, one day you will be rich and won’t include them at your banquet party.

Saya sendiri tersinggung membaca tulisan ini. Lalu saya pikir, mungkin ada juga orang lain tersinggung seperti Saya. Jadi, aku post saja.

Sumber: Instagram

 

Pelajaran Penting dari COVID-19

 

Selama hampir satu semester (hingga saat artikel ini Saya tulis), ritme hidup berubah drastis. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama rumah, tempat kerja dan sekolah kamu. Penyebaran virus Corona ini tidak saja epidemik, tetapi juga pandemi global. Dimana-mana orang diminta (mulai dari dihimbau hingga dipaksa) untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan untuk mengurangi resiko penularan.

Virus Corona telah membawa sekian banyak hal buruk, penyakit dan kematian, tetapi jika kita mampu menyikapinya dengan lebih arif, kita bisa menemukan beberapa pelajaran penting.

Kerap kamu harus bersedia mengorbankan sebagian kebebasan dan hak personalmu demi kebaikan publik yang lebih besar.

Bagi kebanyakan orang, #TetapDiRumah saja itu susah bukan main. Kita mengeluh bosan, tak bergairah, seperti tanpa tujuan alias gabut. Beberapa orang merasa kesal bahwa karantina kesehatan atau pembatasan sosial ini melanggar hak-hak individual, seperti berkumpul, nongkrong, nge-mall, belanja barang sebanyak uang yang dipunyai dan lain-lain. Baca saja berita tentang ekses dari kekesalan dan ke-ngenyel-an dari orang-orang yang tetap melanggar peraturan dan himbauan dari pemerintah untuk tetap diam di rumah.

Meskipun demikian, demi kebaikan yang lebih besar, kamu dan aku mesti bersedia sedikit berkorban. Keseimbangan antara hak-hak individual dan kemaslahatan umum terus berubah sesuai perkembangan zaman dan situasi dunia. Demi kebaikan publik, berkorbanlah sedikit.

Entah ada virus atau tidak, cuci tangan itu baik.

Kesehatan secara umum itu penting, tidak hanya karena ada virus. Basahi tanganmu, usapkan sabun, kucek-kucek selama kurang-lebih 20 detik. Bilas lalu keringkan dengan menggunakan handuk atau sapu tangan yang bersih. Gunakanlah sabun sebagimana mestinya. Mulai sekarang, jangan lupa: sabun itu efektif membunuh virus.

Beraktifitas dari rumah mestinya bisa menjadi pilihan

Selama pandemi ini, kita terpaksa bekerja atau belajar dari rumah. Begitu virus ini selesai, barangkali kita bisa mengusulkan (atau jika Anda berada pada hirarki atas: mendiskusikan) kemungkinan untuk bekerja atau belajar dari rumah jika dianggap perlu dan penting. Memang tidak semua, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.

Izin tidak hadir karena sakit itu penting

Jika kamu merasa sakit (sakit beneran ya, bukan yang dibuat-buat apalagi dengan surat keterangan buat-buatan itu), tetaplah berada di rumah. Banyak orang merasa bahwa lingkungan kerja atau sekolahnya tidak akan memahami izin tidak hadir karena sakit.  Banyak orang yang ingin tampil seakan-akan dia martir, “Lihatlah, meski aku sakit, aku tetap datang ke tempat kerja”. “Aku, walaupun sakit, tetap kupaksakan hadir di kelas. Kurang apa lagi aku sebagai murid, coba?”

Mentalitas semacam ini harus dihentikan. Jika kamu sakit, tetaplah di rumah. Jika sakitmu tak berangsur pulih, berobatlah segera.

Hak mengakses internet sebaiknya menjadi kebutuhan dasar

Hak untuk mengakses internet (dikenal sebagai  the right to broadband) sebaiknya dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai hak asasi manusia. Terutama di negara berkembang seperti kita, tidak bisanya kita online membuat kita kesulitan untuk mengenal dunia secara global. Ini membentuk dan membatasi kesempatan kita untuk berkembang. (Misalnya, jika kamu tidak memiliki akses interet, tentu kamu tidak akan membaca tulisan ini). Sebagai tambahan, selama masa seperti ini, menghubungi keluarga, teman dan rekan kerja itu penting. Sejauh ini, internet adalah cara dan alat yang dapat kita andalkan secara maksimal.

Tenaga kesehatan dan para peneliti layak mendapat apresiasi yang lebih baik

Ketika kita berada dalam situasi yang sangat mencekam ini, para tenaga medis dan peneliti (researchers)-lah yang akan membantu kita melewatinya. Mereka bekerja siang malam untuk menemukan metode penyembuhan dan pemulihan atas seluruh umat manusia di dunia ini. Saat kita bergunjing ria tentang teori konspirasi elite wewe gombel atau heboh dengan berita berisi distrust terhadap aturan dan pola komunikasi pemerintah, ratusan saintis bekerja keras mencari cara untuk membasmi virus ini. Seperti halnya kita fanatik dengan atlit, aktor/aktris, pemuka agama, politisi, influencer, seniman, Youtuber atau Selebgram, saatnya kita mengevaluasi kembali apakah apresiasi yang kita berikan terhadap para tenaga medis dan saintis selama ini sudah layak. Kemungkinan terbaiknya: mereka layak mendapatkan apresiasi yang lebih dari yang selama ini mereka dapatkan. Jika itu masih absurd, maksudnya ialah, mereka pantas mendapatkan upah yang lebih besar.

Sayangnya, banyak tenaga medis yang kesal karena praktek di lapangan menunjukkan banyaknya pelanggaran terhadap protokol kesehatan, tentu dengan sebab yang beragam. Sampai muncul kekecewaan sebagian orang: “Indonesia terserah“. Tenaga ilmuwan Indonesia pun merasa kecewa karena tak cukup dilibatkan untuk menangani virus Corona ini.

