Yang Aku Dapat dari Dirty Vote II – OTOT, OTAK dan ONGKOS untuk Pemilu 2029

Yang paling kecil, Kaisang, itu ya jualan pisang goreng. Kemudian yang gede Gibran, itu jualan martabak. Ini yang Ayang sama suaminya mau jualan kopi ya silakanlah. Mau terjun ke politik juga silakan. Enggak tahu. Saya tanyakan saja ke anaknya langsung.

(Joko Widodo)

PEMENANG YANG INSECURE

Akhirnya film Dirty Vote 2 tayang juga. Kalau di Dirty Vote 1 sebenarnya para pemainnya menggambarkan bahwa ada kecurangan sistematis di balik kemenangan 58% yang dipegang oleh Prabowo dan Gibran. Kecurangan sistematis itu membuat sebenarnya Prabowo dan Gibran juga merasa insecure. Prabowo merasa tidak percaya diri maka kemudian dia membangun O3, yakni Otot, Otak, dan Ongkos.

‘Otot’ ini merujuk pada hardware, yakni penggunaan kekerasan dan kekuatan yang koersif. Penguasa membiarkan polisi untuk semakin berkuasa lalu kemudian mengembalikan militarisme.

‘Otak’ itu berbicara tentang biaya dan upaya merangkul partai-partai politik agar parlemen tanpa oposisi. Penguasa merangkul para parpol agar parlemen yang tanpa oposisi itu mudah menciptakan produk hukum yang memperkuat rezim.

‘Ongkos’ sendiri merujuk pada ‘gentong babi’ bagi para elit oligarki hingga masa pemilih.

Ketiga instrumen itu pertama-tama tentu bertujuan untuk memenangkan Pemilu 2029. Mengapa? Karena sudah pernah dilakukan.

Tujuan kedua yakni memastikan wujudnya kapitalisme terpimpin yang tentu saja berupaya mengendalikan banyak kepentingan.

Nah, bagaimana itu semua bisa diwujudkan? Tentu salah satu langkahnya dengan upaya kembali ke Undang-Undang Dasar 45 ala Orde Baru. Undang-undang ini pula yang membuat kekuasaan otoritarianisme bisa langgeng di Indonesia.

Siapa saja yang memiliki kepentingan besar untuk mewujudkan ini? Tentu saja, yang paling utama ialah kaum oligark yang diuntungkan dari mekanisme yang tidak demokratis itu. Supaya terjadi, tentu kelompok ini harus saling menyokong. Uang yang banyak dibutuhkan guna melancarkan politik untuk memenangkan pemilu dan tujuan-tujuan berikutnya lain-lain. Inilah yang menjadi lingkaran setan di dalam sistem politik ketatanegaraan kita.

BISAKAH LINGKARAN SETAN INI DIPUTUS?

Secara etika dan moral, tentu saja yang namanya lingkaran setan itu harus diputus. Kalau tidak, sampai kapan kita mau begini terus?

Untuk memutusnya, pertama-tama ada setidaknya tiga hal yang kita harus kita cermati.

Pertama, reformasi kepolisian.

Kedua, reformasi TNI.

Keduanya ini sifatnya institusional. Harus dibongkar untuk mengembalikan fungsi otot tadi untuk kepentingan negara dan rakyat.

Ketiga, perombakan sistem politik. Merombak sistem politik berarti berkaitan dengan partai politik dan sistem pemilu.

Kalau ketiga ini dibongkar, maka kita bisa berharap kemudian kita bisa menciptakan sistem politik yang lebih inklusif. Artinya, seluruh rakyat bisa ikut dalam politik ini, bukan hanya mereka-mereka ini.

KILAS BALIK PEMILU 2024

Prabowo dan Gibran memenangkan pemilu presiden 2024. Prabowo memenangkan 58,6 %; Anis dan Muhaimin berada di angka 24,9 % serta pasangan Ganjar Mahfud ND itu berada di 16,5 %. Suka atau tidak suka, pasangan Prabowo-Gibran kemudian dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Bismillahirrahmanirrahim.

Demi Allah, Saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.

(Pengucapan Sumpah Presiden Republik Indonesia)

PARADOKS: KEKUASAAN DAN DUKUNGAN PUBLIK

Apakah kemenangan 58 % yang diraih oleh Prabowo Gibran berbanding lurus dengan angka dukungan publik?

Memang survei approval rate bagi Prabowo di 100 hari itu adalah 80,9 %. Tetapi jangan lupa, di akhir masa jabatannya Presiden Joko Widodo sudah mendapatkan 75,6 %. Kita tahu ada relasi yang kuat antara Prabowo dan Joko Widodo. Itu sebabnya 80,9 % tadi sebenarnya tidak benar-benar murni. Tambahan lagi, selisihnya hanya ada 5%.

