Lagu “Poda” versi English

“Poda”

Kental dengan nuansa melankolis tidak membuat kebanyakan lirik lagu Batak kehilangan makna filosofisnya. Endapan kearifan lokal (local genius) dan nilai-nilai hidup (local values), jika kita cermat, merupakan “jiwa” (soul) yang membuat kebanyakan lagu lawas (tidak semua) Batak tetap dinyanyikan hingga hari ini. Lagu “Poda” adalah salah satunya.

 

Tagor Tampubolon – Diskografi

Lagu “Poda” adalah satu dari beberapa lagu yang diciptakan Tagor Tampubolon, seorang komposer Batak kelahiran 1960. Seperti dilansir dari BatakPride.com, ayah dari 4 anak dari isterinya boru Sitohang mengajak setiap orang Batak untuk tidak puas dalam berkarya dan mempunyai mimpi dalam hidup.

Tagor sendiri merantau pada 1976 ke Jakarta dari kampung halaman di desa Parlanggean. Remaja Tagor yang masih polos dan ilmu musiknya masih sangat terbatas kala itu. Lalu ia pun berguru dengan Johanes Purba. Tagor memberikan segala waktu dan tenaga belajar instrumen musik dan nada.

“Musik itu jangan dibuat susah. Mantapkan dulu mengenal nada doreminya”, kata Tagor.

Setelah 3(tiga) tahun konsisten belajar musik, Tagor menulis lagu pertamanya pada 1979. Apakah langsung diterima pasar? Tidak sama sekali. Great things take time. 16 tahun kemudian di tahun (tahun 1995), barulah karyanya semakin banyak dan dan diterima masyarakat luas. Lalu, selama 16 tahun lama itu pendengar musik terarah kemana sehingga karyanya begitu lama dikenal luas? Menurut Tagor, periode itu diisi oleh banyak lagu Batak bertema sedih dan memberi kesan “menangisi jaman dulu.” Misinya pada saat itu “merubah selera masyarakat.” Ia ingin membuat lagu yang penuh petuah, nasihat, dan harapan. Lahirlah lagu “Poda” yang secara literer memang berarti ‘petuah’ atau ‘nasihat’.

Lagu “Poda” membuat namanya dikenal dan lagu-lagu berjenis “poda“-lah yang selanjutnya dikembangkan. Lirik lagu “Poda” menggambarkan ciri khas orang Batak khususnya hubungan antara bapak dan anak. Banyaknya generasi muda Batak yang pergi merantau demi masa depan menuntut orang tua melepaskan anak dengan berat hati. Seperti masyarakat perantauan lainnya, tergali kearifan hidup yang kaya disini, tidak melulu soal suasana mengharu-biru, bahwa: A great change needs great sacrifice. Tanpa bermaksud mengkonfrontir dengan kearifan masyarakat di tempat lain (karena setiap masyarakat memang memiliki dinamika sosialogis dengan konteksnya sendiri-sendiri), orang Batak kebanyakan menolak falsafah hidup “Mangan ora mangan pokoke ngumpul” (makan tidak makan, yang penting kumpul).

Karya Tagor lain yang juga masuk jajaran evergreeen Bataknese songs yakni “Tangiang Ni Dainang” (artinya: doa sang ibu), “Boru Panggoaran” (artinya: putri sulung), “Inang ni Gellengku” (Ibu dari anak-anakku).

Selain mencipta lagu, Tagor  juga terlibat di soundtrack dokumentasi film Nommensen. Tak tanggung-tanggung, belum lama ini Tagor pun mendapat penghargaan dari Ephorus HKBP (pemimpin tertinggi denominasi Kristen tersebut) karena keterlibatannya di lagu-lagu gereja.

Salah satu filosofi hidupnya adalah “Jangan lupa tanah asalmu”. Ajaran ini dipraktekannya dengan membangun gereja di Parlanggean, kecamatan Panombean, Sumatera Utara tempat kelahirannya. Ia berpesan agar generasi muda Batak menjadi saluran berkat dan selalu mengutamakan kerjasama demi menghasilkan perubahan besar. “Manusia harus punya marwah dan memiliki tongkat sendiri”, ucap Tagor.

