Remaja Katolik yang Kesepian

John yang Linglung

John membolak-balik diary lamanya, tempat dia menumpahkan pengalaman harian dan curahan hati yang tidak berani dia sampaikan ke siapapun. Sebagian besar karena  dia tidak yakin bahwa orang yang akan menjadi teman bicaranya bisa mengerti kompleksitas pergulatan batin yang dia alami. Sebagian lagi karena dia juga tidak yakin bahwa masih ada teman yang cukup arif dan bijaksana untuk tidak menyalahgunakan informasi personal yang begitu sensitif yang ia sampaikan.

Umumnya ketika ada temannya yang mengatakan “tenang bro, gua nggak bakal ngasih tau hal ini ke siapapun kok“, instingnya mengatakan bahwa itu pasti bohong.

Masuk akal, John belajar dari pengalaman sebelumnya.  Ia pernah memberitahu temannya bahwa ia masih belum mengerti bagaimana Tuhan-nya umat Katolik bisa begitu tega membiarkan anak-anak Afrika kelaparan sementara Ia menjanjikan “negeri berlimpah susu dan madu” kepada umat-Nya. Esoknya ia dipanggil oleh guru agama untuk bimbingan pribadi dan diberi PR untuk menulis 5 pasal dari Kitab Keluaran dengan tulisan tangan.

Belakangan John tau bahwa Tuhan yang sama adalah Allah bagi umat Yahudi, Katolik, Kristen dan Muslim.

Hanya diary lusuh inilah yang menjadi tempatnya mengungkapkan pergulatan batinnya dengan aman, dengan resiko yang sangat kecil. Tak heran ia selalu menyembunyikan buku hariannya di bawah tempat tidur dan tak pernah lupa membawanya kemanapun dia pergi.

John memang seorang kutu buku sejati. Ia juga tak pernah bosan menghabiskan waktu dengan membaca bacaan yang bagus di internet. Semakin banyak bacaan yang dia lahap, semakin rajin pula dia menulis. Sikapnya yang perfeksionis membuat situasi semakin sulit. Lingkungannya bergaul semakin sempit.

John pernah tertarik masuk ke Seminari Menengah di kota terdekat kampung halamannya. Konon mutu pendidikan di Seminari adalah yang terbaik di kota. Waktu itu, sebagai murid yang menonjol di sekolah dan anak asrama yang baik di bawah bimbingan para biarawati yang keibuan dan perhatian, John adalah satu dari segelintir murid yang selalu disodorkan namanya oleh kepala sekolah setiap kali pastor paroki datang mengunjungi sekolah tersebut untuk mencari anak-anak yang berminat untuk dididik sebagai calon imam Katolik di Seminari.

Tapi niatnya kandas. Sebagai murid yang gemar membaca, John segera tahu bahwa imam dan biarawan-i terikat pola hidup selibat. John tidak mau. Ia belum pernah mengungkapkan perasannya pada Clarissa, tetapi dari lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak pernah lupa getaran aneh yang dia rasakan ketika duduk sebangku dengan Clarissa. Ia jatuh cinta dengan gadis belia berlesung pipit itu.

Kala itu jemari Clarissa yang lembut menyentuh lengannya, menyadarkannya bahwa gejolak ini bukan hanya karena gejolak pubertas yang meninggi seiring dengan tumbuhnya bulu-bulu halus di beberapa bagian tubuhnya. Bagi John, jelas bahwa ini misi yang harus diembannya: Ia harus berhasil menjadi pemuda yang sukses supaya kelak Clarissa jatuh hati padanya, lalu bersedia menjadi isterinya. John harus memperistri Clarissa.

Di antara teman seusianya, John merasakan bahwa ia memiliki frekuensi pemikiran yang berbeda. Ketika teman-temannya menghabiskan waktu dengan video game, klub sepakbola, atau kenakalan-kenakalan remaja yang pernah mereka lakukan untuk diceritakan dengan bangga, John senang melakukan survey kecil-kecilan untuk membandingkan seberapa lurus perbandingan antara teori yang dia baca di buku dengan kenyataan yang ia temui di lapangan.

Berkat “hobi” uniknya itu, John jadi tahu bahwa foto-foto selfie Instagram teman-temannya yang berpose di depan mobil pribadi adalah palsu. Atau bahwa foto-foto teman-temannya sedang makan di restoran mewah dan banjir caption dan tagar #romantic #happy #beautiful #sweet yang berseliweran di timeline-nya tidak lain dari upaya pamer kekayaan orangtua mereka, bukan hasil keringat sendiri.

John sempat depresi cukup lama ketika tahu bahwa Clarissa ternyata tidak sebaik yang dia bayangkan. Belum sempat ia menyatakan perasaannya pada gadis pujaan hatinya itu, ia mendengar kabar bahwa Clarissa sudah menikah dengan seorang pemuda lantaran sudah terlanjur hamil duluan. Kasian John. Berharap bahwa suatu saat ia bakal bisa bercerita apapun dengan Clarissa, ternyata tidak. Ternyata, tetap hanya diary ini yang bisa menjadi tempat curahan hatinya.

Lonely boy via HuffingtonPost.Com

John tidak putus asa. Hobinya membaca menjadi pelarian yang sempurna. Dengan daya bacanya yang luar biasa, ia tidak pernah ketinggalan di kelas, kendatipun selain buku pelajaran ia masih sempat melahap habis serial novel Sydney Sheldon, Musashi, Harry Potter dan Sherlock Holmes. Ia juga sudah membaca “Sejarah Tuhan” karangan Karen Armstrong di tingkat dua masa kuliahnya, buku yang judulnya saja tidak pernah didengar oleh teman sekampusnya. Ia tidak begitu menikmati roman karangan novelis Indonesia, kecuali tulisan Pramoedya Ananta Toer yang membuatnya semakin bangga menjadi orang Indonesia sekaligus Katolik. Bagi John, pola pikir Gereja Katolik terhadap ajaran sosial masih yang lebih baik di tengah tarik-menarik antara kapitalisme dan sosialisme utopian Karl Marx.

