Lirik “Haminjon” – Swanto Holiday Feat Benny Marpaung

Sada turi – turian i
Na sian Ompui
Tu pinomparna i

Di tonga ni harangan i
Tombak na uli i
Mangolu tondi i

*
Hau na margota i
Gota na hushus i
Tonggo na uli i

Ilu ni si boru i
Boru ni raja i
Gabe pulungan i

Reff

Ujui longang do bangso i
Marnida hau namargota i
Ujui gabe do bangso i
Sahat sude akka sahala i

Mulakma hita tu bona i
Manat dohot di akka tona i


Haminjon

Lirik lagu yang baru rilis kurang dari sebulan lalu oleh Bram Records ini berkisah tentang haminjon.

Apa itu “haminjon”?

Haminjon (Batak Toba) adalah kemenyan atau Olibanum, aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum.

Jika kamu seorang Katolik dan kerap mengikuti ibadah Misa (perayaan Ekaristi), tentu kamu tahu bahwa setiap kali ada sesi mendupai oleh sang imam maupun misdinarnya, bahan dasar yang digunakan adalah kemenyan.

Jika kamu orang Madura, khususnya yang berada di Desa Morbatoh, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, kamu tentu tahu bahwa sejak jaman nenek moyang hingga kini ada tradisi Bakar Kemenyan dalam waktu-waktu tertentu.

Bahkan lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan yang dihadiahkan bersama dengan emas dan mur oleh tiga orang Majus (Parsi) atau ” tiga raja dari Timur” untuk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Maria, yakni Yeshua (ישוע), adalah kemenyan  yang dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Konon, selanjutnya Barus semakin ramai disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan Kamper (kapur barus).

Tiga deskripsi di atas baru nukilan kecil dari teks lengkap perihal luasnya penggunaan kemenyan dalam ritual-ritual suku-suku awal Nusantara hingga keyakinan dan agama di Indonesia modern ini. Mulai dari Sumatera, Jawa hingga Madura bukti-bukti terlihat jelas karena bahkan masih bisa kita temukan praktek penggunaannya hingga sekarang. Tak pula sebatas untuk ritual ibadah tetapi juga untuk kepentingan praktis sehari-hari, misalnya sebagai campuran tembakau untuk rokok.

Kristal kemenyan ini diolah dan diperoleh dari pohon jenis Boswellia dalam keluarga tumbuh-tumbuhan Burseraceae, Boswellia sacra (disebut juga Boswellia carteri, Boswellia thurifera, Boswellia bhaw-dajiana), Boswellia frereana dan Boswellia serrata (kemenyan India).

Terdapat 7 (tujuh) jenis kemenyan yang menghasilkan getah tetapi hanya 4 jenis yang secara umum lebih dikenal dan bernilai ekonomis yaitu Kemenyan Sumatra (Styrax benzoin), kemenyan bulu (Styrax paralleloneurus), Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) dan Kemenyan Siam (Styrax tokinensis).

Melihat latar belakang Bram Tobing, komposer lagu ini serta lirik dan tampilan video musiknya, yang dimaksud dengan haminjon adalah Kemenyan Toba.

Mari kita bedah apa sih yang mau digambarkan lagu ini.

Bedah Lirik “Haminjon”

Kalau kita terjemahkan lepas, lirik lagu Haminjon dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

Sada turi – turian i (ada sebuah cerita)
Na sian Ompui (yang dituturkan oleh Leluhur)
Tu pinomparna i (kepada anak cucunya)

Di tonga ni harangan i (di tengah hutan)
Tombak na uli i (hutan yang indah)
Mangolu tondi i (hiduplah Roh)

*
Hau na margota i  (disitu ada kayu yang bergetah)
Gota na hushus i (getahnya harum mewangi)
Tonggo na uli i (untuk pengiring doa yang indah pula)

Ilu ni si boru i (asalnya dari airmata seorang gadis)
Boru ni raja i (ia adalah putri raja)
Gabe pulungan i (dan air mata itu menjadi obat penawar)

Reff

Ujui longang do bangso i (kala itu orang-orang disitu heran)
Marnida hau namargota i (demi melihat kayu yang bergetah itu)
Ujui gabe do bangso i (saat itu semua warga disitu damai sejahtera)
Sahat sude akka sahala i (sebagai berkat dari para Leluhur)

Mulakma hita tu bona i (maka marilah kita pulang ke Sumber)
Manat dohot di akka tona i (sembari tetap berpegang pada Nasihat)

Terasa bahwa lirik Haminjon hendak menyampaikan sebuah pesan (value) tradisi dan kepercayaan yang dianggap luhur oleh warga setempat.

Tradisi apa itu?

Marhaminjon di Sijamapolang

Dalam tulisan yang menjadi tugas akhirnya di Universitas Sumatera Utara, Imanuel Silaban mencoba mengelaborasi latarbelakang, realitas dan nilai berkebun kemenyan (marhaminjon).

Marhaminjon menjadi mata pencaharian yang paling banyak dilakoni masyarakat Bonandolok. Selain tidak memerlukan modal yang banyak, menanam dan panen kemenyan dapat memberikan hasil yang menjanjikan dibandingkan dengan bercocok tanam tanaman muda dalam periode waktu yang lama. Disamping itu, harga kemenyan saat ini dipasaran semakin lama semakin meningkat. Tentu ini menjadi alasan lain lagi mengapa masih ada petani yang betah mansigi (menyadap) pohon kemenyan alih-alih mengalihfungsikan lahannya untuk tanaman budidaya lain atau menjualnya untuk dijadikan rumah atau industri.

Masyarakat Bonan Dolok memiliki kepercayaan terhadap mitos pohon kemenyan.  Konon pohon yang menjadi penghasil getah kemenyan dulunya adalah Boru Nangniaga, seorang wanita cantik yang tinggal bersama orang tuanya.

