Membaca Tanda “Dua Garis Biru” – [Sebuah Parafrase]

Jessy membuka laptopnya kembali.

Logline? Sudah.

Ide? Juga sudah.

Semiotika? Sedikit. Meski dia yakin naskahnya akan mengalir. Apa susahnya menulis kalau sosok yang diceritakannya adalah Ben, cowok yang sudah lama ditaksirnya di kelas. It’s gonna be as easy as makan kerupuk.

Tetapi, bagaimana caranya supaya tanda-tanda absurd di mimpinya itu menjadi jiwa dari naskahnya? Rumah. Benih. Pohon.

Jessy mengingat-ingat lagi, ada nggak film remaja yang menarik untuknya, yang bisa mengajarinya bagaimana menanamkan tanda dan simbol tanpa disadari pembaca dan penonton?

Oh iya.

Dua Garis Biru.

Judulnya saja sudah menjadi petunjuk akan muatan semiotika. Mengapa harus “Dua Garis Baru”? Mengapa nggak langsung “MBA alias Married by Accident” aja?

Hmmm …

Maka, Jessy menonton lagi film karya Gina S. Noer, penulis dan sutradara yang dikaguminya itu. Kali ini Jessy tidak lagi fokus pada sinematika, tetapi membaca simbol atau pertanda apa saja yang ada.

Dan, benar saja. Jessy sendiri mulai terkejut dengan banyaknya layer tanda dan makna tersembunyi yang ditemukannya. (Thanks to akun Twitter Axel yang memberi banyak insight tak terduga)


Soundtrack

Jessy mengaku, soundtrack di Dua Garis Biru berhasil membuatnya mewek. Terutama lagu Growing Up-nya Dara Muda yang paling banyak diputar. Bukan tanpa alasan. Lirik dari lagu ini beberapa kali muncul di adegan yang memorial.

Contohnya, ketika Dara melongo sendirian di kamar. Liriknya secara tidak langsung memberi tahu ke Jessy tentang kesedihan dan tidak stabilnya emosi si Bima dan Dara.

Can anybody tell me
Can anybody tell me
Can anybody help me
How to
What to do


2159

Lalu, ada mobil Grab dengan nomor polisi nomor polisi 2159.

Tiba-tiba jiwa cocoklogi Jessy seperti berteriak. Jessy baru memperhatikan bahwa pada scene keluarga Bima mau berangkat ke rumah Dara untuk acara lamaran, nomor polisi mobil Grab yang mereka pesan itu: 2159.

Bukankah ini pertanda yang jelas, mirip dengan nasihat yang sering didengarnya dari mamanya yang superprotektif itu: “2 orang dalam 1 tempat selama 5 menit, bisa jadi 9 bulan”?

Damn!


Berumah Tangga tidak Semudah Buat Anak

Di scene ini Jessy sempat merinding ketika bapak si Bima mengucap “bismillah” sebelum mereka jalan ke perkampungan. Ada beberapa kejadian yang secara tidak langsung menggambarkan ke Jessy bahwa “berumah tangga itu tidak semudah buat anak”.

Ini terlihat gamblang pada adegan bapak ibu yang berantem karena uang bulanan yang kurang.

Ada juga adegan dimana seorang istri marah-marah ke suaminya karena motornya di-“pakai” orang  lain.

Ini udah kayak teriak: ” Ini loh yang bakal lu hadepin kalo ngelakuin ini (baca: bersetubuh)”


Acara Orang Meninggal

Terus lanjut ke tempat orang meninggal. Buat Jessy, ini cara yang brilian untuk menandakan pesan penulis naskah 2 Garis Biru bahwa: “Tiap kali ada yang datang, pasti akan ada yang pergi”


Lorong Gelap

Lanjut ke adegan pas si Dara masuk ke lorong gelap sambil melihat ke belakang. Gelap dan tampak buntu. Tapi ia tetap berjalan.

Ini semion (tanda) cerdas untuk menggambarkan: “kamu tidak bisa kembali ke belakang; yang bisa kamu lakukan adalah menghadapi masa depan dengan berani”


Jus Stroberi

Jessy berhenti sebentar. Memastikan bahwa semua tanda yang diamati tadi sudah dicatatnya. Kemudian ia lanjut memutar film.

