Sermon on Week XXIII of Ordinary Time 2024

EFFATA

Happy Sunday to all of us,

Dear brothers and sisters,

Today God greets us through the readings we have heard. God invites us to be aware of our actions and faith. God also invites us to open ourselves to realize God’s grace that we have received.

In the Gospel, we are told the story in which Jesus healed a deaf and stuttering man in an unusual way. Firstly, Jesus separate Himself from the crowd then put His fingers in his ears, then spat and touched the man’s tongue. Then, Jesus looked up into heaven and said: “Efata!”, which means: “Be open!” Then, a miracle happened. The person suddenly could hear and his mouth could move and spoke.

Dear brothers and sisters,

Through this story, Jesus did not only heal the man’s stuttering and deafness, but also opened his heart to be open to Jesus. This was evident from his testimony to the crowd. After his full recovery, he never stopped talking about the power and work of Jesus that he has experienced. And that action of him brought people into amazement.

“Efata!” Be open!

This saying also applies to all of us who gather here in this church. Therefore, my brothers and sisters, let us open our hearts and minds to the Word of God and be thankful for all His graces we have everyday received in our daily lives.

“Efata!” Be open!

This means that we should not close ourselves from our very concrete reality and plurality. We are told not to discriminate people, precisely like the message of the second reading. For this, let us not be picky in making friends and well behave to any kinds of surrounding neighbors, just because someone is richer than others, more educated than others, and so on. Instead, we are invited to really treat all people equally because all humans are the images of God. For that to happen, we should understand that openness also means sincere acceptance to ourselves and our fellow human beings.

God bless us. Amen.


Ini adalah teks kotbah/renungan dalam Bahasa Inggris yang disusun, diterjemahkan dan disampaikan oleh seorang calon imam diosesan Keuskupan Agung Medan, Frater Owen Rizky Damanik. Saat ini Owen berada pada formasi awal pembinaan calon imam sebagai seorang frater Pra-TOR (Pra-Tahun Orientasi Rohani).

Sejak awal – Saya sebagai pengajar Bahasa Inggris dan para frater tersebut – menyepakati untuk menantang diri untuk mencoba melakukan hal-hal baru dalam Bahasa Inggris. Kesepakatan ini adalah buah dari keinginan dari Owen dan teman seangkatannya untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka melalui praktek dan/atau proyek yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di masa depan ketika mereka ditahbiskan sebagai imam. Berkotbah atau menyampaikan renungan adalah salah satunya.

Harapannya, mereka semakin terdorong dan percaya diri untuk semakin total memberi diri dalam target jangka panjang, yakni “to immerse oneself into English” sebagai konsekuensi konret dari keinginan untuk menguasai Bahasa Inggris (mastering English) sedemikian sehingga nanti di masa depan mereka dapat berkomunikasi secara aktif.

Sebagai calon imam yang baru saja menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Menengah, maka patut diduga mereka belum dibekali dengan cukup terkait pengetahuan filsafat dan teologi yang perlu untuk itu. Maka, guna memastikan ortodoksi dengan ajaran Gereja, maka sebelum kami – frater pembawa renungan dan Saya – menterjemahkan dan melatih cara penyampaiannya, maka terlebih dahulu setiap teks diperiksa dan dikoreksi oleh Pastor pendamping (chaplain), entah oleh Pastor Rektor Pra-TOR RD Johannes Sihombing atau oleh Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet.

Oh iya. Sesuai dengan maksud dari tulisan ini, maka artikel ini dapat pembaca gunakan menjadi sarana untuk memberikan masukan terhadap pembelajaran Bahasa Inggris yang kami lakukan sehingga terjadi penyempurnaan berkelanjutan.

Saran terkait apa saja? Kita boleh menyasar aspek manapun dari sebuah kotbah: aspek penyampaian (delivery), isi, struktur atau bahkan aspek teknikal seperti gestur, pengucapan dan pelafalan dan sejenisnya. Saran dan diskusi membangun selalu penting dan berguna, sebagaimana yang kita semua harapkan terjadi pada semua institusi pendidikan, terutama pembinaan calon imam kita. Bagaimanapun, pembinaan calon imam sekarang akan ikut menentukan keberlangsungan Gereja di masa depan.

