Tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 (2022)

Melanjutkan tradisi untuk merayakan Hari Komunikasi Sedunia, Paus Fransiskus telah mengumumkan tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 pada tahun ini, 2022. Fransiskus memilih tema dalam satu kata saja, yakni “Dengarkan!”

Dalam pengumuman tersebut, Tahta Suci mengatakan,

Paus Fransiskus meminta dunia untuk mendengarkan lagi.

Setelah Pesan 2021, yang berfokus pada pergi dan melihat, dalam pesan barunya untuk Hari Komunikasi Sedunia 2022 Paus Fransiskus meminta dunia komunikasi untuk belajar mendengarkan lagi.

Pandemi telah memengaruhi dan melukai semua orang. Semua orang perlu didengar dan dihibur. Mendengarkan juga merupakan dasar untuk informasi yang baik. Pencarian kebenaran dimulai dengan mendengarkan. Demikian pula kesaksian melalui sarana komunikasi sosial.

Setiap dialog, setiap hubungan dimulai dengan mendengarkan. Untuk alasan ini, untuk tumbuh, bahkan secara profesional, sebagai komunikator, kita perlu belajar kembali untuk banyak mendengarkan.

Yesus sendiri meminta kita untuk memerhatikan bagaimana kita mendengarkan (lih. Luk 8:18). Untuk dapat benar-benar mendengarkan membutuhkan keberanian, dan hati yang bebas dan terbuka, tanpa prasangka.

Saat ini ketika seluruh Gereja diundang untuk mendengarkan untuk belajar menjadi Gereja sinode. Kita semua diundang untuk menemukan kembali  arti tindakan mendengarkan sebagai hal yang penting untuk komunikasi yang baik.

Ulas Lagu “High School in Jakarta – Niki”

Lirik “High School in Jakarta”

Didn’t you hear Amanda’s movin’ back to Colorado?
It’s 2013 and the end of my life
Freshman’s year’s about to plummet just a little harder
But it didn’t ’cause we kissed on that Halloween night
I bleached half my hair when I saw Zoe on your Vespa
It was orange from three percent peroxide, thanks to you

I needed a good cry, I headed right to Kendra’s
I hated you and I hoped to God that you knew

Now there’s drama (drama), found a club for that
Where I met ya (met ya), had a heart attack
Yadda, yadda, at the end, yeah, we burned
Made a couple U-turns, you were it ’til you weren’t, mm

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, an elaborate saga
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Got a group assignment, I’ll be at Val’s place
You don’t text at all and only call when you’re off your face
I’m petty and say, “Call me when you’re not unstable”
I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s
I wasn’t, she doesn’t even drink
But I couldn’t have you sit there and think
That you’re better ’cause you’re older
Are you better now that we’re older?

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, a comedy drama
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Natasha’s movin’ to New York (New York)
Probably sometime in August (ah)
And I’m spendin’ the summer in Singapore (ah)
I’m so sad I can’t tell you shit anymore
I made friends with Abby this year (this is how I met your mom) (oh, my God)
We’re movin’ in in March or so
And although you bring me to tears
I’m glad that we gave it a go

High school in Jakarta, American summer
Had no chance against the Marxist girl with marijuana
I was your pinata, she was a star-charter
Glad she gave it to you real hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, I won’t, but I wanna
Ask you when you talk about it, do I ever come up?
Say thanks to your mama, now we’re through
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta


APERSEPSI

“Vibe lagunya enak banget pak … 😍”, balas Arin, seorang siswi membalas Snapgramku ini.

Seorang lainnya, sebut saja namanya Sam membalas:

“Ya mungkin klo dri segi fasilitas emang beda, gk cuma di Siantar tpi mayoritas sekolah di Indo gtu smua krn banyakan sekolah negri whereas jarang ada murid international nor godly facilities. Sekolah yg seperti itu mungkin bisa dihitung jari pak, bahkan yg sekolah di Jakarta belum tentu bisa relate dengan suasana sekolah di video itu 😬. Kalo yg aku bilang tdi enak krn chord progressionnya unik aja😂 gk kyk lagu” pop barat pada umumnya yg 1 4 5 6 4 or something like that”

Seorang lain lagi, Dira beralasan mengapa lagu ini untuknya sedap ya karena “vibesnya cocok untuk edit-edit video masa-masa SMA pak karna ‘high school’ wkwkw”.

Dan masih banyak reply lain selain dari mereka yang kusebut secara anonim tadi. Pada intinya, rekan-rekan virtualku itu sepakat: Lagu Niki Zefanya ini enak didengar, sedap ditonton.


Bersama Rich Brian, rapper asal Indonesia yang tempo hari dipanggil Pak Jokowi, Niki Zefanya memang anomali. Dari Wiki, kita tahu bahwa keduanya di bawah label rekaman yang sama, label dari Amerika yakni 88Rising. Konon Rich Brian yang sudah terlebih dahulu bernaung disana, mengajak Niki bergabung setelah menemukan video Niki meng-cover lagu-lagu Barat terutama dari genre R&B. Belakangan kita tahu bahwa selera musik R&B itu mengalir deras dari ibu Niki.

Ada banyak ulasan menarik tentang Niki, terutama lagu “High School in Jakarta” ini. Silakan kamu Google sendiri.

Satu fakta yang menarik ialah bahwa para fans Niki yang membuat lagu ini trending di Youtube dan platform digital musik lainnya. Ada kesadaran sekaligus kegelisahan yang mereka ungkapkan lewat komentar atau ulasan mereka.

KESADARAN

Masa SMA adalah kawah nostalgia.

Lewat lirik romantis ini, para pendengar seakan terbius. Seakan mereka ikut merasakan atmosfer bersekolah di Pelita Harapan, SMA dimana Nichole Zefanya memang menimba ilmu sebelum kemudian memutuskan mengambil jurusan musik di sebuah kampus di Amerika. Ini saja sudah menjadi alasan yang cukup mengapa banyak anak SMA merasa bisa relate dengan “High School in Jakarta”.  Menariknya, ternyata ini belaku bukan hanya untuk cewek saja, tetapi juga yang cowok (seperti bisa kulihat dari reply mereka kala kami chatting di Instagram).

Relatedness ini semakin kuat karena kita tahu bahwa lirik ini dinyanyikan oleh seorang Niki yang memang mengalami masa remaja tinggal dan duduk di bangku SMA di Indonesia. Video musiknya menggambarkan keseharian Niki yang sama seperti anak SMA pada umumnya. Mengerjakan tugas alias kerkom (kerja kelompok) di rumah teman, hangout alias ‘nongki tipis-tipis’, kenalan dengan teman-teman baru, ikut klub teater, foto buku tahunan, sampai menemukan cinta pertama.

Sah. “High School in Jakarta” pantas kita tambahkan ke dalam list lagu yang berkisah tentang masa SMA. Sebelumnya sudah ada Kita Selamanya – Bondan & Fade 2 Black, Tujuh Belas – Tulus, Remaja – HiVi, Ingatlah Hari Ini – Project Pop, Dulu Kita Masih Remaja – The Panasdalam Band, I Remember – Mocca, Sebuah Kisah Klasik – Sheila On 7, Sampai Jumpa – Endank Soekamti,  Terlalu Manis – Slank, Bebas – Iwa K, hingga yang legend seperti Masih Anak Sekolah – Chrisye.

Ini lirik lagu yang muncul ke pasaran berkat label rekaman yang tentu membantu para penyanyi dan pemusiknya sehingga karya mereka dikenal secara luas. Belum lagi karya dari mereka yang memilih berjuang dari jalur indie.

Bahkan, kalau kamu penasaran adakah karya dari pemula awal yang paling awal sekali (jangankan label rekaman, dihitung sebagai karya indie juga belum), kamu bisa melirik playlist SMA Budi Mulia ini. Ini adalah karya  anak SMA dari sekolah biasa, bukan sekolah musik, yang mencoba mencipta lagu dari pengalaman nyata mereka sendiri dengan kemampuan dan fasilitas musik yang sangat terbatas.

Apa yang bisa kita simpulkan dari fenomena ini? Satu hal yang jelas: Masa SMA adalah masa yang penuh kenangan (nostalgia). Meski, sayangnya, kesadaran akan indahnya nostalgia SMA ini baru menjadi jelas bagi orang-orang justru setelah mereka meninggalkannya. Sama seperti semua hal lainnya, menyitir penggalan lagu “Yellow Taxi”-nya Counting Crows, kita baru bisa menghargai sesuatu setelah ia berlalu, setelah ia pergi: Don’t it always seem to go, that you don’t know what you got till it’s gone

Mengetahui ini, mungkin kamu yang anak SMA akan berpikir: “Kalau begitu, mumpung aku masih di SMA, aku nikmati saja semua proses dan dinamika emosi yang terjadi disini?” Yes. Tentu saja. Lakukanlah. Nikmatilah. Tak ada yang melarangmu mengalami apa saja yang ditawarkan masa SMA. Jika Niki bisa melalui pengalaman romantis – kombinasi antara jatuh cinta dan patah hati ini – kamu juga punya hak yang sama.

Bentuk dan jenisnya mungkin berbeda. Niki sekolah di sebuah SMA di bilangan Jakarta dengan fasilitas yang mentereng untuk ukuran SMA di Indonesia pada umumnya lengkap dengan interaksi dalam bahasa Inggris dan wajah bule – yang entah mengapa masih kita iyakan superioritasnya – yang membuatnya kelihatan istimewa. Kamu sekolah di sekolah negeri atau swasta biasa dengan prestasi biasa saja, dengan fasilitas seadanya, tanpa teman sekelas berwajah expatriat; malah wajah oriental melulu yang kamu temui. Jika Niki berhak dan sudah mengalami ini semua, kamu juga punya hak atas romansa dan nostalgia yang sama.

[Aku sendiri tidak pernah mengalaminya. Sebab sejak SMA hingga Perguruan Tinggi, melulu tinggal di asrama yang dihuni oleh laki-laki semua. Tak ada romansa alias cinta-cintaan remaja disana. "Mengcyedih ya, Pak" katamu. Ya nggak apa-apa. Setiap orang ada jalannya sendiri-sendiri. Gampang saja aku memberikan argumentasi seperti itu.]

KEGELISAHAN

Kesadaran akan indahnya masa remaja di SMA disertai juga dengan sekian banyak kegelisahan di dalamnya. Seperti halnya semua romantisme, tentu saja emosi yang terjadi selalu diisi dengan kontradiksi atau bahkan paradoks. Itu yang membuat pengalaman masa SMA istimewa dan layak dikenang.

Seperti yang kamu alami, ternyata hubungan Niki dengan mantan pacarnya juga seperti roller coaster, yang dipenuhi drama anak SMA. Perkara cemburu, enggak dikabarin, lalu berakhir patah hati karena ditinggalkan, semuanya ada.

Niki bahkan menggambarkan kekalutan dan turun-naik emosinya seperti berada di medan perang zaman Sparta. High School in Jakarta, sorta (sort of) modern Sparta. Ada kemenangan yang membahana, kepuasan yang luar biasa dan kegembiraan yang membuncah. Tetapi ada juga serangkaian kekalahan yang menyedihkan, perasaan insecure yang menyiksa dan kesedihan yang terkadang membuat masa SMA serasa kelabu untuk sementara waktu.