Tiba-tiba matanya tertuju pada jus stroberi. Adegan dimana Dara tiba-tiba menangis melihat jus stroberi. Jessy akhirnya mengerti mengapa Dara menangis. Tentu saja, karena Dara membayangkan seolah-olah stoberi itu anaknya karena disitu posisi janin di rahim Dara baru seukuran buah stroberi.

Campur-aduk rasanya ketika Jessy mencoba merasakan apa yang dirasakan Dara.

Calon ibu mana yang tega membiarkan janin hanya sebesar stroberi, tidak berkembang lebih besar? Tetapi tidak dipungkirinya, pasti Dara juga dihadapkan dengan ribuan ketakutan dan kebingungan: selama ini dia hanya berkutat dengan Matematika, Fisika, dan mata pelajaran lain di bangku sekolah. Siapa yang akan mengajarinya menyusui bayi, mengganti popok.

Oh iya: masih sempatkah dia berdandan kalau tiba-tiba bayinya merengek dan menangis, dan dia harus begadang semalaman? Masihkah dia punya waktu untuk mengecek timeline di IG, Tiktok dan Twitter yang menemaninya selama ini?

Hmmm


UKS

Lanjut ke adegan di ruang UKS. Disitu ada poster alat reproduksi yang seharusnya dibaca dan dipahami oleh murid di sekolah.

Tapi karena kurangnya sosialisasi dan pelajaran seperti ini kepada murid, poster seperti “jauhi pergaulan bebas” dan lain-lain hanya jadi pajangan biasa.

(Sama seperti poster “Dilarang Membuang Sampah Disini”, di depan papan poster itu biasanya ada tumpukan sampah penuh lalat toh?)


“Mama Aja Gagal”

Jessy semakin serius. Ia tenggelam dalam adegan demi adegan.

Lama-kelamaan , ini sepertinya bukan menonton film lagi, sudah lebih ke petualangan menyusuri jejak emosional yang dialami Dara dan Bima. Jessy mengakui, jalan yang dilalui mereka berdua itu sulit, berliku, penuh duri, bahkan gelap di beberapa titik.

This is starting to get personal.

Ia menekan tombol pause beberapa saat ketika Mama si Dara berkata: “Kamu kira gampang jadi orang tua? Mama aja gagal!”

Kemudian dilanjutkan dengan: “Mengandung 9 bulan, jadi orang tua seumur hidup

Seperti mendengar orangtuanya sendiri berbicara, Jessy hampir menitikkan air mata. Ini seperti petir di siang bolong. Sebuah pengingat yang kuat bahwa sebagai remaja cewek di era pubertas yang menggila ini, dia tidak lagi bisa ngeles –  dengan mentalitas khas pemuja ultrafeminisme – dalam hati: “boleh donk melakukan sex dengan siapapun lelaki yang aku suka, nanti kalau hamil pasti cowokku tanggung jawab”. Tidak bisa lagi.

Tetapi tidak hanya itu. Dialog singkat ini tiba-tiba membuat Jessy rindu dengan ibunya. Kini ia mulai memahami beratnya hidup yang harus dilalui ibunya sebagai single mother, sendirian mengasuh mereka berdua (Jessy dan kakaknya) sejak belasan tahun lalu.


Adam

Kemudian ibu si Bima memberi nama Adam untuk cucunya.

Mengapa harus Adam?

Bukankah Adam itu diyakini para penganut Abrahamistik sebagai manusia pertama, anak yang suci? Awal dari seluruh umat manusia loh si Adam ini.


Test Pack 

Lanjut ke adengan dimana Dara membeli testpack. Dengan malu-malu dia tampak ingin menunjuk benda yang ingin dibelinya itu ke penjaga meja kasir.

Mengapa harus malu?

Ah, tentu saja. Ini kan di Indonesia. Negara dengan masyarakat yang akan menjudge dan berfikir macam-macam kalau melihat seorang perempuan sendirian membeli test pack. “Mengapa tidak bersama dengan suaminya? Usianya sepertinya masih muda banget loh?”

Bukankah seharusnya – jika pegawai minimarket atau apotik yang biasanya menjual alat seperti itu betul mendalami training melayani pelanggan di awal mereka menjadi karyawan – harusnya mereka membuat pembeli nyaman.