 

BODT Voice

Empat pemuda satu almamater yang tergabung dalam kelompok BODT Voice (yang beranggotakan Budi Marbun, Ovi Hamubaon Samosir, Donald Haromunthe dan Tison Sihotang) menyadari benar hal ini. Terlebih setelah mengetahui bagaimana lagu “Poda” sendiri lahir dari perjuangan dan dedikasi tanpa henti dari seorang musisi Batak yang cukup diakui diantara para komposer Batak yang pernah ada.

Seperti dimuat MusikLib.Org, berikut lirik asli lagu “Poda”.

Angur do goarmi anakhonhu
Songon bunga bunga i na hussus i
Molo marparange na denggan do ho
Di luat na dao i
Ipe ikkon benget ma ho
Jala pattun maradophon natuatua
Ai ido arta na ummarga i
Di ngolumi da tondikhu

Unang sai mian jat ni roha i
Dibagasan rohami
Ai ido mulani sikka mabarbar
Da hasian
Ipe ikkon ingot ma maho
Tangiang mi do parhitean mi
Di ngolumi oh tondikku

(Reff) :

Ai damang do sijujung baringin
Di au amangmon ….
Jala ho nama silehon dalan
Di anggi ibotomi
Ipe ingot maho amang
Di hata podakki
Asa taruli ho amang di luat
Sihadaoani

(Coda):

Molo dung sahat ho tu tano parjalanganmi
Marbarita ho amang
Asa tung pos rohani damang nang dainangmon
Di tano hatubuanmi

 

“Advice”

BODT Voice mengartikulasikan pesan kuat lagu “Poda” tersebut dalam versi berbahasa Inggris, “Advice”. Berikut ini lirik dan link videonya.

Just like the flower blossoms majesticly

So will be your name, I hope

Me, Dad and your Mom

and it will come true when you are trying to do

Being good in every where

Still being humble and nice to every body
Keep being respectful person as you are
That is the most precious in this life
Now and henceforth

And never keep bad ideas in your mind
In your vision at all things
Coz that’s the evil things are coming from
Everybody knows the truth
Now please remember all those words you heard
in silent prayer
in your silent romm
and give to Him
space in your heart

(Refrain):

All these great things that I suggest you
The pursuit of my soul
And I wish that you will seek the same, too
Coz’ we share the same source
I ain’t borrow His name
(It’s) my love that tells you this
So that you may share all the sweetness
Like everybody dreams

(Coda):

So when walk and brething in wherever you are
Keep in mind you are in my heart
Know that’s the way you leave me peace of mind and silent soul
Here in this place that you were born

Untuk tahu lebih banyak tentang BODT Voice, silahkan kontak mereka di channel Youtube mereka atau tweet @bodtparende.

“Sulangan Mangan” versi English

Lagu-lagu Batak yang sarat makna dan pesan filosofis menjadi instrumen komunikasi yang ampuh dan terbukti tahan zaman. Banyak muatan nilai luhur yang bisa dipetik jika kita sungguh-sungguh mendengarkan kata-kata dalam lirik lagu tersebut. Simak saja lirik lagu “Anakhonhi do Hamoraon di Au”, “Di Parsobanan i”, “Binsar Mataniari” dan sejenisnya. Tentu bukan berarti bahwa lagu-lagu hasil utak-atik techno-digital dan perkawinan musik tradisional Batak dengan irama Dang-dut tidak sarat makna. Hanya saja keduanya memiliki tempat dan genre tersendiri.

Sekelompok anak muda yang tergabung dalam group vokal BODT Voice menyadari benar hal ini. Tak hanya itu, mereka pun ikut berkontribusi dengan menyanyikan kembali lagu-lagu Batak dalam versi bahasa Inggris dengan maksud supaya pesan yang terkandung dalam lagu tersebut bisa menjangkau lebih banyak orang, termasuk yang bukan penutur bahasa Batak ataupun Indonesia.

Lagu yang digubah lagi variannya kali ini ialah lagu “Sulangan Mangan”, sebuah lagu yang mencoba menggambarkan perasaan orangtua yang kesepian setelah anak-anak mereka menempuh kehidupannya sendiri, entah karena menikah, jauh di perantauan ataupun karena pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk jauh dari orangtua tercinta. Kegelisahan yang sejatinya berlaku untuk hampir semua orangtua lanjut usia, yang kerap tidak berbalas empati dari anak-anak mereka.