Mari kita bandingkan dengan yang terjadi di peralihan antara Susilo Bambang Widyono ke Joko Widodo. Di Juni 2014, approval rate Susilo Bambang Yudoyono sebenarnya 48%. Tapi Joko Widodo di 100 harinya itu dapat meningkatkan sampai 65,1%. Ada selisih hampir 17%.

Disinilah terlihat paradoksnya, yakni bahwa tingkat approval rate yang tinggi itu tidak ditunjang dengan rasa percaya diri sebagaimana terlihat ketika Pemenang yang menjadi Penguasa itu mengkonversi itu menjadi kebijakan-kebijakan dalam kebijakan negara.

Belum genap setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, sudah terjadi rentetan peristiwa yang menjadi pemicu kemarahan rakyat Indonesia.

  1. Kenaikan PPN 12% yang kemudian harus direvisi segera.
  2. Efisiensi anggaran. Presiden Probowo menerbitkan Inpres Efisiensi Anggaran Tahun 2025. APBN kemudian dipangkas sampai 306 triliun. Kita menyokong efisiensi. Tapi pada saat yang sama efisiensi yang tidak mendasar itu kemudian banyak terkena ke kebijakan-kebijakan lainnya sehingga menjalannya kebijakan publik, jalannya pemerintahan itu menjadi terhalang.
  3. Redistribusi LPG 3 kg di pengecer dan itu berakibat cukup parah. Masyarakat harus antri luar biasa. Ada satu orang yang sampai meninggal, ditengarai karena mengantri LPG yang sangat panjang.
  4. Kasus Danantara. Pemerintah meluncurkan Danantara dengan tujuan (alasan?) untuk menghimpun dana. Banyak sekali perdebatan karena kurang jelasnya cara, model, rekrutmen para pengurus dan lain-lain.
  5. Penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Aksi dari masyarakat sipil menolak pembahasan RUU yang tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

    Selamat sore Bapak Ibu. Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, pemerhati di bidang pertahanan. Kami menuntut agar proses pembahasan revisi undang-undang ini dihentikan karena tidak sesuai dengan proses legislasi ini. Diadakan tertutup Bapak, Ibu. Eh, Pak, Pak. Woi, Anda mendorong, Teman-teman. Bagaimana kita kemudian hari ini represif? Kami menjalankan fungsi pengawasan sebagai masyarakat sipil. Kami menolak adanya pembahasan di dalam. Kami menolak adanya Dwifungsi ABRI, teman-teman.

  6. Tagar IndonesiaGelap
  7. Tagar KaburAjaDulu
  8. Kenaikan PBB yang terjadi di beberapa daerah dan akhirnya memicu demonstrasi yang besar. Demonstrasi di Kabupaten Pati menjadi potret besarnya.
  9. Pemblokiran dana idle (dana menganggur) oleh PPATK yang juga berbuah begitu banyak catatan bahkan mendatangkan kecaman.
  10. Prahara Agustus 2025.

Negara mengalami rasa insecure. 

Dua tagar diatas sebenarnya menggambarkan keinginan publik untuk berpartisipasi. Kamu bisa lihat dari bagaimana Prabowo menyampaikan pandangannya soal tagar kedua tagar itu.

Ada orang-orang yang berperan sebagai orang pintar, berperan sebagai pemimpin, tapi yang di yang disebarkan adalah pesimisme. Indonesia gelap, kabur aja deh. Lu kabur aja lu. Emang gampang lu di situ. Di luar negeri di mana lu? Lu dikejar-kejar di situ ini dan ternyata memang ini adalah rekayasa. Ini dibuat-buat.

(Prabowo)

Tentang kebijakan pemerintah untuk menyita tanah yang menganggur, begini ucapan Pak Menteri, Nusron:

Kan menetapkan tanah terlantar itu butuh waktu 587 hari. Tidak serta-merta. Jadi tidak asal tetapkan. Tidak bisa. Jadi, kalau sampai segini sudah dikasih surat cinta, memang dia kemudian protes, berarti memang yang bersangkutan itu punya enggak punya niat niat untuk mendayagunakan dan memanfaatkan tanahnya. Tapi perlu diketahui, ya: tanah itu tidak ada yang memiliki. Yang memiliki tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai negara kemudian memberikan hak kepemilikan. Jadi, enggak ada istilah kalau belum ada SHM-nya itu dia memiliki. Enggak ada. ‘Oh ini tanahnya Mbah-mbah Saya, leluhur Saya’. Saya mau tanya: ‘Memang Mbahmu dulu bisa membuat tanah?

Sekali lagi, rasa insecure itu berakibat ada paradigma yang dibuat secara asal-asalan. Karena asal-asalan, kebijakan itu kemudian dicabut. Pak Menteri pun akhirnya dia minta maaf.