Ini yang terjadi malah sebaliknya.

Jessy bisa mendengar pegawai apoteknya berkata,“ada yang bisa dibantu Mbak?” dengan nada nyolot? Jangankan anak SMA, orang dewasa saja bakal risih. Disitu kan Dara mau membeli testpack, bukan mau beli permen.

Grrrrr

Jessy membayangkan, pasti bakal Dara tidak sebingung itu jika si kasir mendekati Dara dan berbisik, “Sini Mbak, Saya bantu. Mbak bingung kan mau beli yang mana?”. Pasti Dara akan merasa sangat terbantu dan lega.

Lanjut ke adegan berikutnya. Test pack sudah dibeli. Dara kemudian memakainya dan menunjukka hasilnya. Ada 2 (dua) garis biru. Artinya: positif hamil. Tetapi sejurus kemudian kamera menyorot cepat ke Bima dan beberapa penghargaan dan piagam yang pernah diraih Dara.

Jessy seperti hendak teriak ke telinga Bima: “Bim, kamu sudah menghancurkan masa depan orang lain”


Jalan Buntu, Putar Balik

Lanjut ke adegan yang sekilas tampak lucu, yakni ketika Bima mengaktifkan aplikasi Google Map di HP-nya. Bima lupa mematikan. Dia baru sadar ketika ada notifikasi suara yang berbunyi: “Jalan buntu. Putar balik”

Untuk Jessy, lagi-lagi ini semion yang jelas untuk menggambarkan ke Bima, setelah apa yang dilakukannya dengan Dara: “Tidak ada jalan lain lagi selain menikah. Nikahi Dara. Kamu tidak bisa lari lagi dari kenyataan ini”.

Sebuah point of no return yang dikemas ciamik.

 


Kerang

Lanjut ke adegan Bima dan Dara makan di sebuah warung makan. Disini si Dara sendiri yang mengucapkan dialog semotik itu.

Kerang yang udah kebuka itu artinya udah busuk“, ucap Dara sambil memisahkannya.

Jessy ingat ketika teman-temannya menertawakannya dulu ketika dia bingung kala mereka tertawa ngakak sambil menggodai satu sama lain, “Ini kerangku, mana kerangmu?”. Dia sangat malu bahkan sekedar mengingatnya. Tapi kini Jessy memahami. Oke. Jadi, “kerang” adalah kiasan slur untuk vagina.

Kalau begitu, dialog Dara tadi memuat makna yang mendalam. Ini pertanda yang jelas menggambarkan pandangan umum orang Indonesia tentang keperawanan: Yang sudah pernah melakukan hubungan seks, sudah tidak perawan, ini bukan wanita baik-baik.

Bagusnya, di adegan ini, Bima malah memakan kerang sudah terbuka cangkangnya itu.

Sebuah pertanda kepolosan seorang anak SMA: cowok yang tidak punya gagasan apapun akan menjadi ayah.

Tetapi juga pertanda pemberontakan terhadap stereotipe masyarakat yang kadang begitu kejam. Perlawanan terhadap orangtua yang tega menasihati anak lelaki mereka untuk memutuskan hubungan dengan gadis yang telah dihamili anaknya sendiri.

“Nak, si cewek A ini sudah nggak perawan, nggak baik kalau kamu terusin pacaran sama dia. Apa kata orang-orang nanti ke keluarga kita? Nanti yang lain-lain, ke dokter dan macam-macamnya, biar  Mama yang urusin“.

Jessy ingat pernah mendengar ucapan seperti ini ketika menguping pembicaraan ibu Joel, tetangganya yang terkenal berjiwa sosialita itu. Sejak saat itu, ia tidak menaruh respect yang sama lagi terhadap cowok tetangganya Joel, apalagi dengan ibu Joel.


Jam Pasir dan Poster “Semangat”

Di beberapa scene jam pasir di-shoot beberapa kali. Ini jelas menggambarkan “waktu” yang terus berjalan dan selama waktu itu berjalan, Jessy bisa melihat Bima, Dara dan karakter-karakter lain sudah mulai memiliki perubahan baik fisik atau pikiran.