Sejatinya versi asli lagu ini pertama kali dipopulerkan oleh Trio Permata. Lirik aslinya dalam bahasa Toba sebagai berikut:

Nunga lam rabbon si malolonghu
nunga lam jonok ari-arikku
di hatuaonhon dao hamu sude
hundul sasada au di huta on
oo……

Ho hamu sude di anakhonhu
Ise do hamu na olo loja
Lao paresohon au
Patureture au
Andorang so marujung ngolu kon

Sulangan mangan nama au
Jala ikkon sulangan minum
Siparidion nama au
jala ikkon togu-togu on
Atik boha marujung ngolunghon
Tung ise ma manutup matakkon

BODT Voice mengartikulasikan pesan tersebut dalam “This is All My Life” (“ai on nama ngolunghu”.

Berikut ini lirik dan link videonya.


Dear my champ, and you my lovely daughter
Here I stand still wait for you to come
With all that’s in my heart
With all that’s in my mind
Please tell me when you’ll visit me again

These my words that I have in my heart
You are all my precious in my life
Don’t care about the wealth,
don’t care about the crown
Coz you my champ, my girl are all for me

(Refrain):

You see that I can barely wake
Even when it is from my bed
You see that it is clear for me
The memory when I hold you

Take care of you, when you are still a child
I tell you know that this is all my life


Untuk tahu lebih banyak tentang BODT Voice, silahkan kontak mereka dengan klik disini.

 

 

Calender Of Event Pariwisata Danau Toba 2017

“Time’s kicking, yet preparation is lacking. Whatever, keep performing”, begitu kata seorang teman yang menghadiri launcing Calender Of Event Pariwisata Danau Toba 2017. Para stakeholder, baik yang berorientasi murni laba maupun yang mengejar nilai budaya atau campuran keduanya, tentu tidak akan melupakan kesempatan-kesempatan emas untuk unjuk gigi ini.

Berikut jadwal yang dimaksud, seperti dikutip dari Voice of Sumatera.

  1. Coffee Festival Toba (20-21 Mei 2017)
  2. Soposurung Art Festival (16-17 Juni 2017)
  3. Pesta Bunga dan Buah (Kabupaten Karo, 6-9 Juli 2017)
  4. Festival Gondang Sabangunan (Kabupaten Humbanghas, 24 Juli 2017)
  5. Toba Nauli Photo Contest & Exhibition (27-30 Juli 2017)
  6. International Toba Kayak Marathon (Kabupaten Tobasa, 28-30 Juli 2017)
  7. Paralayang (Kabupaten Tapanuli Utara, 15-17 Agustus 2017)
  8. Toba Granfondo 2017; 18-19 Agustus 2017
  9. Toba Rock 25 Agustus 2017
  10. Karnaval Pesona Danau Toba (Kabupaten Tobasa), 26 Agustus 2017
  11. Pesta Oang-oang, Kabupaten Pakpak Bharat, (6-7 September 2017)
  12. Pesta Budaya Njuah-Njuah (Kabupaten Dairi, 26-30 September 2017)
  13. Pesta Rondang Bittang (Kabupaten Simalungun, 28-30 September 2017)
  14. EXCOTISM T.O.B.A. BLUE (7-9 Oktober 2017)
  15. Toba Trail Run 2017 (21 Oktober 2017)
  16. Samosir Jazz Seasons (Kabupaten Samosir, 28 Oktober 2017)
  17. Festival Danau Toba (Prov Sumut/ Kab. Humbahas, 6-9 Desember 2017)

Don’t miss every chance!

Leonardo: Horas, Amang Jokowi.

Advent

Jokowi Datang: Horas!!!

Hari ini Pak Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara pada Selasa (1/3) pagi untuk meninjau destinasi wisata Danau Toba. Sebagai tindak lanjut dari hasil Rapat Terbatas tanggal 2 Februari 2016 di Kantor Presiden, langkah ini, entah bermuatan politis atau tidak (biarlah tugas pengamat yang lebih senior untuk memberikan catatan, analisis dan komentarnya), menurut saya dilakukan pada momentum yang tepat.