Dulu keluarga ini hidup serba kekurangan sehingga harus berhutang kepada orang berduit. Tidak mampu melunasi hutangnya, sang ayah pun berencana menjodohkan putrinya kepada putra orang berduit itu. Sang putri tidak mau menuruti permintaan ayahnya karena dia tidak suka pada lelaki tersebut. Kemudian dia melarikan diri ke hutan untuk menghindar. Disana dia menangis tersedu-sedu karena merasa kesepian dan menyesali sikap ayahnya kepadanya.
Tiba-tiba sang putri berubah menjadi pohon, dan air matanya berubah menjadi kepingan-kepingan berupa kristal yang baunya khas dan wangi. Keluarganya mencari wanita cantik tersebut kehutan, namun yang mereka dapati bukan lagi sosok manusia ataupun wanita, melainkan sebatang pohon yang mengeluarkan getah harum. Itulah haminjon.

Uniknya, banyak pula warga Bonandolok menyebutkan bahwa getah pohon yang menjadi haminjon itu sesungguhnya berasal dari air susu wanita cantik tersebut. Akan tetapi karena menyebutkan susu dari payudara (Bahasa Batak Toba: tarus) di lingkungan masyarakat sekitar maupun disekitar hutan kemenyan dianggap tabu, maka masyarakat setempat sendiri memperhalus bahasa tersebut, alih-alih menyebut air susu, menjadi air mata.


Kini terjawab sudah tradisi yang melatarbelakangi lirik “Haminjon”. Lantas, pesan apa yang hendak disampaikan lewat lagu tersebut?

Menurutku, pesannya jelas: Berilah kesempatan kepada anakmu untuk menentukan jodohnya sendiri. 

Jika mau diekstrapolasi, pesannya bisa meluas. Yakni supaya setiap orangtua memberikan kesempatan kepada anak yang sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, entah dalam hal jodoh, karir, ideologi dan lain-lain. Ini saatnya generasi senior untuk mendidik dan memberikan pengertian kepada junior, bukan malah memaksa.

Cukuplah Siti Nurbaya yang mengalami pahitnya dunia akibat tunduk pada tradisi harus menghormati orangtua yang keputusannya tidak boleh dibantah. Cukuplah perempuan-perempuan mengalami derita akibat dipaksa menikahi pemuda sebagai tebusan untuk hutang, seolah-olah mereka adalah komoditas yang dapat dijadaikan nilai tukar layaknya uang.

Dengan demikian, “Haminjon” menambah perbendaharan kita untuk lagu yang mengusung kritik sosial terhadap perjodohan yang dipaksakan. Sebelumnya sudah ada “Cukup Siti Nurbaya” yang dinyanyikan dengan berani oleh Ari Lasso kala masih di Dewa 19.


Catatan Kritis:

Ada apa dengan huruf “i”?

Mengapa banyak sekali huruf i pada setiap akhir frasa di lirik “Haminjon”?

Benar bahwa “i” (Toba) berarti “itu“, it (English, kata ganti orang ketiga) dan karenanya komposer bisa berargumen bahwa banjirnya penggunaan kata “i” tujuannya jelas: untuk menyampaikan kepada pendengar bahwa latarbelakang tradisi lisan yang mau dikritisi itu spesifik, yakni Boru Nangniaga dalam folklore masyarakat Batak. Oke. Tapi apakah memang tidak ada metode lain untuk mencapai tujuan yang sama?

Kupikir masih ada sekian alternatif untuk menjadikan nilai dan filosofi tadi tetap tersampaikan sembari tetap menjunjung tinggi keindahan sastra dalam lagu. Olah kata dan diksi adalah pekerjaan seorang penulis lagu juga. Tentu selain repotnya mengerjakan musikalitas, merancang video klip, termasuk tektokan soal publisitas dan hal lainnya. Ini masukan saja.

Dari segi genre yang dipilih, “Haminjon” menambah daftar lagu bernuansa rock dengan lirik tradisional. Usungan subgenre metal rock a la band AC DC dan Metallica terasa sejak awal lagu. Petikan gitarnya sangar, dengan sedikit bantuan edit vokal seperti efek helium di penggalan vokal yang gahar membuatnya terdengar seperti lagu “Siksik Sibatu Manikkam” oleh Donald Black (saat mengisi mikrophone Djamrud setelah sempat ditinggal Krisyanto).

Perpindahan tonal dari musik intro ke vokal sangat kreatif, mirip dengan yang dilakukan Vicky Sianipar untuk lagu “Sinanggar Tullo”

Belum lagi dentuman double beat pada drum yang mengingatkanmu pada “Pangeran Cinta”, jika kamu adalah seorang Baladewa.

Singkatnya, “Haminjon” menjadi satu lagi lagu yang patut kamu masukkan di playlist Youtube atau Spotify-mu.


Catatan Akhir

Satu hal positif jelas terlihat:

Semakin banyak generasi muda melihat potensi melimpah dari tradisi lokal untuk dikemas ulang sehingga mengena dengan selera pasar kekinian.

Ini, tentu saja, menambah daftar pemusik dengan visi yang kurang lebih sama, sebut saja Rimanda Sinaga dengan “Pos Ma Roham da Inang” atau Plato Ginting dengan “Mejuah-juah Pal”

Luxury is in Simplicity

Apa godaan terbesar ketika berbicara? Berbicara dengan istilah yang rumit. Jika perlu dengan meminjam kata dari bahasa asing. Ekstremnya, sebisa mungkin sampai pendengar takjub karena bingung apa yang disampaikannya. Tujuannya untuk menciptakan sense of authority. Ibarat mau pamer ke penonton talkshow: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk topik ini, gue yang paling ahli dibanding lawan bicara gue ini”. Apakah pendengar memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pembicaraan, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika menulis? Mirip dengan berbicara tadi. Menggunakan banyak kutipan terpercaya dari sumber yang sebisa mungkin susah diakses oleh pembaca. Tujuannya sama, sense of authority. Jika perlu ditambahi dengan istilah yang tak lazim. Ibarat mau pamer ke pembaca berita: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk tema ini, gue yang paling ahli dibanding penulis lain”. Apakah pembaca memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pikiran penulis, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika berkesenian? Eh, sebentar. Kata “berkesenian” ini tampaknya biasa. Tapi kok susah mengartikannya ya. Gini. Berkesenian berarti mengikuti kaidah membuat karya seni, memahami tujuan dan dampaknya bagi penikmat karya, termasuk dirinya sendiri yang ikut terlahir kembali bersama terbitnya sang karya. Njelimet ya.