Menariknya, musik yang mengemas cerita galau Niki justru tidak membuat kita tenggelam dalam kesedihannya. Ia justru memperingati patah hati tersebut dengan melodi up beat R&B. Seakan semua kisah itu adalah momen yang patut dirayakan. Ini satu hal lain lagi yang membuat “High School in Jakarta” menjadi istimewa. Mengapa? Sebab seperti fungsi musik pada idealnya, lagu adalah selebrasi terhadap kehidupan. Bernyanyi berarti merayakan kehidupan, tidak melulu menangisinya. Life is a party, celebrate it.

Niki menulis liriknya mengalir seperti percakapan. Mirip dengan kamu yang rajin menulis diari di Watpadd dengan akun anonim, Niki meng-update keseharian di sekolahnya. Semua liriknya langsung ditujukan ke mantan pacarnya, mirip dengan kamu yang tak bosan-bosannya mengirimi pesan anonim di akun MenFess sekolah.

 


Benarkah “High School in Jakarta” memang untukmu?

Mari kita uji sekali lagi relatability dari lirik lagu Niki ini. Related atau tidak?Berangkat dari pengalaman nyata pribadi dan kebanyakan teman, aku coba parafrase tulisan Aurelia Gracia di Magdalene

Dari lirik pertamanya, Niki langsung memberikan jawabannya. Buatku – dan sepertinya kebanyakan teman di dunia nyata atau di dunia virtual Twitter dan Instagram – jawabannya, jelas tidak. Tidak relate sama sekali.

“Didn’t you hear Amanda’s moving back to Colorado?” kata Niki, membuka lagunya.

Aku – mungkin juga kamu, sama-sama bersekolah di Siantar. Bahkan sekalipun bersekolah di Jakarta seperti Niki (yang sebenarnya sekolah di Karawaci, Tangerang) – kita tidak punya teman yang “pulang kampung” atau pindah ke Amerika Serikat. Anak-anak sekolah Swasta di Siantar, apalagi dari sekolah negeri pasti mengerti maksudku. Kita itu kalau pulang kampung tidak ke Colorado, tapi ke Balige, Rantauprapat, Dolok Sanggul atau bahkan Dolok Batu Nanggar Serbelawan dan Marihat Ulu Tanah Jawa. Hahaha …

Dengan kurikulum yang silih berganti mulai dari kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 hingga Kurikulum Merdeka yang sekarang diuji coba, kita melihat model pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan satu arah, tidak maksimal melibatkan murid berdiskusi. Lingkungannya juga didominasi orang-orang kelas menengah, yang berangkat dan pulang sekolah masih naik transportasi umum. Satu dua saja yang diantar jemput dengan kendaraan pribadi. Sudah jelas, bahasa Indonesia jadi bahasa pengantar dan digunakan untuk ngobrol bareng teman-teman. Bukan Bahasa Inggris.

Sementara Niki, bersekolah di Sekolah Pelita Harapan (SPH) yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB) dan Kurikulum Internasional Cambridge. Selain menggunakan bahasa Inggris untuk bahasa pengantar, kurikulum itu mempersiapkan siswa supaya bisa bersaing secara global. Maka tidak heran kalau sebagian besar siswa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus di luar negeri, memanfaatkan sistem transfer kredit—untuk mempercepat masa studi.

Jika ada yang pindah, kemungkinan mentok-mentok pindahnya ya ke sekolah swasta atau negeri unggulan. Mereka ingin akses ke perguruan tinggi negeri lebih mudah, karena (katanya) kuota yang dibuka lebih besar lewat jalur Seleksi Nasional masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Bukan seperti dua teman Niki yang pindah ke New York dan Colorado.

Jangankan pindah ke Amerika Serikat, ya, liburan ke sana aja mungkin bisa bikin heboh satu kelas. Soalnya pasti mendadak dicap anak orang kaya.

Kemudian, soal nongkrong di rumah teman setelah menyelesaikan kerja kelompok, menunjukkan perbedaan cara bergaul antara kita dan Niki. Penyanyi kelahiran Jakarta itu bisa ngeles ke pacarnya, “I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s.” Mungkin di kalangannya, minum alkohol yang harganya mahal sudah menjadi sesuatu yang umum dilakukan saat kopdar (kopi darat). Berbeda dengan kita yang membeli roti Ganda seribu dan boba di angkringan samping sekolah atau yang dekat kosan.


Bagi kita yang tidak merasa terwakili oleh lagu ini karena alasan-alasan tadi, rasanya akan lebih cocok menyebut lagu ini sebagai “(International) High School in Jakarta”.

Kalau begitu, salahkah Niki?

Tidak.

Niki memang ingin mengungkapkan pengalaman personalnya. Yang menjadi permasalahan adalah jika karena kesenjangan dan perbedaan pengalaman antara Niki dengan kita, kita menjadi merasa inferior.

Jika Niki bertemu dengan Ben – karakter mantan pacarnya yang diperankan Peter Sudarso, saat keduanya berpapasan di lorong sekolah yang dilengkapi dengan loker untuk tiap siswa, persis tipikal film romantic comedy ala Hollywood; kita juga bisa mengingat pengalaman berpapasan dengan crush pertama kita di lorong kantin sehabis menyantap mi gomak atau bakwan goreng dan sebotol teh manis kemasan.

Jika Niki dan Ben kemudian secara resmi berkenalan di klub teater dan mulai berkencan; kita juga bisa mengingat pengalaman berkenalan dengan crush pertama kala MPLS alias ospek di bawah pohon roda atau ketika  badan kita basah penuh keringat sehabis kegiatan ekstrakurikuler voli dan sepakbola.

Tetapi tentu saja semua argumentasi ini tidak hendak memadamkan anganmu untuk bisa mengalami masa SMA seperti di video musik Niki yang sudah mirip film ini.

Lagipula, sangat mungkin bahwa Niki juga mengalami hal-hal lain yang detailnya tidak diceritakan dalam drama singkat dan padat nan romantis ini. Sama seperti kamu, selain hak untuk mengalami romantis anak SMA, Niki juga punya kewajiban untuk mengikuti setiap proses pembelajaran.

Maka, sah-sah saja jika kamu – dan aku – menikmati lagu Niki “High School in Jakarta” ini tanpa harus lupa daratan: kita adalah siswa di sebuah SMA di Siantar. Atau di tempat lain di Indonesia dengan karakteristik yang serupa.

Bukan mustahil pula, gambaran akan sekolah yang menjadi lokasi syuting Niki yang kamu sebut sebagai “high school dream” kamu ini kelak terwujud di sekolahmu.

Tetapi tentu saja, supaya itu bisa terjadi, ada harga yang harus dibayar. Pertama dan yang paling penting adalah kemauan dari seluruh stakeholder yang terlibat: pemerintah – kurikulum – pemilik sekolah – lingkungan belajar – pola pikir orangtua – dan kamu sendiri sebagai siswa. (Ups, jadi melebar kemana-mana.)

Lanjut lagi.

Cerita patah hati Niki di “High School in Jakarta” ternyata adalah rangkaian utuh dengan dua video musik sebelumnya – Before dan Ocean and Engines – yang ditutup dengan tragis sekaligus manis. Masih dalam fase patah hati, banyak memori mengingatkan Niki dengan sosok Ben. Ia melepaskan Ben, sambil mempertanyakan mengapa mereka kini asing terhadap satu sama lain.

Ini mirip sekali dengan pengalamanmu. Dengan berbekal patah hati, kamu hanya nimbrung sesekali di group WhatsApp alumni sebab tidak ingin terjebak dalam lingkaran emosi pahit yang sama dengan si doi yang kemungkinan juga berada di group chatting yang sama. Kamu juga berusaha melepaskannya, meski sesekali mempertanyakan mengapa semua kini terasa berbeda. Sesudahnya, kamu melanjutkan cita-citamu, dia dengan cita-citanya. Dan semua memori itu menjadi kisah – yang bisa sangat indah jika kamu memutuskan untuk melihatnya dari sudut pandang itu.

Maka, tidak ada alasan untuk menjadi minder atau inferior. “Ah, itu kan Niki. SMA PH yang keren. Sementara aku SMA biasa yang tidak ada terkenal-terkenalnya”

Inspirasi untuk tidak inferior – meski kamu tidak mengalami SMA persis yang dialami Niki – sebenarnya justru bisa kita timba dari motif tersembunyi yang Niki coba sampaikan dalam video musiknya.

Selengkapnya kukutip tulisan Aurelia Gracia:

Dalam musik video, Niki memilih aktor Peter Sudarso yang memerankan karakter cinta pertamanya. Selain mencerminkan orang Indonesia—mungkin juga mantan pacar Niki berkewarganegaraan yang sama, kehadiran Peter lebih dari sekedar pengingat bahwa ada aktor Tanah Air yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood. Kehadirannya sekaligus menunjukkan, bahwa aktor laki-laki Asia mampu menjadi pemeran utama. Sudah jadi rahasia umum ya, kalau laki-laki Asia memiliki stereotipnya tersendiri dalam film-film Hollywood. Biasanya mereka cuma pelengkap, sifatnya kemayu, kurang jantan, kurang menarik, dan tidak memenuhi standar maskulinitas kulit putih di Amerika Serikat. Stereotip yang lahir dari sikap rasisme.

Stereotip itu berawal pada pertengahan 1800-an, ketika imigran laki-laki dari Cina dipaksa melakukan pekerjaan domestik. Pemaksaan itu merupakan pembalasan atas efisiensi jasa mereka, karena dilarang melakukan pekerjaan pertambangan dan konstruksi. Stereotip-stereotip tersebut makin diperkuat representasi laki-laki Asia dalam film-film kanon Hollywood. Misalnya Mr. Yunioshi (Mickey Rooney) dalam Breakfast at Tiffany’s (1961), Fu Manchu (Warner Oland) dalam The Mysterious Dr. Fu Manchu (1929), dan Charlie Chan (Warner Oland) di serial Charlie Chan (1931-1937). Mereka memerankan ketiga karakter tersebut dengan aksen khas orang Asia, dan perilaku konyol yang berlebihan. Bahkan, aktor Sessue Hayakawa yang dipandang menarik perempuan kulit putih, tidak dapat melakukan adegan interaksi fisik dengan lawan mainnya. Adegan Hayakawa mencium seorang kulit putih yang adalah lawan mainnya, malah diblokir. Ia tidak dapat mengandalkan fisik untuk menjual daya tarik maskulinnya, sebelum lembaga sensor di Amerika Serikat melarang representasi pasangan dan seks antar ras. Hal tersebut semakin memperburuk citra laki-laki Asia yang tampaknya layak dijadikan hiburan, asal muasal diskriminasi yang sampai saat ini kerap terjadi.

Namun, karakter Ben yang diperankan Peter dalam musik video High School in Jakarta justru mendobrak stereotip tersebut—yang belakangan ini juga mulai dihapuskan. Ia memiliki peran signifikan, dengan menghidupkan karakter seorang siswa SMA yang bergabung dengan klub teater, sekaligus menjadi cinta pertama Niki.