Sebagai rangkaian dari tiga hari perjalanannya di Sumatera, beliau mengunjungi destinasi wisata prioritas yakni Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba. Setibanya di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang dengan menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1, beliau dan rombongan rombongan berganti pesawat dengan menggunakan CN-295 menuju Bandara Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara dan melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba dengan berkendaraan mobil. Sore harinya, Presiden dan rombongan akan menuju Medan untuk bermalam.

Seprti diinfokan oleh Berita Lima, paket perjalanan ini kemudian akan meliputi kunjungan ke Takengon untuk peresmian Bandara Rembele – Takengon, Provinsi Aceh kemudian meninjau pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan.

Dengan segala hormat kepada para pengamat, jelas langkah ini bukan semata langkah politis tetapi juga marketing yang sangat baik. Setelah resistensi dari para pemangku jabatan di tujuh kabupaten setempat soal pengembangan KSPN Danau Toba, apapun yang dilakukan atau dibicarakan Jokowi dengan kunjungan singkatnya, ia telah mulai memenangkan hati para “raja lokal” tersebut.

Tak hanya menunjukkan kapasitas sebagai kepala suku (presiden) yang mengepalai kepala-kepala suku yang lebih kecil  (para bupati, camat, para “hampung” atau kepala desa hingga para “maujana” atau penatua adat setempat), jiwa marketing itu telah menghasilkan efek yang diharapkan sehingga beberapa saat kemudian muncul tweet update penuh percaya diri dari akun @jokowi sebagai berikut:

Membanggakan. Tujuh bupati sepakat membangun Danau Toba. Toba akan jadi tujuan wisata dunia -Jkw

Jelas. Ini langkah bagus buat akuisisi lahan dan langkah superberat lainnya yang kerap menghantui setiap agenda pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan wisata di berbagai belahan nusantara ini. Bagi para penikmat kopi hangat dan koran pagi hari, jelas ini cukup jadi alasan untuk tersenyum dalam hati.

“Yesss … Jokowi sudah datang, jadi nih barang”, ucap para pebisnis yang melihat prospek cerah di industri pariwisata ini.

Atau:

“Horas ma di amang Jokowi!!! Horas ma muse tu angka parsakkap na laho padengganhon jala paulihon Tao Toba i!!!”, sebut orang kecil seperti saya yang – karena tidak punya pengetahuan apapun di bisnis pariwisata –  hanya berharap supaya konsep Sustainable and Holistic Ecotourism tetap terjaga.

(Kurang lebih berarti: Selamat pak Jokowi. Selamat juga buat semua yang berniat baik memajukan dan menjaga Danau Toba dengan keindahannya).

Horas yang Lain dari Leonardo diCaprio

Tentu saja Leonardo tidak mengucapkan “Horas” ketika ia menerima piala Oscar atas perannya sebagai Hugh Glass di film Revenant. Selain itu, dia bukan orang Batak Toba atau sub-etnis Batak lain yang terbiasa menyebut sapaan “Horas” untuk menyambut tamu. Leonardo adalah aktor Hollywood yang beberapa hari ini sedang dan mungkin akan semakin terus dibicarakan orang karena prestasinya menyabet piala Oscar untuk kategori Best Actor, Best Director dan Best Picture. Namun selain itu, yang tidak tidak luput dari perhatian publik adalah pesan ekologis yang kembali disampaikan oleh tim produksi film tersebut. Bagi saya, ini pantas jadi Best Message juga.

Seperti dikutip dari situs Oscar, teks pidato Leo setelah dia menerima piala tersebut aslinya berbunyi:

Thank you all so very much. Thank you to the Academy, thank you to all of you in this room. I have to congratulate the other incredible nomineesthis year for their unbelievable performances. The Revenant was the product of the tireless efforts of an unbelievable cast and crew I got to work alongside. First off, to my brother in this endeavor, Mr. Tom Hardy. Tom, your fierce talent on screen can only be surpassed by your friendship off screen. To Mr. Alejandro Innaritu, as the history of cinema unfolds, you have forged your way into history these past 2 years… thank you for creating a transcendent cinematic experience. Thank you to everybody at Fox and New Regency…my entire team. I have to thank everyone from the very onset of my career…to Mr. Jones for casting me in my first film to Mr. Scorsese for teaching me so much about the cinematic art form. To my parents, none of this would be possible without you. And to my friends, I love you dearly, you know who you are.

