Panggungharjo dan Wahyu Anggoro Hadi adalah dua nama yang beberapa tahun terakhir menjadi buah bibir ketika kita membahas desa di Indonesia.
Yang pertama adalah sebuah desa mandiri di bilangan Bantul, Yogyakarta dengan beragam program yang terbukti membangun warganya. Yang kedua adalah kepala desanya.
Tentu saja, tidak ada yang terjadi kebetulan. Apalagi sesuatu yang too good to be true, pasti akan segera mendatangkan kritisisme di kepala kita.
Ini wajar.
Sesuai hukum inersia (kelembaman/kemalasan): Sesuatu yang tidak bergerak (kecepatan = nol), akan tetap dalam keadaan diam sampai ada gaya yang menyebabkannya bergerak.
Sesuatu yang nyaman akan sulit sekali berubah, sekalipun “yang nyaman” itu termasuk desa yang tidak pernah mandiri, kepemimpinan lokal yang korup dan kental politik kroni, tidak ada inisiatif negara untuk benar mengurusi desa, dan permasalahan desa lainnya.
Situasi ini pasti tidak asing bagi kamu yang tinggal di desa. Maka dapat kita sebut sebagai zona “nyaman”, meskipun sebenarnya semua orang menggerutu tentang bagaimana mereka tidak merasakan manfaat yang mereka duga patut dapatkan dari negara lewat desa. Semua orang mengkritiknya tetapi tidak ada yang mau menempuh resiko untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, karena semua warga desa sama-sama merasa sama-sama “tidak nyaman” tetapi tidak ada yang mau mengubahnya, inilah justru zona nyaman sesungguhnya itu. Padahal, kalau mau maju, bukankah kita harus keluar dari zona nyaman (comfort zone) ini?
WAH!
Maka ketika kita mendengar kisah bagaimana pemerintah Desa Panggungharjo di bawah komando Kades Wahyudi Anggoro Hadi (WAH) berhasil
membebaskan pemeriksaan kehamilan dan biaya kelahiran,
menerapkan kebijakan satu rumah satu sarjana,
mewujudkan indeks hingga 73 persen warga bahagia dan menargetkan bisa mencapai 100 persen pada 2024,
sangat pantas kita menanyakan: bagaimana WAH melakukannya?
Pertanyaan ini kemudian mengajak kita untuk berfikir runtut dan kembali ke realitas paling awal yang menjadi asal mula semua keruwetan di desa. Untuk bisa melakukan sesuatu yang kita duga sudah banyak orang mencoba melakukan tetapi tidak banyak yang berhasil atau malah tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab sebelumnya: memangnya, apa saja permasalahan yang ada di desa?
Bersama Wahyu Anggoro Hadi, mari kita lihat satu persatu akar permasalahan desa yang umum terjadi di Indonesia. Semoga sesudahnya kita memiliki semangat yang sama untuk membabatnya segera. Jika pun tidak, setidaknya kita memiliki pemahaman yang lebih baik sehingga ketika diberi kesempatan, kita bisa mewujudkan niat baik memandirikan bahkan mem-berdaulat-kan desa.
Butuh Waktu Lama untuk Lahirnya Kesadaran Kolektif
Kerap butuh waktu yang lama bahkan sangat lama untuk sampai pada kesadaran kolektif bahwa desa yang kita tinggali itu memiliki keunikan. Keunikan yang bisa dimanfaatkan jika warga mau memberdayakan diri dan memanfaatkan keunikan yang ada. Sampai kesadaran kolektif ini ada, jadi masuk akal bahwa apapun upaya untuk memajukan desa selalu gagal, atau tidak maksimal.
Dalam pengalaman Wahyudi, pengalaman kesadaran kolektif itu ditemukannya muncul di Kampung Dolanan justru datang dalam situasi kebencanaan, yakni 2006.
Transformasi Sosial Lebih Cepat jika Lewat Jalur Kekuasaan
Bagaimanapun, kekuasaan punya otoritas untuk memaksa orang berubah.
Sehebat apapun kiai atau pendeta tidak bisa memaksa tetangganya untuk shalat atau beribadah di gereja.
Tetapi kalau pemerintah yang memaksa harus pakai masker selama masa pandemi COVID – kalau tidak pakai masker bisa dipentungi – warga akan memakainya.
Melawan Politik Uang Itu Sulit
Semua orang di media sosial akan mencitrakan diri sebagai pihak yang anti terhadap politik uang. Tetapi, kita tahu sendirilah bagaimana kenyataan di lapangan berbicara seperti apa.
Jadi, faktanya uang memang bisa dan terbukti sering berhasil memenangkan kontestasi pemilihan kepala desa.
Untuk melawan ini, setidaknya calon kepala desa harus memenuhi prasyarat ini:
- tidak punya track record buruk: sebab ketika seorang calon kepala desa masih berada di luar kekuasaan, membangun narasi jujur bahwa ia sudah pernah berhasil melakukan ini itu di tempatnya berkarya selama ini, akan sulit.