Video penyampaian kotbah ini dapat kita saksikan di kanal Youtube SPP Kabanjahe.

There Is Something Great Happen At 6 A.M. Everyday in the Church: Come and See for Yourself

COME TO ME

PREACHER: Frater Dimas Sembiring Brahmana

My lovely brothers and sisters,

There is a story about a strong women, her name is Ibu Mirna. She is fourty years old and she is a Catholic from Saint Peter and Paul Parish Kabanjahe. Ibu Mirna is a kind person, humble, and very honest. After her husband passed away eight years ago, Ibu Mirna take the role as the “back bone” in her family. Even though she is thin, she must work ten hours every day in the field as a farmer.  Sometimes she makes cassava chips to increase her income and help her family.
To afford her six children, Ibu Mirna often fell stress. Sometimes she hates her fate. However, Ibu Mirna never stop working, still conscious and always try to come up from her problems.

My lovely brothers and sisters,

When you have a problem in your life, can you still be conscious and consistent like Ibu Mirna? Or do you stay in your sadness? What do you think about her spirit? From where does she get her spirit? Turns out, the power and spirit that she has are sourced from Eucharist that she attend every morning in Saint Peter and Paul Parish. In all her burdens and responsibility that many times depress her, Ibu Mirna still manages to gain the spirit and strength from the Body and Blood of Jesus Christ. Thus, Eucharist becomes the source of her strength to keep struggling for her family.

My lovely brothers and sisters,

The story of Ibu Mirna invited us to involved our God in our life. I am inspired from the Gospel. Matthew 11 verse 28 until 29 says

“… come to Me all you that are weary and are carrying heavy burdens, and I will give you rest. Take my yoke upon you and learn from Me, for I am gentle and humble in heart, and you will find rest for your souls …”.

As a social being, can we involve God in our daily life? Yes, we can and we should. The people often become arrogant. We think that we can carry all the burdens all by ourselves, until all of our efforts failed. For that, my brothers and sisters, we must give our life to God. We can ask Him to lead our life, to hold His hand, and trust Him.

Sometimes we are also arrogant. We forget to fill ourselves with prayer and Eucharist. We bring tremendous ambitions along with us to produce money. We spend almost every time that we had. We do not reserve time to attend Eucharist. As a Catholic, we know that the Eucharist is the source and the culmination of our expression of faith. We delve too much into our routines; doing our things in Pajak, our jobs at the office and so on, all the activities that separate us from God.

I invite all of us to take a break from your activity. For a moment, take a deep breath. Try to remember all the experiences that we have been through. Start realizing God’s presence in our life.

My brothers and sisters,

We know that in our Parish, Saint Peter and Paul Kabanjahe, our priests celebrate the Eucharist everyday in the morning at six o’clock. The number of the
congregation tend to get lower and lower.

So, I invite all of us to be like Ibu Mirna. She always surrender her life to our God. We can do the same: surrendering our lives to God through Eucharist.

The last but not the least, let us be honest, aware and conscious that as Catholics we are asked to go to Church and attend the Eucharist. Our busy schedule and routines are not excuses to stop attending the Mass, loving God and giving our life to Him. Simply because, as Gospel Matthew said, God is the Giver of reliefs to all the problems we face in our daily lives.

Lord Jesus bless us all.

Amen.


Ini adalah teks kotbah/renungan dalam Bahasa Inggris yang disusun, diterjemahkan dan disampaikan oleh seorang calon imam diosesan Keuskupan Agung Medan, Frater Dimas Sembiring Brahmana. Saat ini Dimas berada pada formasi awal pembinaan calon imam sebagai seorang frater Pra-TOR (Pra-Tahun Orientasi Rohani).

Sejak awal – Saya sebagai pengajar Bahasa Inggris dan para frater tersebut – menyepakati untuk menantang diri untuk mencoba melakukan hal-hal baru dalam Bahasa Inggris. Kesepakatan ini adalah buah dari keinginan dari Dimas dan teman seangkatannya untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka melalui praktek dan/atau proyek yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di masa depan ketika mereka ditahbiskan sebagai imam. Berkotbah atau menyampaikan renungan adalah salah satunya.

(Masih ada beberapa proyek lain. Ingatkan Saya untuk tetap memberi update tentang proyek-proyek mereka. Jangan ragu: Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban untuk memberi perhatian pada pembinaan calon imam mereka).