Sesekali ia mencoba keluar. Ia mencari kelompok kategorial OMK, dimana ia mungkin bisa menemukan teman yang sefrekuensi pemikiran dengannya.

John pernah mencoba bergabung di kelompok koor tapi lalu mual karena ternyata pelatih koor yang awalnya tampak kharismatik di matanya, tidak jauh berbeda dengan lelaki yang telah menghamili Clarissa. Dua bulan kemudian ia mendengar pengumuman di gereja bahwa pelatih koor tersebut akan menikah dengan salah satu anggota koornya yang masih baru saja menyelesaikan Ujian Akhir SMA. Alih-alih melanjutkan ke perguruan tinggi bergengsi, wanita itu harus menggendong bayi beberapa bulan kemudian di usia yang masih sangat belia. Si pelatih koor tidak pernah terlihat lagi di paduan suara mingguan gereja.

Pernah juga ia mencoba mengikuti persekutuan doa karismatik. Tapi lalu John merasa aneh melihat para peserta menangis meraung-raung dan meneriakkan kata-kata aneh. Seaneh-anehnya mantra-mantra yang diciptakan J.R. Tolkien dan JK Rowling di buku-buku fiksi kesukaannya, masih lebih aneh kosakata yang keluar dari mulut kelompok para pendoa itu. Sulit bagi John untuk menerima bahwa cara berdoa demikian, yang disebut “glossolalia” atau bahasa Roh oleh pemandu doanya, sebagai tanda orang dikaruniai Roh Kudus. Alhasil, John tidak pernah lagi mengikuti persekutuan itu untuk kali kedua.

Meja Makan yang Sunyi

John tidak pernah bosan dengan Gereja Katolik. Lebih tepatnya, John penasaran. Terutama demi melihat sang ibu. Ibunya yang selalu rajin ke gereja dan berdoa rosario setiap kali ada permasalahan serius di keluarga mereka, menjadi insipirasi bagi John.

John kerap takjub melihat betapa sabar ibunya bertahun-tahun menghadapi ayahnya yang kerap mabuk-mabukan dan gemar bermain wanita itu. Sepeninggal almarhum ayahnya yang meninggal karena ketergantungan akut dan kronis pada alkohol, John tak pernah sekalipun mendengar ibunya mengutuki Gereja atau mengeluh betapa tidak adilnya Tuhan. Ibunya tak pernah absen mengikuti misa.

Sebaliknya, John yang merasa menderita karena harus menemani ibu mendengarkan homili dari pastor yang seolah tidak dipersiapkan dengan baik. Kadang John merasa, jika sepanjang waktu si pastor hanya membaca teks  saja sepanjang homili, ditambah lagi dengan rambut awut-awutan dan wajah kurang tidur itu, lebih baik umat dibagikan saja teks homilinya untuk dibaca masing-masing di rumah.

Makan malam adalah momen yang paling ditunggu John. Selain koki yang baik, ibunya adalah sosok yang selalu punya alasan bagi mereka berdua untuk berbicara panjang lebar di meja makan yang sepi itu. Praktis hanya John dan ibunya yang tinggal di rumah itu sejak kakak John satu-satunya jarang mengunjungi mereka setelah menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Ibu selalu berhasil mengajak John untuk bercerita tentang kuliahnya di kampus, gadis mana yang sekarang John taksir, atau kegiatan John lainnya.

Hal yang juga tetap berlanjut setelah John lulus kuliah dan menemukan pekerjaan yang lumayan di kantornya yang sekarang. John kadang berusaha membagikan pengalaman dan pergumulan hariannya. Hanya saja, belakangan John merasa ibunya tidak lagi tahan berlama-lama mendengarkan celoteh dan cerita John tentang prestasinya, tekanan kerja dan persaingan yang sangat ketat di kantornya, atau tentang update terbaru di perusahaannya.

Apalagi setelah sang ibu kini semakin rajin melakukan doa devosi kepada santo-santa. Ada-ada saja devosi baru yang diperkenalkan oleh pastor parokinya. Anehnya sang ibu selalu antusias untuk mempraktekkan devosi-devosi itu. Tahun kemarin Devosi kepada Santo Johannes, tahun ini kepada Kerahiman Illahi. Ada devosi kepada Maria dari Guadalupe, ada doa kepada Maria dari Fatima, entah apa bedanya. Belakangan John sadar bahwa ada ribuan santo-santa jumlahnya di Gereja Katolik. Tidak masalah buat John. Setidaknya, John melihat ibunya sangat menikmati devosi-devosi itu.

Rapat-rapat di kantor dan target yang semakin tinggi di kantor membuat John semakin sering pulang larut malam. Semakin sering pula ia menemukan ibunya sudah tertidur begitu ia tiba di rumah dan menyantap makanan yang sudah disediakan ibunya. Merasa tidak enak, John kerap berpesan bahwa ia sudah makan di kantor dan ibunya tak perlu memasak lagi khusus untuk makan malam.

Romansa yang Kering

John yang perfeksionis kadang merasakan bahwa sudah saatnya ia membuka hati pada wanita lain. Tapi tak satupun wanita yang menarik perhatiannya. Kerap juga John merasa jangan-jangan dia menaruh kriteria yang terlalu tinggi untuk seorang karyawan biasa di kantornya. Ia sudah lama melupakan Clarissa dan debar pubertas yang dirasanya terlalu kekanak-kanakan itu. Di lubuk hatinya, John ingin mencari seorang gadis yang memiliki sifat keibuan dan sesabar ibunya. John tidak naif bahwa pasangan seiman adalah prioritas pertama dalam pencariannya. Belum lagi, karena UU Perkawinan di Indonesia yang masih belum berpihak banyak pada perkawinan pasangan beda agama. Masalahnya, dari antara wanita di kantornya hanya sedikit yang seiman dengannya.