Memasak itu penting

#TetapDiRumah telah memaksa banyak orang untuk belajar, mengulang kembali, atau menyalakan lagi semangat untuk memasak. Belajar memasak adalah salah satu keahlian yang sangat penting untuk dimiliki seseorang.Memasak berarti kamu bergantung pada dirimu sendiri. Tak selamanya kamu punya uang yang cukup untuk memesan makanan dari luar. Jikapun uangmu cukup, tak selalu kurir bisa dan mau mengantarkannya untukmu. Lihatlah betapa meriahnya kemewahan yang dibagikan orang lewat media sosial akhir-akhir ini: semua mengepos masakan mereka yang lezat. Mereka menemukan kembali kejaiban dari aktifitas makan-memakan ini. Termasuk mengetahui persis apa saja bahan yang terkandung pada makananmu lalu merasakan sebuah sensasi reward ketika akhirnya kamu bisa memasak makanan untukmu sendiri dan keluarga.

Menyapa teman setiap hari

Tetap di rumah dan tidak bisa keluar menyadarkan kita bahwa cara terbaik untuk mengatasi kebosanan dan mengusir kesepian adalah dengan menyapa teman dann keluarga, lewat chatting atau panggilan video. Jika sebelumnya percakapanmu hanya basa-basi, ini saat yang tepat untuk berbicara secara lebih medalam. Selama masa krusial seperti ini, koneksi yang manusiawi antarmanusia adalah kunci. Telefonlah!

Begitu virus ini selesai, hargailah pentingnya janji ketemu yang sudah kamu buat dengan teman atau keluarga. Jangan lagi ada kisah rencana bukber yang tak kunjung jadi hingga lebaran usai. Jangan lagi ngeles “OTW” ketika teman-temanmu sudah menunggu, padahal kamu baru saja beranjak dari rebahan di kasur menuju kamar mandi.

Menghargai alam

Ketika kamu keluar rumah tapi tetap menjauhi kerumunan, kemungkinan besar kamu rute yang kamu tempuh ialah padang yang luas, kebun atau hutan dekat kota tinggalmu. Sembari berjalan menyusuri area yang mungkin saja sudah pernah kamu jalani, kali ini kamu mengamati secara lebih seksama. Kamu mulai menemukan keindahan alam. Tentu saja, tetap hindari menyentuh wajahmu. Kamu tidak pernah tahu ada jejak carrier Corona sebelumnya disana.

Menikmati kesendirian

Meski kedengarannya mudah, ternyata bagi kebanyakan kita berdiam diri dan tetap tenang itu luar biasa susahnya. Terutama bagi kaum ekstrovert (baik yang mengaku ekstrovert maupun mengaku introvert), sendiri itu melelahkan dan kesepian. Itu sebabnya social distancing (pembatasan sosial) menjadi tantangan tersendiri. Ini momen yang tepat untuk lebih kenal dekat dengan diri sendiri. Kamu bisa belajar untuk menyibukkan diri. Karena sekedar menonton serial film secara maraton atau bermain game seharian tidak lagi cukup, kamu dituntut untuk melakukan hal lain. Terimalah. Tubuh dan pikiranmu sekarang berada di rumah dan kamu harus belajar menikmati dan mencintai situasi itu.

Mulailah menulis kembali. Belajar lagi meditasi. Ulang kembali tarian Salsa yang dulu sempat kau gemari tapi tak tuntas. Ulik lagi lagu-lagu yang sejak dulu kamu penasaran bagaimana cara memainkannya. Atau, cintai tubuhmu dengan menyediakan waktu tidur yang cukup sebagai ganti dari masa begadangmu dulu.

Itulah beberapa pelajaran penting secara umum yang bisa kita ambil dari pandemi global COVID-19 ini. Mana pelajaran yang pas buatmu?


Sumber:

  1. Gulfnews
  2. Twitter Bening28

Keseringan “Caper”, Kamu jadi Tidak Kreatif

Senang Rasanya Diperhatikan

Terima kasih atas perhatianmu. Tidak ada yang menandingi bagaimana rasanya berada ada di sebuah ruangan dengan semua audiens memerhatikanku. Diperhatikan oleh banyak orang, ini sesuatu banget. Sebagai seorang aktor,  aku mengalami dan memahaminya.

Aku tahu rasanya diperhatikan. Aku beruntung mendapat perhatian lebih dari yang seharusnya. Tapi ada perasaan kuat lainnya yang untungnya sering kualami sebagai seorang aktor. Lucunya, ini bertolak belakang karena datangnya bukan dari mendapat perhatian. Tapi dari memberi perhatian. Kok bisa? Begini ceritanya.

Ketika  berakting, aku begitu fokus. Aku  hanya memerhatikan satu hal. Ketika berada di lokasi dan akan mulai syuting dan asisten sutradara bilang, “Rolling!” Lalu aku mendengar “speed“, “marker“, “set“, kemudian sutradara berseru, “Action!” Aku telah mendengarnya berkali-kali. Seperti mantra sihir Pavlovian. “Rolling,” “speed,” “marker,” “set,” dan “action”, (dan akhirnya sebuah karya film tercipta). Sesuatu terjadi padaku, sesuatu yang tak bisa kutahan. Perhatianku menyempit. Dan segalanya di dunia, yang mengganggu atau mencuri perhatianku, semuanya hilang. Hanya ada aku di situ. Aku cinta dengan rasa ini. Bagiku, inilah kreativitas, dan inilah alasan terbesar kenapa aku bersyukur menadi aktor.

Jadi, ada dua perasaan yang sangat kuat. Diperhatikan dan memerhatikan.