Harapannya, mereka semakin terdorong dan percaya diri untuk semakin total memberi diri dalam target jangka panjang, yakni “to immerse oneself into English” sebagai konsekuensi konret dari keinginan untuk menguasai Bahasa Inggris (mastering English) sedemikian sehingga nanti di masa depan mereka dapat berkomunikasi secara aktif.

Sebagai calon imam yang baru saja menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Menengah, maka patut diduga mereka belum dibekali dengan cukup terkait pengetahuan filsafat dan teologi yang perlu untuk itu. Maka, guna memastikan ortodoksi dengan ajaran Gereja, maka sebelum kami – frater pembawa renungan dan Saya – menterjemahkan dan melatih cara penyampaiannya, maka terlebih dahulu setiap teks diperiksa dan dikoreksi oleh Pastor pendamping (chaplain), entah oleh Pastor Rektor Pra-TOR RD Johannes Sihombing atau oleh Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet.

Oh iya. Kotbah yang disusun oleh Dimas ini – Saya hanya membantu menterjemahkan dan melatih penyampaiannya – cukup menarik sebab Dimas benar-benar berusaha untuk menerapkan struktur formal dalam kotbah Katolik yang baik yang sering dikenal dengan struktur 3-Is, yakni

  • to illustrate,
  • to instruct, and
  • to invite

Terutama pada bagian ilustrasi, meminjam nama ‘Ibu Mirna’ alih-alih mempertahankan anonimitas, ternyata tidak hanya membuat ilustrasi ini mudah dipahami sebagaimana layaknya setiap upaya untuk membuat pesan lebih hidup melalui metode bertutur (storytelling), tetapi juga semakin mendaratkan kotbah sehingga umat merasa relevan dengan isinya.

Anyway, who the heck is Ibu Mirna though?”, you might ask. Tetapi fokusnya bukan itu. Siapapun sosok Ibu Mirna yang dibayangkan oleh Dimas tidak lagi menjadi poin utama, melainkan relevansi dari kisah ilustrasinya membuat umat merasa: “Oh iya. Saya juga seperti Ibu Mirna. Pesannya relevan dengan apa yang Saya alami juga”. Kupikir, jika ilustrasi sudah relevan, maka tugas berikutnya untuk menyampaikan ajaran Gereja sesuai ortodoksi yang lurus akan lebih mudah. Dalam konteks kotbah ini, Dimas mengajak umat Katolik untuk mengikuti perayaan Ekaristi setiap hari jam 6 pagi di Gereja Paroki Santo Petrus dan Paulus Kabanjahe.

Meski demikian, sesuai dengan maksud dari tulisan ini, maka artikel ini tetap dapat pembaca gunakan menjadi sarana untuk memberikan masukan terhadap pembelajaran Bahasa Inggris yang kami lakukan sehingga terjadi penyempurnaan berkelanjutan.

Saran terkait apa saja? Kita boleh menyasar aspek manapun dari sebuah kotbah: aspek penyampaian (delivery), isi, struktur atau bahkan aspek teknikal seperti gestur, pengucapan dan pelafalan dan sejenisnya. Saran dan diskusi membangun selalu penting dan berguna, sebagaimana yang kita semua harapkan terjadi pada semua institusi pendidikan, terutama pembinaan calon imam kita. Bagaimanapun, pembinaan calon imam sekarang akan ikut menentukan keberlangsungan Gereja di masa depan.


Post Scriptum:

This is a late post. This sermon was delivered almost a year ago. Somehow, due to several limitations on my behalf, I have been only able to publish its update this content to all of you my dear readers. Mistakes are on my side.

Video penyampaian kotbah ini dapat kita saksikan di kanal Youtube SPP Kabanjahe.

Sermon on the Indonesian Independence Day 2024: “Don’t Forget Your Obligations”

Don’t Forget Your Obligations

Preacher: Frater Noza Nazarius Ginting Suka

MERDEKA!!!

My beloved brothers and sisters,

We should be grateful for the increasing age of our nation today. This independence is the result of the hard work of the heroes who were willing to  sacrifice everything for this nation. It is only right that we continue their struggle  by filling this Independence. However, in reality many people  today blame this Independence. Especially people who have positions in government who sometimes forget their obligations and often act based on lust.