Ia sempat PDKT dengan Ursula, staf admin yang tampak ramah pada pertemuan-pertemuan pertama mereka. Tetapi sekali waktu ia melihat foto Ursula di Instagram. Gadis itu tampak bergelayut mesra di pangkuan seorang pemuda di pantai, ia menghentikan PDKT-nya.

Couple in the beach via Dusk-TV.Com

Dengan Margareth sempat pula John berniat untuk mengajaknya kencan. Tetapi John segera minder begitu tahu bahwa Margareth menolak halus ajakannya menonton di bioskop ketika managernya menjemput Margareth dengan mobil Lamborghini yang tampak mengkilat. Malam itu John pulang mengendarai sepeda motor bututnya dengan keadaan lesu.

Sebetulnya ada juga Priscilla, teman sekerjanya yang selalu tersenyum ramah menyapa selamat pagi. Tapi dalam beberapa kali pembicaraan dengan Priscilla, wanita itu tak henti-hentinya berbicara tentang pastor ini atau frater itu yang menurutnya sangat baik dan rajin mengunjungi rumah keluarganya.

Entah mengapa, John ill feel ketika ia iseng mengecek timeline Facebook si Priscilla yang hampir setiap hari berisi kutipan ayat-ayat Kitab Suci. Bukan apa, John juga tahu bahwa Priscilla termasuk satu diantara kelompok wanita yang senang menggosipi rekan-rekan kerja lain di kantor. Apa saja yang terjadi pada seorang karyawan di kantor, Priscilla seolah punya pemikiran yang aneh dan menjadikannya bahan untuk dijadikan gosip. John mengurangi frekuensi pertemuan dengan Priscilla ketika setengah tersenyum ia mengulik profil Facebook Priscilla, tertulis “Pelayan di Ladang Anggur Tuhan”. “Fine, I am not into you, dear“, batin John.

Tak sedikit teman John yang menganjurkannya untuk mencoba mencari teman wanita lewat berbagai media sosial yang ada. “Come on, John. Lot of lonely girls are online, looking for cool guy like you. They are everywhere. Di Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, Path, Line, Skout, you mention it“, kata Chris teman dekatnya suatu waktu.

John tidak tertarik. Bagi John, dalam hal relationship, jargon “fake it until you make it” tidak berlaku.

Bangku Gereja yang Kosong

John masih setia mengikuti Misa di gereja parokinya. Selain menemani ibunya, John juga ingin mencari siapa tahu ada gadis yang sendirian seperti dirinya, yang juga sedang mencari pasangan yang seide dengannya. Pasangan yang bakal menjadi pendampingya. Gadis yang menjadi partnernya dalam khayalan romantis John: “We will discuss for hours, cook together, argue endlessly, make love along the night, and then both sleep like a baby

Tapi survey kecil-kecilan yang kerap dilakukan John memperlihatkan keanehan lain. Dari tahun ke tahun tampaknya bangku di gereja itu semakin banyak yang kosong. Opa, oma dan para jompo masih setia duduk di bangku depan menemani para prodiakon. Selain itu, hanya ada pasangan keluarga yang usia perkawinanannya sudah lama. Pasangan keluarga muda semakin sedikit disana. Teman-teman sebaya John ketika Sekolah Minggu dan ketika masih aktif menjadi misdinar semakin jarang kelihatan. Padahal, setahu John teman-temannya adalah orang-orang yang terbilang sukses, bahkan banyak yang jauh lebih sukses darinya.

John juga memperhatikan keanehan lain. Tidak hanya anak anak remaja, ibu-ibu muda juga banyak yang tidak bisa lepas dari smartphone mereka selama Misa berlangsung, bahkan ketika Doa Syukur Agung dan Konsekrasi. Padahal, sebelum masuk ke gereja dan seusai Misa, mereka juga masih asyik membungkuk menatap layar gadget mereka, seakan-akan mereka adalah para stock trader yang tidak ingin melewatkan sedetikpun turun-naiknya pergerakan saham di bursa online.

Chris dan “Spotlight” yang Mengguncangnya

Bahkan, Chris teman dekatnya, mantan seminaris yang cerdas dan kritis itu seperti tidak pernah lagi kelihatan batang hidungnya di ibadat dan Misa di gereja. Padahal, Chris termasuk seorang anggota OMK yang menurutnya cukup militan dan punya karakter, tidak ikut-ikutan tren seperti kebanyakan temannya yang lain. Terakhir, ia dan Chris terlibat diskusi serius soal pandangan mereka terhadap kehidupan menggereja Katolik sebagai orang muda.

Ia masih ingat betapa kesalnya Chris terhadap mantan pastor paroki mereka yang membawa kabur seorang janda muda kaya yang umat paroki itu juga. Konon sebagian uang paroki juga dibawa kabur oleh pria malang yang tentu saja tidak akan berani menunjukkan mukanya lagi di depan umatnya.

Sorry bro. I can’t stand this. I’ve read a lot, seen a lot. I know about Spotlight that brings Boston Arcdiocese to financial bankruptcy. I know about corruption in Catholic Church Life, both clerics and lays. Sementara gue belum bisa aja. Mungkin butuh waktu cukup lama baru gue akan ke gereja lagi”, kata Chris jengkel mengakhiri diskusi mereka yang setengah serius itu.

Just google it“, pinta Chris.

Tim yang disebut "Spotlight" adalah sekelompok jurnalis dari Boston Globe yang melakukan investigasi mendalam terhadap sejumlah kasus pedofilia yang dilakukan olah beberapa pastor dari Gereja Katolik Roma. Kasus ini berhasil mengguncang Keuskupan Agung Boston secara kewibawaan dan finansial secara khusus dan keuskupan-keuskupan lain di seluruh dunia, setelah laporan itu diterbitkan di surat kabar dan dibaca oleh jutaan warga Amerika Serikat. 

Kisah ini difilmkan pada 2015, disutradarai Tom McCarthy dan mendapatkan penghargaaan antara lain dari 72nd Venice International Film Festival, Telluride Film Festival, Academy Award for Best Picture dan Best Original Screenplay. Laporan investigasi itu sendiri mendapatkan penghargaan The Globe the 2003 Pulitzer Prize for Public Service.