Jual Beli Perhatian di Era Media Sosial

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan baru teknologi baru telah membuat lebih banyak orang merasa istimewa karena mendapat perhatian. Perhatian itu didapat sebagai imbalan atas berbagai ekspresi kreatif, tidak hanya akting. Bisa berupa tulisan, fotografi, menggambar, musik, atau sekedar mengikuti musik yang ada dan berlenggak-lenggok a.k.a menari gila di TikTok. Semuanya. Dari sini, kita belajar satu hal: Saluran distribusi sudah didemokratisasi, dan ini adalah hal yang baik.

Tapi aku merasa ada konsekuensi yang tidak diinginkan bagi siapa pun dengan dorongan kreatif, termasuk aku sendiri, karena aku tidak kebal darinya. Aku merasa kreativitas kita telah menjadi lebih ke usaha untuk mendapatkan sesuatu yang lain, yakni demi mendapatkan atensi atau perhatian. Kita mengemis perhatian.

Karena itulah, aku merasa terdorong untuk membahas ini. Dalam pengalamanku, ternyata semakin aku serius memberi (bukan menerima) perhatian, aku semakin bahagia. Tapi semakin aku larut dalam perasaan ingin diperhatikan, semakin aku tidak bahagia.

Dulu sekali, aku memanfaatkan karir aktingku untuk mendapat perhatian. Saat itu aku berusia delapan tahun. Ada perkemahan musim panas. Aku sudah mengikuti audisi sekitar satu tahun, dan aku beruntung mendapatkan beberapa peran kecil di acara TV dan iklan, jadi aku sering pamer tentang hal itu di perkemahan. Pertama-tama, berhasil. Anak-anak lain memberikan aku perhatian lebih, karena aku pernah tampil di “Family Ties.” Ini fotonya.

Lalu, situasinya berbalik. Aku rasa aku pamer berlebihan. Benar. Mereka mulai mempermainkanku. Aku ingat ada anak perempuan yang aku suka, Rocky. Namanya Rachel, tapi dia dipanggil Rocky. Dia cantik dan bisa bernyanyi. Aku tertarik padanya, dan aku berdiri di sana, membual. Dia berbalik dan memanggil aku tukang pamer. Yang 100% pantas akudapatkan. Tapi rasanya tetap menyakitkan. Dan, sejak musim panas itu, aku merasa ragu untuk mencari perhatian lewat akting.

Kadang, ada yang bertanya, “Jika kau tak suka perhatian, kenapa jadi aktor?” “Karena akting bukan tentang itu, tapi tentang seni.” Mereka pun menjawab, “OK, OK, kawan.” Aku tahu mereka tidak benar-benar memahami apa yang kukatakan.

Lalu Twitter muncul.

Akupun ketagihan seperti yang lainnya, yang membuat aku jadi seorang munafik. Karena saat itu, aku sepenuhnya memakai akting untuk mendapat perhatian. Apakah aku mendapatkan banyak follower (pengikut) karena cuitanku yang cemerlang? Jujur, aku sempat merasa begitu. Mereka suka bukan hanya aku ada di ‘Batman’, mereka suka yang aku katakan, aku mahir berkata-kata. Benarkah begitu?

Tak lama, hal ini mulai memengaruhi proses kreativitasku. Sampai sekarang masih. Aku usahakan tidak. Tapi yang terjadi, saat aku duduk membaca naskah, alih-alih berpikir, “bagaimana aku mengidentifikasi karakter ini”?, atau “bbagaimana penonton bisa merasa terhubung dengan ceritanya”?, aku malah berpikir, “apa kata orang tentang film ini di Twitter? Jawaban apa yang bagus dan sarkastik supaya dapat banyak retweet, tapi tak kelewatan?” Orang lebih suka dicerca daripada diacuhkan.  Ini adalah hal-hal yang aku pikirkan ketika ketika aku seharusnya mendalami naskah, sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh seorang aktor. Well, itulah yang terjadi.

Aku tidak mengatakan bahwa teknologi adalah musuh kreativitas. Bukan begitu. Teknologi hanyalah alat. Ia punya potensi mengembangkan kreativitas manusia yang tak ada sebelumnya. Aku bahkan memulai sebuah komunitas online bernama Hit Record. Disitu orang-orang dari seluruh dunia berkolaborasi dalam proyek kreatif. Jadi, media sosial, ponsel atau teknologi apa pun bermasalah.

Itupun, kalau kita mau sekali lagi membahas bahaya kreativitas yang menjadi alat mengemis perhatian, tentu kita harus bicara tentang pola bisnis perusahaan media sosial yang digerakkan oleh perhatian (atensi).

Para Pengemis Perhatian di Instagram

Ini mungkin familiar bagi sebagian orang, tapi pertanyaannya relevan, “Bagaimana platform media sosial seperti Instagram menghasilkan uang? Mereka bukan penyedia bisnis berbagi foto. Layanan itu gratis. Lalu apa? Mereka menjual atensi. Mereka menjual atensi para (user) pengguna ke pemasang iklan. Ada banyak perbincangan sekarang tentang seberapa besar atensi yang diberikan ke media sosial semacam Instagram, tapi pertanyaannya: “Bagaimana Instagram mendapatkan begitu banyak atensi? Kita yang mendapatkannya untuk mereka. Iya, Instagram memakai atau “memperkerjakan” kita untuk itu.

Ketika seseorang mengunggah di Instagram, mereka mendapat sejumlah atensi dari pengikutnya, entah mereka hanya punya sedikit atau jutaan pengikut. Semakin banyak atensi yang didapat, makin besar atensi yang Instagram jual. Jadi Instagram berkepentingan agar kamu mendapat atensi sebesar mungkin. Mereka melatihmu supaya menginginkan atensi itu, mendambakannya, dan merasa frustasi saat tak cukup mendapatkannya. Instagram membuat para penggunanya ketagihan atensi. Kita semua bergurau, “Ya Tuhan, aku kecanduan ponsel,” tapi ini adalah kecanduan yang nyata.