And lastly I just want to say this: Making The Revenant was about man’s relationship to the natural world. A world that we collectively felt in 2015 as the hottest year in recorded history. Our production needed to move to the southern tip of this planet just to be able to find snow. Climate change is real, it is happening right now. It is the most urgent threat facing our entire species, and we need to work collectively together and stop procrastinating. We need to support leaders around the world who do not speak for the big polluters, but who speak for all of humanity, for the indigenous people of the world, for the billions and billions of underprivileged people out there who would be most affected by this. For our children’s children, and for those people out there whose voices have been drowned out by the politics of greed. I thank you all for this amazing award tonight. Let us not take this planet for granted. I do not take tonight for granted. Thank you so very much.

Paragraf pertama berupa ucapan terima kasih kepada semua yang ambil bagian dalam pembuatan film tersebut. Paragraf kedua menyampaikan pesan yang saya maksud.

Seorang teman di Twitter menterjemahkannya seperti pada gambar di atas.

Membuat film the Revenant adalah tentang hubungan manusia dengan alam dunia ini. satu dunia yang kita jatuhkan secara kolektif yang membuat tahun 2015 menjadi tahun paling panas sepanjang rekaman sejarah. Tim produksi kami harus pergi ke kutub selatan dari planet ini untuk menemukan salju. Situasi ini merupakan yang paling urgen yang dihadapi oleh seluruh spesies kita. Kita harus bekerjasama dan berhenti menunda-nunda. Kita harus mendukung para pemimpin di seluruh dunia ini yang tidak bicara sola penyebab polusi atau korpotasi-korporasi besat tetapi yang bicara untuk kemanusiaan; dan kepada masyarakat lokal dunia ini, untuk jutaan orang yang kurang mampu disana, yang suaranya ditenggelamkan oleh para politisi serakah. Jangan menjadi orang yang tidak perduli atas planet ini. Yang saya capai malam ini pun tidak terjadi begitu saja.

Sama seperti pesan Paus Francis pada Laudato Si, ensiklik keduanya dengan kandungan pemahaman ekologis yang jauh lebih kaya, bagi saya pesan Leonardo Di Caprio ini cukup mewakili jutaan orang Indonesia yang sangat menginginkan bumi nusantara ini dibangun, dimajukan sekaligus dijaga untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi para korporasi atau pelaku lain (yang tidak berfikir dua kali mengorbankan sustainable ecotourisme demi sustainable corporate income).

Inilah horas “lain” yang saya maksud. Bukan sekedar basa-basi tetapi juga ungkapan salam silaturahmi penuh harapan bagi siapapun yang menerima salam itu. Entah mengapa bisa terjadi dalam waktu bersamaan dengan kedatangan Jokowi ke kawasan Danau Toba yang (konon) katanya kaya dengan keindahan alam dan limpah khazanah kearifan dan budaya penduduk lokal, pesan dari appara saya Leonardo Di Caprio ini menyatukan rasa dari jutaan orang yang cinta dan perduli dengan sustainable dan holistic development untuk Danau Toba dan rakyat yang berdiam di sana.

Saat ini, salam itu ditujukan kepada Pak Jokowi.

Mangadar Situmorang: Badan Otorita Danau Toba

Ada tiga kata kunci yang diusung keputusan pemerintah untuk membentuk Badan Otorita Danau Toba.

Pertama, koordinasi. Melalui badan ini seluruh dimensi dari sebuah industri pariwisata dapat disinergikan menjadi sebuah paket yang terintegrasi. Kedua, akselerasi. Melalui badan ini pola kerja yang selama ini lambat dan sangat birokratis dicoba dipercepat dengan otorisasi yang tidak saja koordinatif, tetapi juga instruktif. Ketiga, eksekusi. Dengan otoritas tunggal ini, upaya-upaya kompromi antarsektor dan antarinstansi yang kerap membelenggu keputusan hanya sekadar keputusan akan dapat diatasi. Singkatnya, BODT dimaksudkan untuk sesegera mungkin mengeksekusi amanat- amanat konstitusi, Nawacita, atau janji-janji politik presiden.