Begitu pula dengan peran Peter dalam sejumlah film dan serial televisi. Di antaranya Power Rangers Ninja Steel (2017-2018), Justice for Vincent (2019), The Paper Tigers (2020), dan Supergirl (2015-2021), membuktikan laki-laki Asia mampu bersanding dengan aktor lainnya di perfilman Hollywood. Terutama laki-laki Asia dari Jakarta.


Tetapi jika laki-laki Asia dari Jakarta bisa, sangat mungkin laki-laki Asia dari Dolok Sanggul, Parapat, Palipi apalagi Siantar juga bisa.

Akhirnya, paparan agak panjang mengulas “High School in Jakarta” ini semoga membawa kita pada kesadaran baru: Setiap anak SMA punya hak yang sama untuk mengalami high school yang bermakna.

Maka, jika Niki mampu memikat banyak penggemar dengan bernyanyi “High school in Jakarta, sorta modern Sparta, had no chance again the teenage of suburban armadas …” dan seterusnya, kamu juga bisa bernyanyi dengan kebanggaan yang sama menggunakan nada yang sama dalam parafrase lirik ini:

“SMA Siantar, Melanton Siregar, nggak bisa nandingan bangor anak Tanah Jawa ….” dan seterusnya.

Kompartementalisasi – Solusi buat Remaja Jompo SMA

“8 les sehari, semuanya ada PR.

Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.

Can you feel it?

I can. 

Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.

Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.

Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum,  dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.

Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.

Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.

Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.

Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”


Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:

Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.

Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.

Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)

Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.

Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.

Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi  guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.

Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.

Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.

S = specific

M = measurable

A = attainable/achievable

R = Relevant

T = Timebound.

Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.

Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.

Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.

Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.

Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.


Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?

Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.

Aku melihatnya secara positif.

Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.

Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.

Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.


KOMPARTEMENTALISASI

Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.

Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.

Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”

Bagaimana melakukan kompartementalisasi ini?

Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.

Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.

Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?

Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?

  1. Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
  2. Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
  3. Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
  4. Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.

Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika  tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.


Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.

Tidak semua siswa bisa sukses dengan cara ini.

Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.

Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja:  seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.

Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.

Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.

Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.

Lalu, kunci suksesnya apa?

Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.

Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.

Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.

Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.

Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.

Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.

Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.

Penciptaan yang Nyata Itu Ada di Fiksi

Semesta Mendukung

Semua berawal dari kata-kata.

Entah kau seorang Abrahamik yang percaya bahwa semesta berawal dari Logos dalam kalimat ‘Bereshit bara’ ‘elohim (davar). Dengan logos atau davar, semesta tercipta.

Entah kau seorang penikmat filsafat yang memuja sophia (hikmat). Dengan sophia, akademia lahir dan menjadi cikal bakal segala macam pendidikan, kursus dan pelatihan yang ada di muka bumi ini.

Atau orang “biasayang mengagumi retorika dalam pidato apik yang tersaji dalam sebuah kampain public speaking yang berapi-api. Dengan orasi penuh eloquentia yang motivasional, jutaan manusia sepanjang zaman untuk turun ke jalan dan ribuan aksi yang mengubah sejarah terjadi.

Singkatnya, dengan “kata” kamu meyakini bahwa apapun yang kamu yakini, bakal menjadi ada. Akan tercipta.

Terjadi.

Dan ketika terjadi, supaya kamu tetap terkesan sebagai orang yang rendah hati, kamu menyebutnya “semesta mendukung” (mestakung). Padahal itu sama saja artinya dengan “kamu benar-benar menciptakan sesuatu, yang sebelumnya tidak ada”.

Bukankah itu yang membuatmu menulis resolusi, merumuskan cita-cita, lalu kamu seperti punya energi tiada habisnya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa kamu akan mewujudkannya? Kamu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu yang disebut orang sebagai fiksi, pada akhirnya itulah yang akan menjadi nyata.

“Aku akan jadi pengusaha”, katamu. Lalu kau mati-matian merintis dan mengembangkan usahamu. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu karena kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi seorang manajer di perusahaan terkenal”, katamu. Lalu kau mati-matian mengembangkan diri dan kemampuanmu, berlayar di lautan politik tempat kerja yang buas dan mengarunginya sampai ke titik labuh yang kau tuju. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi komposer besar di blantika musik negeri ini”, katamu. Lalu kau mati-matian bertahan di antara godaan untuk banting setir – menjadi artis dadakan yang viral semalam tapi lalu tenggelam bulan depannya – dan pilihan untuk tetap konsisten berkarya meskipun kadang diiringi tangis tatkala menyaksikan lagumu sepi dilirik orang, tenggelam di lautan algoritma internet yang dimenangkan oleh artis cover bermodal buka paha atau sensasi receh absurd yang entah darimana datangnya. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

Hal serupa berlaku, apapun pernyataan atau sabda yang dengan berani kau ucapkan lirih dalam diam sepi di kamar tidurmu atau kau proklamirkan dengan berani di status akun media sosialmu. Sebab hasil tidak akan menghianati proses, katamu. Hasil mendukung orang yang punya cita-cita. Dan sebaik-baiknya cita-cita yang terlaksana, kamu tahu, terlebih dahulu cita-cita itu “hanya” mengambil rupa kata-kata saja.

Begitulah semesta mendukung manusia yang bercita-cita. Begitulah setiap kenyataan terjadi: Ia berawal dari kata-kata.

Semesta menolakmu

Tapi kamu juga tidak lupa bahwa beberapa kali kamu tergoda untuk tidak setia. Tidak konsisten dengan fiksi di kepalamu. Sebab kamu sendiri tidak sekali dua kali saja mulai meragukan kebenaran dari proses penciptaan, bahwa sesuatu memang benar-benar bisa ada padahal awalnya cuma kata-kata. Kamu merasa nyaman dengan pemikiran bahwa kamu memang sebaiknya tidak perlu melawan arus: kamu hanya perlu ikuti apa yang kebanyakan orang lakukan, yakni menjadi pengikut saja. Apa yang dunia ini tawarkan, itu saja kamu nikmati dan jalani. Tak perlu membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ada.

Bukankah itu yang membuatmu merobek kertas bertuliskan rumusan resolusi yang kau buat dengan penuh percaya diri? Bukankah kau sendiri pernah menertawakan betapa bodohnya pilihan yang kau ambil sebab cita-citamu terdengar naif? Kamu pernah berada di fase dimana kamu akhirnya mengalah pada apa kata dunia: bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu itu memang benaran mimpi belaka, dan sampai kapanpun kau tidak akan pernah mewujudkannya.

“Aku tidak mungkin menjadi pengusaha”, katamu. Kau sudah mencoba segala macam cara untuk mengembangkan usahamu, tetapi bisnismu seperti jalan di tempat. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi pengusaha. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa bersemangatnya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi pengusaha.

“Aku tidak akan mungkin menjadi manajer di perusahaan ini”, katamu. Kau merasa sudah memperbanyak latihan dan meningkatkan kemampuanmu, tetapi seperti tidak ada perkembangan yang berarti. Kamu mengeluh karena politik di tempat kerjamu sangat buas sekali, dan kau seperti korban yang dicabik-cabik. Pagimu menjadi terasa berat sekali sebab pergi ke tempat kerja seperti berangkat ke medan perang yang tak akan mungkin kau menangkan. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi manajer. Kamu mulai belajar menerima kenyataan bahwa menjadi bawahan terus-menerus memang sudah menjadi takdirmu. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa berapi-apinya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi manajer bahkan direktur di tempat kerja yang kau banggakan itu.

“Aku tidak akan pernah menjadi komposer yang diperhitungkan di negeri ini”, katamu. Kamu lalu memilih untuk mengakali industri musik saat ini sebab kamu tergiur dengan postingan pamer uang dari artis dadakan yang barusan viral. Kamu ingin mengikuti jejaknya. Kamu tidak peduli apakah kamu akan tenggelam bulan depannya – sebab saat ini jelas kamu membutuhkan uang untuk membiayai hidupmu yang bahkan tidak ada kemewahan sedikitpun itu. Kamu meyakini bahwa saat ini bukan lagi saat yang tepat untuk menjadi pencipta lagu. Ini adalah era kemenangan penyanyi cover. Cukup dengan sedikit utak-atik SEO dan jargon marketing buzzwords sejenisnya, kamu bisa mendapatkan penghasilan berlipat-lipat dari puluhan lagu yang sudah kau ciptakan dengan mengorbankan waktu tidurmu sebab harus begadang berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kamu pun tak ragu untuk menitipkan konten hasil cover-mu ke situs judi dan halaman penjual obat pembesar payudara. Kamu mulai percaya bahwa mimpi menjadi pencipta lagu memang cita-cita yang kekanak-kanakan. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Kamu mulai lupa betapa bersemangatnya kamu ketika menyelesaikan lagu pertamamu yang dengan bangga kau tunjukkan ke keluarga, teman-teman dan kenalanmu.

Saat-saat dimana semesta menolakmu, kamu menjadi yakin bahwa memiliki cita-cita itu cukuplah untuk anak kecil saja. Ketika dewasa, memelihara cita-cita seperti itu akan membuatmu jadi bahan tertawaan saja.

Semesta tersenyum padamu

Ini pasti kedengaran fiksi, kata orang-orang disekitarmu. Sempat kau ikut mengamininya.

Tetapi kau mulai penasaran. Sebab jika kau hanya mengikuti apa yang orang lalui, lalu apa gunanya rasa percaya dirimu itu? Apa gunanya kelebihan dan bakatmu yang sejak dini sudah kau sadari ada padamu itu? Penasaran inilah yang membuatmu tetap memperjuangkan fiksi itu. Toh, kalau gagal, kamu tidak menyesal lagi. Jika waktumu sudah habis nanti, kamu tidak akan menyalahkan siapapun hanya karena kamu sendiri tidak berani memulai passion yang kau yakini dan kau nikmati setengah mati ini. Tentu kamu ingin sekali ini berhasil. Tetapi kalaupun gagal, toh tidak ada ruginya. Setidaknya kamu sudah mencoba. Dan … voila .. ternyata kamu berhasil. Kamu melihat semesta tersenyum padamu.

Sejak saat itu kamu selalu senang bertemu dengan orang yang punya khayalan tinggi. Kamu tahan berbincang berjam-jam dengan orang yang punya mimpi. Bukan sembarang mimpi, tetapi mimpi yang besar. Tak lupa kau juga mengajaknya untuk membicarakan semua ketakutan yang mungkin muncul dalam proses mewujudkan mimpi itu, tetapi pada akhirnya kau berhasil meyakinkannya bahwa apapun resikonya, orang itu harus berani bertindak. Harus berani memulai sesuatu. Seperti berbicara kepada diri sendiri, kamu meyakinkannya bahwa mencoba tak pernah ada ruginya. Rugi terbesar adalah jika orang itu ingin sekali mewujudkan cita-citanya, tetapi karena ketakutan dan alasan lain tak pernah memulainya hingga usianya menua, lalu menyesal sebab tidak ada kesempatan lagi. Seperti yang sudah kau nikmati, kamu juga ingin sekali orang itu merasakan semesta ikut tersenyum padanya.