This independence is God’s gift to the Indonesian nation. With independence, we envision a country that is united, sovereign, just and prosperous. Therefore, it is appropriate for people who hold positions in government to strive to promote general welfare, make the life of the nation intelligent, and provide a sense of security for the citizens of their nation. In accordance with the advice from the book of Sirach which is the first reading today.

Jesus answer to those who wanted to test Him in today’s Gospel reading should make us aware that we tend to forget our obligations; we only remember our rights. We forget our obligations both as God’s people and as Indonesian citizens.

A concrete example that can be seen in everyday life is where we only ask God to grant our requests and ask the government to listen to the voice of the people; but we forget to do our duty to dedicate our lives to God and help government programs. We already have a perfect model to imitate, namely Christ who did not forget His obligations.

Let us dedicate our lives to God and honor our heroes by filling this Independence. The steps we can take are: fighting for justice and love; fostering unity and harmony, both within the family and within this nation. Don’t ask what God has given us because in fact He has given us a lot, including our breath of life; but ask what we have done for God. Also don’t ask what this country has given you but ask what you have given to your country. So that at the age of 79 years of our nation’s founding we can focus on preparing ourselves for a “Golden Indonesian” later.

Happy Independence Day.

Lord Jesus bless us all.

Amen.


Post Scriptum:

This is a late post. This sermon was delivered almost a year ago. Somehow, due to several limitations on my behalf, I have been only able to publish its update this content to all of you my dear readers. Mistakes are on my side.

Ini adalah teks kotbah/renungan dalam Bahasa Inggris yang disusun, diterjemahkan dan disampaikan oleh seorang calon imam diosesan Keuskupan Agung Medan, Noza Nazarius Ginting Suka. Saat ini Noza berada pada formasi awal pembinaan calon imam sebagai seorang frater Pra-TOR (Pra-Tahun Orientasi Rohani).

Sejak awal – Saya sebagai pengajar Bahasa Inggris dan para frater tersebut – menyepakati untuk menantang diri untuk mencoba melakukan hal-hal baru dalam Bahasa Inggris. Kesepakatan ini adalah buah dari keinginan dari Noza dan teman seangkatannya untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka melalui praktek dan/atau proyek yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di masa depan ketika mereka ditahbiskan sebagai imam. Berkotbah atau menyampaikan renungan adalah salah satunya.

(Masih ada beberapa proyek lain. Ingatkan Saya untuk tetap memberi update tentang proyek-proyek mereka. Jangan ragu: Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban untuk memberi perhatian pada pembinaan calon imam mereka).

Harapannya, mereka semakin terdorong dan percaya diri untuk semakin total memberi diri dalam target jangka panjang, yakni “to immerse oneself into English” sebagai konsekuensi konret dari keinginan untuk menguasai Bahasa Inggris (mastering English) sedemikian sehingga nanti di masa depan mereka dapat berkomunikasi secara aktif.

Sebagai calon imam yang baru saja menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Menengah, maka patut diduga mereka belum dibekali dengan cukup terkait pengetahuan filsafat dan teologi yang perlu untuk itu. Maka, guna memastikan ortodoksi dengan ajaran Gereja, maka sebelum kami – frater pembawa renungan dan Saya – menterjemahkan dan melatih cara penyampaiannya, maka terlebih dahulu setiap teks diperiksa dan dikoreksi oleh Pastor pendamping (chaplain), entah oleh Pastor Rektor Pra-TOR RD Johannes Sihombing atau oleh Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet.

Oh iya. Ada yang unik dengan sosok frater yang satu ini. Saat perkenalan pada pertemuan pertama di kelas, sebenarnya Noza mengaku bahwa ada banyak hal yang dialaminya di masa lalu yang membuat dia tidak begitu tertarik untuk belajar Bahasa Inggris. Namun, setelah mendengar bahwa sebagai calon imam diosesan yang oleh Uskup diminta untuk serius belajar terutama sebagai persiapan atas banyak hal untuk tugas-tugasnya sebagai imam di masa depan kelak, Noza menawarkan diri untuk tampil pertama kali di antara para frater Pra-TOR angkatan 2024/2025. Seperti biasa: another credit for any student who show initiative. Good job.