Apa godaan terbesar ketika hendak mencipta lagu? Mengakomodasi semua teori musik yang pernah dipelajari. Sebisa mungkin memuat banyak liukan interval akor, progresi, modulasi. Jika perlu, gabungkan semua jenis tangganada yang pernah dikenal manusia, termasuk yang mengabaikan nada dasar seperti yang dilakukan komposer zaman Romantik Pierrot Lunaire dengan komposisi atonalnya. Kalau masih bisa, tumpahkan semua elemen sinestesia dan bablas dalam mengartikan licentia poetica saat mencipta liriknya. Apakah pendengar bisa menikmati alunan nadanya? Itu soal lain. Apakah begitu mendengarnya seorang penikmat lagu langsung bisa merasakan motif lagu tersebut? Ora urus.

Alhasil, tidak ada pendengar yang tertarik dengan omongannya. Podcast atau konten Youtube edisi berikutnya akan sepi view. Tidak ada pembaca yang akan kembali melirik tulisannya apalagi berniat membeli bukunya. Tidak ada pendengar yang akan setia menunggu lagu berikutnya dari si pencipta lagu.

Lalu ketiga jenis seniman tadi pun heran. Kecewa karena menurut mereka, konsumen kurang mengapresiasi karya yang sudah dengan susah-payak mereka ciptakan. Ibarat pedagang: lapaknya rame saat grand opening, tetapi hari-hari berikutnya tak satupun pembeli datang.

Apa yang salah?


Suhunan Situmorang, seorang pengacar dan penulis lepas yang rutin mengisi dinding Facebook-nya dengan opini ringan namun mengena, pernah menulis begini (saya kutip seperlunya):

Sadarilah.

Mari tulis kisah dan pengalaman sehari-hari, juga alam sekitar, tradisi masyarakat, atau ketika tinggal di desa. Situasi kotamu kini pun menarik ditulis, termasuk perubahan-perubahan dalam pelbagai hal.

Kehidupan di medsos tak melulu bicara topik dan isu yang keras, sayangi otak dan jiwa yang juga butuh senyum dan tawa lepas. Ceritakanlah kenangan atau pengalaman yang membekas, atau harap yang tak terbatas. Cita dan impian perlu dirancang, setidaknya untuk menambah semangat melakoni kehidupan–kendati kemudian tak sama dengan realitas. Alangkah lelah membicarakan hal-hal yang tak terjangkau diri, sementara ada banyak kewajiban yang butuh enerji.

Kisahkanlah desa atau kotamu, atau pengalaman lucu. Tulislah dengan semangat berbagi cerita, niscaya pembaca menemukan yang berharga, kendati tak diucapkan secara terbuka. Tulislah cerita dan puisi, potretlah panorama dan suasana di suatu kampung atau sudut kota. Tampilkan dengan narasi bertutur. Alangkah menarik bagi yang berpikiran luas.

Berceritalah, memotretlah, atau bagikan resep-resep masakan, cara menanam dan merawat tanaman, atau tips supaya awet muda.

Bernyanyilah bagi yang suka, bercandalah untuk membuat pembaca tertawa.


Fiksimini tentang tiga pekerja seni diatas ditambah tulisan singkat Suhunan tadi mengajak kita untuk kembali ke prinsip dasar komunikasi, yakni: Apa yang sampai ke penikmat (baca: pembaca, pendengar) itulah yang penting.

Bukan soal seberapa banyak terminologi yang dimiliki seorang pembicara, tetapi apakah pendengar memahami apa yang dibicarakan. Bukan soal seberapa rumit penjelasan yang disampaikan penulis, tetapi apakah pembaca mengerti gagasannya. Bukan soal seberapa tinggi ilmu dan musikalitas si pencipta lagu, tetapi apakah lagu tersebut benar-benar mengena di telinga penikmatnya. Itulah yang penting.

Kunci untuk membuat sebuah karya mengena dengan penikmatnya adalah sentuhan emosional atau afeksi. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya“, sentuhlah penikmat karyamu dengan sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang dekat dengan kehidupan, mimpi dan kesedihan mereka. Bahasa kerennya: sesuatu yang relevan dan relatable.

Jika pembaca membaca tulisanmu lalu menggumam dalam hati, “ini kok persis kayak yang aku alami ya”, itulah sukses. Jika seorang netizen mengunjungi lagu yang baru kau rilis di kanal Youtube-mu lalu memberi komentar “Sedih banget lagunya, Min, kayak kisahku”, itulah sukses.

Tampaknya inilah yang perlahan semakin disadari teman Saya, seorang pemusik dari Sumatera Utara yang merantau ke Jogja. Rimanda Sinaga namanya. Baru-baru ini kami ngobrol.  Di akhir percakapan kami yang berjam-jam itu, dia bilang: Lagu yang bagus itu lagu yang sederhana. Sebuah lagu yang begitu didengar, para penyanyi trio di lapo tuak bisa serta-merta mengambil gitar dan menyanyikan suara 1, 2 dan 3. Sebuah lagu yang begitu selesai didengar di HP, orang bisa membuat versi Karaoke-nya sambil mengguyur tubuh atau berkumur-kumur di kamar mandi.

That’s it. Luxury is in simplicity. Kemewahan yang sebenarnya terletak pada kesederhanaan.

Oh iya. Ada lagunya yang menurutku cukup bagus. Latarnya sangat personal karena diangkat dari kisah pribadinya sendiri, yakni momen ketika ditinggal oleh ayah tercinta. Beberapa orang merasa relevant dan relate pula dengan lagu itu. Bahkan ada yang menyanyikannya di acara keluarga. Barangkali lirik hasil kolaborasi Rimanda Sinaga dan Subandri Simbolon menyentuh mereka.