Mengemis Perhatian Semata akan Membuatmu Tidak Kreatif

Kecanduan mendapat atensi sama saja dengan kecanduan hal lain. Rasanya tak pernah cukup. Kamu memulai dan berpikir, “Jika saja aku punya 1.000 pengikut, pasti rasanya luar biasa.” Tapi kemudian kamu akan berpikir, “Begitu aku dapat 10.000 pengikut,” “Begitu aku dapat 100 — Begitu aku dapat sejuta pengikut, baru rasanya luar biasa.” Aku punya 4,2 juta pengikut di Twitter — tak pernah aku merasa luar biasa.

Aku tak akan beri tahu jumlah followerku di Instagram karena aku malu akan betapa rendah angkanya, karena aku bergabung di Instagram setelah “Batman” dirilis. Aku melirik akun aktor lain. Angka mereka lebih tinggi dariku, dan ini membuatku merasa rendah.

Jumlah pengikut membuat siapa saja merasa buruk akan dirinya sendiri. Perasaan kekurangan itu yang memicumu untuk mengunggah dan mengunggah lagi agar bisa mendapat lebih banyak atensi, dan itu yang mereka jual, itu cara mereka menghasilkan uang. Jadi, tidak ada jumlah atensi yang kamu dapat, di mana kamu akan merasa sudah berhasil, lalu berkata “ini sudah cukup”. Tentu saja, ada banyak aktor yang lebih terkenal daripada saya, punya pengikut lebih banyak, tapi mereka akan mengatakan hal yang sama. Jika kreativitasmu dipicu oleh hasrat untuk mendapatkan atensi, maka kau tak akan pernah merasa terpenuhi secara kreatif.

Tapi aku punya kabar baik untukmu.

Ada perasaan kuat lainnya, yang masih berkaitan dengan atensimu selain membiarkannya dikendalikan dan dijual oleh perusahaan atau pemilik modal Media Sosial yang kamu gandrungi itu. Inilah perasaan yang aku bicarakan tadi, kenapa aku mencintai akting: karena akubisa fokus pada satu hal. Ternyata, ada ilmu juga di baliknya. Psikolog dan ahli saraf — mempelajari fenomena yang mereka sebut “flow“, yaitu sesuatu yang terjadi dalam otak manusia ketika seseorang hanya berfokus pada satu hal, seperti sesuatu yang kreatif, dan tidak terganggu oleh hal lain. Ada yang bilang, semakin sering kamu melakukannya, kamu akan semakin bahagia. Ini tak selalu mudah, bahkan sulit. Memerhatikan seperti ini butuh latihan. Masing-masing orang punya cara sendiri.

Satu hal yang bisa aku bagikan, yang membantuku untuk fokus dan benar-benar memerhatikan adalah ini: Aku berusaha tidak melihat pelaku kreatif lainnya sebagai saingan. Aku mencoba mencari kolaborator. Misalnya aku berakting di sebuah adegan, jika aku melihat aktor lain sebagai saingan dan berpikir, “Mereka akan lebih diperhatikan daripada saya, orang-orang akan membicarakan performa mereka daripada saya” – Aku sudah kehilangan fokus. Dan aku mungkin akan payah di adegan itu. Tapi ketika aku melihat aktor lain sebagai kolaborator, maka akan jadi mudah untuk fokus, karena aku hanya memerhatikan mereka. Aku tak berpikir apa yang aku lakukan. Hanya bereaksi ke mereka, mereka bereaksi ke aku, dan dengan demikian kami menjadi sebuah tim.

Jangan berpikir hanya aktor yang bisa bekerja sama seperti ini. Ini terjadi pada berbagai situasi kreatif. Baik profesional, atau sekedar senang-senang, seperti yang dilakukan oleh pengguna TikTok misalnya. Kita bisa membuat kraya bersama orang-orang yang belum pernah kita temui. Bagiku, inilah keindahan internet. Jika kita bisa berhenti bersaing demi atensi, maka internet akan jadi tempat yang hebat untuk mencari kolaborator. Dan ketika aku berkolaborasi dengan orang lain, baik di lokasi syuting, online, di mana pun, akan jadi lebih mudah bagi aku untuk mencari ‘flow’ itu, karena kita semua hanya memerhatikan satu hal yang kita ciptakan bersama. Kita, aku dan kamu, merasa sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan kita saling melindungi satu sama lain dari hal-hal yang bisa mencuri perhatian kami.

Tentu, tak selalu berhasil. Kadang, aku masih kecanduan hasrat mendapatkan atensi. Tetap ada bagian yang seperti itu. Tapi jujur, aku juga bisa bilang keseluruhan proses kreatif menulis dan membawakan topik ini telah menjadi kesempatan besar bagiku untuk fokus dan memberi atensi pada sesuatu yang sangat berarti bagi saya. Jadi, terlepas dari seberapa besar atensi yang kudapatkan sebagai hasilnya, aku bahagia sudah melakukannya. Aku berterima kasih pada kamu yang sudah memberikan kesempatan. Jadi, terima kasih. Itu saja.

Sekarang, giliranmu memberi perhatian pada orang lain.

Terima kasih.


Tulisan ini adalah interpretasi pribadi Saya terhadap sesi bicara Joseph Gordonn Levitt di TedTalk.

Belajar Menjiwai Peran dari Ahlinya: David Wenham

David Wenham

Aku pernah menjadi pengacara, pernah pula menjadi penjahat.