Kamu menjadi mulai percaya diri kembali. Kamu tidak lagi takut dengan pilihan dan jalan hidup yang aneh dibandingkan yang ditempuh kebanyakan orang. toh kau sudah membuktikan bahwa mimpi dan cita-cita yang awalnya mereka sebut fiksi tapi kau yakini setengah mati, ternyata tercapai juga. Untuk apa merasa minder.

Kamu sudah kenyang dengan tipuan kegagalan. Sebab kamu sudah mengalami langsung bahwa kegagalanmu di masa lalu – yang sempat menggodamu untuk berhenti – ternyata tidak berdaya apapun dihadapan keyakinanmu yang setinggi gunung. Kamu sudah sampai di puncaknya. Ketika mentari bersinar, orang yang berdiri di puncak gununglah yang akan pertama kali melihatnya. Ketika semesta tersenyum, orang yang berdiri di puncak mimpi merekalah yang akan pertama kali melihatnya. Dan diantara segelintir mereka itu: kamu salah satunya. Itulah sebabnya ketika kamu mengalami gagal, dan orang lain mulai mengajakmu untuk meninggalkan mimpi itu, dengan enteng kamu berkata: “Ya kalau gagal, gak apa-apa. Setidaknya aku sudah mencoba”.

Kamu tidak lagi mengikuti jejak orangtuamu yang ketika bercerita usai makan malam bersama, selalu mendongengkan kisah sedih.

Ayah yang selalu mengulangi cerita penyesalan yang itu-itu saja. “Sebenarnya dulu Bapakmu ini pengen menjadi pengusaha. Tetapi apa daya, Bapak tidak pernah punya kesempatan merintis usaha apapun, sebab kalian keburu lahir. Aku dan Ibumu tak punya pilihan lain selain setia menjadi pekerja di kebun perusahaan ini hingga pensiun”

Atau Ibu yang sejak dulu ingin sekali merasakan nikmatnya bekerja dan menyisihkan pendapatan untuk bertualang ke Bali dan pantai Phuket, “tetapi setelah menikah dan melahirkan kalian, Ibu pasrah saja tidak akan pernah bepergian kesana”.

Tidak ada yang menakutkan dari cerita itu. Menyedihkan, iya. Keseringan menunda, akhirnya nggak pernah lagi berbuat.

Bagaimana bisa orangtua berkata “semua ini kami lakukan untuk membahagiakan kalian anak-anakku” padahal mereka sendiri tidak bahagia? Bukankah ketika kita menyemprotkan parfum ke orang lain, kita harus terlebih dahulu mencium wanginya?

Tentu saja kamu tidak membenci kedua orangtuamu. Hanya saja, kamu tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Semesta marah padamu: terlalu lama kau kembali padanya. Tugasmu sudah selesai.

Saat ini semua sudah kau capai. Tidak ada lagi penyesalan. Semua kegagalan sudah kau lalui. Tentu saja, sebab kau keras kepala dengan mimpimu, kau sudah menikmati pula upahnya: keberhasilan-keberhasilanmu.

Tetapi, saat sendiri, entah mengapa masih ada ketakutan di lubuk hatimu.

Suatu saat nanti semesta sudah merasa bosan bermain-main denganmu. Semesta akan marah padamu dan berkata: Kau disini terlalu lama. Tugasmu sudah selesai. Saatnya kembali pulang.

Entah kenapa, masih ada ketakutan itu.

Lalu kau berandai-andai setengah berharap: mungkinkah nanti ada kehidupan setelah ini, untukku mengalami lagi semuanya ini?


Memilih Tetap Kekanak-kanakan – [Storytelling]

“Woy. Kamu itu udah bapak-bapak. Masih aja ngomongin hal ga jelas kayak anak-anak”?, keras sekali suara Pia, sang istri tercinta, di telinga Delano.

Bagaimana mungkin ucapan seperti itu terlontar dari orang yang bersamanya seatap, sekamar, sedapur dan semeja makan?

Saking seringnya mendengar ucapan seperti itu, Delano hanya tersenyum saja. Bahkan sesekali membalasnya dengan candaan dan tingkah kekanak-kanakan yang membuat Pia akhirnya mleyot dan salah tingkah. Kalau sudah begitu, Pia akan pergi ke dapur dan segera membuatkan secangkir kopi hitam untuk sosok misterius yang sudah dinikahinya selama 5 tahun, tetapi tak pernah sungguh dikenalinya.

Sebenarnya ketika pertama sekali ia mendengarnya, saat itu hampir saja ia tersulut emosi. Tetapi untunglah amarahnya tidak sampai meledak. Meski telinga dan hatinya panas, akal sehatnya berkata: bukankah justru karena Pia mengenalnya sangat dekat, mengetahui apa saja yang dia obrolkan, Pia mengenal Delano dengan baik?

Bagaimana kalau ia mencerna sekali lagi arti ucapan istrinya itu: “kamu masih kayak anak-anak”? Apa sebenarnya yang dimaksudkan isterinya itu.


Delano baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-35. Tinggal 5 tahun lagi saja waktunya tersisa untuk benar-benar menjadi seorang laki-laki, Ama, suami dan bapak bagi keluarga kecil mereka. A man. Seorang yang mampu menyediakan apa yang perlu untuk keluarganya sehingga tidak lagi disebut anak-anak oleh sang isteri.

Rumah.

Tempat usaha, investasi, mungkin beberapa sertifikat logam mulia juga.

Plus sebuah jabatan di punguan dongan samarga mereka, supaya ketika ada ulaon (pesta adat), Pia akan bangga duduk menyaksikan orang datang meminta saran dari suaminya itu, dengan tak lupa membawa uang dan ucapan sekapur sirih.

Atau seseorang yang dipercaya menjadi pengurus di gereja tempat mereka beribadah, supaya setiap kali mereka beribadah di sana, isterinya yang sudah bersusah-payah memoles diri dengan pakaian kebaya dan riasan wajah lengkap dengan bulu mata yang lentik itu bisa duduk dengan anggun di barisan depan dan percaya diri, sebab orang akan menyebutnya “itu isteri pengurus Gereja kita“.

Saat ini, penghasilannya sebagai kolumnis sastra di dua-tiga majalah yang oplah cetaknya kecil tentu belum bisa menyediakan semuanya itu.

Tetapi Delano memang berbeda. Seakan tidak cemburu sedikitpun dengan banyak rekan seusianya yang sudah sukses menurut ukuran Pia, Delano masih saja meneruskan kesukaannya menulis puisi.

Dia akan tahan ngobrol lewat telefon berjam-jam dengan Juan, seorang penulis puisi berusia 50 tahunan, tidak menikah. Membahas sebuah puisi dari penyair terkenal lalu menulis puisi. Atau membicarakan sebuah kejadian besar di negara ini, lalu menulis puisi. Bahas, tulis, bahas lagi, tulis lagi. Itulah lingkaran tak berujung yang tepat menggambarkan kegemaran dua lelaki yang Pia sebut kekanak-kanakan ini.

Juan adalah orang yang pertama kali memberi selamat kepada Delano ketika ia memberitahukan bahwa ia akan menikah. “Kawan, hidupmu akan jauh lebih sulit setelah menikah. Kau tidak akan bebas lagi menulis puisi sebebas aku. Aku salut atas keberanianmu mengambil keputusan ini. Kuharap kau bahagia”, ucap Juan 5 tahun yang lalu.

Bersama Juan, tidak hanya sekali saja mereka mencoba membuat buku antologi puisi yang mereka berdua tulis, tetapi selalu ditolak penerbit. Tetapi mereka tak pernah jera. Mereka juga rajin mengirim puisi mereka ke surat kabar lokal, kerap tanpa imbalan jasa sama sekali. Belakangan ketika surat kabar itu sudah cukup besar dan bermigrasi menjadi situs berita online, mereka tak pernah lagi dimintai menulis puisi. “Para pembaca kami tidak tertarik lagi membaca puisi”, begitu balasan email dari pemimpin redaksi mereka saat itu.

Pernah juga mereka menggagasi berdirinya sebuah komunitas penyair, tetapi lalu kompak meninggalkannya sebab saat itu Darmono, yang kelihatan bernafsu menjadi ketua perkumpulan, ternyata menyisipkan agenda untuk membesarkan nama seorang politikus dalam syair-syair puisi mereka. Juan dan Delano langsung melihatnya sebagai gelagat tidak beres. Belakangan politikus yang dipuji Darmono dan kawan-kawannya itu muncul di TV, memakai rompi oranye. Angka korupsi yang dilakukannya tidak main-main ternyata, sehingga ketika menangkapnya, KPK menyebutnya “sebuah tangkapan besar, ikan yang besar”

Perkenalannya dengan Juan sendiri tergolong cukup unik. Ketika itu, Delano masih kelas 5 SD. Ada perlombaan menulis puisi yang diselenggarakan untuk merayakan HUT RI. Juan, mahasiswa muda saat itu, menjadi salah satu juri lomba. “Nak, kamu punya bakat menjadi penulis puisi. Terus berlatih ya”, kata Juan menepuk pundak Delano kecil puluhan tahun lalu.

Sampai kini, meski tinggal di kota yang berbeda, Delano dan Juan masih saling menelepon. Membahas karya pujangga besar seperti Joko Pinurbo, Charles Bukowsi bahkan seorang legenda seperti Leo Tolstoy.

Ini yang membuat Pia tidak habis pikir. Bagaimana bisa dua orang manusia, laki-laki larut dalam percakapan tiada henti, dengan semangat yang berapi-api ketika membahas puisi. Memangnya mereka berdua ini masih anak SD yang ketakutan bakal dimarahi guru kalau PR mengerjakan puisi untuk tugas Bahasa Indonesia tidak selesai?

“Kalian ini laki-laki 35 dan 50 tahun loh”, ketus Pia suatu waktu lain.

Suatu kali Pia menunjukkan sebuah quote Instagram, berharap mungkin bisa menjadi sindiran pedas bagi suaminya itu. Kutipan itu berbunyi: “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”.

Tapi, alih-alih tersindir, Delano malah balik menceramahinya dengan argumen filosofis:

“Sayangku … Quote-mu itu benar sekali. Tapi kebenarannya tidak absolut. Saat ini, menjadi dewasa itu pasti, sebab konstruksi pikir masyarakat menuntut setiap orang, terutama laki-laki, untuk menjadi dewasa. Sebelum umur 25, laki-laki sudah harus menamatkan kuliahnya dan memiliki pekerjaan yang mapan. Sebelum umur 30, laki-laki sudah harus menikah. Sebelum umur 35, laki-laki seperti suamimu ini sudah harus memiliki rumah, menyediakan tempat tinggal untuk keluarganya. Inilah dewasa menurut standar masyarakat sekarang. Tinggal ikuti saja, sudah pasti kamu dianggap dewasa. So, terimalah kebenaran versi lain dariku. Menjadi dewasa itu pasti, menjadi anak-anak kembali itu pilihan


Begini bangunan argumentasi Delano.

Menjadi dewasa itu artinya tidak menjadi anak-anak lagi. Apa yang dimiliki anak-anak, yang harus dihilangkan ketika seseorang memutuskan menjadi dewasa? Hobbi atau minat. Passion.