Sesuai dengan maksud dari tulisan ini, maka artikel ini dapat pembaca gunakan menjadi sarana untuk memberikan masukan terhadap pembelajaran Bahasa Inggris yang kami lakukan sehingga terjadi penyempurnaan berkelanjutan.

Saran terkait apa saja? Kita boleh menyasar aspek manapun dari sebuah kotbah: aspek penyampaian (delivery), isi, struktur atau bahkan aspek teknikal seperti gestur, pengucapan dan pelafalan dan sejenisnya. Saran dan diskusi membangun selalu penting dan berguna, sebagaimana yang kita semua harapkan terjadi pada semua institusi pendidikan, terutama pembinaan calon imam kita. Bagaimanapun, pembinaan calon imam sekarang akan ikut menentukan keberlangsungan Gereja di masa depan.


Video penyampaian kotbah ini dapat kita saksikan di kanal Youtube SPP Kabanjahe.

Kotbah Hari Minggu Paskah VII (Hari Komunikasi Sedunia 2025): “Ut Omnes Unum Sint”

Sermon on the World Communication Day 2025

“Ut Omnes Unum Sint”
(That They May All Be One)

My beloved brother and sisters,

Through words we express all our affections, thoughts, and all other things that we can understand. That is what we called by “communication”, the process in which we share our thoughts and ideas in a way that we understand and connect to each other. However, in today’s world there are kinds of communication and unfortunately some of them turn out to head another way.

Dear brothers and sisters,

The world we know today faces various events and sadly conflicts are many among them. The term “battle” does not only the old school physical place, but also occur in mind, words, and deeds that often result in unending chaos. This kind of realisation make the communication appear allegorically as “two-bladed knife”: is it a unifying device or the other way around, a dividing means?

Brothers and sisters in Christ,

“We must first listen” said Pope Francis following an extract from the message of His Holiness on the occasion of the 50th World Communication Day celebrated on 8th May 2016. The exact same message is also pronounced by His Holiness Pope Leo (the) XIV, congratulating to Napoli football club in Italy, when he emphasizes the importance of the unifying spirit in football just like any other sport due to their philosophy and core values. As Catholics we do not regard this saying as a source for controversy but rather as a beautiful example that even as the highest leader of more than one million of Catholic faithful around the world, representing the whole Church he truly listens to what happen with his people. Only after listening to the joy and sorrow of the people, the Church later gives response. On this case it is Pope Francis to the football fans.

In today’s reading of the mass the Church teaches us through the example of Saint Stephen when he responded to those people who despised him, mocked him, and even scorned him with stones. Saint Stephen talked to them with mercy and compassion, not with anger. Even stoned, he did not curse but he begged for mercy upon them because he was full of Holy Spirit. This story might sound cool yet it is so hard to do. In our reality nowadays many people easily offended, almost by anything, and when they feel so, usually, they strike back straight-forward without pausing for a minute to take discernment on what should be done instead.

Brothers and sisters,

People tend to react rather than to respond. What is the difference on those two? Reaction is spontaneous, many times without filters. Meanwhile responding means listening first, giving a fair thought about what is really happening and then and only just then we decide what kind of answer we should reply or not giving any verbal reply at all. This is important so that we are not easily triggered and to keep everything under control.

Beloved brothers and sisters,

As believer we should have love and compassion and communicate using those Christian values. In Revelation, the Church reminds us that Jesus did not leave us in confusion and fear. Jesus clearly said all God’s promises without fear. His way of communicating is convincing and comforting. This should enlighten us on how we communicate on daily basis in which we are bombarded by hoaxes, panicked messages, evil propaganda, and kinds of them: we are called to be the bearer of good news. And what is the good news? It is that Jesus is alive and he will come again.

My beloved brothers and sisters,

We are all unified in Christ. The preaching we deliver in our life eventually will unite us all. Let us together be the preacher full of love and compassion, not judging but giving hope and encouragement instead. May Lord Jesus always be with us, accompanying us in our unending pilgrimage.

Lord Jesus bless us. Amen.


