Kental dengan nuansa melankolis tidak membuat kebanyakan lirik lagu Batak kehilangan makna filosofisnya. Endapan kearifan lokal (local genius) dan nilai-nilai hidup (local values), jika kita cermat, merupakan “jiwa” (soul) yang membuat kebanyakan lagu lawas (tidak semua) Batak tetap dinyanyikan hingga hari ini. Lagu “Poda” adalah salah satunya.
Tagor Tampubolon – Diskografi
Lagu “Poda” adalah satu dari beberapa lagu yang diciptakan Tagor Tampubolon, seorang komposer Batak kelahiran 1960. Seperti dilansir dari BatakPride.com, ayah dari 4 anak dari isterinya boru Sitohang mengajak setiap orang Batak untuk tidak puas dalam berkarya dan mempunyai mimpi dalam hidup.
Tagor sendiri merantau pada 1976 ke Jakarta dari kampung halaman di desa Parlanggean. Remaja Tagor yang masih polos dan ilmu musiknya masih sangat terbatas kala itu. Lalu ia pun berguru dengan Johanes Purba. Tagor memberikan segala waktu dan tenaga belajar instrumen musik dan nada.
“Musik itu jangan dibuat susah. Mantapkan dulu mengenal nada doreminya”, kata Tagor.
Setelah 3(tiga) tahun konsisten belajar musik, Tagor menulis lagu pertamanya pada 1979. Apakah langsung diterima pasar? Tidak sama sekali. Great things take time. 16 tahun kemudian di tahun (tahun 1995), barulah karyanya semakin banyak dan dan diterima masyarakat luas. Lalu, selama 16 tahun lama itu pendengar musik terarah kemana sehingga karyanya begitu lama dikenal luas? Menurut Tagor, periode itu diisi oleh banyak lagu Batak bertema sedih dan memberi kesan “menangisi jaman dulu.” Misinya pada saat itu “merubah selera masyarakat.” Ia ingin membuat lagu yang penuh petuah, nasihat, dan harapan. Lahirlah lagu “Poda” yang secara literer memang berarti ‘petuah’ atau ‘nasihat’.
Lagu “Poda” membuat namanya dikenal dan lagu-lagu berjenis “poda“-lah yang selanjutnya dikembangkan. Lirik lagu “Poda” menggambarkan ciri khas orang Batak khususnya hubungan antara bapak dan anak. Banyaknya generasi muda Batak yang pergi merantau demi masa depan menuntut orang tua melepaskan anak dengan berat hati. Seperti masyarakat perantauan lainnya, tergali kearifan hidup yang kaya disini, tidak melulu soal suasana mengharu-biru, bahwa: A great change needs great sacrifice. Tanpa bermaksud mengkonfrontir dengan kearifan masyarakat di tempat lain (karena setiap masyarakat memang memiliki dinamika sosialogis dengan konteksnya sendiri-sendiri), orang Batak kebanyakan menolak falsafah hidup “Mangan ora mangan pokoke ngumpul” (makan tidak makan, yang penting kumpul).
Karya Tagor lain yang juga masuk jajaran evergreeen Bataknese songs yakni “Tangiang Ni Dainang” (artinya: doa sang ibu), “Boru Panggoaran” (artinya: putri sulung), “Inang ni Gellengku” (Ibu dari anak-anakku).
Selain mencipta lagu, Tagor juga terlibat di soundtrack dokumentasi film Nommensen. Tak tanggung-tanggung, belum lama ini Tagor pun mendapat penghargaan dari Ephorus HKBP (pemimpin tertinggi denominasi Kristen tersebut) karena keterlibatannya di lagu-lagu gereja.
Salah satu filosofi hidupnya adalah “Jangan lupa tanah asalmu”. Ajaran ini dipraktekannya dengan membangun gereja di Parlanggean, kecamatan Panombean, Sumatera Utara tempat kelahirannya. Ia berpesan agar generasi muda Batak menjadi saluran berkat dan selalu mengutamakan kerjasama demi menghasilkan perubahan besar. “Manusia harus punya marwah dan memiliki tongkat sendiri”, ucap Tagor.
BODT Voice
Empat pemuda satu almamater yang tergabung dalam kelompok BODT Voice (yang beranggotakan Budi Marbun, Ovi Hamubaon Samosir, Donald Haromunthe dan Tison Sihotang) menyadari benar hal ini. Terlebih setelah mengetahui bagaimana lagu “Poda” sendiri lahir dari perjuangan dan dedikasi tanpa henti dari seorang musisi Batak yang cukup diakui diantara para komposer Batak yang pernah ada.
Seperti dimuat MusikLib.Org, berikut lirik asli lagu “Poda”.