Dua puluh lima tahun yang lalu, Delano kecil sangat gembira ketika namanya dipanggil saat upacara di sekolah sebagai pemenang lomba menulis puisi. Kedua orangtuanya pun terlihat bangga saat itu ketika tetangga memuji betapa beruntungnya mereka memiliki anak pintar dan berprestasi seperti Delano.

Delano kecil yang melihatnya lalu merenung dalam hati: Ayah dan ibuku tersenyum senang senang karena aku menang menulis puisi. Mereka menyemangatiku dan mengusap kepalaku. Aku ingin mereka tetap senang.

Sejak saat itu, membaca dan menulis puisi menjadi kegemarannya. Ia berangan-angan, ketika besar nanti ia tak hanya menang lomba menulis puisi tingkat sekolah lagi, tetapi menjadi penyair besar yang diperhitungkan di tingkat internasional. Sebab kalau itu terjadi, tentu kedua orangtuanya akan jauh lebih senang lagi. Memikirkannya saja membuat Delano bahagia.

Angan untuk menyenangkan ayah dan ibunya itulah yang memberinya energi dan kepuasan untuk membaca puisi lebih banyak lagi, menulis puisi lebih banyak lagi. Ia gembira setiap kali satu puisi selesai ditulisnya. Di benaknya, satu puisi yang selesai ditulisnya ini adalah harapan untuk kembali membuat bangga ayah dan ibunya. Lengkap sudah.

Bagi Delano, menulis puisi adalah kegembiraan dan harapan.

Menjadi penyair besar suatu saat nanti, itulah mimpinya. Maka Delano harus tetap menulis puisi. Sebab jika Delano tidak menulis puisi lagi, dia takut ia tidak lagi memiliki mimpi.

Akhir-akhir ini dia memang semakin jarang bermimpi. Entah karena tertidur pulas setelah keletihan membaca buku sumber dan mengolahnya menjadi artikel – untuk memenuhi deadline permintaan dari majalah yang memberinya penghasilan meski kerap tidak cukup bahkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka – atau karena hal lain, Delano tidak tahu pasti.

Ingatan masa kecil memenangi lomba menulis puisi tingkat SD yang menjadi awal perjalanan karirnya menjadi penulis kolom sastra tidak lagi muncul dalam mimpinya. Mungkin ingatan itu berusaha ditekannya ke alam bawah sadarnya sebab di kenyataan sehari-hari, apa yang dilakoninya sekarang tidak lagi mendapat tepuk tangan dari banyak orang. Bahkan pekerjaannya sebagai penulis kerap menjadi bahan tertawaan rekan sealmamaternya pada satu dua kali reuni. Rekan-rekan satu sekolahnya dulu, yang sekarang setiap kali reuni pasti datang dengan mobil mewah terbaru mereka.

Mungkin seiring bertambahnya usia, orang memang tidak bermimpi lagi. Baik mimpi tidur maupun mimpi dalam arti cita-cita. Sempat Delano berpikir begitu.

Tapi Delano tak bisa membohongi hati kecilnya. Ia bahkan ingat bahwa perasaan bangga yang muncul pertama kali ketika ia menjadi penulis puisi cilik masih terasa hangat. Hingga sekarang, di usianya yang ke-35.


“Dukung Delano. Dorong Delano bermimpi. Bukan sembarang mimpi saja, tetapi mimpi yang besar”, begitu kata Bu Sinaga, wali kelas Delano pada pertemuan dengan kedua orangtuanya pada saat acara kelulusan mereka. Ibu Sinaga sendiri memiliki alasan memberi motivasi seperti itu sebab ingat ketika ia mengajar di kelas Delano.

”Delano, apa cita-citamu?” tanya bu Sinaga.

“Aku ingin jadi penyair, Bu Guru,” kata Delano.

”Aku ingin jadi artis sinetron,” sahut yang Suman, anak yang lain.

”Aku mau jadi astronot,” ujar yang lain berebut.

Selain jawaban itu masih banyak jawaban anak-anak lain yang berbeda. Ada yang ingin menjadi guru, jadi perawat, jadi kyai, polisi, tentara, bahkan ada juga yang menyebut ingin jadi presiden. Itu semua terucap atas pikiran mereka yang begitu sederhana sesuai kemampuan berpikir mereka.

Tapi menjadi penyair? Ini sesuatu yang unik. Bagi Ibu Sinaga, menjadi penyair adalah jawaban yang sangat berani. Terlebih di tengah masyarakat yang mengolok-olok berkesenian sebagai pekerjaan orang malas dan tidak akan mampu menghasilkan banyak uang.

Dan memang benarlah, ketika di bangku kuliah dimana para mahasiswa sudah mampu merumuskan cita-cita mereka lebih mengerucut pada bidang dan profesi yang lebih spesifik. Ada yang mengaku ingin menjadi arsitek, dosen, peneliti, ahli biologi dan sebagainya sesuai dengan bayangan yang mereka inginkan. Dan Delano masih tetap ingin menjadi penyair.

Teman-temannya sendiri sekarang kerap menyindir Delano sebagai pemimpi. Ia tahu, ini sindiran untuknya. Di awal, Delano tidak habis pikir dengan cemooh mereka. Delano beberapa kali ingin menjelaskan dasar pikirnya ini kepada siapapun yang meremahkan profesi dan passion yang dia miliki ini.

Tetapi sekarang Delano memilih menarik diri. Batinnya berkata bahwa bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak bisa melihat bahwa mimpi seorang anak bukanlah omong kosong atau bualan semata. Bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak lagi memperjuangkan sesuatu yang dulu mereka sangat yakini, pikirkan atau bayangkan.

Ia teringat dengan Suman. Rekan masa kecilnya yang tetap satu sekolah dengannya hingga bangku SMA. Saat itu Suman bercerita bahwa ketika ia mengutarakan keinginan menjadi artis sinetron, kedua orangtuanya memberikan tanggapan pesimis.

“Sudahlah, nak. Bapakmu punya lahan sawit yang luas. Kamu mau kuliah, ya kuliah saja. Ngapain mau jadi artis sinetron. Kamu tinggal selesaikan saja kuliahmu sebab kalau tidak, sebagai keluarga terpandang di kampung kita ini, kami akan malu kalau ternyata kamu kuliah lalu malah drop out“. Suman sangat kesal ketika itu. Untuk apa kuliah kalau ijazah yang didapat nanti hanya demi gengsi keluarga, tetapi tidak sesuai dengan cita-citanya.

Suman memang akhirnya meneruskan mengurusi kebun sawit warisan orangtuanya. Tetapi pada pertemuan mereka yang terakhir, Suman banyak mengeluh dalam curhatnya. Wajahnya murung. Meski tidak kekurangan dari segi materi, sepertinya Suman tidak menikmati apa yang ia jalani sekarang. Wajahnya malah tampak berbinar ketika Delano sengaja memancing obrolan tentang industri perfilman Indonesia saat ini.

Sesampainya di rumah, Delano mengingat kembali pertemuan mereka. Seingatnya, selain omongan cerewet Pia isterinya yang selalu menyebutnya kekanak-kanakan itu, seingatnya hari-harinya ia lalui dengan semangat. Terlebih ketika ia menyelesaikan karya-karya puisinya. Berbeda dengan Suman.

Plot Andalan Menulis Naskah yang Storytell-able

Tahukah kamu apa itu “the seven basic plots” (7 plot dasar)?

Bukan hal baru lagi bahwa disana-sini, kamu mendengar dan mengalami sendiri bahwa kemampuan storytelling (bertutur) menjadi skill andalan yang dibutuhkan dimana-mana.

Seorang ustad atau pendeta yang menyisipkan inti kotbahnya dengan gaya storytelling cenderung akan disukai lebih baik jemaat. Seorang manajer yang mampu mempresentasikan program marketing dengan gaya storytelling cenderung disukai oleh jajaran direksi. Bahkan para diplomat menggunakannya dalam pertemuan internasional membicarakan isu global nan mahapenting. Pidato-pidato heroik bahkan klip video motivasi Reels Instagram yang kamu dengar dan membuatmu merinding, kebanyakan juga menggunakan gaya storytelling. Sebagai siswa, kamu juga pasti lebih senang jika teman yang presentasi tugas kelompok di depan kelas mampu menyajikan materi bahasan mereka dengan gaya bercerita.

Pokoknya, banyak deh gunanya.

Inilah yang kita sebut sebagai the power of storytelling. 

Akan tetapi, apakah kamu benar-benar memahami storytelling?

 

Tangkapan layar screenplay oleh Tri Ebigael Sinaga

Semua plot (alur cerita) berfokus pada hero (karakter utama). Maka tetapkan dulu karakter utama kamu siapa/apa. Bisa jadi hero-mu adalah sosok nabi yang kamu kagumi, seekor anjing kampung yang menyelamatkan petani dari ancaman ular berbisa, sebatang pohon ingul yang kayunya digunakan membuat solu, kamu sendiri, atau bahkan sesuatu yang tidak material seperti gagasan (kemiskinan, ketabahan, daya juang, dan seterusnya).

Secara ringkas, sang hero mengalami fase Antisipasi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan fase Mimpi, fase Frustrasi, fase Mimpi Buruk dan berakhir dengan fase Resolusi. Atau dengan redaksi yang lain, misalnya metode 8 sekuens yang merupakan pengembangan dari metode tradisi teater Yunani kuno 3 acts structure alias drama tiga babak (permulaan, konflik/perjalanan, akhir cerita).

Mari kita bahas pelan-pelan.

 

Plot 1: Overcoming the monster

Si hero menempatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan antagonis.

Pada tahap ini, sang nabi berhadapan dengan nabi-nabi lain yang menjadi hamba ilah palsu. Anjing kampung menyadari bahwa tuannya sang petani, sedang dalam bahaya sebab ia mendengar desis ular yang mendekat. Tanaman ingul yang masih kecil, susah payah mencari sinar matahari sebab masih berada di pot, diletakkan di gudang yang gelap. Atau kamu yang merasa bahwa seisi kelas tidak ada yang mencakapimu, seakan kamu melakukan aib yang membuat mereka memandangmu dengan rasa jijik padahal kamu tidak melakukan apa-apa.

Umumnya, daya antagonis itu mengancam sang karakter utama atau tempat tinggalnya. Plot seperti ini berakhir ketika sang pahlawan akhirnya menaklukkan kekuatan antagonis yang jahat itu.

Plot 2. Rags to riches

Pada plot ini, sang hero itu miskin, lemah atau tak berdaya. Tetapi alur cerita menuntun pada peristiwa dimana dia akhirnya memperoleh karunia luar biasa entah itu berupa kekuatan hebat, mendapat harta karun rahasia, menemukan sahabat yang setia atau pasangan jiwa yang sudah lama ditunggu. Sang hero kehilangan karunia luar biasa itu tetapi ia akhirnya mendapatkannya kembali. Dia berkembang secara personal seiring dengan pengalaman atau petualangan yang dialaminya.