Namun, penting untuk mempertanyakan seberapa jauh legitimasi dan efektivitas BODT? Pertanyaan ini sangat pantas dijawab untuk kemudian bisa mengatakan bahwa keberadaan BODT adalah sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi.

Otoritas pariwisata

Sejumlah kalangan antusias menanggapi keputusan pemerintah membentuk BODT yang mengemban amanah menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia. Walau tidak banyak yang tahu seperti apa itu Monaco atau di mana letak quasi-negara itu, asosiasi instinktif mereka menggambarkannya sebagai sebuah tempat atau situasi yang luar biasa hebatnya, gemerlap, hidup, dan penuh daya pikat.

Itu artinya kawasan Danau Toba, yang selama ini dikenal remote, tertinggal, dan bahkan terancam, akan segera berubah menjadi sangat dekat, mudah dijangkau, dan tempat yang amat menyenangkan dan menghibur. Bersamaan dengan itu, terbayangkan pula kedatangan puluhan ribu wisatawan dari berbagai penjuru mata angin dengan membawa banyak uang untuk dibelanjakan. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial sekitar 600.000 penduduk yang tersebar di tujuh kabupaten sekelilingnya akan meningkat. Antusiasme berjangka pendek, tetapi lebih realistis ditunjukkan oleh mereka yang memiliki naluri bisnis sangat tajam.

Mengetahui pemerintah akan menggelontorkan sekitar Rp 21 triliun untuk mengubah Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional, mereka mulai menyusun strategi dan langkah-langkah taktis agar bisa mendapat bagian dari berbagai proyek pembangunan baik yang meliputi infrastruktur, seperti pembangunan Jalan Tol Kualanamu-Parapat, jembatan atau bahkan bandara, maupun yang terkait struktur utama dari sebuah industri pariwisata, seperti perhotelan, agen perjalanan, restoran, dan berbagai EO ragam pertunjukan yang akan disuguhkan. Tak tertutup kemungkinan, para pebisnis hitam boleh jadi sudah menyusun daftar usaha yang mungkin dilakukan, termasuk yang berkategori gelap dan ilegal.

Bagi pemerintah sendiri menyulap Danau Toba sebagai tujuan wisata dunia bukanlah sebuah imajinasi. Pemerintah membangun sebuah proyeksi yang berbasis kalkulasi ekonomis dan teknokratis sekaligus politis, sehingga realisasinya tampak sebagai sebuah keniscayaan.

Tidak perlu mempertanyakan legitimasi pembentukan BODT, karena itu adalah prerogatif presiden. Yang patut ditekankan adalah signifikansi pariwisata sehingga ia seakan memiliki kekuatan pemaksa, hingga seorang presiden dan para menteri pun tidak boleh mengabaikannya. Sebagaimana sering dikemukakan pariwisata merupakan salah satu sektor penting yang menunjang pertumbuhan ekonomi global (3-4 persen) dan nasional (9-10 persen).

Menurut para ahli industri, pariwisata memiliki multiplier effect yang luas. Juga dikemukakan bahwa pariwisata merupakan sektor ekonomi yang tidak terlalu rentan terhadap krisis ekonomi global dan bisa sebagai sabuk pengaman perekonomian nasional apabila krisis terjadi. Eksplanasi makro ini juga berlaku untuk Provinsi Sumatera Utara dan tujuh kabupaten yang terdapat di sekitar Danau Toba.
Potensi wisata yang luar biasa yang dimiliki kawasan Danau Toba tampaknya telah mendorong presiden dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli segera mengonversikannya menjadi sumber penerimaan devisa. Sebagai international geopark warisan sejarah bumi dan turut membentuk peradaban umat manusia, puncak-puncak gunung yang melingkari danau yang luas dan tenang itu adalah komoditas bernilai jual tinggi dan menghasilkan devisa negara.