 

John hanya bisa menyimak, kagum sekaligus heran dengan apa saja yang didengarnya dari penjelasan Chris, terutama sikap Chris kemudian dan pandangannya yang sinis terhadap Gereja Katolik, seolah Chris lupa betapa semangatnya mereka berdua pada tahun-tahun pertama setelah menerima Komuni Pertama.

“Makanya gue salut ama loe. Gue tau lo membaca banyak dan juga banyak ikut diskusi. Elo bisa berdiskusi dengan teman-teman Katolik, yang Protestan, yang muslim, agnostik bahkan ateis, and after knowing all these stuffs, you still attend the Church, I salute you bro. I just can’t. Sorry” , ujar Chris dengan gaya bicaranya yang susah lepas dari kebiasaannya ber-English ria itu.

Just be yourself, because pretending is painful“, lanjut Chris. John setuju dengan kalimat terakhir ini. Seolah kalimat itu keluar dari mulut John sendiri, bukan dari Chris.

Still, John yang Kesepian

John tersadar dari lamunannya. Ibunya pun sudah usai berdoa pribadi di tengah kerumunan orang yang bergegas meninggalkan gereja seusai Misa. Gadis yang tadi bertugas menyanyikan Mazmur Tanggapan masih terlihat khusyuk berdoa di depan patung Bunda Maria. Di pelataran gereja, John berpapasan lagi dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum manis padanya.

Ia ingin bercerita banyak di diary-nya. Tapi John sudah terlalu lelah hingga sesampainya di rumah, John tertidur di sofa ruang tamu mereka. Ibunya yang baru selesai berdoa devosi menatap anaknya yang terlelap, tersenyum seperti sedang bermimpi.


Cerita ini fiksi. Kesamaan nama dan tempat adalah kebetulan belaka.

Christian paints his Christ

Rahib Christian Amore Sitohang

Berkepala cukur di tengah dengan tonsura tampak kentara, Christian Sitohang yang saat ini menjalani hidup sebagai eremit (pertapa) di sebuah lokasi pertapaan di daerah Sumatera Utara, menjadi sebuah pemandangan yang unik, sekaligus aneh bagi kebanyakan orang.

Hal yang tampak samar Saya alami juga ketika menemani Rahib teman sekelas Saya ini pada sebuah perhelatan apresiasi seni lukis dan ukir di aula Katedral Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Mungkin beliau tidak menyadari, tetapi Saya menyaksikan dan menikmati beberapa orang yang memandang penuh heran, setengah bingung, seperempat salut dan seperdelapan sinis dan beberapa lainnya dengan reaksi yang hanya mereka yang tau artinya. Rahib memang membagikan beberapa pergulatan dan refleksinya dalam beberapa kesempatan bercakap-cakap dengan Saya. Tetapi, tentu saja, hanya Rahib yang tahu persis bagaimana “rasa”-nya menjadi seorang pertapa di zaman sekarang, di tahun 2017, belasan abad setelah Santo Antonius pertama kali memperkenalkan corak hidup pertapa soliter di padang kering Mesir.

Menjalani petualangan hidup sebagai seorang eremit dengan laku tapa kontemplatif dengan tetap membuka diri bersosialisasi dengan masyarakat luar adalah suatu corak hidup yang secara visual saja membutuhkan konsistensi luar biasa, terutama menghadapi cibiran dari banyak orang, termasuk dari para teman sejawatnya, para pelaku Hidup Bakti atau biarawan dari ordo dan kongregasi Katolik yang dia jumpai dan kenali. Tentu saja, tidak terhitung pula yang mendukung.

Konsistensi itu tetap ada hingga saat ini. Setidaknya, Saya melihat sendiri. Sehari penuh bersama Rahib, bersantap pagi dan siang dengannya, bagi saya jelas bahwa teman Saya ini adalah seorang pria sehat dengan semangat dan spiritualitas yang menyala-nyala pula.

Saya sendiri cukup senang karena beliau merelakan diri berjuang dalam tarik menarik antara tren visualitas modern dunia dengan corak hidup pertapa yang dipilihnya. Sesekali ia membuka pesan di HP-nya. Banyak permintaan dari umat yang mengenalnya, minta didoakan. Saya sendiri tak perlu mengirim pesan elektronik ke beliau, kesempatan bertemu itu Saya sempatkan untuk minta langsung dengan beliau.

Bersama teman-teman lain yang mendukung tetapi juga kritis terhadap pemurnian motivasi diri Sang Rahib, Saya cukup gembira menemukan bahwa corak hidup ini adalah pilihan yang diambilnya sendiri. Cukup mudah tertawa dan senyum, jelas bagi Saya, Rahib bukan orang yang tidak bahagia.

Pada 6 Juni, Rahib menulis di akun media sosialnya:

Dunia memang butuh aktivis-aktivis. Ini tidak dapat disangkal. Tapi dunia juga butuh kontemplatif-kontemplatif sejati. Seorang aktivis biasanya bekerja dengan kekuatan sendiri. Namun seorang kontemplatif, bekerja dengan daya diri sendiri dan kekuatan ilahi karena persatuannya yang mendalam dan kuat dengan Allah. Seorang kontemplatif sejati bukanlah seorang yang pasif dan pengangguran seperti disalahmengerti banyak orang. Justru sebaliknya, dia seorang yang peduli sekali dengan keadaan sekitarnya. Jikalau seseorang sudah memiliki kepedulian, maka dengan sendirinya dia akan jauh lebih mudah terdorong untuk berbuat sesuatu. Kepedulian melahirkan aksi. Seorang kontemplatif juga seorang pekerja keras. Dia bersemangat dalam doa dan kurban rohani demi kesejahteraan dunia dan keselamatan jiwanya. Dia tidak pernah menganggur bahkan ketika dia larut dalam doa dan tapa bisu yang mendalam dan panjang, dia menjadi orang yang sangat berguna di mata Tuhan”

Senang membaca permenungannya sedalam itu.