Ketika menjadi pengacara, Aku mewakili sejumlah penjahat terkenal. Ketika menjadi penjahat, Aku berhasil mengamankan pundi-pundi uang sebanyak USD 2,000 (lebih dari 310 juta jika dirupiahkan). Lalu rumahtanggaku berantakan, pernikahanku hancur. Aku dipenjara karena ketahuan berbisnis pengiriman obat-obatan terlarang.

Dulu Aku seorang imam (pastor) dan sebelum menjadi pastor, Aku sempat menjadi tentara. Tepatnya, Aku pernah menjadi sepuluh tentara dengan identitas berbeda. Aku pernah menjadi polisi, waktu itu kepalaku botak. Aku bahkan pernah menjadi Tuhan (tentu saja, cuma sekali)

Aku menikah puluhan kali, rekor yang sepertinya lebih banyak dari Elizabeth Taylor. Aku menjadi ayah dari banyak anak-anak yang bahkan tak kuingat namanya saking banyaknya.

Perkenalkan. Namaku David. Dan Aku adalah seorang aktor.


Apa itu akting?

Mengapa aku berakting?

Apa tujuannya?

Mengapa orang mau menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya hanya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya?

Sejak kecil, aku memang suka membuat orang tertawa. Entah dengan cara apapun, dan dalam situasi apapun. Kadang dengan suara yang menggelikan. Atau sekedar menaikkan celana pendek hingga ke atas pinggang, melewati pusarku. Pokoknya, teknik melucu sederhana yang membuat orang terkekeh-kekeh.

Seiring dengan berjalannya waktu, dari yang awalnya hanya sekedar suka membuat orang tertawa, aku merasakan dorongan yang lain untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

Sekarang, mari kita bahas apa pengertian dari akting? Definisi terbaik kudapat dari Sanford Meisner, guru akting-ku. Katanya: Berakting adalah berlaku dan bertindak sungguh-sungguh dalam situasi imajiner (khayal). Behaving truthfully in an imaginary situation.

Hingga tiba di suatu titik, Aku menyadari bahwa motivasiku menjadi seorang aktor tidak hanya sekedar keinginan untuk membuat orang lain tertawa. Waktu itu ada pertunjukan seni di sekolah. Lakon yang kami bawakan yaitu Henry IV bagian I karya Shakespeare. Saat casting, Aku mendapat peran sebagai Hotspur, seorang pemimpin yang gagah berani, keras kepala dan mudah marah. Saat itu menjelang sesi latihan yang panjang dimulai, Aku menemukan sebuah sudut sepi di belakang panggung teater kami, persis di samping sebuah pohon oak. Lalu aku mulai mengayunkan pedang kayu (yang digunakan sebagai properti latihan) dengan penuh amarah ke batang pohon oak yang tak berdosa. Aku ayunkan berkali-kali hingga nafasku tersengal, hampir tersedak karena kecapaian. Sembari mengayunkan pedang kayuku berkali-kali, Aku membayangkan (memvisualisasikan) secara akurat seperti apa karakter yang akan aku perankan. Latihan yang benar-benar kulakukan seperti layaknya aku sedang berada di sebuah pertempuran berdarah-darah.

Benarlah. Ketika tiba saatnya memasuki pintu teater sebagai Hotspur, Aku berada pada kesadaran sepenuhnya untuk mampu mengingat semua ketakutan yang harus bisa kutunjukkan kepada semua orang, persis yang dilakukan oleh Hotspur. Aku tidak meniru Hotspur seperti pada naskah. Aku benar-benar menjadi Hotspur dalam sebuah situasi dan lokasi imajiner, yaitu gedung kuliah teater yang berhadapan dengan King’s Court di London. Sudah 12 tahun Aku tidak lagi pergi ke sekolah teater itu dan tidak lagi memikirkan apa yang terjadi saat itu, tapi aku melakukannya secara instingtif.

Saat ini ada banyak variasi teknik ini diajarkan dan dilatihkan ke banyak orang.

Setelah Aku lulus dari sekolah akting itu, Aku mendapat peran pada lakon karya Dennis Potter yang berjudul Blue Remembered Hills. Filmnya berkisah tentang sekelompok anak usia tujuh tahunan yang bercengkerama di sebuah hutan di belahan utara Inggris. Seluruh bocah itu diperankan oleh aktor dewasa. Setiap kali menjelang sesi latihan, Aku akan pergi ke dinding bata yang kasar dekat gedung teater, menghunjamkan siku dan lututku ke tembok itu. Hasilnya adalah lutut yang luka dan lengan tergores yang lama-lama membentuk borok. Ketika malam tiba, pada jarak yang sangat dekat dengan penonton, sebagai Willy (peran yang akan kumainkan), Aku menggosoknya dengan serpihan tanah berlumpur. Darah bercucuran dari lutut dan sikuku. Pada momen ini, yang sedang terjadi ialah: aku menggunakan teknik eksternal yang membantuku mendapat olah sukma (rasa) dari seorang anak berusia tujuh tahun dan benar-benar menjadi peran itu.

Itulah metode yang kulakukan. Tentu saja ada banyak teori dan metode latihan akting.


Lakon itu Kisah. Aktor Menceritakannya

Tetapi, mengapa Aku melakukan semua itu? Apa tujuannya?

Sepanjang sejarah, para aktor sebenarnya adalah pencerita/pendongeng (storyteller). Melalui cerita atau kisah, kita berbagi keprihatinan, mimpi, luka, dukacita, penderitaan, kegembiraan. Kisah bersifat universal. Kisah atau cerita membantu kita memahami diri sendiri dengan lebih baik. Bercerita membantu kita menemukan kesamaan dan kemiripan kita dengan orang lain di seluruh belahan dunia ini. Aku merasa beruntung bisa terlibat menceritakan kisah tentang orang sungguhan di dunia nyata. Beberapa kisah yang dituturkan itu  bahkan mendapatkan apresiasi yang luar biasa, kerap dalam waktu yang cukup lama sejak kisahnya diperdengarkan. Ada yang menyembuhkan. Ada yang menginspirasi. Contoh yang sangat jelas yang bisa Aku ceritakan saat ini adalah dampak dari film – yang tak banyak diketahui orang – yakni film “Molokai” (Molokai: The Story Of Father Demien), sebuah kisah imam asal Belgia yang dengan sukarela tinggal bersama orang-orang kusta yang sengaja dikucilkan di sebuah pulau terpencil bernama Molokai. Aku berperan sebagai Father Damien.