Angur do goarmi anakhonhu Songon bunga bunga i na hussus i Molo marparange na denggan do ho Di luat na dao i Ipe ikkon benget ma ho Jala pattun maradophon natuatua Ai ido arta na ummarga i Di ngolumi da tondikhu
Unang sai mian jat ni roha i Dibagasan rohami Ai ido mulani sikka mabarbar Da hasian Ipe ikkon ingot ma maho Tangiang mi do parhitean mi Di ngolumi oh tondikku
(Reff) :
Ai damang do sijujung baringin Di au amangmon …. Jala ho nama silehon dalan Di anggi ibotomi Ipe ingot maho amang Di hata podakki Asa taruli ho amang di luat Sihadaoani
(Coda):
Molo dung sahat ho tu tano parjalanganmi Marbarita ho amang Asa tung pos rohani damang nang dainangmon Di tano hatubuanmi
“Advice”
BODT Voice mengartikulasikan pesan kuat lagu “Poda” tersebut dalam versi berbahasa Inggris, “Advice”. Berikut ini lirik dan link videonya.
Just like the flower blossoms majesticly
So will be your name, I hope
Me, Dad and your Mom
and it will come true when you are trying to do
Being good in every where
Still being humble and nice to every body Keep being respectful person as you are That is the most precious in this life Now and henceforth
And never keep bad ideas in your mind In your vision at all things Coz that’s the evil things are coming from Everybody knows the truth Now please remember all those words you heard in silent prayer in your silent romm and give to Him space in your heart
(Refrain):
All these great things that I suggest you The pursuit of my soul And I wish that you will seek the same, too Coz’ we share the same source I ain’t borrow His name (It’s) my love that tells you this So that you may share all the sweetness Like everybody dreams
(Coda):
So when walk and brething in wherever you are Keep in mind you are in my heart Know that’s the way you leave me peace of mind and silent soul Here in this place that you were born
Agora (bahasa Yunani: Ἀγορά, Agorá) adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunani Kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata Yunani: αγοράζω, agorázō, “aku berbelanja”, dan αγορεύω, agoreýō, “aku berbicara di depan umum”. Dari sini muncul istilah agorafobia digunakan untuk menunjukkan rasa takut terhadap tempat umum. Di tempat lain, muncul forum romana, bentuk pertemuan bangsa Romawi yang mengikuti agora dan di banyak catatan sejarah dikenal juga dengan nama yang sama.
Yunani Kuno
Ephesus (baca: Efesus), kota yang kerap-kerap disebut pada zaman Yunani Kuno, berada di sebelah barat dari Anatolia, sekarang kota Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Ephesus adalah salah satu dari dua belas kota dari liga Ionian dalam sejarah pemerintahan Yunani kuno. Dari bukti-bukti yang terkumpul diperkirakan Ephesus ini sudah di huni 6000 tahun Sebelum Masehi. Kota ini terkenal dengan candi Artemis yang selesai dibangun 550 SM, merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno, Candi ini di robohkan di tahun 401 oleh massa yang di dalangi oleh St. Yohannes Chrysostomus. Kaisar Constantinus I membangun kembali kota ini, tetapi di tahun 614 sebagian hancur lagi karena gempa bumi. Kota yang menjadi pusat perdagangan ini pun melemah, terutama setelah pelabuhan yang semakin tahun makin tertutup oleh lumpur dan mengisolir kota ini. Kuil ini sendiri saat ini hanya berupa pilar-pilar yang tidak mencolok mata pada saat penggaliannya oleh Museum Inggris di tahun 1870-an.
Tentang bagaimana artefak untuk mempelajari sistem dan peradaban di kota ini diperkirakan masih berada dibawah tanah dan harus digali. Para ilmuan hanya bisa menjelaskan bahwa hujan dan banjir telah menenggelamkan Kota ke dalam tanah. Hanyutan lumpur menutup permukaan dermaga hingga sekarang menjadi tanah perkebunan. Tentu saja teori ini masih jauh dari kebenaran karena para arkeolog sendiri masih meragukan hipotesanya.
Yang menarik adalah ada dua ‘agora’ atau pasar komersial untuk melakukan bisnis negara juga tergali di sekitar kota ini.
Dari sebuah anal yang tercatat, kita bisa mereka-reka bagaimana kebiasaan masyarakat Efesus.
Anak-anak muda belajar di jalanan. Mereka berjalan-jalan, mengamati suatu objek yang menarik sambil sesekali berdiskusi di bawah bimbingan seorang guru. Celetukan, pertanyaan dan juga ocehan menjadi kurikulum tak tertulis mereka. Ada saja yang menarik perhatian mereka dan mereka haus untuk bertukar pikiran sembari memastikan apakah pendapat yang seorang sama dengan yang lain untuk hal yang sama.
Mungkin karena inilah Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”.
Mereka belajar dengan memperhatikan, mendengarkan dan berdiskusi.
Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang.
Mereka juga mempelajari berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan tukang bekerja di depan rumahnya masing-masing.
Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar)
Mereka adu pendapat mengenai harga barang di pasar
Mereka bahkan sudah berani berargumen tentang pajak, pemerintahan, kebijakan senat yang bahkan di dua puluhan abad kemudian di sebuah wilayah berjuntai pulau di bawah pelukan hangat Khatulistiwa, orang bahkan harus menutup pintu untuk membicarakannya. Hmm …
Selanjutnya di hampir seluruh kota Yunani, termasuk Efesus juga, muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya banyak dari aliran sofistik itu bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan.
Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir.
Salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates.
Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini. Bersama dengan peradaban maju lainnya yang melakukan revolusi awal di bidang pendidikan, Efesus dengan agora-nya menjadi kontributor terbesar bagi perkembangan pemikiran kemudian. Berkat puluhan revolusi lain puluhan abad kemudian di wilayah yang kita sebut sebagai “dunia Barat”, gerak maju pendidikan dan literasi dalam berpendapat akhirnya sampai juga ke Nusantara setelah melewati tahun-tahun yang tidak enak di bawah penguasaan bangsa-bangsa Eropa, lalu dengan agak susah-payah Anda dan saya akhirnya bisa menikmati segudang tulisan. Salah satunya ya ketika Anda membaca tulisan ini.
Oke, sejauh ini kira-kira apa yang bisa kita dapatkan?
Mungkin sulit untuk membawa pembaca pada suasana di sebuah agora, di sebuah kota, di sebuah negara ribuan kilometer dari tempat duduk pembaca saat ini pada kurun puluhan abad sebelum sekarang. Agora di Efesus pada ribuan tahun lalu telah berhasil menciptakan iklim pengetahuan yang berbicara banyak pada sejarah setelah susah payah akhirnya berhasil juga melahirkan maestro pengetahuan sepanjang masa, Sokrates, serta merintis sistem pendidikan modern di hampir seluruh dunia dewasa ini, yaitu Akademia.
(Itu khan di Negeri Para Dewa. Kasih contoh yang di Nusantara donk.)
Banyak kesamaan antara Efesus dengan Toba dan Samosir. (Barangkali ada yang sontak ingin mem-bully Saya dengan paralelisme yang bernuansa cocoklogi ini). Memangnya, ada hubungan historis? Atau Sokrates pernah meliput di Danau Toba begitu? Tentu tidak seakronistik itu.
Samosir di Indonesia
Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. “Lapo” adalah kedai/warung seperti warung kopi. Mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itu. (Hahaha …) Tempat-tempat yang kerap Saya jauhi karena sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor Nyisip Kopi Terlama yang Pernah Ada. (Saya kurang tahu apakah sudah ada event organizer yang pernah menggagas lomba semacam ini). Betapa tidak, secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You know-lah, that’s not like drinking mineral water. Semoga kita sepakat dalam hal ini.
Jika diperhatikan, maka aktifitas berbicara-mendengarkan-berdiskusi di agora ini sangat mirip dengan acara “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul) di lapo–lapo yang sejak dulu menjadi tempat berkumpul kaum bapak di Samosir. Umumnya di zaman masyarakat Toba yang patriarkhis kental ini, kaum ibu lebih memilih untuk diam di rumah atau melakukan kegiatan lain daripada menjadi gunjingan.
Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentleman Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. Seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.
Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi memang menunjukkan ciri yang sama: Meminum tuak menjadi pemandangan umum pada malam hari, antara lain lantaran iklim daerah-daerah tersebut yang dingin.
Lagi tentang Samosir
Pulau Samosir sendiri ialah pulau vulkanik hasil erupsi purba Gunung Toba yang sekarang menjadi Danau Toba. Sebuah pulau dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini menjadi sebuah pulau yang menarik perhatian bagi siapapun yang mengunjunginya. Di pulau ini terdapat pula dua danau lain yang lebih kecil, yaitu Danau (Aek) Sidehoni dan Danau (Aek) Natonang. Keduanya kerap disebut “danau di atas danau”.
Untuk mencegah salah kaprah, berikut beberapa term yang kerap diasosiasikan dengan Samosir.
Kabupaten Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Sebagian wilayahnya mencakup Pulau Samosir.
Kabupaten Toba Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
Samosir juga adalah salah satu marga dari Batak (Toba) yang berasal dari Kabupaten Samosir.
Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dihuni oleh suku Batak, lebih spesifik lagi etnis Batak Toba.
Marga Samosir, salah satu dari ratusan marga yang umum dikenal dalam kekerabatan genealogis masyarakat Batak toba.
Perihal orang Batak sendiri konon adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
R.W Liddle, seorang penulis, mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Agora Toba
Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo. Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).
Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo–lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang Batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.
Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo–lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang Batak.
Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang Batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapo–lapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah sampai kelas elit.
Pada akhirnya, lapo dan orang Batak menjadi hal yang tak terpisahkan seperti agora dan orang Efesus pada zaman Yunani Kuno. Keduanya besar karena saling membesarkan. Melihat kesamaan fenomen di Efesus dan di Samosir inilah saya mengusulkan ke siapapun yang berwewenang untuk menambah diksi agora Toba ke perbendaharaan kata kita.