- memiliki visi-misi yang memberikan gambaran yang membangun imajinasi warga desa: sebab imajinasi warga desa umumnya sangat singkat, melulu soal perbaikan jalan, bantuan tunai langsung dan sejenisnya. Sulit bagi warga untuk menerima imajinasi bagaimana
menjadikan desa itu sebagai ruang hidup yang layak, patut dan bermartabat bagi semua warga bangsa - untuk melakukan perlawanan terhadap politik uang, maka upaya yang kita keluarkan itu harus setara dengan uang yang kita lawan. Maka harus dikuantifikasi. Jika satu kali blusukan untuk mensosialisasikan visi misi ke sekelompok warga itu kita anggap senilai Rp 500 ribu (tempat, kopi, cemilan dan lain-lain) maka untuk melawan uang sebanyak 10 juta, kita harus melakukan blusukan seperti itu sebanyak 20 puluh kali.
Reformasi Birokrasi Desa Harus Dibangun mulai Fondasi hingga Selesai
Wahyudi meniatkan ini sejak pertama kali menerima jabatan sebagai kepala desa. Ia undangkan bahwa ia ingin
mewujudkan pemerintahan desa yang bersih transparan dan bertanggungjawab dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat desa Panggungharjo yang demokratis, mandiri, sejahtera serta berkesadaran lingkungan.
Hal inilah yang dikerjakannya pada periode 5 tahun pertama, yakni menata kelola pemerintahan desa.
Prasyarat Kapasitas Pemerintah Desa
Kemudian menetapkan prasyarat bagi siapapun yang terpilih berikutnya haruslah memiliki kapasitas politik yang baik, lahir dari sebuah proses politik yang baik, setidaknya ikut menjaga proses politik sehingga
siapapun yang terpilih relatif punya prasyarat yang cukup untuk membangun desa.
Ini mencakup 5 kapasitas dasar:
- kapasitas regulasi (mengatur)
- kapasitas ekstraksi (mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa)
- kapasitas distributif (membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa)
- kapasitas responsif (peka atau tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat)
- kapasitas jaringan dan kerjasama (mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan pihak-pihak luar)
Ini berarti seorang kepala desa harus belajar cepat dan cepat belajar. Dan semua kapasitas itu harus dibingkai dengan keteladanan. Jika tidak, sehebat apapun seorang pemimpin desa programnya tidak akan berjalan jika perangkat desanya tidak bisa berjalan cepat seperti dirinya.
Satu orang tidak mungkin menyelesaikan semua hal, tapi 1 orang sangat cukup menjadi penggerak penyelesaian banyak hal jika ia menunjukkannya lewat teladan.
Ketika Wahyudi terpilih akhir 2012, hingga pertengahan tahun 2015 ia masih membersihkan sendiri toilet kamar mandi di kantor kepala desa. Dengan sendirinya ini merambat pada perangkat desa lainnya.
Ini tidak mudah. Sebab orang akan berkata: “Ayo, taruhan. Dia kuat sampai berapa lama”
Sejak 1979, Negara Tidak Pernah Mengurusi Desa
Situasi ini terjadi karena sejak lama kultur birokrasi pemerintah kita memang lamban, korup dan bias kepentingan elit desa.
Ini bukan murni kesalahan perangkat desa. Ada persoalan mendasar yang menyebabkan itu terjadi.
Sejak UU Nomor 5 Tahun 1979 desa tidak pernah diurusi oleh negara. Ada proses negara-isasi oleh Orde Baru, kemudian proses liberalisasi pada zaman Reformasi. Ini yang menjadikan entitas politik yang ada di desa itu memang sengaja dilemahkan.
Contoh konkret: sebelum tahun 2014 kira-kira berapa tahun sekali perangkat desa dilatih oleh Pemerintah Kabupaten? Hampir tidak pernah.
Begitulah berlangsung hingga 20-an tahun. Tidak pernah diurus.
Tidak Ada Jenjang Karir dalam Sistem Pemerintahan Desa
Ketika seseorang masuk sebagai seorang Kaur (Kepala Urusan), maka sampai ia lumutan akan terus menjadi Kaur. Ini susah ditingkatkan.
Birokrasi ini yang harus direformasi. Tetapi yang perlu dipahami ialah reformasi yang dimaksud tidak persis seperti tingkatan karir seperti kita bekerja di perusahaan, tetapi memperluas dimensi pelayanan publik.
Hal yang paling substantif itu adalah merubah pola relasi antara warga desa dengan pemerintah Desa karena selama ini relasinya itu relasi administratif. Hampir tidak ada alasan lain bagi warga desa dan pemerintah desa di luar urusan KTP, mau menikah dan mengurus sertifikat tanah.
Maka, relasi harus diperluas menjadi dimensi pelayanan publik. Tidak hanya administrasi publik, tetapi juga pelayanan barang dan jasa publik.
Misalnya, ketika ada seorang anak yang putus sekolah, ini harusnya menjadi urusan negara. Ketika ada ibu hamil, maka akses layanan kesehatan adalah urusannya negara. Sebagai entitas negara terakhir, maka Desa-lah yang harus melakukannya.
Dengan situasi ini, maka mendirikan BumDes menjadi pilihan logis. Ini upaya rasional untuk berdamai dengan mindset bahwa layanan publik adalah semata layanan instansi publik alias administrasi publik. Sebab untuk menampung pelayanan barang dan jasa publik, perlu tata kelembagaan desa yang bisa mewadahinya, tidak mungkin semuanya dibebankan kepada perangkat desa.