Ketika Hawaii diserang wabah lepra pada sekitar tahun 1874, pemerintah Hawaii yang saat itu belum menjadi negara bagian Amerika Serikat memutuskan untuk mengisolasi penduduk yang terkena wabah tersebut ke sebuah pulau bernama Molokai.

Pihak Gereja Katolik di Honolulu kemudian meminta beberapa imam sukarelawan untuk membantu para penderita kusta yang terkesan ditinggalkan pemerintah di pulau tersebut. Father Demian (David Wenham) merupakan imam pertama yang mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan. Dibelakangnya ada lagi tiga orang imam. Gereja memutuskan: Father Demian yang berangkat ke pulau tersebut. Ia pun berangkat. Disana ia bertugas di sebuah daerah bernama Kalaupapa di pulau Molokai. Ketika ia tiba, ia disambut oleh pengawas pulau bernama Rudolph Meyer (Kris Kristofferson) yang menganjurkannya untuk menghisap rokok guna mengurangi bau tidak sedap saat berinteraksi dengan penduduk, yakni para penderita kusta itu.

Di Kalaupapa Father Demian melihat kehidupan para penderita kusta yang putus asa serta kemorosotan moral yang diakibatkan depresi. Father Demian lalu mulai membersihkan kembali Gereja yang sudah lama tidak terpakai kemudian menanam beberapa pohon untuk melindungi perkampungan tersebut dari badai. Pada interaksinya dengan penduduk dia mulai akrab dengan Bishop (Ryan Rumbaugh) anak kecil penderita kusta yang menawarkan diri menjadi anak altar, William (Peter O’Toole) penderita kusta tua yang bersimpati terhadap misi Father Demian, serta Malulani (Keanu Kapuni-Szasz) gadis belia yang mulai terjangkiti kusta.

Father Demian juga berupaya meminta bantuan obat obatan dan pakaian kepada pemerintah setempat namun sayangnya pihak pemerintah terkesan mengabaikan permintaan tersebut, bahkan pihak gereja terkesan hati hati dalam menilai misi Father Demian meskipun pemimpin gereja Honolulu Father Leonor (Derek Jacobi) tetap menyemangati Father Demian.

Tanpa sadar setelah beberapa tahun melayani penduduk Kalaupapa, virus penyakit lepra pun menjangkiti Father Demian. Namun justru hal itu membuatnya semakin giat dan bersemangat untuk meningkatkan fasilitas bagi penduduk Kalaupapa. Ia akhirnya berhasil membuat pemerintah Hawaii mulai memperhatikan kondisi penduduk di pulau Molokai.

Father Demian akhirnya harus menyerah saat penyakit lepra semakin menggerogoti tubuhnya, ia pun wafat setelah 15 tahun tinggal bersama penduduk yang diisolasi karena penyakit kusta di pulau Molokai. End of the story.


Katharsis

Pengambilan gambar (syuting) untuk film Molokasi langsung dilakukan di lokasi yang sama pada tahun 1999. Saat itu pemerintah telah lama menghentikan pengiriman penderita kusta kesana. Akan tetapi, disana masih ada 55 orang penderita sakit kusta. Bersama film director Paul Cox, Aku tinggal di komunitas itu selama lima bulan. Selama periode itu, penggunaan kamera untuk pengambilan gambar dilarang. Pelan-pelan Paul mendapat simpati dan mereka mulai percaya. Satu persatu mereka datang menghampiri Paul dengan sukarela untuk turut diambil gambarnya. Mereka ingin supaya masyarakat luas mengetahui persis apa yang telah penyakit kusta lakukan terhadap tubuh dan wajah mereka.

Setahun setelah periode syuting itu selesai, Aku dan Paul kembali lagi kesana untuk mengajak mereka menonton film tersebut. Berhubung di tempat itu tidak ada tempat untuk menonton film, maka kami diaturlah supaya satu persatu penderita kusta itu diangkut menggunakan pesawat terbang berukuran mini ke daerah yang lebih ke puncak. Penerbangannya hanya 8-10 menit. Begitu mereka semua mendarat, sebagian dipopong, sebagian lagi dibantu dengan segala macam cara, akhirnya mereka tiba di aula setempat. Disana dibuatlah layar untuk menonton.

Begitu film mulai diputarkan, mereka, para penderita kusta ini – yang sebelumnya tak pernah melihat wajah mereka muncul di tayangan film bahkan sebuah foto pun tidak – mulai menangis tersedu. Mereka sadar, saat itu, bukan hanya kisah mereka saja yang sedang ditunjukkan ke seluruh dunia, tetapi juga kisah dari generasi sebelum mereka. Mereka sedih melihat tayangan itu, tapi lalu merasa bangga dan bahagia karena telah terlibat dalam sebuah kisah mahapenting: sejarah mereka dan budaya mereka.

Sebagai bagian dari mereka, Aku merasa tersanjung bisa ikut menuturkan kisah mereka, bersama mereka.

Itulah sebabnya Aku menjadi seorang aktor.

Kisah/cerita bisa mengubah kita.

Kisah bisa mengubah sudut pandang kita.

Kisah bisa mengubah pendapat, mood, dan pola pikir kita.