Ini adalah teks kotbah/renungan dalam Bahasa Inggris yang disusun, diterjemahkan dan disampaikan oleh seorang calon imam diosesan Keuskupan Agung Medan, Frater Antonius Sagala. Saat ini Antonius berada pada formasi awal pembinaan calon imam sebagai seorang frater Pra-TOR (Pra-Tahun Orientasi Rohani) di Kabanjahe.

Sejak awal – Saya sebagai pengajar Bahasa Inggris dan kedua belas frater tersebut – menyepakati untuk menantang diri untuk mencoba melakukan hal-hal baru dalam Bahasa Inggris. Yang belum pernah mereka alami di Seminari Menengah. Kesepakatan ini adalah buah dari keinginan dari Antonius dan teman seangkatannya untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka melalui praktek dan/atau proyek yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di masa depan ketika mereka ditahbiskan sebagai imam. Berkotbah atau menyampaikan renungan adalah salah satunya.

(Masih ada beberapa proyek lain. Ingatkan Saya untuk tetap memberi update tentang proyek-proyek mereka. Jangan ragu: Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban untuk memberi perhatian pada pembinaan calon imam mereka).

Harapannya, mereka semakin terdorong dan percaya diri untuk semakin total memberi diri dalam target jangka panjang, yakni “to immerse oneself into English” sebagai konsekuensi konret dari keinginan untuk menguasai Bahasa Inggris (mastering English) sedemikian sehingga nanti di masa depan mereka dapat berkomunikasi secara aktif.

Sebagai calon imam yang baru saja menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Menengah, maka patut diduga mereka belum dibekali dengan cukup terkait pengetahuan filsafat dan teologi yang perlu untuk itu. Maka, guna memastikan ortodoksi dengan ajaran Gereja, maka sebelum kami – frater pembawa renungan dan Saya – menterjemahkan dan melatih cara penyampaiannya, maka terlebih dahulu setiap teks diperiksa dan dikoreksi oleh Pastor pendamping (chaplain), entah oleh Pastor Rektor Pra-TOR RD Johannes Sihombing atau oleh Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet.

Oh iya. Yang unik dari Antonius adalah kemauannya untuk menawarkan diri secara inisiatif untuk menjadi pembawa kotbah pertama ketika teman-teman lainnya masih ragu. Ini hal yang baik. Sebab benar, there is always a first time for everyone. Dan siapa yang berani menawarkan diri tampil pertama kali berarti memiliki kesadaran bahwa kerap kesempatan “first time” itu harus diciptakan dan dijemput, bukan ditunggu.

Sesuai dengan maksud dari tulisan ini, maka artikel ini dapat pembaca gunakan menjadi sarana untuk memberikan masukan terhadap pembelajaran Bahasa Inggris yang kami lakukan sehingga terjadi penyempurnaan berkelanjutan.

Saran terkait apa saja? Kita boleh menyasar aspek manapun dari sebuah kotbah: aspek penyampaian (delivery), isi, struktur atau bahkan aspek teknikal seperti gestur, pengucapan dan pelafalan dan sejenisnya. Saran dan diskusi membangun selalu penting dan berguna, sebagaimana yang kita semua harapkan terjadi pada semua institusi pendidikan, terutama pembinaan calon imam kita. Bagaimanapun, pembinaan calon imam sekarang akan ikut menentukan keberlangsungan Gereja di masa depan.


Video penyampaian kotbah ini dapat kita saksikan di kanal Youtube SPP Kabanjahe.

Sermon on the Pentecost Day 2025: “Receive the Holy Spirit”

Sermon on the Pentecost Day 2025

“Receive the Holy Spirit”

PREACHER: FRater ANDREO FRANCISCO SITEPU

“Send forth your Spirit and renew the face of the earth”

Happy Birthday! Happy Pentecost Day!

During the whole week after Ascension Day, the Church pray: “Come, Holy Spirit, fill the hearts of Your faithful and kindle in them the fire of Your love”. And here comes today, the day we as Catholic Church commemorate Pentecost, namely the descent of the Holy Spirit upon the apostles.

My beloved brother and sisters,

In the first reading of the Mass today, we listen to the story of Pentecost. Holy Spirit descended with a rushing wind and tongue of fire, resting upon each of them. The disciples initially were afraid, doubtful, anxious but now they are encouraged to go out from their hiding places to preach the Gospel everywhere. Fascinatingly, all the words coming from their mouths can now be understood by multiple people with various background of language and culture.