Plot 3. The quest

Pada plot ini, sang hero tidak sendirian. Dia sudah punya kawanan, yakni teman-teman yang setia bersamanya dalam waktu yang cukup lama dan pertemanan yang sudah teruji.

Si pahlawan dan kawanannya kemudian bersepakat untuk mencari sebuah benda atau mencapai sebuah tempat. Selama perjalanan itu, mereka menemukan banyak tantangan dan godaan (terutama godaan untuk menyimpang dari tujuan awal mereka).

Plot 4. Voyage and return

Sang pahlawan pergi ke negeri antah berantah, dimana dia dan gerombolannya harus menaklukkan sejumlah tantangan dan mempelajari pelajaran hidup yang sulit. Ia kembali setelah jiwanya berkembang, diperkaya melalui pengalaman-pengalaman itu.

Plot 5. Comedy

Komedi yang dimaksud disini tak sekedar humor. Di dalamnya ada konflik dan kebingungan (yang sering semakin meningkat dengan cepat seiring dengan jalannya cerita), tetapi semuanya berubah tone, menjadi serius kembali di akhir cerita.

Plot 6. Tragedy

Disini sang pahlawan ditunjukkan dengan kesalahan atau cacat yang serius atau khilaf yang membuatnya malah harus menjalani nasib sial dan tidak menguntungkan. Akhir cerita seperti ini berujung pada momen yang membuat pendengar atau pembaca merasa kasihan.

Plot 7. Rebirth

Sebuah kejadian dramatis memaksa sang hero untuk mengubah jalan hidupnya sendiri dan menjadi orang yang lebih baik.


Selesai.

Lho, mana resep andalannya, Pak?

Silakan kamu racik sendiri. Menggunakan ketujuh plot itu semuanya, atau beberapa saja. Aku sendiri sedang berlatih untuk membuat hidangan menggunakan ramuan plot 1 Overcoming the Monster, plot 2 Rags to Riches dan plot 7 Rebirth untuk naskah storytelling di berbagai kesempatan. Untuk mudahnya, ingat saja Formula 127.

Kamu boleh meniruku atau mengembangkan sendiri sesuai seleramu.


7 Seven Basic Plots ditulis oleh Christopher Booker.

Teknik Menulis Skenario dengan Mudah menggunakan Template dan Style Microsoft Word

Untuk menghasilkan tulisan skenario, kamu bisa membeli tool penulisan skenario semacam Arc Studio Premium. Tapi, kamu juga bisa melakukannya secara gratis tanpa perlu menghabiskan sekian rupiah untuk perangkat lunak penulis skenario. Cukup dengan aplikasi di komputer yang sudah biasa kamu gunakan, yaitu Microsoft Word secara offline (luring atau ‘luar jaringan’) atau Google Docs secara online (daring atau ‘dalam jaringan’). Yang terakhir ini bertujuan supaya lebih kompatibel dengan aplikasi pembelajaran yang saat ini banyak digunakan selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yakni Google Classroom, sama-sama produk Google.

Pada tulisan kali ini kita akan melihat bagaimana cara membuat skenario yang profesional menggunakan Microsoft Word. Jika sudah selesai, kamu tinggal mengupload file-nya ke Google Drive-mu untuk menghasilkan Google Docs (Dokumen Google).

Penulisan skenario dengan MS Word dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kamu dapat menggunakan macros (program kecil yang merekam tombol yang Anda tekan dan mengotomasikannya untuk tugas yang sama) atau menciptakan sendiri pilihan style and formatting untuk membuat skenario yang siap ditampilkan dalam TV, film, atau teater.

Metode 1: Menggunakan Pola Template

  1. Buka dokumen baru. Setelah membuka MS Word, pilih File dalam menu di pojok kiri atas layar, kemudian pilih New. Proses ini akan memberikan pilihan gaya dan tata letak dokumen yang ingin kamu buat.
  2. Cari pola skenario. Dalam kotak pencarian, ketiklah “screenplay.” Saat ini, Microsoft menyediakan satu pola screenplay untuk MS Word 2013/2016. Klik dua kali setelah pencarian selesai dilakukan dan kamu akan mendapatkan dokumen yang telah diformat dengan pola skenario. Di dalam MS Word 2010, langkah-langkah yang harus dilakukan umumnya sama. Buka dokumen baru, pilih pola, dan cari Microsoft Office Online. Pilih salah satu dari dua pola, kemudian unduh.
  3. Sesuaikan pola skenario sesuai keinginan. Tidak ada peraturan yang ketat tentang tata cara penulisan skenario, tetapi terdapat panduan umum, kosakata, dan fitur umum. Bertanyalah kepada studio yang kamu tuju agar kamu mengetahui penyesuaian apa yang harus Anda lakukan terhadap dokumen. Pikirkan bagaimana menyesuaikan margin, ukuran huruf, jenis huruf, dan spasi antarbaris.
  4. Buatlah pola Anda sendiri. Jika Anda telah menulis atau memiliki skenario yang tersimpan dalam komputer, bukalah di MS Word. Pada menu save as type di bawah kotak nama, pilih “Word Template”. Jika dokumen mengandung macro, pilih “Word Macro-Enable Template”. Klik “save”. Jika kamu ingin mengubah lokasi file, klik “File”>”Options”>”Save”. Di dalam kotak lokasi utama penyimpanan pola, tik lokasi yang ingin kamu gunakan.

Menggunakan Style and Formatting

  1. Metode kedua yakni dengan menggunakan “Style and Formatting” untuk mengatur pola skenario. Jika kamu tidak begitu sreg dengan pola yang disediakan oleh Word, kamu dapat memodifikasi gaya dan format dokumen untuk menciptakan pola format baru. Pola-pola ini dapat digunakan lagi jika kamu menyimpannya. Kamu juga dapat membuat pola baru berdasarkan dokumen yang telah menggunakan aturan gaya dan format yang kamu butuhkan.
  2. Pilih satu baris teks. Teks bisa berupa nama karakter, potongan dialog, atau arahan panggung. Letakkan kursor di pinggir kiri baris teks dan pilih baris teks dengan menekan tombol kiri mouse. Atau, kamu juga dapat memilih teks dengan menekan tombol kiri mouse dan menariknya ke kiri atau ke kanan baris teks yang ingin kamu sesuaikan. Akhirnya, kamu dapat memilih teks yang akan kamu format dengan cara menarik kursor di teks yang telah kamu tulis dan menahan tombol shift dan tanda panah. Untuk memilih teks di sebelah kiri kursor, gunakan tanda panah kiri. Untuk memilih teks di sebelah kanan kursor, gunakan tanda panah kanan. Jika ada beberapa baris teks, kamu dapat memilihnya satu per satu dan ubah format seluruh baris yang Anda pilih.
  3. Buka panel Styles and Formatting. Setelah memilih teks, klik “Format” di menu. Menu tersebut akan menampilkan beberapa pilihan. Klik “Styles and Formatting.” Panel “Styles and Formatting” akan terbuka. Atau, kamu dapat membuka panel “Styles and Formatting” dengan memilih tombol “Styles and Formatting” di toolbar. Untuk membuka panel, klik tombol “Styles and Formatting” yang terletak di sebelah menu drop-down karakter tulisan. Tombol terletak di ujung kiri toolbar. Tombol ini bersimbol dua huruf “A” dengan dua warna berbeda, huruf “A” pertama berada di sebelah atas kiri huruf “A” kedua.
  4. Pilih teks yang memiliki format serupa. Klik kanan teks yang tadi sudah kamu pilih. Menu drop down akan muncul dengan berbagai pilihan. Opsi terbawah adalah “Select Text with Similar Formatting.” Klik kiri mouse kamu untuk memilih opsi tersebut. Seluruh teks dengan format yang serupa dengan yang telah Anda pilih akan terseleksi. Jadi, contohnya, jika seluruh nama karakter Anda menggunakan jenis dan ukuran huruf tertentu, ditempatkan di tengah pas di atas sebaris teks, Anda dapat memilih nama karakter apa pun, kemudian gunakan opsi “Select text with similar formatting” untuk menyeragamkan format nama karakter secara bersamaan.
  5. Pilih format yang Anda inginkan. Setelah kamu memiliki seluruh teks yang ingin kamu beri style tertentu, pilih sebuah style dari panel di sebelah kanan. Panel “Styles and Formatting” seharusnya masih terbuka di bagian kanan layar. Klik kiri format gaya yang Anda inginkan untuk mengubah teks pilihan Anda.
  6. Buat Style baru. Jika teks yang Anda pilih tidak sesuai dengan gaya yang ada, Anda dapat menambahkan format dan gaya teks tersebut sebagai gaya baru. Beri nama format dan gaya tersebut dengan memilih tombol di bagian atas panel bertuliskan “New Style.” Anda dapat memberi nama, memilih rata kiri atau kanan, memilih jenis huruf, dan membuat penyesuaian-penyesuaian lain yang diperlukan.

Tulisan ini diubahsuaikan dari WikiHow

 

Sekolah yang Bagus – [Storytelling]*

Sejak dulu, Ramita sudah merasa ada yang unik dengan sekolah ini. Ya. SMA Kakot tempatnya menimba ilmu, bertemu banyak teman dan beberapa guru hebat. Tak lupa, tentu saja, disini dia mengenal Joel.

Kakot sendiri sebenarnya singkatan dari SMA Kampung Kota. Nama yang unik. Sebab, bagaimana mungkin kampung adalah sekaligus kota? Konon Oppung Hampung, sang pendiri sekolah menamakannya demikian sebab beliau yakin bahwa ada nilai-nilai tradisional (disimbolkan dengan “kampung”) jika diterapkan dengan baik akan membuat anak didik tetap maju dan tidak bingung menjadi anak di zaman modern dengan segala absurditasnya (disimbolkan dengan “kota”). Pada zamannya, beliau ini tergolong unik karena pandangannya yang kerap aneh dan visioner. Salah satunya, termasuk alasan beliau menamakan sekolah ini SMA Kampung Kota. Sekarang Oppung Happung sudah almarhum.

Ramita hanya sebentar mengenal Oppung Happung. Sebelum dia menginjak kelas 2 SMA, pendiri sekaligus kepala sekolah Kakot yang pertama ini, meninggal. Sempat Ramita melihat fotonya dipampang di ruang OSIS, tetapi entah sejak kapan dicopot. Dengar-dengar, Pak Jufri, kepala sekolah yang baru yang menyuruh supaya foto itu dicopot. “Sudah usang dan lapuk”, begitu alasannya kepada pesuruh sekolah yang diperintahkan mencopotnya.

Ramita sendiri sudah tidak lagi bersekolah di SMA Kakot. Sudah 20 tahun lalu ia menjadi alumna sekolah ini. Tak terasa memang. Sudah dua puluh tahun berlalu sejak ia menerima pengumuman bahwa ia lulus UTBK di kampus Urat Ilmu (disingkat UI) di jurusan favoritnya, Hubungan Internasional.

Hari itu tak akan pernah dilupakannya. Siapa yang tidak senang bisa mendapat beasiswa di kampus paling nomor 1 di kota ini. Sebagai siswi yang ambisius, Ramita merasa segala perjuangannya tidak sia-sia.