Storytelling alias menuturkan kisah benar-benar sebuah pengalaman katharsis.

Aku adalah seorang aktor. Mengapa? Karena Aku senang menceritakan kisah. Kisah yang menjaga kita tetap manusiawi.

Terima kasih.


©® Tulisan ini sebagian besar berasal dari transliterasi mandiri dari sesi bicara David Weinham di Ted Talk.

 

Latihan Dasar Bermain Teater dan Drama

Long-life education = Long life repetition

Repetitio est mater scientiarum (Pengulangan/latihan adalah induk/awal dari semua pengetahuan). Pepatah Latin ini berlaku sepanjang masa. Ingat ya: Pengulangan alias repetisi.

Kamu senang belajar Bahasa Inggris dan ingin cepat menguasai vocabulary drill? Ya catat kosakata yang ingin dikuasai, ucapkan, rekam yang kamu ucapkan lalu kamu dengar kembali bunyi dari pronounciation yang kamu hasilkan. Tanpa itu, sebanyak apapun kosakata yang disimpan dalam kepala, tidak akan menghasilkan apa-apa. Kemampuanmu berbahasa Inggris akan begitu-begitu saja. Karenanya, ucapkan dan ucapkan lagi. Sebab fitrah dari bahasa adalah untuk digunakan dalam percakapan. Just like every language, English is to speak. Loh, tapi katanya tadi ada cara cepat? Ya itu, cara paling cepat ya berlatih terus-menerus. Tidak ada pilihan lain.

Kamu sedang kesengsem dengan lagu barunya Ardhito, Fiersa Besari atau Willy Hutasoit dan ingin cepat menguasai akor gitarnya supaya kamu bisa menyanyikannya sembari bermain gitar? Ya catat liriknya dan akornya, nyanyikan dan strum gitarmu, rekam yang kamu lakukan lalu kamu dengar kembali bunyi yang kamu hasilkan. Tanpa itu, sesering apapun kamu mendengar lagu kesukaanmu itu, tidak akan menghasilkan apa-apa. Kamu akan tetap menjadi pendengar saja. Karenanya, nyanyikan dan nyanyikan lagi. Mainkan dan mainkan lagi gitarmu. Sebab fitrah dari lagu adalah untuk dinyanyikan. Just like every song, your favourite song is to sing. Loh? Tapi katanya cara cepat. Ya itu, cara paling cepat ya berlatih terus-menerus. Tidak ada pilihan lain.

Begitulah kodrat dari belajar, terutama untuk belajar seni. Dalam versi Inggris, perlunya latihan/repetisi terus menerus ini secara linguistik tampak dalam terjemahan pepatah di awal tadi. Maksudnya?

Practise MAKES perfect. (5 huruf)

Tapi,

Practises MAKE perfect.(4 huruf)

Artinya, kalau kamu latihannya hanya sesekali saja (atau yang lebih parah: hanya berlatih kalau ada mood) maka skill yang kamu punya tidak akan berkembang. Kemampuanmu hanya akan berkembang kalau kamu berlatih terus menerus, evaluasi hasilnya, lalu berlatih lagi. Begitu sampai mendekati sempurna.

Pengantar yang lumayan panjang ya.

Nah, hal yang sama juga berlaku untuk latihan bermain teater atau drama.


Bermain teater atau drama adalah aktifitas fisik yang serius. Kurang lebih sama dengan berolahraga. Ketika kita bermain bola, kita perlu melakukan latihan pemanasan yang benar supaya hasilnya baik dan terhindar dari cedera. Hal yang sama juga berlaku sebelum melakukan pertunjukan atau sebelum masuk ke dalam naskah yang akan dibawakan dalam suatu pertunjukan teater atau drama. (Sebenarnya drama dan teater punya kekhasan masing-masing, tetapi sebagai sama-sama seni peran pola latihannya sama dalam banyak hal).

Ada beberapa teknik latihan dalam teater dan drama yang harus dipahami dan dilakukan. Berikut adalah teknik latihan yang wajib diterapkan.

OLAH NAFAS

Hal yang terpenting dalam suatu pertunjukan teater adalah power dari vokal pemain haruslah kuat. Tenaga yang menghasilkan suara itupun harus kuat. Sumber utama kekuatan suara terdapat pada pernafasan.

Loh? Kita belajar bernafas lagi, gitu? Bukannya sejak bayi kita sudah tau caranya bernafas? Benar. Tetapi teknik pernafasan yang benar dapat memberikan kekuatan suara yang besar dan menghindari kerusakan pada tenggorokan.  Jadi, kita memang harus belajar bernafas lagi.

Ada 3 cara untuk melakukan pernafasan, yaitu pernafasan dada, pernafasan perut, dan pernafasan diafragma.

  1. Pernafasan dada dilakukan dengan memasukkan udara ke paru-paru yang ditandai naiknya bahu dan membusungnya dada.
  2. Pernafasan perut dilakukan dengan memasukkan udara ke perut yang ditandai bertambahnya volume pada bagian perut.
  3. Pernafasan diafragma dilakukan dengan memasukkan udara ke diafragma, diafragma terdapat di antara dada dan perut. Untuk melakukan hal ini dibutuhkan latihan, karena bahu, dada, dan perut tidak boleh bergerak.

Cara yang benar saat melakukan pernafasan untuk teater adalah dengan pernafasan diafragma. Megan Riehl, Dokter Psikologi Klinis dari Michigan Medicine sudah berbaik hati memberikan tutorial praktek pernafasan diafragma lewat video Youtube ini. Ingat, ditonton ya. (Kalau kamu merasa perlu dengan kata-katanya, nyalakan subtitle-nya dalam Bahasa Indonesia)

Pernafasan diafragma dianggap benar apabila pada bagian diafragma menjadi keras. Dengan memasukkan dan mengeluarkan udara dari bagian diafragma, semakin lama bagian ini akan terasa nyeri, maka latihanmu sudah benar. Berhentilah sejenak hingga rasa nyeri hilang. Lakukan beberapa kali hingga kamu mampu menguasai teknik ini dengan benar.

