Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran (SE) Kapolri SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech pada 8 Oktober lalu dan dikirim ke kepolisian sektor dan resor di seluruh pelosok tanah air.
SE ini ditanggapi beragam oleh berbagai lapisan. Bahkan rentan menjadi sangat multitafsir karena bahkan distingsi antara hate speech dan beropini pun sedemikian mudahnya dipelintir. Orang Indonesia umumnya sangat terbiasa (mungkin karena latar belakang pemahaman akan sejarah yang kerap diputarbalikkan demi kepentingan penguasa). Tidak heran, ungkapan “Money Talks” atau ‘wani piro” menjadi sangat lazim, baik dalam teori maupun praktik. “Kelaziman” ini kerap ditemui, lebih dari seharusnya.
Namun, sebelum melangkah dan bereaksi lebih jauh, kiranya perlu mengetahui bagaimana kedudukan SE dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. SE masuk kategori peraturan negara (staatsregelings) namun bukanlah peraturan perundang-undangan (wettelijk regeling).
Peraturan negara sebagai peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi (lembaga maupun pejabat tertentu) dapat dibagi 3 kelompok.
1. Peraturan perundang-undangan seperti UUD, UU, PP, Perpres, Permen, Perda, dan lain-lain
2. Peraturan kebijakan (beleidsregels) seperti instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain
3. Penetapan (beschikking) seperti surat keputusan dan lain-lain.
Oleh karena itu, peraturan kebijakan seperti SE Kapolri ini memiliki ciri-ciri yang penting diperhatikan.
Pertama, dibentuk oleh badan/pejabat administrasi negara yang pelaksanaan wewenang tersebut tidak didasarkan menurut kewenangan peraturan perundang-undangan (baik atribusi maupun delegasi) tetapi didasarkan pada azas kebebasan bertindak. Pelaksanaan kebijakan tersebut tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dikarenakan pembuatnya tidak mempunyai kewenangan peraturan perundang-undangan (baik atribusi maupun delegasi). Kewenangan yang dimiliki hanya dibatasi pada segi-segi pelaksanaan dan tidak ada kewenangan mengatur (wetgever).
Kedua, isi peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan dan berlaku bagi pembuat peraturan kebijakan itu sendiri atau dibuat dan berlaku bagi badan atau pejabat administrasi yang menjadi bawahan pembuat peraturan kebijakan. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan dalam peraturan kebijakan adalah badan atau pejabat administrasi negara, meskipun ketentuan tersebut secara tidak langsung akan dapat mengenai masyarakat umum.
Ketiga, secara substantif berbagai bentuk peraturan kebijakan dapat berisi pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis atau lainya. Sebagai akibat peraturan kebijakan yang bukan peraturan perundang-undangan, maka peraturan kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum yaitu yang pertama-tama harus melaksanakan ketentuan dalam SE adalah badan atau pejabat administrasi negara. SE sebagai peraturan kebijakan dibenarkan sepanjang mengatur pejabat dan badan pembuat SE sendiri atau mengatur bawahan dari pejabat pembuat SE.
SE bukan kategori peraturan perundang-undangan sehingga tidak layak mengatur masyarakat umum. Yang boleh mengatur masyarakat umum adalah peraturan perundang-undangan yang hakikatnya merupakan kewenangan lembaga legislatif dan badan eksekutif yang mendapat pelimpahan untuk mengatur dari badan legislatif.
Contoh kasus dimana SE dibatalkan ialah ketika putusan judicial review Nomor 23P/HUM/2009, MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebelum terbitnya Perppu No 4 Tahun 2009.
Maka, jika berkaca pada pemahaman ini, tujuan SE Kapolri sebenarnya ditujukan untuk internal kepolisian atau bawahan Kapolri agar memiliki pemahaman yang sama terkait bentuk ujaran kebencian, aspek ujaran kebencian, media ujaran kebencian, dan prosedur penanganan dalam hal terjadi perkara ujaran kebencian.
SE ini tidak bisa dijadikan dasar pemidanaan mengingat hanya mengatur prosedur penanganan perkara di internal kepolisian. Untuk menjerat pelaku ujaran kebencian dan memberikan hukuman bagi mereka tentu harus berdasarkan UU yang berlaku apakah itu KUHP atau UU ITE.
Rentan Salah Sasaran
Meskipun demikian ketentuan ini secara tidak langsung akan mengenai masyarakat umum. Karena berdampak bagi masyarakat umum maka untuk itu tetap perlu diperhatikan beberapa asas dalam pembentukan SE yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti kepastian hukum, kemanfaatan, kecermatan, kepentingan umum, dan sebagainya.