Tidak lama berselang, ketenangan publik kembali terusik oleh kebijakan PPATK. PPATK mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pemblokiran terhadap dana-dana di berbagai bank yang idle (menganggur) lebih dari 3 bulan. Ini tentu saja memicu keparahan publik.

Singkatnya, belum 1 tahun ada begitu banyak kebijakan kontroversial. Ada yang diperbaiki dan ada yang tetap dilanjutkan. Ada yang diperbaiki karena viral, tapi ada yang kemudian dibuat serampangan meskipun sudah mendapat begitu banyak kritikan.

Legitimasi rendah membuat Prabowo Gibran merasa insecure. Ia merasa terancam. Saking merasa insecure-nya, kita bisa lihat bagaimana Prabowo kerap melontarkan narasi pembelaan yang insinuatif. Ia membuat tuduhan dengan menggambarkan seolah-olah ada musuh bersama, yaitu pihak asing atau terotis yang tidak menginginkan negara Indonesia menjadi lebih baik.

Ada segelintir orang – ada Saya kira – entah sadar atau tidak sadar, mereka itu sudah jadi antek-antek asing. Enggak apa-apa Saya bicara di depan wartawan. Saya katakan mereka sadar atau tidak, mereka antek asing. Mereka tidak suka Indonesia bangkit. Mereka tidak suka Indonesia bangkit. Saya katakan mereka tidak suka Indonesia bangkit. Tapi kita yang akan bangkit bersama Indonesia. Biar anjing menggonggong, kafilah tetap akan terus.

(Prabowo)

Indonesia gelap. Indonesia gelap. Sorry ye. Indonesia cerah. Masa depan Indonesia cerah. Saya sudah lihat angka-angkanya. Kekayaan kita luar biasa. Tinggal kita bisa mengelola atau tidak. Tinggal kita berani atau tidak.

(Juga Prabowo)

Tak berhenti disitu, ada ketakutan berlebihan terhadap simbol One Piece. Bahkan negara kemudian mengatakan seakan-akan orang yang mengebarkan mengibarkan bendera One Piece itu bisa dipidana. Satu perdebatan yang tentu saja sangat besar.

INSINUASI BERBUNTUT MISTIFIKASI

Rasa insecure itu kemudian hendak Pemerintah konversi menjadi mistifikasi guna mengaburkan sejarah.

Kenapa sejarah menjadi penting? Karena Prabowo dan Gibran ini mewarisi sejarah yang tidak terlalu baik. Ada catatan kelam berkaitan dengan rezim Orde Baru, terutama Peristiwa 1998. Dari sisi Gibran, publik bahkan tak segan melabelinya sebagai ‘Anak Haram Konstitusi’.

Maka, Fadli Zon, Menteri yang sekaligus orang kepercayaan Prabowo, mendorong mistifikasi itu dengan mengubah alur sejarah. Alur sejarah coba diubah. Tidak berhenti disitu, Soeharto, penguasa rezim Orde Baru itu pun hendak dijadikan pahlawan nasional.

Penguatan ‘otot’ itu juga terlihat dari lamanya Sigit Listio menjadi Kapolri. Ia memegang jabatan ini paling lama. Sekarang sudah hampir 5 tahun.

Kalau kita bandingkan dengan Kapolri terbaik yang pernah dimiliki oleh Republik, yakni Pak Hoegeng, yang menjabat hanya 3 tahun:  Benarkah Listio sebaik Hoegeng?

Berbicara kepolisian, ini tidak hanya soal pimpinan. Polisi juga dibiarkan merangkap jabatan di banyak posisi. Situasi yang memicu perdebatan panjang. Jadi ada upaya memperkuat otot politik dan membiarkan kemewahan-kemewahan yang sudah dimiliki oleh kepolisian sejak lama, yang semenjak zaman Jokowi tentu saja dibiarkan ada. Saat ini ada 52 perwira aktif yang rangkap jabatan sipil. Ada yang jadi Irjen di Kementerian UMKM; ada yang jadi irjen di Kementerian ESDM; ada yang menjadi tenaga ahli Menpora; Badan Penyelenggara Haji; bahkan ada yang dapat penugasan menjadi Sekjen di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

Lebih lanjut, ada juga di Komdigi, yakni untuk pengawasan ruang digital hingga urusan penegakan keadilan dan rekonsiliasi Kementerian Koordinasi Pembangunan dan Kebudayaan.

Bayangkan, ada 52 orang. Padahal di dalam Undang-Undang Undang-Undang Polri jelas dikatakan di pasal 28 bahwa ‘anggota kepolisian negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari Dinas Kepolisian‘.

Tidak hanya berhenti di level penguatan personil. Upaya terstruktur ini juga melibatkan penguatan kewenangan POLRI melalui RUU POLRI.  Penguatan kewenangan itu mencakup poin-poin berikut.