Sedikit catatan kritis: Dalam taksonomi ende Batak Toba, liriknya masuk ke kategori ende andung (lagu ratapan). Jika hendak diletakkan sejajar dengan andung Batak lainnya, lagu ini butuh penyederhanaan di bagian tertentu, dan polesan di bagian lain.

Judul lagu itu “Posma Roham Dainang”. Ini lirik dan video Youtube-nya. Cekidot.


POS MA ROHAM DAINANG

Tingki parro ni bot ni ari

Hundul Dainang, huhut malungun

Mancai borat do di rohana

Dung borhat Damang

tu haroburan i

 

Uli pe sinondang ni bulan

Mambahen roha, sonang humaliang

Alai Dainang sai mardok ni roha

Boha bahenon pasonang roha na i

 

Reff:

Posma roham ale Inong na burju

Nungnga tung sonang sohariburan i

Damang di siamun ni Tuhan i

Sai tagogoi ma lao martangiang

Bereng ma hami angka gellengmon

Na sai tontong manghaholongi ho

Unang be sai tartundu malungun

Naro do angka ari na uli i

 

Nama para kru yang terlibat tercantum di video.

Konon, selain aku, banyak pula yang masih masih menunggu karyanya yang berikutnya setelah dia mengalami pencerahan (enlightenment) ini.

Rangrang ni Namarsiamianaminan

Jotjot do tabege didok akka natua-tua, sai marsiamin-aminan ma hamu songon lappak ni gaol i. Ndada holan i, diboanhon do tong i di bagasan piga-piga andung manang logu. Ra alani jotjotna gabe olo do tar hira moru pangantusionta disi. Hape, apala “marsiamin-aminan” on ma sada habisuhon jala hasomalan na ingkon sitiopon jala torushononta nian, unang mago sian hita bangso Batak.

Jempek do rangrang na sinurat ni amanta Palambok Pusu-pusu on, alai mangarongkom lapatanni hata “marsiamin-aminan”. Ninna boti:

Ina Na Hinohosan

Ponjot rohana jala tung marsigorgor rimas ni Ompu Maruli boru, pola songon na sosak marhosa dihilala ala ni hata na sangkababa i.

“Ai laos boha pe jago ni jolma, manang beha pe mora na jalan tung songon dia pe saringar ni goar na, tung so tataponna do saur matua molo ndang marurat jolma. Jolma siteanon do i molo di halak batak…!” talmis soara ni Ama ni Benni, huhut songon na di padirgak uluna jala di ombushon timus ni sigaretna.

Nang pe ndang apala digoari manang na tu ise hasahatan ni hata na i, alai sude do natorop i boi mandodo, tu Ompu Maruli do hata i. Ianggo Ompu Maruli doli, nungga tung mahap be di angka hata sisongoni. Alai anggo tu roha ni Ompu Maruli boru, tung mansai maniak. Ai saleleng ngoluna, tung soadong dope halak na barani manghatahon hata sisongoni di jolona.

Ala ni hata sangkababa i, naeng do nian pintor mangintas Ompu Maruli boru mulak sian jabu ni parboruon nasida on, alai sai diotapi ma langka na, unang pola diboto angka dongan sapunguan i na tarholi panghilalaanna. Nian, antar dilangkahon ibana do ruar sian jabu laho tu alaman laho marhosa ganjang, alai tong do sai ponjot dihilala.

Dung i, disuba ibana do dohot marnonang rap dohot angka ina na ro tu arisan saompu i, jala dohot do ibana mamarengkeli siparengkelon, alai tong do ndang lumbang panghilalaanna. Sahat ro di na mulak nasida sian jabu ni parboruon nasida i dung sidung ulaon arisan, sai solot dope na hansit di roha na.

“Songon na asing pardompahanmu Inang, na asing dope dibagasan roham?” manat Ompu Maruli doli manungkun parsonduk na i, dung di mobil nasida.

Dang maralus sungkun sungkun na alai tompu ma manetek ilu ni Ompu Maruli boru.

Tungki simajujungna. Marnida i, gabe hansit tong roha ni Ompu Maruli doli, ai tung so tarberengsa ilu ni nialap na i. Dipadorong ibana mamboan mobil i asa tumibu sahat di jabu, asa pintor dihaol jala dipamenak ibana roha ni soripada na i. Dung sahat nasida di alaman ni bagas nasida, pintor mangintas Ompu Maruli boru ruar sian mobil, dung i masuk ibana tu bilut podoman nasida jala dipapuas ma tangis na, dianggukhon angguk na.

Lambok, diapus Ompu Maruli doli abara ni parsonduk na i, dung i di haol momos. Ndang manjua Ompu Maruli boru, baliksa lam dipapuas tangis na di abingan ni simarubun na i.

“Nga sae be i inang, unang be sai lungun roham. Ai ise Ama ni Benni i, umbahen na pola bonsa roham ala ni hata ni i? Ai nda tung dao ho lobi martua marnimbangkon ibana? Ndang singkop didok roham silas ni roha di hita, alai nda tung gumodang na hurang di ibana? Na so diboto i do magona, jala late rohana mida hita!”

“Tung so hapingkiran ahu do, boasa ingkon marasing asing derajat ni jolma di adat batak!” runtus alus ni Ompu Maruli boru.

“Eeee…eeh… Ai adat Batak pe jolma do mambaen, ndang sai sude pita! Godang dope sipatureon di angka adat Batak, ndang gabe i patohan ni parngoluon di portibi on. Tung singkop pe parngoluon ni jolma hombar tu adat Batak, belum tentu gabe jolma na martua. Angka nauli nadenggan naung tajalo i ma ta bilangi, unang patangi tangi angka hata ni si eat roha. Ndang piga dabah borua manang ina na songon ho, boru na taruli asi nang pe ndang haru singkop diadopan ni jolma, tarlobi di adat Batak. Pola pajojoronhu angka pasupasu naung tajalo…?” mansai lambok hata ni Ompu Maruli doli, manorus tu ate ate ni Ompu Maruli boru.