Ini yang mungkin menjadi keprihatinan Ketua Dewan Pers Bagir Manan yang sejak awal mewanti-wanti supaya ini tidak menjadi undang-undang karet. Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengaku tak sepakat dengan Surat Edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech. Menurut Bagir, surat edaran tersebut justru membangkitkan pasal karet yang dulu telah ada pada zaman Belanda. “Dulu pelajaran hukum Belanda ada pasal sebarkan kebecian. Pasal-pasal itu sangat kolonial dan yang paling korban adalah pers,” kata Bagir.
Penguasa membungkam suara rakyat?
Dalam pengertian yang lebih luas, jika menyasar pada masyarakat umum, SE ini dikhawatirkan bisa menjadi simbol ketakutan akut pemerintah terhadap kebebasan berbicara rakyat atau simbol diplomasi elegan penuh kebusuhan versus bicara blak-blakan.
Burhanuddin Muhtadi, seorang pengamat politik dan ahli survey, misalnya menyebut di twit-nya, 2 November:
“Yg saya khawatirkan adalah hate speech thd kaum minoritas dibiarkan, sedangkan kritik thd otoritas kekuasaan dimasukkan sbg ujaran kebencian”
Jika ini sampai terjadi, maka orang-orang bijak di negeri ini mestinya tidak akan diam saja. Selain bersuara di balik tinta, mereka pun harus turun tangan, blusukan ke lapangan untuk memperbaiki jika situasi semakin memburuk.
Mengapa?
Karena sejak awal, kebebasan bersuara atau parrhesia adalah satu dari tiga kualitas yang membedakan orang bijak (berfikir benar dan bertindak benar), berbeda dengan orang besar dan tenar (yang ini bisa berfikir benar, tetapi bertindak licik dan korup).
Sokrates menyatakan tiga macam kualitas ideal orang bijak: berpengetahuan (episteme), berpikir baik (eu noia), dan berbicara bla-blakan (parrhesia) (lih. “Mendidik Pemimpin dan Negarawan, hlm. 164)
Hate Speech vs Parrhesia
Definisi Parrhesia Parrhesia dipinjam dari kata Yunani, yang berarti untuk berbicara dengan berani, bebas atau dengan keterus-terangan yang bombastis. Hal ini mengatakan sesuatu dengan berani dan bebas tanpa meninggalkan keraguan belakang.
Kata itu datang dari dunia teater zaman Yunani Kuno. Euripides di abad ke-4 Sebelum Masehi memperkenalkannya dalam keenam lakon yang ditulisnya.
Dalam lakon “Perempuan-Perempuan Phoenisia”, sang ibu, Iocasta, bertanya kepada anaknya, Polyneises, yang datang dari tanah buangan untuk merebut takhta dari kakaknya.
Iocasta: Apa yang paling menyakitkan selama hidup di tanah pengasingan?
Polyneices: “Yang terburuk ini: kemerdekaan bicara tak ada.”
Ketika seorang penulis, baik itu wartawan, blogger, atau pengguna media sosial; maupun pembicara (narator atau pengkotbah) berbicara dengan bebas dan terbuka, berbagi pendapat dengan pembaca tentang suatu subjek, hal itu disebut parrhesia. Kata Latin ini diterjemahkan berarti “kebebasan berbicara.
Ini pula yang diulangi Demosthenes, seorang orator Yunani kuno, dalam pidato terbukanya “Tentang Perwalian”:
Berbicara dengan parrhesia, tanpa menyembunyikan maksud lain di balik ucapan kita, mutlak perlu.
Menarik mengamati pidato President Amerika Serikat Eisenhower pada pidato perpisahannya di tahun 1961:
In the councils of government, we must guard against the acquisition of unwarranted influence, whether sought or unsought, by the military-industrial complex. The potential for the disastrous rise of misplaced power exists and will persist. We must never let the weight of this combination endanger our liberties or democratic processes. We should take nothing for granted. Only an alert and knowledgeable citizenry can compel the proper meshing of the huge industrial and military machinery of defense with our peaceful methods and goals, so that security and liberty may prosper together.
Catatan penulis:
Mestinya Sokrates, Demosthenes dan Eisenhower tidak mesti kita bangkitkan lagi dari kubur untuk mengingatkan kita bahwa parrhesia alias kebebasan berbicara itu mahal harganya. Bagi orang merdeka, semahal itulah kemerdekaannya.