Proyek dan proyeksi

Hitung-hitungan ekonomis Rizal Ramli tentulah tidak berujung hanya dengan munculnya berbagai proyek-proyek yang bersifat sektoral dan sesaat. Pak Menteri ini pasti telah merangkai sebuah proyeksi tentang ekowisata Danau Toba yang multidimensi, komprehensif, dan berkelanjutan. Proyeksi semacam itu akan memperkuat legitimasi dan efektivitas BODT.

Pertama, BODT perlu sejak awal menyadari bahwa Danau Toba dan kawasan sekitar bukan semata-mata obyek alam, melainkan juga obyek kultural. Masyarakat di sekitar memiliki sejarah dan keterikatan dengan alam. Bangunan kultural ini tidak hanya menghadirkan keunikan, keagungan, atau keluhurannya, tetapi juga termasuk kelemahan dan kekurangannya. Bagi sebagian masyarakat, khususnya subetnik Toba, kaki gunung (pusuk) Buhit diyakini sebagai tempat lahirnya si Raja Batak dan asal-usul masyarakat Batak.
Dari daerah inilah keturunannya selanjutnya menyebar (diaspora) baik di sekitar Danau Toba dan Samosir maupun ke daerah lain di Sumatera, Indonesia, serta mancanegara. Belakangan ini, semakin banyak praktik di mana orang Batak yang meninggal di perantauan dibawa pulang dan dimakamkan di daerah asalnya. Dengan kata lain, Samosir dan daerah sekitar Danau Toba tidak hanya bermakna sebagai tempat (locus), tetapi habitus yang menyatupadukan aspek-aspek teritorial, kultural, dan spiritual. Karena itu, menjadi perlu untuk mengkhawatirkan apakah ritual-ritual semacam itu akan menjadi komoditas yang juga akan “dijual”.

Kedua, sangat penting pula menegaskan bahwa masyarakat setempat harus menjadi pelaku utama dalam pengembangan budaya baru bernama industri pariwisata ini. Walaupun orang Batak biasa dikenal pintar, tegas, pekerja keras, toleran, dan memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa, semua karakteristik itu tidak lantas sejalan dengan tuntutan usaha jasa pariwisata. Layanan berstandar internasional sebagaimana diinginkan boleh jadi merupakan kualifikasi yang justru akan memarjinalkan dan mengeliminasi. Sementara itu, kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan berbagi atau menerima. Justru perlu diantisipasi bahwa sikap-sikap dasar semacam itu akan menjadi sumber konflik, entah horizontal atau vertikal, dan menjadi kontraproduktif terhadap akselerasi seperti yang diinginkan.

Karena itu, tampak cukup jelas bahwa bila BODT ingin menjalankan peran sebagai koordinator, akselerator, dan eksekutor dengan legitimasi dan efektivitas yang tinggi, diperlukan desain pembangunan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) dan sungguh-sungguh memerhatikan respek budaya dan konservasi lingkungan (cultural and environmental conservation). Peran koordinatif yang dijalankan BODT pun hendaknya lebih bersifat fasilitatif dan kolaboratif. Dengan demikian, tetap terbuka ruang bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah kabupaten untuk ambil bagian dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutannya.

Tidak dapat dimungkiri bahwa semua prinsip di atas akan mewujudkan sustainable ecotourism yang berarti kawasan wisata Danau Toba akan menjadi destinasi yang akan berlangsung untuk selamanya. Ini bukan kumpulan proyek jangka pendek dan sektoral. Pengadaan dan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dermaga, atau fasilitas fisik lainnya dan penataan tata ruang, mungkin bisa dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat (misalnya sampai 10 atau 15 tahun); tetapi konservasi alam dan nilai-nilai historis dan budaya masyarakat harus terus berlangsung karena sesungguhnya kegiatan dan manfaat ekonomi yang akan diperoleh semuanya bertitik tolak pada konservasi alam, sejarah, dan budaya masyarakat setempat.

Karena itu, keputusan pemerintah mendirikan BODT harus dibaca sebagai mengemban misi ganda yang tidak bisa dipisahkan: merawat (konservasi) dan memanfaatkan (utilisasi). BODT ditujukan untuk memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan masyarakat, dan pada saat bersamaan memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.

MANGADAR SITUMORANG

(Rektor Universitas Katolik Parahyangan)


 

(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul “Badan Otorita Danau Toba”.)