Melelahkan tetapi cukup melegakan buat Jessy.

Tapi film belum selesai.

Akhirnya Jessy sampai pada adegan ketika Dara mengemasi barangnya hendak berangkat ke Korea mengejar impiannya. Nah, disitu ada poster “SEMANGAT” yang dibidik dengan jelas oleh kamera. Buat Jessy, ini penyemangat yang sangat dibutuhkan Dara. Banyak hal yang sudah dialaminya. Tetapi, begitu memutuskan untuk melangkah, Dara harus melangkah. Dan supaya langkahnya tidak terhenti, dia tentu sangat membutuhkan semangat dari orang-orang di sekitarnya; bisa berupa ucapan yang tulus, tapi lebih lagi: perhatian yang tulus.

Jessy, seakan mendalami karakter Dara, akhirnya mematikan laptopnya; mengakhiri petualangan sore hari menonton film Dua Garis Biru itu, menghelas nafas sambil berkata dalam hati:

“Dara adalah aku. Semangat buat aku”.


 

Menulis Naskah Film bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 1)

Mencari Ide

Jessy, remaja yang duduk di bangku SMA itu, cukup percaya diri bahwa dia memiliki segudang kreatifitas. Sejak kecil selalu begitu yang dia dengar dari teman-temannya.

Tetapi akhir-akhir ini, muncul keraguan. Soalnya, selama belajar di kelas, sangat jarang Pak Heru – guru Seni Budaya – memberikan penugasan dengan metode active learning. Hanya ceramah, mengupas bacaan dari buku teks, sesekali disuruh menulis analisis sederhana tentang sebuah karya seni, tetapi tidak sampai menghasilkan karya kreatif: sebuah karya yang benar-benar berangkat dari gagasan siswa sendiri dan akhirnya menjadi karya yang bisa dinikmati banyak orang.

Pernah suatu siang, Jessy memberanikan diri bertanya pada Pak Heru. Saat itu Pak Heru sedang duduk di mejanya di kantor guru. Kebetulan para guru lain tampak sudah pulang. “Pak, mau nanya.”

“Eh, ada Jessy. Gimana?”

“Gini, Pak. Kan kebetulan kita sedang membahas materi drama nih. Mengapa kita tidak langsung menciptakan skenario saja?”, tanyanya dengan sikap kritisnya yang khas situ.

Awalnya Jessy sempat ragu, jangan-jangan Pak Heru akan menanggapinya dengan ketus. Tapi, Pak Heru malah antusias. “Makasih loh, Jes. Bapak pikir tidak ada yang memperhatikan ini. For the first note, membuat 30-an orang siswa untuk mencipta scenario from zero to be a writer hero, tentu tidak mudah”, jelas Pak Heru dengan kebiasaannya mencampur-adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia ketika berbicara.

Good insight. Sebenarnya, Bapak sejak kuliah sudah tertarik dengan pendekatan experiential learning atau active learning. Tapi makin kesini kok malah jadi lupa. Untung ada kamu yang mengingatkan lagi. Thanks anyway, Bapak akan mencoba mempertimbangkan saranmu,” lanjut Pak Heru sambil tersenyum.

“Makasih Pak. Saya permisi ya,” ucap Jessy seraya membungkukkan badan sambil meninggalkan gurunya yang sepertinya masih terkejut itu.

Sejak saat itu, Jessy dan Pak Heru semakin intens berkomunikasi. Sesekali ketika bertemu langsung. Selebihnya, melalui chat dan panggilan suara Whatsapp.

Tidak begitu jelas: entah karena sikap Pak Heru yang antusias atau karena sejak awal Jessy memang tertarik dengan dunia tulis-menulis, tetapi yang jelas Jessy semakin tertantang mencipta skenario. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya hingga sekarang.


Belum Mulai Menulis

Sebenarnya, perjalanan menulis Jessy belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai. Begitu  menghidupkan laptopnya, tiba-tiba dia berhenti sejenak. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benaknya. Skenario macam apa yang hendak kutulis? Naskah film berdurasi panjang? Drama? Komedi romantik? Fiksi sains? Horror? Atau apa?