  • Penyadapan tanpa prosedur perizinan yang jelas.
  • Pengawasan dan pembinaan yang juga dimonopoli.
  • Penindakan pemblokiran pemutusan perlambatan akses internet.
  • Penggalangan intelijen.
  • Perpanjangan penahanan menjadi 40 hari (padahal sebelumnya hanya sekitar 20 hari).
  • Penggeledahan tanpa izin pengadilan pada keadaan mendesak (dimana diksi ‘mendesak’ ini tentu multitafsir.
  • Penyidik berhak untuk menentukan kuasa hukum bagi tersangka atau terdakwa (kerap ini menjadi ajang kongkalikong.

Singkatnya, inilah pandangan umum warga terhadap cara rezim Prabowo Gibran untuk memperkuat otot politik melalui penguatan di RUU POLRI.

Hal senada terlihat dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP (RKUHAP). Ada banyak sekali catatan di RKUHAP ini. Misalnya:

  • Kewenangan polisi ditambah untuk melakukan penyidikan tanpa pemberitahuan ke penuntut umum.
  • Pemeriksaan dapat direkam dengan kamera pengawas. Kata ‘dapat direkam’ ini seperti seakan-akan tidak menjadi kewajiban, melainkan pilihan.
  • Ditambah lagi kewenangan untuk menangkap orang dengan dalil menghambat proses pemeriksaan dan informasi tidak sesuai fakta. Ini sangat diskresional.

Meskipun dihujani kritisisme deras atas berbagai soal krusial diatas, tetap saja DPR RI mengetuk palu.

Sekarang tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang? Terima kasih.

(Puan Maharani, Ketua DPR RI, sesaat sebelum mengetuk palu)

(Semua peserta rapat kompak berseru: ‘Setuju’)

Ini menggambarkan cara ugal-ugalan di balik pengesahan rancangan Undang-Undang TNI menjadi Undang-Undang TNI. Kenapa ugal-ugalan dan kenapa menjadi seperti cepat-cepatan? Barangkali ini bisa tergambar dari dinamika bagaimana rancangan Undang-Undang TNI itu menggunakan kekuatan bersenjata, menggunakan kekuatan sangat luar biasa untuk menutup peluang partisipasi publik sehingga seakan-akan gedung DPR dipagari dan dibatasi dari kemungkinan mendapatkan aspirasi publik maupun partisipasi publik. Gedung yang sebenarnya milik rakyat, namun tidak ada kesempatan yang diberikan kepada publik untuk memberikan partisipasi yang bermakna, tidak hanya berkaitan soal proses formil perancangan undang-undang saja, tetapi juga dari substansinya.

Lebih lanjut, berikut ini beberapa hal yang menjadi sorotan dalam UU TNI yang baru ini, dimana terlihat upaya memberikan perluasan kewenangan bagi TNI yang sangat banyak:

  1. Pembahasan yang cepat dan tertutup
  2. Pengisian 14 posisi sipil (sebelumnya 10)
  3. Penambahan kewenangan untuk mengusur narkoba dan ancaman siber.
  4. Presiden tidak Misalnya, aturan yang memberikan kewenangan penuh kepada Presiden untuk memerintahkan operasi militer di luar perang tanpa persetujuan parlemen untuk mengatasi separatisme. Tentu ada perdebatan di sini karena bukan sekedar bagaimana konteks separatisme, tetapi juga bicara soal persetujuan parlemen yang biasanya harus dilakukan.

Berdasarkan Nota Keuangan APBN dari Kemenerian Keuangan RI, terlihat betapa anggaran pertahanan itu mengalami peningkatan yang sangat signifikan dan terus-menerus. Dan ini dilakukan bahkan di tahun ketika Prabowo dan Gibran menetapkan efisiensi anggaran. Peningkatan anggaran tahun dari tahun APBN 2025 ke 2026 itu mencapai  36,7%, dari Rp 245 triliun menjadi Rp 335 triliun.

Selain itu, Prabowo juga menambah kekuatan militer organik.

Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim pada pagi hari ini, hari Minggu tanggal 10 Agustus tahun 2025, Saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, dengan ini meresmikan:

  • 6 Komando Daerah Militer,
  • 14 Komando Daerah Angkatan Laut,
  • 3 Komando Daerah Angkatan Udara,
  • 1 Komando Operasi Udara,
  • 6 Grup Komando Pasukan Khusus,
  • 20 Brigade Teritorial Pembangunan,
  • 1 Brigade Infantri Marinir,
  • 1 Resimen Korps Pasukan Gerak Cepat,
  • 100 Batalion Teritorial Pembangunan,
  • 5 Batalyon Infantri Marinir,
  • 5 Batalyon Komando Korps Pasukan Gerak Cepat.

(Lalu Prabowo menekan tombol sirene panjang dengan bunyi yang menakutkan itu)

Tidak hanya tentara organik, Prabowo juga melanjutkan rencananya yakni pembentukan komponen cadangan yang merupakan bagian dari tentara non-organik. Pada tahun 2024 Kemenhan sudah mendapatkan 9.700-an anggota komponen cadangan dari target 25.000 orang. Jumlah ini akan terus bertambah seiring tahun berjalan. Ingat, targetnya 25.000 orang.