My brothers and sisters,

In the second reading, Apostle Paul, admonished the faithful in Rome, so that they live in Spirit. Paul urges them to live in the Spirit, not carnal desires because those who are controlled by carnal desires, are not favoured by God. God want His people to put first the heavenly happiness not the earthly one.

“Peace be upon you” (Arab: ‘assalamualaikum‘) 

Jesus said this greeting twice as His earnestness to grant us eternal peace. This took place when Jesus appeared Himself to the apostles. In the Gospel of John today, Jesus send His disciples true the Holy Spirit. From this event of Pentecost, the Church is born. That is why it is correct for us to greet each other “Happy Birthday”. The same Spirit transform our lives and enables us to be the faithful and reliable witnesses of Christ around the world. It is the Holy Spirit who enables us to live according to God’s will, to follow His teachings and to grow our faith in holiness in hope for the eternal heavenly peace.

Dear brothers and sisters,

Wherever and whenever the Holy Spirit works, there and at that time we will see the understanding hearts, compassion, acceptance and forgiveness. Just as the Holy Spirit enables the apostles to understand various people from various cultures and nationalities, let us open our hearts as well to the Holy Spirit so shat as a unity of the Church we can understand other people and to be understood back through our loving, dear and honest way of living.

Beloved brothers and sisters,

Holy Spirit is our guardian in living the love and spread the love to our fellow human beings just as God’s command. Thereby, the event of Pentecost is not just a story in the past, but truly is still happening and will continuingly happen in our live. The Holy Spirit is always be with us, guides us to know God deeper, not in mere cognitive knowledge but also through the living relation in our hearts, personal life and fraternity. May the Holy Spirit enable us to see God with the living faith, not through in our physical eye. Allow me to pray through this verses of classic Pentecost Hymn:

Veni Creator Spiritus
Mentes tuorum visita
Imple superna gratia
Quae tu creasti pectora.

Deo Patri sit gloria
et Filio, qui a mortuis
surrexit, ac Paraclito
in saeculorum saecula. Amen

May God the Father, the Son and the Holy Spirit always be with us and enable us to be His loyal witness in truth and love. Amen.


Ini adalah teks kotbah/renungan dalam Bahasa Inggris yang disusun, diterjemahkan dan disampaikan oleh seorang calon imam diosesan Keuskupan Agung Medan, Frater Andreo Francisco Sitepu. Saat ini Andreo berada pada formasi awal pembinaan calon imam sebagai seorang frater Pra-TOR (Pra-Tahun Orientasi Rohani).

Sejak awal – Saya sebagai pengajar Bahasa Inggris dan para frater tersebut – menyepakati untuk menantang diri untuk mencoba melakukan hal-hal baru dalam Bahasa Inggris. Kesepakatan ini adalah buah dari keinginan dari Andreo dan teman seangkatannya untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka melalui praktek dan/atau proyek yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di masa depan ketika mereka ditahbiskan sebagai imam. Berkotbah atau menyampaikan renungan adalah salah satunya.

(Masih ada beberapa proyek lain. Ingatkan Saya untuk tetap memberi update tentang proyek-proyek mereka. Jangan ragu: Semua orang beriman memiliki hak dan kewajiban untuk memberi perhatian pada pembinaan calon imam mereka).

Harapannya, mereka semakin terdorong dan percaya diri untuk semakin total memberi diri dalam target jangka panjang, yakni “to immerse oneself into English” sebagai konsekuensi konret dari keinginan untuk menguasai Bahasa Inggris (mastering English) sedemikian sehingga nanti di masa depan mereka dapat berkomunikasi secara aktif.

Sebagai calon imam yang baru saja menamatkan pendidikan dari SMA Seminari Menengah, maka patut diduga mereka belum dibekali dengan cukup terkait pengetahuan filsafat dan teologi yang perlu untuk itu. Maka, guna memastikan ortodoksi dengan ajaran Gereja, maka sebelum kami – frater pembawa renungan dan Saya – menterjemahkan dan melatih cara penyampaiannya, maka terlebih dahulu setiap teks diperiksa dan dikoreksi oleh Pastor pendamping (chaplain), entah oleh Pastor Rektor Pra-TOR RD Johannes Sihombing atau oleh Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet.