Menulis cerpen Jessy sudah biasa. Apa bedanya sih dengan menulis skenario

Sebenarnya proses kreatif menulis skenario ini apa saja? Ada nggak struktur yang bisa dipakai untuk menghasilkan naskah yang siap baca (pitch ready script)? Kurang lebih 110 halamanlah.

Oh iya. Selalu butuh peer review. Tiba-tiba Jessy ingat dengan Rachel dan Cassandra. Dua teman yang juga sama kutu bukunya dengan dirinya. Aman kalau begitu.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan tadi belum berjawab.

Bahkan, dari percakapan dengan Pak Heru, ia tidak mendapat penjelasan yang menjawab pertanyaan teknis yang ada di kepalanya. “I will guide you, I will show you how to get there. Hopefully, I will inspire you. I will show you how to use script writing software, but I won’t show you how to write or what to write, that is up to you. You are the only one who can illustrate your creative thoughts. I firmly believe that the only way to become a writer is to write, write, write.

Jadi, cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis, menulis dan menulis? Hmmmm …

Jadi, mau nulis apa nih?

Tidak ada yang spesifik. Tetapi kalau diingat-ingat, ada banyak pengalamannya yang menarik ditulis. Ada banyak orang yang dikenalnya dengan kepribadian yang menarik. Bagus juga kayaknya kalau aku menulis tentang teman-temanku aja?

Menarik semua nih.

Bisa jadi. Tapi tidak akan menjadi film sampai Jessy berhasil menyelesaikan utuh naskahnya. Dan naskahnya tidak akan selesai jika dia tidak mulai membuat paragraf pertama. Paragraf pertama tidak akan selesai kalau dia tidak mengembangkan daya pikir kritis dan analitiknya. Daya kritis dan analitiknya hanya akan terlatih jika ia tidak rajin membaca naskah karya orang lain dan memberikan komentar serta masukan yang otentik, membantu, membangun dan bermakna. Komentar dan masukannya hanya akan bermakna otentik kalau dia membuatnya seakan sedang mengkritik naskah tulisannya sendiri.

Masalahnya: mengembangkan gagasan jauh lebih penting dari gagasan itu sendiri.

Itu yang diingatnya dari Nicholas Baker, seorang penulis yang bisa menulis sebuah novel, padahal hanya mengupas 30 detik di eskalator. Sebuah novel loh. Hebat.

Pikiran kreatif Jessy berpetualang cepat. Berpindah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Oh iya, hari ini di hari Valentine 2023, ia baru saja pergi ke Indomaret membeli coklat untuk Rachel dan Cassandra, dua teman terbaiknya. Sebenarnya, seperti kutu buku lainnya – ditambah introvert lagi – hanya dua orang itu yang dimilikinya.

Jadi apa yang mau kuketik nih?

Indomaret? Coklat? Rachel, atau Cassandra?

Gimana kalau begini saja:

Ketika aku baru saja mau bayar belanjaan ke kasir Indomaret, datang dua orang bertopeng yang mau merampok. Lengkap dengan pisau berkilat tajam. Kedua orang itu tentu saja tidak punya pilihan. Selain kedua kasir yang ketakutan setengah mati itu, pasti mereka juga menculikku. Lalu aku – bermodalkan sedikit kelincahan yang kulatih kala ikut kelas bela diri di SMP – spontan merebut pisau dari tangan salah satu penjahat itu, menusuk cepat di bagian dada dan balik mengancam. Kedua penjahat itu lari ketakutan meninggalkan lokasi Indomaret itu. Naik ke mobil hitam yang sedari tadi sudah parkir, sedia menunggu mereka jika terjadi apa-apa. Aku lupa bahwa seperti lokasi belanja lainnya, Indomaret itu punya rekaman CCTV. Aku menjelaskan susah-payah ke penyidik dari pihak polsek setempat, tetapi mereka tidak menerima. Akhirnya, aku ditahan di penjara. Berkenalan dengan sejumlah pelaku criminal lainnya di penjara: pengedar sabu, pemerkosa, pencuri dan pelaku balas dendam yang membunuh pembunuh orangtuanya.

Hei, ini bakal menarik dijadikan film.

Perlahan tapi pasti, jemari Jessy mulai bergerak di laptopnya. Kosakata, alur, adegan dan nama-nama karakter seakan berlomba untuk ditulisnya.