Apakah berhenti sampai disitu? Tidak. Pemerintah juga memiliki cara pandang melihat urusan pertahanan yang dilebarkan. Makna ‘pertahanan’ tidak hanya kaitan dengan militer tapi juga berkaitan dengan hal-hal yang berfungsi sosial. Akibatnya, TNI juga dilibatkan untuk urusan pangan.

Kami anggap bahwa ini bukan daerah operasi Operasi militer. Terus kenapa harus datangkan militer banyak-banyak daerah kami? Setelah pasukannya sudah sudah di-drop, kemudian alat berat muncul dengan alasan, ‘kami mau membersihkan jalan’. Militer masuk. Lahan digusur. Tanpa ada sosialisasi. Setiap beko (ekskavator) itu dikawal aparat.

(Seorang pria Papua)

Lanjut.

  • Tidak berhenti pada urusan pangan. TNI juga mengurusi urusan sosial. TNI mengurusi penyerapan gabah,
  • TNI mengurus penyelenggaraan dapur untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG),
  • TNI mengurus dapur MBG, seperti yang kita lihat di Provinsi Papua.

Upaya menguatkan ‘OTOT’ ini berlanjut ke penempatan perwira aktif di pos jabatan sipil di luar dari yang diperbolehkan. Undang-undang TNI yang sudah disahkan itu saat ini membolehkan 14 posisi, dari sebelumnya hanya 10. Sejumlah perwira TNI aktif ditempatkan di Penyelenggaraan Haji, Perum Bulog, bahkan di Kementerian Pertanian. Ini juga sama dengan kepolisian yang sudah kita bahas di atas.

Ini sebenarnya jelas melanggar karena Undang-Undang TNI sudah mengatur tentang bagaimana anggota TNI aktif pada jabatan sipil: mana wilayah yang diperbolehkan dan apa yang harus dilakukan ketika itu di luar jabatan yang diperbolehkan, yakni harus mundur atau pensiun dari dinas aktif.

Apakah kebijakan-kebijakan ini memang sesuai dengan kebutuhan di internal TNI? Atau, tidak?

Dilansir dari ‘Kompetensi Digital dan Manajemen SDM TNI pada Era Revolusi Internet 4.0.’ dalam Journal of Education, Humaniora and Social Sciences, November 2024, oleh Chandra Ariyadi, Mhd. Halkis dan Tarsisius Susilo, terdapat kelebihan jumlah jenderal dan kolonel di tubuh TNI.

  • Kebutuhan jumlah jenderal adalah 1.114, sementara jumlah riil ada 1.293 orang. Ada kelebihan 179 jumlah jenderal.
  • Kebutuhan jumlah kolonel adalah 5.423, sementara jumlah riil ada 5.661 perwira. Ada kelebihan 238 jumlah jenderal.

Ketiga penulis pada jurnal yang dikutip diatas berasal dari internal TNI sendiri.

TIM MAWAR

Bagian yang tidak bisa dilupakan adalah adanya Tim Mawar. Sekedar mengingatkan, Tim Mawar itu adalah tim yang dikaitkan dan sudah terbukti terlibat dalam penculikan aktivis di tahun 1998. Ada serangkaian nama, ada banyak nama. Para anggota Tim Mawar ini tetap mendapatkan posisi di sekitar Prabowo. Dan kita tahu memang ada relasi kuat antara Prabowo dan Tim Mawar.

  1. Djaka Budi Utama (Dirjen Bea Cukai)
  2. Nugroho Sulistio (Kepala Badan Siber dan Sandi Negara)
  3. Dadang Hendra Yuda ((Deputi Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional.)
  4. Selvianus Selvanus (Kepala Bidang Instalasi Strategis Kemenhan, Pj Gubernur Sulawesi Utara).
  5. Untung Budiharto (Komisaris Utama Trans Jakarta)
  6. Chairawan Kadarsyah (Asisten Khusus Kemenhan)
  7. Fauzambi Syahrul (Presiden Komisaris PT Vale Indonesia Tbk.)
  8. Fauka Noor Farid (Ketua Umum Garda Prabowo)

Sebenarnya berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang TNI yang dibuat secara serampangan ini, sudah ada begitu banyak penolakan.

Sayangnya, Mahkamah Konstitusi masih belum mengawal dengan baik. Dari 14 permohonan Uji Formil: 10 tidak diterima; 3 ditarik oleh pemohon; 1 ditolak karena permohonan hukumnya dianggap tidak beralasan.

Dari sini ya kita bisa lihat sebenarnya bagaimana Prabowo ingin meng-entertain polisi maupun militer. Dia membayangkan ada kekuatan otot politik yang bisa dia dapatkan dari penguatan kedua-duanya.