Oh iya. Sesuai dengan maksud dari tulisan ini, maka artikel ini dapat pembaca gunakan menjadi sarana untuk memberikan masukan terhadap pembelajaran Bahasa Inggris yang kami lakukan sehingga terjadi penyempurnaan berkelanjutan.

Saran terkait apa saja? Kita boleh menyasar aspek manapun dari sebuah kotbah: aspek penyampaian (delivery), isi, struktur atau bahkan aspek teknikal seperti gestur, pengucapan dan pelafalan dan sejenisnya. Saran dan diskusi membangun selalu penting dan berguna, sebagaimana yang kita semua harapkan terjadi pada semua institusi pendidikan, terutama pembinaan calon imam kita. Bagaimanapun, pembinaan calon imam sekarang akan ikut menentukan keberlangsungan Gereja di masa depan.


Video penyampaian kotbah ini dapat kita saksikan di kanal Youtube SPP Kabanjahe.

 

Pantun Multibahasa Membalas Ucapan Selamat Ulang Tahun

Zaman sekarang, hampir semua kita memiliki akun media sosial (medsos). Entah Facebook, Line, Instagram, maupun yang lainnya. Kalian teman-temanku yang orang Batak juga tentu tidak ketinggalan.

Sesuai fungsi awal media sosial, yakni untuk menghubungkan orang kendati berjauhan tempat, maka momen-momen penting dalam hidup kita juga kerap kita bagikan. Momen ulang tahun misalnya. Bahkan, aplikasi Facebook mengingatkan teman kita kapan kita ulang tahun tanpa harus kita poskan (jika kita mengizinkan si Facebook untuk mengingat dan memberitahukannya kepada teman-teman kita setiap tahun).

Lalu biasanya akan ramai orang mengucapkan selamat ulang tahun. Umumnya ucapan yang berisi harapan dan doa. “SUT”. “HBD”. “Happy Birthday ya”. Beberapa teman jahil, misalnya kerap memplesetkannya menjadi “Selamat Hari Burung ya”. Ini pun terjemahan dari ucapan plesetan juga, yakni “Happy Bird Day”, yang secara pengucapan terdengar mirip dengan Happy Birthday. Ya, kuterima saja karena benar aku tahu maksudnya, sama-sama pemilik burung alias pidong. Kalau kamu masih nanya, “kok bisa jadi pidong, konteksnya apa?”, mungkin karena kita masih belum berteman. Hahaha.

Ketika kita baru memiliki jumlah teman medsos yang tidak begitu banyak, tidak akan menjadi masalah. Kita bisa membalasnya satu persatu tanpa menyita waktu banyak. Tapi bagaimana kalau teman kita sudah berjumlah ratusan bahkan ribuan? Pasti akan repot jika harus membalas satu persatu. Bisa-bisa kita didamprat bos karena asyik bermedsos ria membalas ucapan selamat, lupa kerjaan. Nah, salah satu solusi yang kurasa efektif supaya teman-teman yang mengucapkan selamat tidak berkecil hati adalah membalasnya sekaligus dengan pantun (umpasa). Biasanya metode ini lebih menarik dibandingkan dengan postingan balasan yang serba formal, filosofis, apalagi sampai kita ceritakan ulang proses kelahiran kita sampai mencapai umur sebanyak angka yang sedang dirayakan. Percayalah. Kebanyakan teman juga tidak mau tahu apakah kita waktu itu lahir di rumah sakit, di bidan atau di tangan Sibaso.

Seorang teman Facebook, Deni Lumbantoruan, yang juga dosen di King’s College London membuat ucapan balasan berupa pantun dalam 3 bahasa sekaligus, yaitu bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Ini dia pantun dan umpasa-nya.


(Bahasa Indonesia):

Bunga melati bunga dahlia,
Sungguh tajam keharumannya.
Betapa hati merasa bahagia,
Atas ucapan dan doa-doanya.


(Hata Batak Toba)

Songgop si Ruba-ruba
tu dangka ni si Hapadan,
Angka hata nauli dohot tangiang na dipasahat hamuna,
sai dijangkon tondi ma dohot badan.


(English):

Queen lives in Windsor,
Johnson lives in Downing Street,
Fill my days with hope,
Know that I am loved.