Songon na sip satongkin Ompun Maruli boru, huhut marhosa ganjang. Dung i, dialusi songon soara na marhusip. “Angka aha ma i…?”

“Ba… hupajojor pe, alai unang be tangis ho, Inang. Molo tangis ho, gabe maniak ate-atengku, lobi sian maniak ni ate-atem!”

Dipahusor Ompu Maruli boru parpeakna jala dibereng dompak bohi ni sinonduk na, pardompahahan na tung mansai lambok. Mengkel suping ibana. “Bege hupajojor da…!”

Tung ise ma na songon ho inang,
Boru hasian, boru na hinohosan
Habunbunan ni holong dohot asi asi na lambok
Sian natoras batara jonggi dohot iboto na togap

Nda tung na martua ho tahe, Inang
Hariara na bolon do pangunsandeanmu
Angka boru na lambok do urat ni ate atem
Jala tano na napu do pansalonganmu

Ue, da Inang
Ida ma hatuaon naung niampum
Tiur songon mataniari binsar simalolong ni pahompum baoa
Lambok songon bulan tula pamereng ni pahompun boru
Jala si doli na jogi do gabe helam

O Inang, Inang na lagu
Tung adong dope hatuaon lumobi sian i?


Songon na nienet sian gurat-gurat ni ito Rose Lumbantoruan

Tokka ni Amani Togu

Dung adong saminggu mamboan bus Intra Medan – Jakarta, mulak ma bapak ni si Togu sian pardalananna. Tongon marsahit mata do ibana. Ra pagodanghu marisap dohot hona timus saleleng di dalan i. Gabe dang adong boan-boanna tu si Togu anakna i. Alani i, songon na murhing ma bohi ni si Togu.

Ditedekhon ma tanganna tu amongna i: “Among, dia ma jo hepengmu molo boti”, inna.  “Paima jo kedan da. Mambuat ubat dope inongmu. Asa diubati inongmu jo matakkon”, ninna among ni si Togu i.  Dung didok si Togu ma : “Na hansit do matam bapa?”  Dipinsang inongna ma tutu: “Togu! Tokka. Ndang dohonon ‘matam’ tu among.”

Naeng tangis ma si Togu ala dipinsang inongna. Marheneng ma iluna. Asing do memang si Togu on, nunga laho dolidoli alai iboan dope hingalanna i.  Marnida i, asi ma roha ni amongna. Gabe dilehon ma hepeng jajan tu si Togu i. Mekkel, ittor hatop ma antong lao si Togu tu lapo.

Alai sai simpan dope di pikkiranna hata “tokka” i.  “Lao au da among, lao au inong da”, ninna parmisi.  “Hatop ho mulak da. Ai na laho ro do ra tondongta, ai ro lampulampu tu jabunta on”, ninna inongna tu si Togu tu i.

“Olo inong!”, ninna huhut marlojong lao.

Di jolo ni lapo i dope, diida si Togu ma ro tulangna dohot nattulangna sian hutanasida.  “Lao tu dia ho bere ?”, ninna tulangna i manise. “Manuhor tu kode an, tulang”, ninna si Togu.   “Bah, molo boti beta ma rap. Hudongani hami pe ho”, inna tulangna i songon na palashon roha ni bere hasianna i.

Gabe didongani tulangna dohot nattulangna ima si Togu tu lapo i. Dibayar ma jajanan ni berena si Togu i. Las ma tutu roha ni si Togu.  “Mauliate tulang, mauliate nantulang, baenonku ma hepenghon tu celengan”, ninna. “Bagus bere, malo do ho hape”, ninna tulangna i.  Dung i disukkun nattulangna ima si Baluhap : “Di jabu do inongmu”?  “Di jabu nattulang, nunga ro amonghu”, ninna si Togu.  “Marhua eda inongmu di jabu ?”, ninna nattulangna i.

“Mangubati ‘Tokka’ ni bapakku”, ninna si Togu sian bulus ni rohana.

“Hahhhaaaahhhhhaaaahhhhhhhhhhh”, gabe margak ma mekkel parlapo dohot akka jolma na di lapo i.

Masiberengan ma tulang dohot nattulang ni si Togu huhut mekkel suping ala ni geokna dihilala.  “Ai so pola nian piga leleng amani Togu on marhuta sada, pittor posa do huroha sahit ni ‘Tokka’na i”, ninna Amani Polgut, na tarsar goarna di kode i ala holanna tenggen karejona tiap ari on.

Dung sahat di jabu, ditogihon nattulang ni si Togu ima edana umak ni si Togu tu dapur.  Dipaboa nattulang ni si Togu ma na masa na di lapo i.  “Akhhh, eda, geok hian eda, (huhut margak mekkel) nakkin, husukkun bere i, ‘Marhua eda inongmu di jabu’, nikku. Tung burju do dialusi si Togu bere i au. “Mangubati ‘Tokka’ ni amonghu do inong”, ninna bere i.”

“Hahhhaaahhhhaaaaahhhhhhhhhhhh”, margakargak ma mekkel na mareda i.

“Oeeee tahe, mangubati simalolong ni baom do au, nahupinsang do berem i pamatamatahon amang baom: Tokka, ndang dohonon mata tu bapa, simalolong do, nikku. Ba pittor lao ma beremi tu lapo.  “Eeee tahe, bulus ni roha ni berem i”, inna Nai Togu huhut padenggan parhundulna.

Dungi, marnonang ma nasida sahat tu botari, alai molo si Togu sai tong dope dang dapotsa boasa mekkel halak umbege ‘Tokka’ ni amongna i.


Tinambaan sian guratgurat ni Amanta Pandita Erwin Hutauruk

Rumang ni Na Marpolitik

Molo tabege hata “politik”, “parpolitik”, manang “politisi”, jumotjot do ra pittor tubu di rohatta be akka pakkataion suang songoni akka rumang ni hajolmaon na ganup ari mamakke taktik holan asa lam martamba nian na adong di sasahalak parpolitik i lam tu godangna. Jempek hata dohonon, godangan ma i na so denggan. Hape nian sasintongna ikkon mamboan tu hadengganon do politik on, ai hagiotna pe mamboan tu hadengganon tu ganup natorop do (salus publicum).