Yang terhormat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Liskio Sigit Prabowo. Memang Prabowo ini namanya sak keranjang itu. Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto. Jadi, ada Kapolri namanya Prabowo, panglima TNI namanya Subyanto. Presidennya Prabowo Subianto. Wah, ini alamat enggak diganti-ganti nih.

(Prabowo)


Sumber: DIRTY VOTE II O3, Menit 0 - 41.30


 

 

Penyebab Kegagalan Komunikasi Pemerintah tentang COVID-19

COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah?

Pembubaran kerumunan warga oleh aparat terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Di tengah semakin mengganasnya penularan virus corona, sebagian masyarakat ternyata masih belum disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial atau social distancing.

Mengapa seruan pemerintah tidak dipatuhi? Apa yang melatari kegagalan komunikasi pemerintah?

Ilmu Komunikasi mengenal istilah noise atau gangguan. Unsur noise sangat menentukan berhasil-tidaknya sebuah komunikasi. Noise dalam komunikasi bisa berupa gangguan fisik, gangguan teknis, gangguan semantik, dan gangguan psikologis (West dan Turner, 2008:12). Memang ada jenis noise lain seperti gangguan kultural, namun untuk mengulasnya dengan baik dibutuhkan kajian tersendiri.

Pertama, gangguan fisik yang disebabkan kondisi biologis. Misalnya saja kelompok disabilitas tuli yang memiliki metode komunikasi khusus. Komunikasi dari otoritas kepada mereka mengalami gangguan kalau informasi tentang corona di TV tidak menyertakan Bahasa Isyarat. Begitu pula dengan disabilitas netra yang tidak dapat menerima informasi melalui media cetak atau media luar ruang seperti pamflet atau infografis corona.

Kedua, gangguan teknis, yang bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Contoh: tidak semua masyarakat Indonesia memiliki jaringan internet atau kuota data yang memungkinkan untuk mendapatkan perkembangan informasi sebaran kasus corona melalui situs resmi pemerintah. Hal ini dapat berdampak pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman virus corona.

Ketiga, adalah gangguan semantik yang disebabkan oleh adanya kendala kebahasaan dalam mengirim dan menerima informasi. Telah banyak narasumber ahli berkomentar di TV dan berbagai media lainnya dalam menjelaskan virus corona. Namun, tidak jarang mereka menggunakan bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Di antara istilah yang cukup populer misalnya adalah lockdown, social distancing, hand sanitizer, mortality rate, ODP, dan PDP.

Demikian juga dengan frase “penutupan tempat ibadah” yang terkesan adanya larangan untuk beribadah. Padahal, maksud pemerintah adalah mengimbau masyarakat untuk menghindari kerumunan, termasuk kerumunan jamaah saat ibadah di masjid. Komunikasi pemerintah seharusnya lebih menekankan pada anjuran untuk beribadah di rumah ketimbang “penutupan tempat ibadah”.

Bagaimanapun, persoalan komunikasi adalah tentang bagaimana sebuah pesan sampai dan dimengerti oleh kelompok sasaran. Tiap kelompok memiliki karakteristik dan kompetensi bahasa yang beragam. Ibu-ibu di pasar berbeda dengan remaja yang nongkrong di kafe atau kelompok bermain anak-anak.

Dalam konteks itu, gagasan two-step flow of communication dari Paul Lazarsfeld perlu dipahami, khususnya oleh pihak otoritas seperti pemerintah. Gagasan ini mengasumsikan bahwa orang kebanyakan pandangannya banyak dipengaruhi oleh opinion leaders, di mana para opinion leaders ini juga dipengaruhi pandangannya oleh media massa. Singkatnya, opinion leaders berperan menjembatani pesan dari media ke masyarakat luas.

Dengan memahami ini, pemerintah bisa meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengadaptasi istilah-istilah sulit. Diksi “social distancing”, misalnya, oleh guru terhadap muridnya dapat diganti dengan kalimat “kita jaga jarak dari orang lain supaya kita aman dari virus jahat corona”; atau “penutupan tempat ibadah” yang oleh ustaz ke jamaahnya dapat diperbaiki dengan “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa umat”.

Kemudian, yang keempat, adalah gangguan yang berdimensi psikologis. Untuk memahami ini, kita perlu untuk memahami konsep “frame of reference” dari Wilbur Schramm (1971). Frame of reference merupakan keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan, maka akan semakin besar pula gangguan komunikasi.

Terlepas dari normativitas alasan ekonomi, fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan adanya political prejudice (prasangka politis) dari masyarakat terhadap pemerintah dan media. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya memori historis publik terhadap citra pemerintah. Publik akan mengingat jejak inkonsistensi kebijakan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah.

