Ilustrasi: Counter Strike
Pada 1947, Belanda membentuk negara boneka di Sumatra yang diperkuat oleh tentara federal yang bernama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur.
Sejumlah bekas pejuang kemerdekaan yang kecewa kepada pemerintah melakukan pemberontakan. Mereka melakukan aksinya di sekitar Kebumen dan menamakan diri Angkatan Oemat Islam (AOI) yang dipimpin Kiai Somalangu.
Penumpasan gerakan ini menjadi tanggung jawab Letnan Kolonel Ahmad Yani selaku Komandan Brigade Q. Suatu hari, Yani melakukan peninjauan ke lapangan disertai beberapa anak buahnya.
“Ia (Ahmad Yani) mengambil anak buah Nokor Baros sebagai pengawalnya,” tulis penyusun buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1981:226).
Di batas kota, rombongan Yani diserang gerombolan AOI. Namun, para pengawalnya berhasil menghalau gerombolan dan perjalanan bisa dilanjutkan.
Nokor Baros, seperti dicatat istri Yani dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan (1981:123), berasal dari Sumatra Utara. Dia masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani bersama hampir satu batalion kawan-kawannya dari Sumatra Utara.
Nokor Baros juga kerap ditulis Nokoh Barus. Di zaman Jepang, menurut catatan Mestika Zed dalam Gyugun: Cikal-Bakal Tentara Nasional Sumatra (2005:197), Nokoh Barus termasuk pemuda yang dilatih masuk Gyugun (tentara sukarela) di Sumatra Timur.
Salah satu kolega Nokoh Barus, Richardo Siahaan, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (1983:315) menyebut Nokoh Barus termasuk 40 yang dilatih jadi perwira, dan mereka kebanyakan pernah belajar di MULO (singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP). Nokoh Barus juga termasuk yang berontak di akhir zaman pendudukan Jepang dan sempat ditahan Kempeitai (polisi militer Jepang).
Bekas Gyugun di Sumatra mayoritas terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang sangat kacau. Kekacauan dan revolusi sosial terjadi di sejumlah tempat dan memakan banyak korban. Penyair Amir Hamzah misalnya, jadi korban revolusi sosial meski ia sejatinya seorang nasionalis sejak lama. Ada pula keluarga Dokter Nainggolan, yang di awal revolusi berpihak pada Republik, juga jadi korban.
Boyke Nainggolan, anak sang dokter adalah kawan Nokoh Barus. Kemudian sang dokter bergabung dengan Negara Sumatra Timur (NST) yang disponsori Belanda dan sempat eksis di sekitar Medan. NST dibangun setelah NICA mulai mapan di sekitar Medan. Di dalam NST terdapat tentara federal. Pasukan ini muncul setelah Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisionil pada 21 Juli 1947.
“Sejak gerakan kepolisian pada bulan Juli 1947, di Siantar atas usaha paduka tuan Djomat Purba telah terbentuk suatu barisan istimewa, yang karena warna pakaian mereka ketika itu, segera mendapat nama julukan Blauw Pijpers (biru tua),” demikian ditulis jawatan propaganda NST dalam buku tipis berjudul Bukti (1949:44).
Dalam buku Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara (1953:235), disebutkan bahwa sebelum mendirikan barisan istimewa, “Djomat Purba adalah Inspektur Polisi Negara Republik Indonesia, yang mempunyai kebebasan dan keleluasaan bergerak antara daerah Republik dengan Medan yang diduduki oleh Inggris/Belanda.”
Dalam membangun Blauw Pijpers, dia tak sendirian. Di Tanjungbalai, pasukan itu dibentuk oleh Saibun; di Tebingtinggi dan Lubukpakam oleh Datuk Baharudin; di Brastagi dan Kabanjahe oleh Ngeradjai Meliala Bertindak; dan di Binjai serta Tanjungpura oleh Tengku Madian bersama Tengku Suleiman. Djomat Purba bertindak sebagai komandan seluruh tentara federal dengan pangkat kolonel.
Pasukan ini kemudian dikenal dengan nama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur. Tak hanya di Sumatra, di Jawa Barat dan Kalimantan juga terdapat tentara federal. Menurut Tan Malaka dalam Gerpolek (1964:83), tentara federal bersifat kolonial juga terpisah dari rakyat. Maka itu, Republik tidak menyukai kehadiran sejumlah tentara federal.
Sebanyak 50 kader Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur yang terdiri dari 23 kopral dan 27 sersan, dilatih di Cimahi–kota tangsi di Jawa Barat yang merupakan tempat pelatihan KNIL. Mereka kembali ke Sumatra Timur pada 7 Juni 1948. Sementara 9 letnan muda yang juga dilatih di Jawa Barat kembali ke Sumatra Timur pada 20 Desember 1948. Seperti tentara federal di sejumlah tempat lainnya, pasukan ini oleh Belanda disebut Veiligheids Batalyon (batalion keamanan disingkat VB).
Benjamin Bouman–mantan perwira Belanda yang pernah berperang dan dilatih jadi perwira di Jawa Barat–dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:404-406) menyebutkan beberapa nama pemuda dari Sumatra Timur yang ikut kursus VB di Opleiding Centrum voor Officieren (OCO) alias pusat pelatihan perwira. Mereka di antaranya adalah Tengku Ali, Tengku Jafar, Jansen Saragih, Oesman, Tengku Razli, Sinaga, Isara Sinaga, dan Sulaeman.
Nokoh Barus, seperti disebut AR Surbakti dalam Perang Kemerdekaan (1978:328), mencapai pangkat letnan muda dan pernah berpangkalan di Seribudolok. Karena kekuatan militer Belanda selama revolusi banyak ditempatkan di Jawa, maka keberadaan tentara federal ini yang jumlahnya sekitar 1949 dan mencapai 4 batalion, cukup dibanggakan Wali Negara NST.
Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, ada ketentuan bekas tentara Belanda di masukan ke dalam TNI atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tak hanya KNIL, tapi juga VB, termasuk yang di Sumatra Timur atau Sumatra Utara.
Hampir satu batalion VB dari Sumatra Timur yang masuk TNI/APRIS kemudian dikirim ke Jawa Tengah, termasuk Nokoh Barus yang mendapat pangkat kapten. Nokoh Barus dan kawan-kawan VB dari Sumatra lalu masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani dan berjasa dalam penumpasan gangguan keamanan di Jawa Tengah.
*(Dipublikasikan ulang dari artikel Tirto yang berjudul “Mantan Tentara Federal Sumatra Timur Menumpas Angkatan Oemat Islam”)