Christian paints his Christ

Jiwa seni yang agaknya menurun dari almarhum sang ayah (semasa hidupnya menjadi arsitek sekaligus mendesain bangunan gereja), sudah terlihat sejak tahun 2001, tahun pertama beliau dan Saya menjadi siswa di sebuah SMA. Di tahun kedua, Saya masih mengingat benar beliau sudah belajar melukis menggunakan jarinya, mengolesi cat minyak pada kanvas, sementara Saya menggambar seekor burung pipit pun hingga hari ini tidak pernah lulus.

Berhubung Saya bukan seorang penikmat seni lukis, juga bukan apresiator yang baik, Saya hanya mengagumi saja ketelitian, kegigihan dan kecermatannya yang membuat seolah setiap karya kerajinan tangan dan lukisan yang dia hasilkan, seolah ada “roh”-nya. Seperti pada lukisan yang menggambarkan Si Jesus ini, si Manusia-Tuhan, yang disembah oleh miliran penduduk bumi ini.

 

Perpaduan gamble, lukisan, doa, refleksi, puisi dan terpenting pengendapan dari sebuah proses kontemplasi yg panjang.

Sesuai dengan arus teologi umum Kekristenan yang meyakini Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus sebagai perwujudan paling nyata dari kehadiran Tuhan dalam sejarah manusia, lukisan ini menunjukkan lagi dan lagi apa saja yang mengisi mahkota duri-Nya.

Alienasi, tidak adanya kasih dan compassion, struktur sosial yang mendehumanisasi, ketidakadilan, kemelekatan ekstrem yang tidak teratur pada materi, dan sifat-sifat destruktif lainnya yang bisa dan mungkin dimiliki oleh manusia dan ciptaan, ternyata hingga hari ini masih melukai kepala Yesus. Membuatnya masih berdarah dan berdarah lagi.

Konon, merenungkan misteri Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus saja bisa membantu orang Kristen untuk benar-benar mengalami pertobatan yang sejati, perubahan mendasar pada pola hidup ke arah yang lebih baik (metanoia).

Entahlah, bagi Saya, memandang lukisan ini seolah membawa Saya pada momen-momen reflektif ini. Begitu saja muncul di benak saya seperti kilatan-kilatan kilat.

Seperti Po pada Kungfu Panda yang berjuang berdamai dengan masa lalu yang dia tidak kenali hingga mencapai inner peace.

Seperti memahami misteri hidup luar biasa yang dialami seorang pelacur yang ditinggal suaminya dan terpaksa menghidupi anaknya dengan memperdagangkan tubuhnya.

Seperti menyaksikan pergulatan hidup dari jutaan keluarga yang terpisah dari orang yang mereka cintai karena perang, genosida, atau teroris yang gemar memenggal kepala.

Seperti menyaksikan kemunafikan para pemuka agama dan pemimpin publik yang menjual ayat-ayat suci dan memperoleh segepok pundi-pundi rezeki.

Seperti menonton kilas balik dari semua kegagalan, kemalasan, dan keengganan Saya untuk berjuang lebih keras lagi menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dewasa.

Seperti menyaksikan tangis dari anak-anak gelandangan yang tidak tahu harus pulang kemana karena orang tua mereka saban hari selalu menindas mereka.

Seperti merasakan benar rasanya menjadi seorang yang dikucilkan oleh teman-teman kerja, atau dicibir di lingkungan sosial.

Atau seperti Pak Ahok yang harus berjuang melewati hari dan malam di balik jeruji besi, padahal baru saja membaktikan diri untuk memperbaiki ibukota negeri ini. Harus berpisah dari isteri dan anak-anaknya karena persekusi politik nan keji dari sekelompok atau pemegang kuasa yang tak tertandingi bahkan oleh rezim sekarang ini.

Seperti melihat konflik antara kakak-beradik, “na marhahamaranggi, na gabe olo marsitallikan alani tano sattopak tadingtadingan ni natorasna naung monding.”

Atau seperti melihat anak kecil dari keluarga yang sangat miskin di kontrakan sempit, basah dan pengap di kota ini, yang hanya bisa gigit jari ketika istirahat sekolah menyaksikan teman-temannya menikmati lelehan es krim yang manis.

Atau jutaan anak yang menderita busung lapar di Afrika dan Bangladesh, yang tidak bisa apa-apa kendatipun setiap Minggu orangtua mereka selalu dikotbahi oleh sang pendeta bahwa “Allah itu Baik”

Atau seperti anak muda yang saban hari mengurung diri di kamar dan melihat apa saja yang terjadi di zaman ini, yang galau di tengah gempuran modernitas yang tak mampu diterimanya. Ketergantungan pada obat-obatan, perilaku seksual yang menyiksa diri dan mitranya, pedofilia, necrofilia, perdagangan keindahan tubuh, perdagangan orang, kekerasan massal, bully yang masif, atau perilaku masokis lainnya.

Dan … jutaan “luka” yang lainnya yang masih manusia ciptakan hingga saat ini.

 

Begitulah.  Semua itu menjadi duri yang masih melukai kepala Yesus hingga hari ini.

Entah penyembah Yesus, atau Tuhan dengan ribuan nama lain, entah agnostik dan ateis, lukisan ini seolah berkata:

“Ayolah. Berhentilah menjadi duri. Kasihan Yesus. Kepalanya berdarah terus”.

Oh iya. Rahib, terima kasih atas telah melukis sebagus ini. Semoga teman-teman Muslim yang juga membaca tulisan ini, memandang lukisan Rahib, juga terbantu mengalami “metanoia” sejati dalam Ramadhan yang suci ini. Toh, Tuhan kami ini adalah nabi kalian juga.


All photos are used by the courtesy of Rahib Christian Amore Sitohang. Please do not reproduce without his prior consent.

Lirik “Tangiang ni Dainang”

Tangiang ni dainang i na parorot tondikhi.
Manang di dia pe au, manang di dia pe au.
Tongtong sai diramoti.