Sebagai contoh misalnya adalah pengumuman Presiden Joko Widodo tentang relaksasi kredit bagi kreditur ojek daring dan pelaku UMKM yang sampai hari ini belum terealisasi sepenuhnya. Demikian juga dengan adanya ketidakcocokan data pasien COVID-19 antara yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta dan Sumatera Barat dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat.

Implikasinya, sebagian publik memiliki kekecewaan atau ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah. Inkonsistensi seperti ini akan memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh J. Michael Sproule:

“Ketika orang ditipu, mereka tidak mempercayai sumber yang telah menipunya. Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah” (1980:282).

Apalagi Fiske (1987:126) dalam bukunya Television Culture menjelaskan bahwa konsumen media memiliki agensi untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, kampanye “Darurat Corona” dan “social distancing” dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya.

Lantas pelajaran apa yang harus dipetik dari fenomena komunikasi di atas?

Pertama, komunikasi adalah subsistem dari sistem politik atau negara. Ibarat manusia, negara adalah tubuh dan komunikasi adalah darahnya. Sehatnya sebuah kehidupan bernegara sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas peredaran darah pada setiap organnya.

Kedua, dalam situasi darurat bencana, baik itu alam maupun non-alam, seharusnya setiap jenjang otoritas hendaknya memiliki strategi dan perencanaan komunikasi yang komprehensif dan terkoordinasi. Tentu kebijakan komunikasi harus pula mempertimbangkan aspek keterbukaan informasi publik. Negara harus memastikan tidak ada warganya yang harus menanggung risiko maut akibat kebuntuan komunikasi.


Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id, ditulis kembali dengan pengubahan seperlunya.

Leonardo: Horas, Amang Jokowi.

Advent

Jokowi Datang: Horas!!!

Hari ini Pak Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara pada Selasa (1/3) pagi untuk meninjau destinasi wisata Danau Toba. Sebagai tindak lanjut dari hasil Rapat Terbatas tanggal 2 Februari 2016 di Kantor Presiden, langkah ini, entah bermuatan politis atau tidak (biarlah tugas pengamat yang lebih senior untuk memberikan catatan, analisis dan komentarnya), menurut saya dilakukan pada momentum yang tepat.

Sebagai rangkaian dari tiga hari perjalanannya di Sumatera, beliau mengunjungi destinasi wisata prioritas yakni Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba. Setibanya di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang dengan menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1, beliau dan rombongan rombongan berganti pesawat dengan menggunakan CN-295 menuju Bandara Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara dan melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba dengan berkendaraan mobil. Sore harinya, Presiden dan rombongan akan menuju Medan untuk bermalam.

Seprti diinfokan oleh Berita Lima, paket perjalanan ini kemudian akan meliputi kunjungan ke Takengon untuk peresmian Bandara Rembele – Takengon, Provinsi Aceh kemudian meninjau pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan.

Dengan segala hormat kepada para pengamat, jelas langkah ini bukan semata langkah politis tetapi juga marketing yang sangat baik. Setelah resistensi dari para pemangku jabatan di tujuh kabupaten setempat soal pengembangan KSPN Danau Toba, apapun yang dilakukan atau dibicarakan Jokowi dengan kunjungan singkatnya, ia telah mulai memenangkan hati para “raja lokal” tersebut.

Tak hanya menunjukkan kapasitas sebagai kepala suku (presiden) yang mengepalai kepala-kepala suku yang lebih kecil  (para bupati, camat, para “hampung” atau kepala desa hingga para “maujana” atau penatua adat setempat), jiwa marketing itu telah menghasilkan efek yang diharapkan sehingga beberapa saat kemudian muncul tweet update penuh percaya diri dari akun @jokowi sebagai berikut:

Membanggakan. Tujuh bupati sepakat membangun Danau Toba. Toba akan jadi tujuan wisata dunia -Jkw

Jelas. Ini langkah bagus buat akuisisi lahan dan langkah superberat lainnya yang kerap menghantui setiap agenda pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan wisata di berbagai belahan nusantara ini. Bagi para penikmat kopi hangat dan koran pagi hari, jelas ini cukup jadi alasan untuk tersenyum dalam hati.

“Yesss … Jokowi sudah datang, jadi nih barang”, ucap para pebisnis yang melihat prospek cerah di industri pariwisata ini.

Atau:

“Horas ma di amang Jokowi!!! Horas ma muse tu angka parsakkap na laho padengganhon jala paulihon Tao Toba i!!!”, sebut orang kecil seperti saya yang – karena tidak punya pengetahuan apapun di bisnis pariwisata –  hanya berharap supaya konsep Sustainable and Holistic Ecotourism tetap terjaga.

(Kurang lebih berarti: Selamat pak Jokowi. Selamat juga buat semua yang berniat baik memajukan dan menjaga Danau Toba dengan keindahannya).