Alai, alani godang ni barita manang na masa binereng, olo do sipata niundukkon roha ma na situtu do politik on holan patuduhon hajagoon ni sasahalak mamakke hamaloon, hasangaon ni goar, suang songoni haadongonna, dang parduli mamboan hadengganon tu ganup natorop do manang na holan tu dirina sambing manang holan tu akka familina (on ma na mamboan akka parsoalan, songon na jotjot tabege, i ma korupsi, kolusi, nepotisme) be. Songon na boi rimangrimangatta marhite torsa na jempek on.

Au sahalak pangula-ula do di hita an. Markopi, sipata marpege, sipata marlasiak. I ma ulaonhu martaon-taon jala na hutorushon do i sian natuatuaku, jala nasida sian ompung sahat ma songon i tu na marsundut-sundut, sahat tu sahala nang sumangot ni akka ompu sinahinan. Alai sahali on, ikkon ma luluon dalan asa unang holan na margulu tano tutu gellenghu si Poltak, anakhu, si jujung baringinhon.

Alani i, hudok ma tu si Poltak.
“Ingkon boru na pinillit nami do alaponmu da”.
Alai, “Daong”, inna ibana.
Huuduti muse: “Ai boru ni tokke sawit an do na tinodo ni rohanami da. Sotung leas roham”.
“Molo boti, olo ma au disi”, inna si Poltak.
Dungi ro ma au martandang tu jabu ni amanta tokke sawit i.
“Martahi nian au asa pangolionnami ma si Poltak tu borum siakkangan i”.
Alai didok tokke sawit i, “Daong”.
Huuduti muse: “Ai si Poltak nuaeng nunga gabe Direktur di Kementerian”.
“Molo boti, nunga denggan i, taparade ma tutu pesta i”.
Dungi laho ma au tu jabu ni Menteri.
“Baen ma si Poltak gabe Direktur di Kementerian na niuluhonmu nuaeng, bo”.
Alai didok menteri i, “Daong”.
Huuduti muse: “Ai si Poltak nuaeng nunga gabe hela ni tokke sawit nampuna marribu-ribu hektar i”.
“Molo boti, nunga denggan i, annon tahatai ma muse akka parbagianan na boi sibuaton ta sian laemuna na mora i ate”.

Godangan, songon i ma na masa di na marpolitik on.

Ojo Kesusu

Di sada tingki adong ma sada rumatangga na imbaru. Tar I dope nasida pasauthon sangkap ni nasida na marrokkap marhite ulaon adat. Sae ma tutu pesta i. Marmulakan ma angka natorop. Dungi nasida nadua pe bongot ma tu bagasna.

Ia inanta on tibuhhonni halak Jawa, suang songoni dohot parsinuanna. Jempek dohonon, halak Jawa ma ibana. Ia na mangalap ibana, ima amanta on do na sian hita an, sian luat ni parsolusolu bolon. Ia dapotsa pe rongkap ni sidoli Batak on alana jumpang do nasida padua di tingki mangaratto ibana tu luat Jawa.

Pola do marhir hodok ni amanta on di tingki padua-dua nasida. Holan naeng marsaemara ma I utokutokna.

“Ikkon saut ma on malam pertamakku”, inna rohana. Dungi dipungka ma panghataion.

Baoa: Dek … pahatop saotik. Dang tartaon au be on

Boruboru: Sabar toh mas. Ojo kesusu. Alon-alon asal kelakon

Baoa: (Dang marna diattusi ibana aha nidokni halletna on. Boha hian do naeng parsaut ni halak on, au pe dang pola huboto)

Baoa: Bah … boha do ho? So manang aha dope nitiop, pittor ke susu do nimmu.

Boruboru: “?!?!?!?! (Markerrut pardompahanna ala tong dang tarantusanna. Pola hira na tarjolma)

(Ala so marna marsiantusan nasida, gabe bobonosan ma si baoa on. Dung I tor dipamate ma lampu. Dang binoto be aha na masa ala nunga golap.)


Sian Panurat: Ia impola ni turiturian sigeokgeok on, tarlumobi ma di hita angka na poso, asa tangkas taboto denggan angka hasomalan ni donganta, tarlumobi ma dongan na poso na marimbar huta manang hasomalan. Rupani, molo so binoto aha nidokni dongan, jumolo nisungkun. Unang heppot.

Amonghu Partenggen i, Na Burju do i

Pukkul sia borngin i hubege ma soara marende di harbangan ni huta.

“Di kamar sampulu tolu onn hu tobus dosangki” inna.

Bug, mallobok tarontok. Nga mulak among, nikku. Pintor humalaput hami papunguhon bukku na rage di lage. Dung sidung pintor modom hami marbulusan, ai i dope na somal tikki i marbulusan alani ngalina. Dang sadia leleng sahat ma among di balatuk ni jabui. Di tuktuk i ma pintu.

“Ma, mami, bukka jo pintu on”, inna. Biasama molo dung tenggeng attar romantis otik. Dibukka inong ma pintu on, dang pola didok manang aha, sotung maon gabe guntur, masuk ma among.

“Nga mangan ho”, ninna inong huhut.

“Daong baen majo indahanku”.

Diparade inongon sude sipanganonna.

“Mangan ma ho da. Nga mondohondok au’, inna inong muse. Naeng ditadingkon among na manganni.

“Naeng tudia ho, haru molo pinahanmu mangan di ingani hodo digarut garut ho uluna pintor inna among songon na muruk.”

Hundul do attong inongon hohom dilambungni amongi. Dung sidung mangan modom ma nasida.

Pukkul opat manogoti hehe do among sian podomanna, songon i do ganup manogot. Didungoi ma hami gelleng na akka naung marsikkola.

“Dungo hamu, dungo. Nga pukkul opat. Marsiajar”, inna.