Latihan pernafasan diafragma ini sangat berguna bukan hanya untuk latihan teater dan drama karena metode yang sama juga dilakukan jika kamu ikut extrakurikuler Paduan Suara, bahkan latihan bernyanyi secara umum.

OLAH VOKAL

Setelah kamu benar dalam melakukan olah nafas, barulah kamu dapat melatih vokal. Latihan vokal dilakukan dengan mendorong udara dari diafragma keluar melalui mulut tanpa tertahan pada tenggorokan.

  1. Tahap Pertama, dengan satu tarikan nafas, keluarkan udara tanpa mengeluarkan suara (huruf vokal / konsonan). Usahakan udara yang keluar tidak tertahan pada tenggorokan. Dengan satu nafas kamu dapat mengeluarkan beberapa kali udara dari diafragma. Cara mudahnya, sebutkan huruf A tanpa bersuara berkali-kali dengan satu kali tarikan nafas.
  2. Tahap Kedua, dengan cara yang sama seperti tahap pertama. Yang membedakan adalah kali ini sebutkan huruf vokal (A I U E O) dengan satu tarikan nafas. Lakukan berulang-ulang sampai diafragma terasa nyeri. Jika sudah terasa nyeri, berhentilah sejenak dan atur nafas Anda.
  3. Tahap Ketiga, dengan cara yang sama seperti tahap sebelumnya. Tambahkan huruf konsonan pada latihan Anda. Sebutkan A – Z dengan satu tarikan nafas. Lakukan berulang-ulang sampai diafragma terasa nyeri. Jika sudah terasa nyeri, berhentilah sejenak dan atur nafas Anda.

Teman kita ini dengan sukarela membuat video tutorial yang lebih lengkap. Tonton dan praktekkan.

Ingat! Usahakan pada saat latihan olah nafas kamu sudah melakukannya dengan benar untuk menghindari sakit pada tenggorokanmu.

OLAH SUKMA/RASA

Tahap latihan ini berkesan sangat simpel dan sederhana. Namun inti dari latihan ini saat luas. Olah sukma/rasa dilakukan dengan cara meditasi selama minimal 10 menit. Usahakan pikiranmu tidak kosong, berusahalah tetap fokus. Dengarkan suara-suara di sekitar Anda, dari yang paling dekat hingga yang paling jauh. Buang semua hal-hal negatif pada diri Anda, masukkan hal-hal positif ke dalam diri Anda. Aturlah nafas senyaman mungkin. Usahakan jangan ada gerakan sekecil apapun.

Kamu bisa gunakan musik pengantar meditasi dari Taize, Kitaro dan lain-lain jika dirasa perlu. Atau, kalau kamu mau tetap stay di blog ini, gunakan video Balinese Fingerstyle dari Alif Ba Ta, sang maestro fingerstyle Indonesia ini.

Pada tahap ini dimaksudkan agar kamu dapat fokus pada karakter yang akan kamu mainkan, fokus terhadap suatu hal, peka terhadap sekitar Anda, peka terhadap lawan main Anda.

OLAH PIKIR

Olah pikir dapat dilakukan dengan cara berkumpul bersama pemain yang lain, berbincang santai hingga menyamakan persepsi. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menyelaraskan pemikiran seluruh pemain dan tim produksi agar pertunjukan berjalan sesuai dengan keinginan bersama. Dengan menyamakan persepsi, kamu dapat membaca situasi ketika terjadi kesalahan dalam suatu pertunjukan dan dapat membaca sifat dari lawan main Anda. Olah pikir ditujukan agar kamu dapat berkomunikasi dengan lawan mainmu tanpa melakukan dialog atau kontak fisik. (Berhubung blog ini ditulis dalam situasi Learn from Home akibat wabah pandemi COVID-19, maka saat ini tidak dianjurkan untuk berkumpul ramai-ramai. Kamu tetap bisa melakukannya tentu dengan mengindahan kaidah social/physcal distancing dari Pemerintah).

OLAH TUBUH

Tahap olah tubuh dibagi menjadi 2, yaitu:

Mimik, adalah gerak wajah untuk menunjukkan keadaan/sifat dari karakter yang sedang dimainkan, dan agar pesan yang disampaikan dapat diterima penonton dengan mudah. Latihan mimik dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dengan senam wajah. Caranya dengan menarik seluruh bagian wajah ke atas, lalu ke kanan, kemudian ke bawah, ke kiri, ke depan, danb terakhir ke dalam. Hal ini bertujuan agar mimik wajamu menjadi lentur dan dapat dengan mudah menyampaikan pesan dari mimik wajah karakter yang kamu mainkan. (Lihat kembali video latihan Olah Vokal di atas)

Gestur, adalah gerak tubuh untuk menunjukkan keadaan/sifat dari karakter yang sedang dimainkan, dan agar pesan yang disampaikan dapat diterima penonton dengan mudah. Latihan gestur dimulai sejak melakukan pemanasan, kemudian ditambah dengan beberapa gerakan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Latihan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan keinginan masing-masing pemain. Sebuah film singkat karya Aldi Kasyifurrahman yang memuat latihan penting tari kontemporer di bawah ini bisa kamu jadikan inspirasi untuk latihan gestur.


Itu tadi 5 tahap latihan dasar teater dan drama yang wajib kamu tahu. Usahakan melakukan seluruh tahap dengan benar agar terhindar dari cidera. Lakukan tahap latihan dengan waktu minimal 1 jam tiap tahap untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Semoga bermanfaat.