Muncul masalah baru. Bagaimana ia menertibkan lalu lintas gagasan yang kini memadati pikirannya?


Ini adalah bagian pertama dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR yang tentu tidak akan habis kamu baca.

Semiotika dalam Penulisan Naskah Lakon

Jessy sudah mulai asyik mengerjakan naskahnya. Tetapi ini baru terjadi hari ini. Sebelumnya, ia harus melalui perjuangan yang cukup melelahkan.

Pak Heru, Guru Seni Budaya yang sudah beberapa kali menjelaskan premis, stake, goals, obstacle, wants, needs dan istilah rumit lainnya beberapa kali harus mengulang materi yang sama. Sebenarnya, masuk akal sih. Jessy, si anak IPA yang ambis ini memang sudah terbiasa dengan materi pelajaran yang pasti dan eksak. Ya, mereka kan guru. Mestinya dikasih tau donk, langkahnya apa saja. Kalau perlu, huruf apa yang harus ditulis pertama kali, dan sekalian dengan jenis font yang bagus. Sialnya, selama materi kepenulisan naskah, hal itu tidak pernah terjadi. Malah, tanpa disadari, seluruh sekuens dari kerangka dramatik alias metode penulisan 8 sequence sudah selesai dibahas di kelas.

“Ini hanya panduan. Disuruh merumuskan premis. Terus, apa dialog pertama yang harus kutulis? Mana acci kek gitu?”, begitu kalimat yang muncul di benak Jessy.

Sampai kemudian dia bermimpi pada suatu malam. Dia tidak persis ingat cerita mimpinya. Yang tersisa hanya ingatan samar bahwa di mimpinya, Ben, cowok di kelasnya mengajaknya menanam pohon di samping rumah. Itu saja. Benih. Rumah.

Awalnya ia merasa semua ini absurd. Mimpi yang absurd, tetapi menyimpan banyak tanda. Kemudian tumbuh rasa penasaran apakah semua ini hanya tanda, atau ternyata pertanda yang sarat makna.

Ia ingat kembali: benih dan rumah. Kedua benda dalam mimpi ini semakin lama semakin sering muncul di benak Jessy, menghantuinya.

Oh iya. Baru dia ingat. Pak Heru sepertinya pernah menjelaskan ini di kelas. “semiotik”, itu istilahnya. Maka dia berselancar sebentar di internet. Halaman itu berbunyi:

“Semiotik memiliki dua tokoh utama, yaitu Charles Sander Pierce di Amerika Serikat (1834-1914) dan Ferdinand de Sausure di Swiss (1857-1913). Pierce menyebut ilmu semiotik dengan nama semiotik, sedangkan Sausure menyebut semiotik dengan semiologi. Dari kedua tokoh ini muncul semiotik aliran Pierce yang dikenal dengan semiologi komunikasi, semiologi konotatif oleh Roland Bartnes, dan semiotik ekspansif yang dipelopori oleh Julia Kristeva.
Munculnya berbagai aliran semiotik dipengaruhi oleh fakta historis, geografis, metodologis, dan kepribadian. Dalam semiotik, hal tersebut akan mempengaruhi dalam pemberian arti sebuah penanda menjadi petanda. Selain itu, fenomena sosial juga dapat dibahami berdasarkan model bahasa yang dapat disebut tanda.”

Apakah benih dan rumah dalam mimpinya punya makna?

Benih. Rumah.

Kepada siapa dia bertanya untuk mengkaji arti benih dan rumah?

Oh iya.

Tentu saja.

Jessy mulai tersenyum. Sepertinya dia sudah mulai memahami arti dari mimpi ini. Bahkan, dia jadinya senang setelah mengetahui bahwa benih dan bunga adalah tanda dari keinginan bawah sadarnya. Asa yang selama ini dia pendam dalam-dalam. Tak pernah diberitahukannya kepada siapapun, bahkan tidak dengan diarinya.

Bukankah selama ini dia mengagumi Ben dalam diam?


Sejak saat itu, Jessy mulai bersemangat menulis naskahnya. Seperti mengalir begitu saja. Sebab ia tahu: ia sedang menulis kisahnya sendiri.