Dang boi juaon I, ai pintor di buat do aek sian dapur molo songon na maol hami hiccat. Olat ni sa jom do hami marsiajar molo manogot, dung pukkul lima marsibuat ulaonna be do. Adong na mardahan, manapu jabu dohot manussi piring.
Molo manapu dang boi nanggo mallotom pat niba tu papanni jabui, sai dirippudo namuruk songoni nang molo manussi piring dang boi malliting. Molo among attong mamungga balatina ma asa lao maragat. Songon si ganup ari. Dung pe molo naeng lao hami martapian manang marsuap hissat ma inong sian podomanna. Dipangali hian ma indahan nami dohot dibaen kopi di among.

Dibaen kopion di ginjang ni meja paima mulak among sian paragatan. Olo ma sipata alani malashu mangallang gulamo hubuat do otik kopini among, huusen tu indahanku. Hehehe. Holan au do na barani songoni. Dung mulak sian paragatan disuhati inong ma tuak na binoanni amongi, dibaen raruna otik. Paima dialap parlapo sigadis tuak. Molo among hobas ma asa lao tu sikkola inganan parkarejoanna, ai pegawai do among disi. Mambuka parsikkolaan, manapu alaman dohot paiashon kantor ima ulaonna. Dung sidungi olo do sipata pintor mulak among molo so adongbe ulaonna naasing.

Didapothon ma inong tu balian manang tu porlak. Olo do sipata manggadis gogo inong asa adong ongkos nami laho marsikkola. Holan among ma di baliani paima mulak hami sian parsikkolaan. Mulak sikkola ikkon tu balian do hami, dang jolo golap ari asa mulak sian balian. Ala daodo mual paridian. Didok among unang parborngin hu mulak asa sanga martapian.

Somalna siganup borngin ikkon rap mangan do hami, hundul di lage. Sidung mangan dang boi pintor morot. Jolo martangiang do hami sude, huhut manjaha buku na dapot sian Gareja. Goarni bukkui “Pajonok Ma Tu Debata”.

Nang pe partenggen amongnami on, dang olo tu Gareja, alai molo soi ganup borngin dang hea lupai, marsoring soring do hami suruonna martangiang. Baru muse udutanna manutup dohot tangiang. Ganup jumpang ari minggu suruonna do hami tu Gareja. Songonima siganup borngin dung sidung martangiang baru pe marsiajar.

Holan ido silakkona molo adong mambahen jut rohana, tarlumobi molo ro surat sian namboru na sipata sai paroa roahon inong, pintor jut do rohana. Lao ma tu lapo minum kamput ma disi, mulak siani tenggeng ma attong. Alai tetap diingot do jabuna nang pe tenggen.

Las do roha nian molo marningot i sude. Adong pe holso, holan saotik do:

“Boha muse ma ate molo dang pola partenggen amongnami on”, inna rohakku dibagasan. Alai i pe, nihamuliatehon ma.

Adong dope ulaning na songon among namion?


(Pinadenggan sian guratguratan ni Sri Duyana Tampubolon)

Sahala

Sadari on, dua pulu taon ma dung lao natuatuakku, ima dainang pangintubu. Ia huguretton pe on, na toppu do nakkin songgot tu pikkiranhu. Sambil mamereng drama Korea di tipi, hubaen ma kopi ni tungganedolikku. Rarat ma huhatai hami. Dang huingot botul alani aha bonsirna, alai sahat ma tu sahala. Oh, on do hape. Nga huingot be. Ala marningot do tikki manghatai ima dung sidung marsipanganon uju mambaen sidapotdapoti ima amang simatuakku. Molo so sala parningotanhu, boti didok :

“Tu hita saluhutna na pungu dison, damang dainang. Marsatabbi jumolo au tu hita saluhutna. Ra ganup do hita dison halak na porsea, jala porsea do tong tu sahala. Au sandiri dang hea huporso, porsea do au di sahala”, inna mandok. Dungi didok ma hatana tu na pungu i.

I ma jo tusi.


Gabe ro ma tu rohakku: Boi dope ulaning manghata-hatai dohot sahala i? Songon si Miguel na boi pajumpang dohot sahala ni oppung mangulahina, laos boi ibana paboahon tona ni oppung i tu si Mama Coco (ima oppung nini ni si Miguel), mandok: “Your papa loves you, Mama Coco“.

Jei, huceritahon ma jo saotik. Tikki i marpungu ma saluhut keluarga. Singkop ma panghataion na ikkon boanon ma saringsaring ni natuatua i mulak tu bona pasogit. Soppat do songon na tarsonggot au huhut ma i mardongan biar ala so tarboto dope takkas didia do udean ni dainang. Molo bapa, takkas dope diingot akka ibotokku didia ditanom.

Alai jompok ma huseritahon, saut ma ikkon pamasaon na mangongkal holi on.

Ngeri do bah molo niingot tikki i. Mardisir imbulu.

Piga-piga taon andorang rencana on, nunga humasiksak nian au mangalului idia do sabotulna omakkon. Huhului ma surirang sian akka keluarga atik dia adong dope na marningot takkas didia do letakna. Alai aha ma na hudapot? Sude mandok, “dang huingot hami be bah.” Adong deba ninna, “e tahe, dohot do nian hami tikki i tu udean ni omakmu, alai so huingot be nuaeng i. On ma tahe na matua on”. Lomos ma rohakku mambege alus i.

Aut sura ma nian, attar dihusiphon sahala ni dainang on tu au mandok “ison do au, inang”, manang na boha pe isarana, tontu dang polu songonon au humitir.

Tikki parmondingni oma, marumur dua taon ma inna au. Gabe dang pola takkas huingot. Agia pe songon i, tarboto dope gereja dia na paborhathon oma tikki i, ima di daerah Tangerang. Holan i ma modalhu. Alai songoni pe, hujuguli do. Lao ma au manukkun tu pengurus gereja, pengurus pemakaman suang songoni tu masyarakat sekitar atik dia tahe adong nasida na marningot. Adong ma sian pangurus i na patuduhon sada kuburan na so hea diziarahi manang ise, pola martaon. Hupatakkas ma tu kakak, boha do ciri-cirina marhite talipon. “Ido, pas do i dek”, inna kakak na di Sumatera ma tikki i dung huceritahon pardalananhu sahat tu lokasi i.