Nang sipata salah au, tartutuk au dilangkahi.
Diboan ho di tangiangmu, diboan ho di tangiangmu.
Inanghu naburju.

(Reff): Hu dai natonggi dipargoluonon.
Upa ni lojami, humonghop gellengmon.

Mauliate ma inang, disude pambaenanmi.
Penggeng sari matua, penggeng saor matua.
Paihut ihut hami.

Nang sipata salah au, tartutuk au dilangkahi.
Diboan ho di tangiangmu, diboan ho di tangiangmu.
Inanghu naburju.

(back to Reff)

 


Disesuaikan seperlunya dari LirikLaguBatak.Com

Lirik “Dekke Jahir”

Di naro simatuakku
mandulo boru nai.
Diboan do deke jahir na sai.
Mekkel suping ma attong da.
inang ni dakdanak i.
Mida dekke binoan ni inantai.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

Ai dohot do dongan sahuta
jala longang mida i.
Mida dekke binoan ni inanta i.
Ai rohakku pe tarhirim
jala longang mida i.
Dekke jahir binoan ni inanta i.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

 


Unpopular fact:

Di banyak media dan sumber berita, disebut bahwa lagu Batak Dekke Jahir (Dengke Jahir) adalah lagu lawas ciptaan Yan Sinambela, salah satu personil group komponis Guru Nahum Situmorang. 

Misalnya, di salah satu kanal Youtube dengan tangkapan layar ini.

Tapi, coba dengarkan lagu Cotton Field ini.

Sama nada dan motif lagunya? Ya. Karena memang lagu yang sama.

Maka, kalaupun dinyanyikan ulang dengan bahasa berbeda, sangat arif jika tidak ada klaim bahwa Dekke Jahir adalah ciptaan Yan Sinambela. Menulis lirik baru atas lagu yang sudah ada? Barangkali iya. Dalam hal itu, unsur “mencipta” dilakukan Yan Sinambela. Padahal, sebuah lagu itu mencakup musik dan lirik. Tak hanya lirik. Kembali ke awal lagi: Tidak benar lagu tersebut ciptaan Yan Sinambela.

Saya tak lantas menyebut ini tindakan plagiarisme atau pembajakan sebab tidak punya cukup informasi apakah Yan Sinambela sudah meminta izin dan mendapat izin dari Creedence Clearwater Revival, pemilik asli lagu tersebut, atau pewarisnya.

Lagu itu sudah sangat lawas sehingga tak perlu izin untuk remake atau menculik nada dan motifnya tanpa mention penulis asli lagu? Tunggu dulu. Hak cipta dan royalti berlaku 70 tahun.

Jika benar pembajakan, ini menyedihkan. Sebab pembajakan itu menghilangkan motivasi dan kreatifitas pencipta. Padahal, motivasi dan kreatifitas adalah dua aset paling berharga yang dimiliki seorang seniman. Selain waktu, tentu saja.

Menghilangkan dua aset berharga itu berarti nyata-nyata menodai “proses berkesenian”, menyitir kata seorang seniman dari Jogja, Rimanda Sinaga.

“Cinta untuk Mama” by Kenny

Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta

Reff:
Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama

Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta

(back to Reff)

Walau tak dapat selalu ku ungkapkan
Kata cintaku ‘tuk mama
Namun dengarlah hatiku berkata
Sungguh kusayang padamu mama

(back to Reff)

 


Sumber: KapanLagi.Com

“Mother How Are You Today” paraphrased by Shir El Band

Mother, how are you today?
Here is a note from your Dear Son
With me everything is OK.
Mother, how are you today?

Mother, don’t worry, I’m fine.
Promise to see you this summer.
This time there will be no delay.
Mother, how are you today?

(Reff:)

I found the girl of my dreams.
Next time you will get to know her.
Many things happened while I was away.
Mother, how are you today?

Mother, how are you today?
Here is a note from your Dear Son
With me everything is OK.
Mother, how are you today?


Lirik aslinya seperti ditulis oleh Maywood bisa dilihat di Metrolyrics.com.

Lirik “Bunda” by Melly Goeslaw

Ku Buka Album Biru
Penuh Debu Dan Usang
Ku Pandangi Semua Gambar Diri
Kecil Bersih Belum Ternoda

Pikirkupun Melayang
Dahulu Penuh Kasih
Teringat Semua Cerita Orang
Tentang Riwayatku

Reff#

Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja
Kata Mereka Diriku Slalu Ditimang
Nada Nada Yang Indah
Slalu Terurai Darinya
Tangisan Nakal Dari Bibirku
Takkan Jadi Deritanya

Tangan Halus Dan Suci
T’lah Mengangkat Diri Ini
Jiwa Raga Dan Seluruh Hidup
Rela Dia Berikan

(back to Reff#)

Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu
Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …

Oppung Napabalgahon Ahu

Oppung,

Boha kabarmu saonari?

Sahat tu sadari on dang hea lupa opung tu au. Goarhu pe sai tong do diingot ho, dang hea age sahali pe ho pilit manjou goarhi.

“Presta ….!!! Rina …!, nunga ilean hamu babinta mangan?”

“Molo mulak hamu sian sikkola annon, dapothon au tu kopi dah. Ia hunsi di ginjang ni jendela hubaen”, inna Oppung tu hami nadua molo naing berangkat hami tu sikkola. Marborat ni lakka do attong iba. “Holan na mangula torus”, inna roha ma di bagasan.

Dua ma hami dipagodang-godang oppung on. Apalagi au mulak pe tu huta so adong do pe huantusi manang aha. Molo kakakku si Rina nian nunga jumolo marseragam putih merah ibana andorang so dialap Oppung hami sian Jakarta, asa gabe Oppung ma naparmudumudu hami gatti ni natoras naung jumolo marujung manadikkon hami ianakkonna.

