Saat balita
tangan kanannya memegang barbie
tangan kirinya mengelus pipi yang memerah
Saat anak-anak
tangan kanannya memegang slime
tangan kirinya menarik rok hingga lutut
Saat remaja
tangan kanannya memegang smartphone
tangan kirinya sibuk menarik bajunya hingga longgar
Saat dewasa
tangan kanannya memegang secangkir kopi
tangan kirinya penuh sayatan
Saat menjadi ibu
tangan kanannya membersihkan popok
tangan kirinya meremas kertas perceraian
Haruskah perempuan terlahir tanpa tangan kiri agar tidak terluka?
Bedah Puisi oleh Penulisnya
Melalui akun Twitternya @tasuketeasqui, Tazkia Nur Hafizah menjelaskan latar belakang hingga maksud dari puisi yang ditulisnya.
Berikut selengkapnya penjelasan penulis dengan penyesuaian seperlunya dariku.
Latar Belakang
Institut Français d’Indonésie (IFI) memberikan kesempatan untuk masyarakat ikut kampanye internasional “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan” dengan mengadakan lomba puisi pendek dengan tema #KitaUntukPerempuan
Sebagai apresiasi 30 puisi terbaik akan mengikuti kelas menulis puisi yang mana IFI bekerja sama dengan Kompas Institute. Setelah kelas berlangsung 5 puisi terbaik dipilih untuk kemudian dipampang di dinding gedung IFI yang terletak di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta
Alhamdulilah karya saya “Tidak Ada Perempuan yang Kidal” menjadi salah satu yang beruntung.
ISI
Saat balita, tangan kanannya memegang Barbie, tangan kirinya mengelus pipi yang memerah
‘Barbie’: Objek Barbie dipilih karena mencoba relevan dengan mainan apa yang kiranya masih dimainkan generasi Z dan Alpha.
‘pipi yang memerah’: Akibat tamparan dari keluarga/ lingkungan abusif
Saat anak-anak, tangan kanannya memegang slime, tangan kirinya menarik rok hingga lutut
‘slime’: Ini mainan yang masih digemari anak-anak Z dan Alpha
‘menarik rok: Kasus anak Sekolah Dasar yang menjadi korban pelecehan seksual oleh dari pedagang mainan di sekolahnya.
“Saat remaja,tangan kanannya memegang smartphone, tangan kirinya sibuk menarik baju hingga longgar”
‘smartphone’: Saya sering mendengar orang tua yang sedih karena remaja mereka sibuk dengan gawainya dan berusahalah untuk bonding kembali.
‘menarik baju’: Pubertas memberikan banyak perubahan pada suasana hati dan tubuh remaja. Tentu saja hal ini membuat remaja bingung dan tidak percaya diri dengan perubahan tersebut.
“Saat dewasa, tangan kanannya memegang secangkir kopi, tangan kirinya penuh sayatan“
‘kopi’: Orang dewasa dihadapkan pada banyak hal yang kita harus kerjakan. Karena tidak bisa lari dari realita, setidaknya pahit kopi dapat menahan mata. Ajaibnya, tubuh yang terjaga itu memberi sugesti bahwa kita mumpuni untuk menuntaskan kewajiban. Kopi itu adalah mantra
‘sayatan’: Alasan orang melakukan cutting (dengan sengaja menyayat tangan sendiri dengan silet atau benda tajam lainnya) adalah untuk mengalihkan pikiran semrawut pada rasa perih yang ditimbulkan luka sayatan tersebut.
“Saat menjadi ibu, tangan kanannya membersihkan popok, tangan kirinya memegang kertas perceraian“
Indonesia masuk ke dalam negara tingkat Fatherless yang tinggi. Dan masih ada sosok ayah yang tidak menyadari bahwa parenting adalah kerjasama dua pihak.
“Haruskah perempuan terlahir tanpa tangan kiri agar tidak terluka?”
Tangan kanan umumnya dianggap hal baik dan tangan kiri dianggap hal buruk. Di setiap fase kehidupan “tangan kanan” mengerjakan hal baik, sedangkan “tangan kiri” merespon hal-hal buruk
Saya ingin pada karya kali ini terasa dekat dengan keseharian dan tidak muluk memakai imajinasi berlebihan. Akhirnya saya berpikir ungkapan “lebay” apa yang bisa mendramatisir tangan kiri tersebut. Akhirnya saya memilih opsi “terlahir tanpa” agar terkesan no way out and hopeless.
Hakikatnya, kesan “no way out” dan “hopeless” tadi adalah bentuk sarkasme yang sebenarnya keluar dari orang yang sebenarnya masih berusaha namun tidak cukup dukungan dari orang lain.
Tentu saja kita kuat jika kita bersama, kan?
Maka dari itu untuk menambah sisi dramatis Saya menjadikan judul karya ini memakai kata “kidal” agar seakan kondisi “terlahir tanpa tangan kiri” benar-benar dapat terjadi jika setelah selesai membaca puisi ini pun banyak pembaca yang tidak ber-husnuzon pada makna karya ini.
Kesimpulan
Saya tidak pernah bermaksud mengolok-olok suatu kondisi dan menyudutkan siapapun di dalam puisi ini. Semoga dapat diambil kesimpulan yang lebih husnuzon karena Saya menyadari perspektif orang akan berbeda sehingga kesimpulan yang diambil dapat berbeda juga.
Penutup
Semoga semua umat manusia dapat saling menjaga satu sama lain terlepas dari cara orang melakukan “penjagaan” tersebut berbeda. Di sini Saya suka menjaga hati dan pikiran Saya tetap hidup dengan menulis. Semoga tulisan Saya bisa sedikit menghidupkan orang lain juga