Horas yang Lain dari Leonardo diCaprio

Tentu saja Leonardo tidak mengucapkan “Horas” ketika ia menerima piala Oscar atas perannya sebagai Hugh Glass di film Revenant. Selain itu, dia bukan orang Batak Toba atau sub-etnis Batak lain yang terbiasa menyebut sapaan “Horas” untuk menyambut tamu. Leonardo adalah aktor Hollywood yang beberapa hari ini sedang dan mungkin akan semakin terus dibicarakan orang karena prestasinya menyabet piala Oscar untuk kategori Best Actor, Best Director dan Best Picture. Namun selain itu, yang tidak tidak luput dari perhatian publik adalah pesan ekologis yang kembali disampaikan oleh tim produksi film tersebut. Bagi saya, ini pantas jadi Best Message juga.

Seperti dikutip dari situs Oscar, teks pidato Leo setelah dia menerima piala tersebut aslinya berbunyi:

Thank you all so very much. Thank you to the Academy, thank you to all of you in this room. I have to congratulate the other incredible nomineesthis year for their unbelievable performances. The Revenant was the product of the tireless efforts of an unbelievable cast and crew I got to work alongside. First off, to my brother in this endeavor, Mr. Tom Hardy. Tom, your fierce talent on screen can only be surpassed by your friendship off screen. To Mr. Alejandro Innaritu, as the history of cinema unfolds, you have forged your way into history these past 2 years… thank you for creating a transcendent cinematic experience. Thank you to everybody at Fox and New Regency…my entire team. I have to thank everyone from the very onset of my career…to Mr. Jones for casting me in my first film to Mr. Scorsese for teaching me so much about the cinematic art form. To my parents, none of this would be possible without you. And to my friends, I love you dearly, you know who you are.

And lastly I just want to say this: Making The Revenant was about man’s relationship to the natural world. A world that we collectively felt in 2015 as the hottest year in recorded history. Our production needed to move to the southern tip of this planet just to be able to find snow. Climate change is real, it is happening right now. It is the most urgent threat facing our entire species, and we need to work collectively together and stop procrastinating. We need to support leaders around the world who do not speak for the big polluters, but who speak for all of humanity, for the indigenous people of the world, for the billions and billions of underprivileged people out there who would be most affected by this. For our children’s children, and for those people out there whose voices have been drowned out by the politics of greed. I thank you all for this amazing award tonight. Let us not take this planet for granted. I do not take tonight for granted. Thank you so very much.

Paragraf pertama berupa ucapan terima kasih kepada semua yang ambil bagian dalam pembuatan film tersebut. Paragraf kedua menyampaikan pesan yang saya maksud.

Seorang teman di Twitter menterjemahkannya seperti pada gambar di atas.

Membuat film the Revenant adalah tentang hubungan manusia dengan alam dunia ini. satu dunia yang kita jatuhkan secara kolektif yang membuat tahun 2015 menjadi tahun paling panas sepanjang rekaman sejarah. Tim produksi kami harus pergi ke kutub selatan dari planet ini untuk menemukan salju. Situasi ini merupakan yang paling urgen yang dihadapi oleh seluruh spesies kita. Kita harus bekerjasama dan berhenti menunda-nunda. Kita harus mendukung para pemimpin di seluruh dunia ini yang tidak bicara sola penyebab polusi atau korpotasi-korporasi besat tetapi yang bicara untuk kemanusiaan; dan kepada masyarakat lokal dunia ini, untuk jutaan orang yang kurang mampu disana, yang suaranya ditenggelamkan oleh para politisi serakah. Jangan menjadi orang yang tidak perduli atas planet ini. Yang saya capai malam ini pun tidak terjadi begitu saja.

Sama seperti pesan Paus Francis pada Laudato Si, ensiklik keduanya dengan kandungan pemahaman ekologis yang jauh lebih kaya, bagi saya pesan Leonardo Di Caprio ini cukup mewakili jutaan orang Indonesia yang sangat menginginkan bumi nusantara ini dibangun, dimajukan sekaligus dijaga untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi para korporasi atau pelaku lain (yang tidak berfikir dua kali mengorbankan sustainable ecotourisme demi sustainable corporate income).

Inilah horas “lain” yang saya maksud. Bukan sekedar basa-basi tetapi juga ungkapan salam silaturahmi penuh harapan bagi siapapun yang menerima salam itu. Entah mengapa bisa terjadi dalam waktu bersamaan dengan kedatangan Jokowi ke kawasan Danau Toba yang (konon) katanya kaya dengan keindahan alam dan limpah khazanah kearifan dan budaya penduduk lokal, pesan dari appara saya Leonardo Di Caprio ini menyatukan rasa dari jutaan orang yang cinta dan perduli dengan sustainable dan holistic development untuk Danau Toba dan rakyat yang berdiam di sana.

Saat ini, salam itu ditujukan kepada Pak Jokowi.