“Gogo baen na manggula i. Asa adong hepeng lao parsibajum Natal dohot Taon Baru da, Era”, ninna Oppung Boru mandok hami nadua. (Somalna manjou “Eda” do Oppung Boru tu pahoppuna boru, alai ala di Humbang do turiturian on, gabe “Era” do inna”)

Burju ni Oppung on tarida do. Dang hea hami hatinggalan sian akka dongan mangodang nami dibaen.  Molo juppa Ari Minggu lao ma hami marsikkola Minggu dohot kakak. Sipata molo ringgas rohana, olo do ditaruhon Oppung Doli on hami. Alai molo adong do dongan dakdanak mardalan sian Maranthi sahat tu Sibuntuon, ima iananni gareja HKBP i, rap ma attong hami mardalan dohot akka dongan i huhut marnonang. Molo adong harumotting manang lau-lau, pittor marsigulut do attong hami mambuatsa. Molo niingot, seru hian ma attong. Mulak annon sian parMingguan, marmeam ma nian ulaon muse.

Olo do nian sipata sogo roha. Tikki tabo-tabona martali goyang manang marsitabunibunian iba dohot akka dongan, olo do dijou Oppung Boru on.

“Presta ….! Rina….! Lului jo babitta. Nunga lao ra tu porlak ni jolma an”, inna Oppung ma attong. Ikkon lao do attong iba hatop, so boi dang.

Jei, boi dohonon dang pola hea hami dipamanja Oppung songon akka dongan satorbangnami. Sai dipasingot do asa binoto lungun. Molo sala pe hami, dilibas Oppung do pakke lili. Molo songon na jorgang pe pangalaho manang panghataionniba, torus di dipasingot.

“Molo mulak sikkola, loppa gadong da”, inna Oppung on ma dah tu au di sada tikki i. Kalas 1 SD dope au tikki i. Dang dope binoto mangula. Molo kakak attong nunga lao tu saba mandongani Oppung mangula.

Goarna pe dakdanak. Uju i, “godang dongan marmeam, ima nian ulaon”, inna roha do.

Ia molo Oppung Doli so hea on mangalipat, nang pe mura muruk. Molo muruk ibana, pittor tarida ma attong suhi-suhi ni bohina i. Marlipat ma attong pardompakanna i. Ima na so tarhalupahon au sian Oppung Doli on. So hea ibana mangalinsing hami, sian na menek sahat tu naung gabe anakboru.

Sai sehat ma jala ganjang ma umurmu da Oppung. Atik pe so adong dope na boi tarbahen manang aha, tamba ni tangianghi.

Agak maol do dapot poto ni Oppung Doli dohot Oppung Boru on. Holan on ma na dapot.

 

Pitu taon ma dung nitadikkon huta, dang dope hea mulak. Sihol ni roha i nian, tung i nama balgana. Molo martelepon tu huta, lalap ma holan na manukkun andigan rencana parbogason ni iba i. E tahe. Boha ma bahenon mangalusi.

Oppung, sehat ma hamu disi da, Oppung.

 


Pinature sian guratgurat ni si Presta Simamora

Enchilada

Encounter“-nya Schillebeeckx menjadi semakin jarang dirasakan pentingnya oleh generasi zaman sekarang. Perjumpaan personal secara face-to-face dirasakan banyak orang sebagai sesuatu yang tidak lagi begitu produktif, digantikan oleh komunikasi haha hihi dan chat tak berujung penuh emoticon dan sandiwara penuh humor basi di group-group Whatsapp, Blackberry Messenger, Facebook, Telegram, Line dan sebagainya, you name it. Tak jauh beda situasinya dengan japri alias jaringan pribadi (private channel).

Banyak psikolog menengarai gejala ketakutan dan kekurangcakapan generasi sekarang untuk membina relasi yang “material” (material dalam arti tangible, sensible dan personal sebagai antitesis dari yang digital) sebagai bentuk baru alienasi manusia terhadap dirinya. Orang tahan berjam-jam, bahkan melebihi durasi jam kerja sesuai UU Ketenagakerjaan (8 jam sehari, 5 hari seminggu) dengan jari-jemari tak henti-hentinya mengetak-ketuk atau mengusap layar sentuh di handphone atau gadget-ya, tetapi tidak lagi mampu berbicara secara sungguh-sungguh dengan mitranya dalam perjumpaan tersebut. Entah mengapa.

Begitulah kini kita pelan-pelan menciptakan dan menjadi bagian dari “masyarakat yang bungkuk menatap layar”, bukan lagi “masyarakat yang tegak dan tersenyum menatap wajah”. Jika saja Max Scheler atau Edmund Husserl masih hidup di zaman sekarang, mungkin mereka akan memaki-maki kita, manusia-manusia yang tak lagi efektif berkomunikasi interpersonal.

Tapi, benarkah orang memang semakin menghindari perjumpaan personal?

Ataukah memang perjumpaan antarpribadi sekarang semakin menurun kualitasnya?

Bahkan jika kita mengalah pada relasi transaksional, apakah perjumpaan secara personal tidak lagi mendatangkan keuntungan (profit) dan manfaat (benefit) bagi masing-masing pribadi?

Jika demikian, solusi yang sangat realistis perlu dicari untuk menyembuhkan penyakit “kekurangcakapan” ini adalah:

Bagaimana mencari profit bagi diri sendiri setiap kali bertemu dengan orang baru atau berada di tengah perkumpulan yang baru?

Masalah-masalah komunikasi interpersonal (yang kerap tak menyeruak keluar secara eksplisit tetapi agaknya diderita oleh masing-masing kita di zaman digital ini) saya coba inventarisir dari contoh-contoh konkret yang kita alami sehari-hari. Berikut beberapa hasilnya.

  • Kalau nanti pada pertemuan satu almamater, Saya bukan pembicara atau Pemrasaran, adakah untungnya buat saya?

 

  • Jika saya hanya menjadi pendengar budiman, layakkah saya menembus macet dan meninggalkan jadwal facebook-an saya hanya untuk melihat orang-orang baru di kopdar (“kopi darat” = meet up) yang akan datang ini, yang bentuk wajahnya saja tampaknya bukan tampang orang berduit?

