Maaf jika ini menyinggung perasaan religius dari para pembaca.
Sebagai orang yang kebanyakan membaca daripada menulis dan menghasilkan karya, saya dan kebanyakan teman-teman lain merasa cemas dan waswas. Bagaimana tidak, kini kompetisi dagang ternyata bukan hanya diramaikan oleh startup dan situs-situs e-commerce seperti BukaLapak, Blibli, Rakuten, Blanja, Tokopedia dan seabrek nama lainnya. Mencoba ingin memenuhi selera dan kebutuhan para penikmat belanja online, alternatif yang bagus terutama jika tidak ingin bermacet-macetan menuju ke toko atau supermarket konvensional. Bagus dan cukup membantu. Apalagi macam dan jenis barang yang diperdagangkan pun kian beragam.
Sayangnya, efek dari dunia digital yang menjadi ekosistem belanja online yang mestinya cukup melegakan hati ini mesti dikacaukan dengan banyaknya komoditas yang salah kamar. Selain Google Ads, Facebook for Business, ataupun Twitter Ads, kini setiap portal dan website semakin gencar berlomba mencari clickers dan unique visitors dengan menjajakan konten yang menurut mereka menarik. Mesti bukan fenomena baru, tapi tampaknya dunia digital ini semakin menjadi tempat yang subur bagi yang mau berjualan apapun. Tentu saja ada disclaimer yang siap menjadi punggawa terdepan jika suatu saat website atau portal yang bersangkutan dikeluhkan atau diadukan netizen karena berjualan tidak pada tempatnya.
Selain wacana politik khususnya #MKD, #Freeportgate, dan #SetyaNovanto, bukan rahasia lagi bahwa kini komoditas sureal pun semakin menjamur dalam bentuk eceran kotbah, kutipan dan cyberwar atas nama agama. Selain belanja alat cukur dan bak mobil, kini internet pun sudah menjajakan dua komoditas sureal terbaiknya, yakni komoditas politik dan komoditas agama.
Setidaknya ini yang dialami oleh teman saya yang khawatir karena tidak menjumpai informasi yang penting dan sehat dari hampir semua media massa di Indonesia.
Kegeramannya diungkapkannya dalam salah satu postingan di media sosialnya sebagai berikut …
Sambil menunggu musim jualan “haram ucapan natal” di akhir tahun, sementara waktu jualan “sesatnya Syiah”. Pebruari nanti bisa jualan haram “Valentine’s Day” dan “Gong Xi Fa Cai”.
Barangkali yang terakhir ini punya market baru. Pedagang yang baik itu mampu menjual sesuatu yang sulit laku. Kalau setiap bulan ada yang diharamkan, lumayan bisa masuk media. Ceramah laris.
Kepada pemilik media sebisa mungkin berpikir ulang mendudukkan isu tersebut sebagai berita publik karena ini bagian dari perdagangan. Tetap dimuat tapi sebaiknya masuk kolom iklan. Lagian pengusung isu-isu anti Syiah anti Ahmadiyah itu punya anggaran dari sponsor.
Nanti di bagian kolom iklan itu bersanding antara iklan “Anti Loyo” bersanding dengan Anti Syiah. Iklan “Mujarab Basmi Tikus” bersanding dengan iklan “Mujarobat Pembasmi Ahmadiyah”. Atau iklan pelet menaklukkan Neng Sunni agar berjodoh dengan Kang Abi (Wahabi)…..hihi……
Situasi berita kok samangkingburemmmmm huhu …
Ini hanya satu contoh.
Masih banyak contoh lain. Di komunitas lain, dengan cap agama yang lain, atau komunitas lain yang tak henti-hentinya mempertontonkan akutnya inferioritas diri mereka. Sebab, bukankah mencari popularitas dengan menjelek-jelekkan komunitas lain adalah sifat dari pengemis di dunia digital yang haus dan lapar dengan perhatian, clicks, comments dan response dari pembaca? (Syukur-syukur setelahnya donasi mengalir ke salah satu rekening yang dicantumkan).
“Ya udah sih, kalau nggak suka, ya tinggal di-close saja, cari channel atau sumber lain”, begitu mungkin respon dari netizen yang super sabar dan terus mencoba bersikap arif. Bisa saja. Tapi jika hampir semua website dan media massa begitu, bukankah ini cerminan dari selera masyarakat kita juga? Kita akan dipasok dengan komoditas salah kamar sejenis hari demi hari, kemungkinan jumlahnya akan semakin banyak, lalu di-blast membabi buta (syukur-syukur bukan copy paste sesama rekan kuli tinta di lapangan). Kenapa? Karena rating tidak melihat isinya. Lalu lintas informasi tidak perduli apakah si pembaca senang dan puas karena memperoleh informasi baru atau malah makin cenat-cenut karena setiap media massa hanya menjual “barang-barang yang salah kamar” tersebut.
Moga-moga saja forum opini pubik seperti Kompasiana, Forum Detik, Kaskus atau forum lainnya tetap sehat dengan menjadi platform sharing opini dan ulasan yang membangun dan mengkiritik, bukan kebablasan lalu malah menjual “komoditas salah kamar” seperti yang barusan disebutkan.
Sekian.
Wassalam.
(Photo by Google Image)