Tetapi pada hari yang sama juga, ia merasakan patah hati untuk yang pertama kalinya. Joel memutuskannya.

“Ta, … ” begitu Joel memanggil Ramita dengan panggilan sayangnya.

“Maaf, kita tidak cocok lagi”, begitu kata Joel. Seakan tidak merasa bersalah sedikitpun meninggalkannya hanya dengan kalimat perpisahan yang singkat itu.  Ramita tak berkata apapun saat itu. Terkejut luar biasa? Iya.


Kini Ramita menjadi Kepala Divisi Pengembangan Kurikulum di kementerian yang menaungi bidang pendidikan di negara ini. Karirnya memang cepat melesat. Begitu lulus sebagai sarjana Hubungan Internasional, ia segera dipercaya menjadi diplomat di UNESCO. Banyak penghargaan dan pujian diterimanya karena kinerjanya yang dinilai oleh rekan sekerja bahkan atasan sangat visioner dan terbukti berhasil.

Tak heran, tak sampai lima tahun kemudian ia ditelepon pak menteri pendidikan.

“Bu Ramita. Saya Pak Meindrad, menteri pendidikan. Saya mau Anda membantu Saya memajukan pendidikan di negeri kita ini”, begitu suara Pak Menteri sore itu lewat panggilan telepon. Panggilan telepon yang menjadi awal karirnya hingga saat ini.

Ramita memencet mode “Sleep” pada laptop kerjanya, merenung. Ingatan akan pengalaman selama tiga tahun di SMA Kakot tiba-tiba memenuhi benaknya . Senyum Pak Hari, guru Seni Budaya yang sempat membuatnya salah tingkah sebagai remaja baru puber, wajah Joel yang sumringah ketika menemaninya berfoto merayakan sweet seventeen-nya dan pengalaman menyapu halaman sekolah disaksikan semua murid lain saat ia sekali terlambat; semuanya seakan tampak jelas. Seperti rekaman video.

Ia tersenyum sendiri.

“Oalah, aku ini wanita mandiri, 35 tahun, kok tiba-tiba kayak anak ABG”, ucapnya dalam hati seakan mencandai dirinya sendiri.

Sejurus kemudian, ia kembali ke lembar kerjanya. Ada tulisan yang masih belum selesai diketiknya.

“Kriteria Sekolah yang Baik bagi Anak”, begitu judul draft itu.

Seperti orang yang sedang tafakur, tiba-tiba terbersit di benaknya: “SMA Kakot-ku tercinta, apakah termasuk”?

Sebenarnya, meski hanya sebentar mengenyam pendidikan ketika Oppung Happung menjadi Kepala Sekolah, Ramita banyak mendengar cerita tentang mendiang yang membuatnya kagum. Kekaguman yang tak pernah lagi dirasakannya ketika sekolah dipimpin oleh kepala sekolah yang baru.

Jika bukan karena Pak Hari yang sering menyapa dan mengajaknya bercerita kala ia kehilangan motivasi belajar, ambisi Ramita mungkin sudah padam sebab ia sama sekali tak menemukan sosok pendidik pada kepala sekolahnya yang baru itu.

Setiap mengingat wajah keriput Pak Jufri, yang tidak sekali dua kali mencoba mencium dan memeluknya setiap kali ia berdalih memanggil siswa berprestasi ke kantornya, ia ingat betul rasaya trauma beberapa tahun itu. Kebencian yang sudah lama hilang, tiba-tiba muncul kembali. Perlu waktu 5 tahun bagi Ramita untuk berdamai dengan dirinya, menerima bahwa ada beberapa orang dalam hidupnya, termasuk Pak Jufri, memang tidak untuk diingat sama sekali. Joel mungkin orang kedua yang tak ingin dikenangnya lagi.

Maka, ia memilih untuk mengingat kembali SMA Kakot versi Oppung Happung dan Pak Hari.

Oppung Happung yang di akhir masa hidupnya diceritakan oleh para guru senior sebagai pendidik tanpa tanding. Kepala sekolah yang di akhir usia hidupnya bahkan masih menulis, sering mengunjungi para guru di rumah mereka dan menyapa anak istri mereka. Satu lagi: ia tidak pernah mau membeli mobil, meski tentu sebagai kepala sekolah dengan berbagai pemasukan, bisa saja ia mengusahakannya dengan mudah. Konon, menurutnya, jika ia naik mobil, ia merasa bersalah dengan para guru honor yang dia tahu persis bahkan cicilan sepeda motor mereka pun masih lama lagi lunasnya.

Atau Pak Hari. Sosok yang menurutnya menjadi jembatan antara guru-guru tua yang kadang kelewatan mentalitas otoriternya dengan para siswa didik seperti Ramita sendiri yang kadang masih terbawa dengan sifat manja dan kekanak-kanakan. Kadang Pak Hari memang agak cerewet dengan gaya obrolannya yang panjang setiap kali bertemu, seakan tak habis idenya untuk menceramahi Ramita. Tetapi, semua itu sirna tatkala Pak Hari tersenyum. Dalam diam, tak sekali dua kali saja, Ramita merasa bersalah sebab meski masih berpacaran dengan Joel, sosok Pak Hari datang dalam mimpinya. Setiap kali ia mengalami mimpi ngobrol dengan Pak Hari, ia akan bangun dan menulis di diarinya dengan clue: #GuiltyPleasure1, #GuiltyPleasure2 dan seterusnya. Ia tak ingat sudah sampai hashtag GuiltyPleasure yang keberapa.


Tiba-tiba Ramita tersadar dari lamunannya. Ia kembali membuka laptopnya. Berbekal ingatan cerita kepemimpinan Oppung Happung sebagai kepala sekolah dan sosok Pak Hari, Ramita pun meneruskan tulisannya.

Dia hapus draft yang tadi sempat dibuatnya. Ia mulai kembali semuanya dengan gaya storytelling, teknik yang sering digunakannya ketika presentasi resmi bahkan ketika ia bekerja di UNESCO dulu:

Sekolah yang bagus itu punya ciri begini …”

Kepemimpinan Sekolah Profesional

Di zaman Kepsek Oppung Happung, SMA Kakot adalah sekolah yang gaya kepemimpinannya partisipatif, tegas dan bertujuan. Happung terampil, mampu dan mau memajukan SMA Kakot.

Ia ingat ketika mamanya yang juga dosen di sebuah kampus punya cara unik memilihkan sekolah untuk Ramita. Ia dan mamanya langsung menemui kepala sekolah. Ia ingat saat itu Oppung Happung yang ramah dan baik, yang membuat mamanya tak ragu sedikitpun langsung mendaftarkan namanya sebagai calon murid. Ramita ingat, malam sebelum mereka mendaftar, di rumah mama berkata: “Ketika wajah kepala sekolah kencang jangan masuk ke sekolah itu. Tapi kalau dia ramah dan baik bisa jadi pilihan”

Semua warga sekolah memahami dan melaksanakan visi dan misi sekolah

Dulu, SMA Kakot terkenal dengan visinya. Selain itu, SMA Kakot juga konsisten dalam pembuatan dan pelaksanaan aturan. Di sekolah itu juga ada kebersamaan. Tak sekali dua kali saja para guru dan siswa makan bersama pada momen-momen tertentu. Dalam beberapa kesempatan, bahkan bisa saja orang yang mengamati dari luar merasakan keanehan: Di dalam kelas, para murid sangat serius mengikuti pelajaran. Tetapi pada saat di luar jam sekolah, guru dan murid bisa bersenda-gurau dan olahraga bersama layaknya teman sebaya.

Suasana pembelajaran di sekolah menyenangkan

Sesekali Pak Hari bercerita tentang kepemimpinan Oppung Happung. SMA Kakot sempat menjadi tempat yang nyaman dengan atmosfir suasana yang mendukung. Pokoknya, menurut Pak Hari, lingkungan yang menyenangkan bagi para guru, pegawai dan para siswa.

Kegiatan saling mendukung

Kegiatan pembelajaran di SMA Kakot sangat beragam. Ada program intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang berjalan secara seimbang dan saling mendukung. Meski ada sabrek kegiatan menarik seperti bazar, lomba tujuh belasan, lomba menghias kelas, pekan olahraga seni alias Porseni seminggu penuh, long march, camping, retret, outbond dan lain-lain, SMA Kakot tidak lupa pada kegiatan utamanya, yakni optimalisasi waktu pembelajaran, penekanan pada keahlian akademik serta fokus pada pencapaian prestasi. Ratusan piala dan piagam di sekolah menjadi bukti yang selalu memikat para tamu dan orangtua yang baru pertama kali datang berkunjung ke SMA Kakot.

Guru mempunyai perencanaan pembelajaran

Sekolah yang baik juga bisa dilihat dari kualitas guru-gurunya. Di SMA Kakot, para guru terorganisasi dengan baik, terstruktur dengan jelas dan mempunyai target yang jelas. Selain itu, para guru juga mengkomunikasikan pembelajaran pada siswa dengan baik, tetapi sekaligus fleksibel sesuai dengan kondisi siswa. Ramita masih ingat ketika di pelajaran Seni Musik, ketika kelas mereka jenuh dengan lagu wajib nasional yang itu-itu saja, Pak Hari mengajak mereka menyanyikan tembang nikmat dari John Mayer “You’re Gonna Live Forever in Me”. Ramita ingat, saat itu suasana kelas riuh sekali, terutama karena suara mereka para cewek yang menyanyi seperti lepas sekali, seperti singa baru lepas dari kandang.

Semua program-program yang positif mendapat penguatan dari sekolah, orangtua dan siswa.

Di SMA Kakot, ada penegakan disiplin yang adil, transparan dan jelas. Ini sejalan dengan adanya umpan balik terhadap perkembangan yang dicapai.

Monitoring

Sekolah melakukan monitoring dan evaluasi secara terprogram dan berdampak terhadap perbaikan sekolah. SMA Kakot juga melakukan monitoring kemajuan siswa secara berkala. Beberapa kali Ramita melihat Pak Hari harus lembur, sebab beliau harus mengetik rapi puluhan lembar Evaluasi Kemajuan SMA Kakot secara Berkelanjutan.

Hak dan kewajiban siswa dipahami dan dilaksanakan dengan baik di sekolah

Sekolah yang baik juga harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban siswa dipahami dan dilaksanakan dengan baik di sekolah. Sehingga percaya diri siswa muncul. Ini sangat kelihatan di SMA Kakot. Tak jarang, beberapa guru baru kewalahan menghadapi beberapa siswa yang kritis dan percaya diri selalu siap mengangkat tangan bertanya ketika guru tampak ragu dengan penjelasan yang mereka berikan. Selain itu, siswa diberi peran dan tanggung jawab, juga diberi kesempatan untuk mengontrol peran dan tanggung jawab mereka sendiri

Kemitraan antara sekolah dengan rumah tangga atau orangtua

Sekolah yang baik juga harus melibatkan orang tua. Pelibatan orangtua dalam program-program anak di SMA Kakot dan pelibatan orangtua dalam program-program anak di rumah biasanya terjadi dalam pertemuan triwulanan antara sekolah dan Komite Sekolah.