 

  • Gimana ya caranya supaya saya bisa jualan produk-produk online atau dapet referral kalau saya hanya peserta biasa?

  • Saya maunya usaha kecil-kecilan yang saya mulai ini bisa dikenal oleh sebanyak mungkin teman pada acara reuni nanti. Tetapi, kalau sumbangan dana partisipasi Saya ke panitia acara hanya kecil saja, apakah teman-teman saya itu masih mau meladeni ajakan saya untuk bertemu mereka dan melakukan prospecting

  • Lama-kelamaan rasanya setiap kali Saya membuka sedikit tentang gagasan saya, atau menyinggung sedikit tentang unit usaha yang sekarang saya kembangkan, kok tatapan teman-teman yang tadinya hangat ke Saya tiba-tiba menatap Saya seperti mereka baru saja ditodong oleh seorang agen asuransi yang frustrasi demi mengejar target capaian premi sehingga tak sadar melakukan jual paksa?

  • Dengan segala kemudahan untuk mengakses informasi sekarang dari internet, masih perlukah saya membuang uang, energi dan waktu untuk datang ke live event, seminar atau workshop?

  • Kalau Saya datang ke suatu pelatihan atau seminar, masih perlukan saya membawa setumpuk kartu nama untuk Saya bagi-bagikan ke setiap orang disana? Apa saja yang sebaiknya Saya tampilkan di kartu nama tersebut, dan apa yang sebaiknya tidak?

  • Dengan puluhan atau ratusan kartu nama yang saya dapat hasil dari tukar kartu nama, artinya mereka adalah potential client atau prospect Saya, bagaimana cara follow up yang baik sehingga mereka tidak merasakan kehadiran sebagai sebagai penguntit?


 

Adakah teknik atau gaya komunikasi yang mesti Saya batinkan sehingga Saya bisa menyajikan hidangan enchilada penuh guna memuaskan selera mitra atau calon mitra Saya?

Saya mau supaya potongan tortilla jagung ini bisa saya tawarkan dan disukai oleh segala macam selera dan konteks situasi. Artinya, kalau si A suka daging, dia menemukannya pada saya. Untuk si B yang suka keju, dia melihatnya ada pada saya. Bagi si C yang suka kentang, juga didapatnya dari Saya.

Is there reallly a thing such whole thing that corresponds to every situation and style of interpersonal communications?

If it is somewhere there, where to find that specific whole enchilada?


 

Konon, dulu Dale Carnegie sudah menasihati ribuan kali:

Ketika bertemu dengan orang, perbanyaklah MENDENGARKAN.

So, the whole enchilada really exists. You just need to listen, understand every need, respond to it, and voila, you have just made another succesfull selling.

Entah barang atau jasa apapun yang Anda sedang jual.

 

Tirani Pelajaran Memperbudak Pembelajar

Apa itu Tirani Pelajaran

Hampir semua nilai-nilai modern –  terutama yang ditanamkan melalui sistem pendidikan kita – jika ditelusuri, merupakan ancaman serius terhadap kebebasan dan keagungan manusia, menghambat kita menjadi pribadi seperti yang diinginkan oleh Tuhan (atau Supernatural Being dalam sebutan apapun yang menjadi awal dan pelabuhan terakhir kita). Bentuknya bisa beragam. Mulai dari imoralitas, filsafat yang buruk atau pola pikir yang buruk, ketergantungan kimiawi dan teknologis; semuanya adalah bentuk-bentuk penjajahan atau perbudakan.

Pseudo-values (nilai-nilai semu) itu kita yakini sebagai nilai yang luhur, tetapi ternyata menjadi tirani yang membelenggu kita, lebih kerap malah semakin mengkonfirmasi alienasi diri terhadap diri sendiri.

Institusi pendidikan kita merasa diri sudah selesai dengan pemikiran klasik. Kurikulum dibuat dengan mengesampingkan Kebenaran, Keindahan dan Kebaikan, dan menggantinya dengan Relativisme, Kebodohan, dan Penyiksaan Diri sendiri. Para siswa tidak lagi dididik untuk memahami pelajaran sejati dari Sejarah, tidak dibina untuk berjuang meng-aku-kan keutamaan, dan tidak lagi menghormati Tuhan. Mereka belajar banyak “seni”, tetapi tidak belajar seni berfikir. Alhasil, tidak sedikit gagasan buruk tereksekusi di tingkat akademi dan kemudian memaksa kita untuk memberi tempat baginya dalam kesenian, hiburan dan media.

Maka tidak heran bahwa sebenarnya kita telah menciptakan masyarakat dimana para warganya tidak mampu berfikir untuk diri sendiri, tidak mampu menghibur diri sendiri, tidak mampu membela diri sendiri, benar-benar tidak mampu untuk menyediakan support bagi diri sendiri. Kita telah menciptakan masyarakat budak. Orang-orang menjadi cepat marah dan bingung, bahkan dalam situasi dimana mereka tidak tahu apa sebetulnya yang membuat mereka marah, apalagi mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang tepat.

Anak muda tidak lagi belajar arti seni, literatur dan bahasa yang benar. Mereka sadar bahwa mereka tidak puas. Ada kehausan untuk mencari nilai-nilai yang sejatinya melekat dengan kodrat manusiawi mereka yang agung. Tetapi mereka tidak menemukannya. Alhasil, gerombolan dari orang-orang yang tidak puas ini kaget menghadapi conundrum mengerikan dimana mereka bahkan tidak mampu mengungkapkan ketidakpuasan mereka secara tepat.

Learn how to use brake, accelerator and pedal, and use them properly!
Learn how to use brake, accelerator and           pedal, and use them properly!

 


 

Catatan:

Tulisan ini saya buat tepat sesudah tayang berita bom panci meledak di Kampung Melayu dan sekelompok ABG yang tergabung dalam kelompok yang menyebut diri Gangster melakukan aksi brutal.