Tikki na denggan ma ra on inna rohakku, boi pungu songonon hami sude ianakkonna. Jala hubereng, marsintuhu do ganup mangadopi manang aha pe abatabat na lao ro tarsingot tu rencana na lao mamboan natuatua nami on mulak tu bona pasogit.

Jumpang ma tikki mangongkal. Manogot do hami ro sian jabu tu udean i. Ito, uda, tulang dohot na lao mangongkal nunga pungu.

Lam bagas diokkal amatta songon na di gombar on, dang dapot. Dipakkur ma muse, tong dang dapot. Lam mabiar ma attong hami sude. Ilukku pe nunga manetek.

Dipakkur i ma muse, tompu ma tarida baju. Dungi adong muse headset ni henpon. Natorop i pe marnida do. Marsampur biar dohot geok ma huhilala tikki i. Songgot ma tu rohakku, dang natuatua i on. Lam marsikeras ma au mandok tu natorop i, “dang on natuatuakku. Dang on i, dang on i”, nikku. Dipakkur ma muse, dapot ma holi-holi.

Adong do tikki i dohot sahalak ama-ama dohot hami. Parbinoto do on, alai dang olo idok ibana datu. Halak Jawa do amatta on, jala marbahasa Jawa do makkatai, bahasa Indonesia saotik-saotik. Ro ma natorop i marsuru asa digauk ibana sahala ni oma. Hundul ma ibana. Disuru ibana ma asa au manjouhon goar ni natuatua i. Mardongan biar, porsea huhut manghitiri au tikki, hujouhon ma antong. Dua manang tolu hali hudok goarna, pittor margepori ma amanta i. Siar-siaran ma  ibana laos dibereng au. Toppu ma attong marbahasa Batak ibana mangalusi ito na pittor sigap mangabing ibana. Aha disukkun ito, dialusi ibana. Dungi, dipillit ibana sian holiholi sinakingan, dia na di ibana. Akka na so bagianna, dipaida ma tinggal disi.

Songoni ma partordingna na mangongkal holi i. Sian bagas rohakku, dang boi dope hupastihon na i ibana. Alai tahe, aha pe na masa tikki i, porsea au marnida do sahala i.


Sahat tu na manggurat on au, dang hea dope agia sahali boi songon na huipi sinangkinan, ima manghatahatai dohot sahala ni natua-tua. Dang tarbaen dope songon si Miguel di film “Mama Coco” sinangkinan.

Tumiru haporsean ni Gereja Katolik na mandok dang putus hape hubungan ni akka Pardisurgo dohot saluhut jolma na hasiangan on, tangiang ma hubaen di rohakku. Anggiat sahala ni dainang i tong manghorasi au dohot pinomparhu haduan.

Selamat Ari Hananaek ma di hita saluhutna.

Sinurat songon na nituriturihon ni si Felicia Presta Simamora.

 

Notasi Angka “Andung-andung ni Anak Siampudan” Eddy Silitonga


(Intro)

(MOTIF A)

Dang begeon ku be inong, Soara mi da inong
Turiturian na ma di au dainong, Di paninggalhon mi di au
Pussu ni siubeon mi dainong, Au inong simagoi

(MOTIF A)

Dung hubege baritami dainong, Naung jumolo ho inong
Mangangguk bobar ma au inong, Lungun nai di au on
Di au siampudan mi dainong, Da siampudan lapung i

(MOTIF A)

Marsali ma au dainong, Da tu hombar ni jabui
Asa adong da ongkos hi dainong, Mangeahi udeanmi
Inganan na saoboi be haulahani dainong, Tois nai ho inonghu

(MOTIF A)

Dung sahat au dainong, Diharbaganni huta i
Hubereng ma da ruma mi dainong, Nungnga balik balatukmi
Marduhut ma alaman mi dainong, Nungnga tudos tu natarulang i

MOTIF B:

Hei….. hei…. hei…., Hei… hei …. hei…,

Inong…. Inong…. Inong…., Inong… Inong

MOTIF A:
Husukkun ma dongan sahuta dainong, Didia do hudean mi
Dipatuduhon ma tu au dainong, Da dipudini jabui
Dihambirang ni damang i dainong, Ditoruni harambir mi

MOTIF A:
Hu ukkap potimi dainong, Inganan ni salendang mi
Hape ditongos do tu au dainong, Gabe tinggal ma orbuki
Sian rapu rapu turere dainong, Ias ias ni jabumi

MOTIF B:

Hei….. hei…. hei…., Hei… hei …. hei…,

Inong…. Inong…. Inong…., Inong… Inong


Andung adalah salah satu seni musik vokal (Ende) dari etnis Batak Toba. Jenis Ende yang lain yakni Ende Mandideng, Ende Marmeam, Ende Sibaran, Ende Pargaulan, Ende Poda/Sipasingot dan Ende HataAndung menceritakan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, baik pada waktu di depan jenazah ataupun setelah dikubur. Karena itu, sudut pandang yang digunakan, yang menjadi isi dari andung, adalah ingatan si penembang/penyanyi dan ungkapan afeksi kepada mendiang.

Dalam lagu “Andung-andung ni Anak Siampudan” (ratapan anak bungsu) ciptaan Jonggi Simanullang ini, si penembang seperti ingin meneriakkan betapa dia kehilangan sosok ibunya, merenungkan kebaikannya semasa hidup dan dengan nada melankolis hendak mengungkapkan betapa dia agak menyesal mengapa nasib belum berpihak kepadanya sebagai anak bungsu yang belum bisa memberikan sesuatu yang berarti untuk membahagiakan ibunya.

Dokumentasi video yang dekat dengan deskripsi di atas dapat kita temukan, misalnya, pada konten YouTube “Andung-andung ni Anak Siampudan” yang dinyanyikan Simatupang Sister berikut ini.