Munculnya kreativitas dalam organisasi sekolah untuk pengembangan pendidikan

Semua stakeholders di SMA Kakot (guru, kepala sekolah, siswa, pegawai sekolah dan orangtua) selalu mendapat pesan pengingat dan motivasi dari pimpinan sekolah untuk merasa terlibat dalam pengembangan diri demi kemajuan bersama.


Selesai.

Ramita menarik napas lega sebentar.

Tetapi, tiba-tiba saja, pada saat hendak memberi nama judul tulisan dan menekan tombol publish di blog-nya, ia tersadar kembali: Semua itu berubah drastis di bawah kepemimpinan Pak Jufri. Selain jiwanya yang korup, mengingat wajah Pak Jufri berarti mengingat kembali peristiwa pelecehan seksual yang ternyata membuatnya trauma. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata yang menjadi korban tak hanya Ramita. Ada juga belasan siswi lainnya yang mengalami nasib yang sama tetapi memilih diam dan bungkam. Ramita tahu itu kemudian setelah kenal dan akrab dengan kakak-kakak alumni yang jadi korban pelecehan Pak Jufri.

Ada satu kesamaan Ramita dan korban lainnya, yakni mereka memilih bungkam. Cukup beralasan sebab saat itu, selain segelintir guru yang berdedikasi seperti Pak Hari, ada lebih banyak guru yang memihak bahkan membela Pak Jufri dengan mau-maunya disuruh mengancam siswa yang menjadi korban itu. Sepertinya, Pak Jufri tahu kelemahan mereka: mereka mau melakukan apa saja, termasuk mengancam siswa-siswi asalkan mereka mendapatkan tambahan uang setiap bulannya.

Ramita sedih.

Ia membuka playlist Spotify-nya, lalu memutarkan lagu kesayangannya:

You’re Gonna Live Forever in Me by John Mayer

A great big bang and dinosaurs
Fiery raining meteors
It all ends unfortunately
But you’re gonna live forever in me
I guarantee, just wait and see
Parts of me were made by you
And planets keep their distance too
The moon’s got a grip on the sea
And you’re gonna live forever in me
I guarantee, it’s your destiny
Life is full of sweet mistakes
And love’s an honest one to make
Time leaves no fruit on the tree
But you’re gonna live forever in me
I guarantee, it’s just meant to be
And when the pastor asks the pews
For reasons he can’t marry you
I’ll keep my word and my seat
But you’re gonna live forever in me
I guarantee, just wait and see
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

 

Paraphrasing Stoicism

Do I need to embrace Stoicism?

As school of philosophy that thrived from approximately 300 BC to 200 AD (though similar philosophies and beliefs existed prior to and after that period), of course I had never gathered with others in the stoa, or porch.  Stoicism is still a weird creature to me.

As a matter of fact, I am just 36 years by now, 2022. Typing my laptop keyboard here, while sipping my Kapal Api coffee and lit my Magnum Hitam cigarette.

I am just stroked by the idea, the main goals of Stoicism: to attain freedom from passion and fear. It will be amazed when I can fully embrace the fact that “…the chief good is a rational life, and the chief evil is death. The wise man will wish to die when he is weary of life when he has lived his life and achieved his purposes; for there is no greater evil than death, nor any pain that can be compared with it.”

What do I (want to) believe?

First, I need to know the dichotomy between things I can control and those I can’t. I should focus on the things that are under my  control, and not worry about external forces.

So, virtue is the only good, everything else is “indifferent” (meaning it’s neither good nor bad), and no external thing or circumstance can ultimately affect my character. I just need to be indifferent to all non-essential elements in life, including pain.

The only evil is fear, this is the only thing that leads me to irrational behavior. I am supposed to be free from fear and not be bothered by things that are outside of my personal control, like whether or not I am going to die today, July 29th 2022 at 3.40 a.m.

I will study what I can control, and then focus on what happens in my life. Then I will take action towards the things I can control, and accept the rest.

I am not worried about life and death but trying to make my life have more meaning. I do everything for myself. I have no fear of death. I do not care what happens after I die. This way, I  believe that everything is in my control. That is why I decide to have many friends, and I do not care whether they will betray our friendship or keep the loyalty on hold.

I put my life into motion based on individual responsibilities. It’s up to me to determine what I can control and what I can’t and then to take action towards what is in my control. I recommend that individuals not believe in supernatural forces or divine beings. There is no true evil.

I will pursue wisdom, even though it’s subjective and oftentimes someone else prey on my ignorance.

I will pursue knowledge, though being self-sufficient and loving myself before others is at paramount importance.

Glorielis dan Profil Pelajar Pancasila

Baik pribadi Glorielis maupun profil Pelajar Pancasila sama-sama menjunjung tinggi sejumlah nilai kehidupan (values of life) yang dianggap penting untuk dimiliki seorang insan didik sehingga bisa menjalankan perannya sebagai subjek pendidikan dalam ” … ikut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara” (mengutip tujuan pendidikan dalam konstitusi negara kita).

Apa itu Profil Pelajar Pancasila?

Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Jadi ada enam nilai yang oleh oleh Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) disebut sebagai dimensi dalam Modul Ajar Kurikulum Merdeka (KM).

Profil Pelajar Pancasila adalah insan didik yang oleh Kemendikbud dimaksudkan untuk dihasilkan oleh seluruh satuan pendidikan sesuai dengan Visi Pendidikan Indonesia saat ini, yakni mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global“. Visi ini sendiri adalah langkah awal untuk berjalan sesuai Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (yang saat ini masih dalam bentuk draf dan masih banyak diperdebatkan), yakni membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.

(I sense too much of verbalism, right? Hebat sekali redaksi kalimatnya, tetapi jangan-jangan ini hanya verbalisme alias otak-atik kata-kata saja?)

Kurikulum Merdeka sendiri selama 3 tahun terakhir masif  disosialisasikan, dicoba untuk diimplementasikan oleh beberapa sekolah, sekaligus menuai banyak kritik termasuk resistensi dari berbagai pelaku pendidikan. Kritik ini secara umum mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan substansial antara KM dengan Kurikulum 2013 dan kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya penamaan lain dengan beberapa varian kecil perbedaan disana-sini. Diakui misalnya bahwa Profil Pelajar Pancasila yang dimaksudkan sebagai kekhasan KM dan menjadi pembeda signifikan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, dinilai banyak pihak justru tidak berbeda dengan Nilai Budi Pekerti yang terintegrasi dalam mata pelajaran di Kurikulum 2013, mirip dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Untuk memahami lebih lengkap tentang Profil Pelajar Pancasila, kamu bisa membaca banyak dokumen di situs kemdikbud.go.id

Apa itu Pribadi Glorielis?

Semua orang yang pernah dan sedang ambil bagian dalam proses pendidikan di seluruh sekolah di bawah naungan Yayasan Budi Mulia Lourdes diharapkan menjadi pribadi-pribadi Glorielis. Pribadi Glorielis adalah orang yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai  kebudimuliaan, yakni hikmat yang bersumber dari kisah dan keutamaan yang diwariskan oleh Bapa pendiri Kongregasi Bruder Budi Mulia yaitu Bruder Stephanus Modestus Glorieux. Nilai-nilai itu adalah: Kedisplinan, Kebersamaan, Toleransi, Rajin Belajar, Tanggung Jawab, Kerendahan Hati, Kesederhanaan, Cinta Kasih, Kreatif-Inisiatif-dan Inovatif, Kerja Keras, Keunggulan, Kemandirian, Religius, Hidup Bakti, Ketabahan dan Integritas.

Untuk memahami lebih lengkap tentang pribadi Glorielis, kamu bisa membaca silabus dan dokumen lain terkait Pendidikan Spiritualitas Budi Mulia.


Tulisan singkat ini tidak hendak mempertunjukkan pertarungan kumulatif nilai-nilai yang “sangat hebat” hingga bisa kedengaran bombastis ini pada pribadi Glorielis dan yang (ingin dicapai) oleh Profil Pelajar Pancasila. Karena jika hanya redaksi kuantitatif yang ingin kutunjukkan, mudah saja menuliskan skor layaknya pertandingan sepakbola:

[Pribadi Glorielis] 16 – 6 [Profil Pelajar Pancasila]

Alih-alih, Saya hendak berfokus pada bagaimana kita mengkomunikasikan nilai tersebut sehingga benar diamalkan oleh insan didik Budi Mulia secara khusus, dan oleh insan didik Indonesia secara umum. Kurang lebih, diskusi ini bisa kita mulai dengan pertanyaan pemantik, semisal: apa pentingnya nilai-nilai itu diajarkan?

Alasannya, jika kita perhatikan dengan cermat, keenam nilai Profil Pelajar Pancasila dan keenambelas nilai Pribadi Glorielis ini sebenarnya kurang lebih memaksudkan hal yang sama, yakni menjadikan manusia yang sedang menempuh pendidikan menjadi semakin manusia. Sesuai dengan visi pendidikan yang berlaku dimana-mana, yakni memanusiakan manusia.

Kita bisa juga menyitir argumen Seneca terhadap Lucillius ketika mereka terlibat perdebatan soal moralitas pada tahun 65 Masehi: sebenarnya, sekolah itu untuk apa sih? Seneca mengatakan “non scholae, sed vitae discimus” (we learn not  for school, but for life); sementara Lucillius mengatakan persis sebaliknya: “non vitae, sed scholae discimus” untuk mempertahankan argumen realistisnya soal pendikan yang seharusnya lebih praktikal dan bahwa literasi keilmuan sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan.

Kupikir, kita semua sepakat memihak Seneca ketimbang Lucillius dalam hal ini.

Tetapi, jika benar demikian, maka kita boleh mengekstrapolasi kesepakatan kita terhadap Seneca dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lebih membumi dan mengujinya pada konteks zaman ini, yakni konteks pendidikan formal di Indonesia sekarang. Pertanyaan itu misalnya:

  • Dengan seabrek mata pelajaran pada kurikulum, tugas kokurikuler, program intrakurikuler dan ekstrakurikuler, mulai dari TK, SD, SMP, SMA/K hingga Perguruan Tinggi, manusia seperti apa kita maksud ingin kita bentuk, yang kita sebut sebagai “manusia terdidik”?
  • Dalam konteks pendidikan sebagai industri, semakin jamak kita temui orang yang lulus Perguruan Tinggi bekerja tidak sesuai dengan jurusannya atau malah menganggur, tidak bekerja. Bukankah ini mengindikasikan ada ketidaksambungan antara apa yang kita anggap perlu diajarkan di kurikulum sekolah (supply) dan apa yang ternyata dibutuhkan masyarakat/pasar (demand)?
  • Entah sebagai alumnus Glorielis atau alumnus Pelajar Pancasila, benarkah keenambelas nilai atau keenam nilai yang kerap diglorifikasi tadi membantu insan didik untuk menjadi cerdas dan pada gilirannya memberi kontribusi pada masyarakat (society) menyitir Seneca? Atau malah sebenarnya kita tak memerlukan alokasi waktu secara khusus untuk mengajarkan dan membuat proyek untuk nilai-nilai itu, yang penting ajarkan saja kecakapan praktikal sesuai permintaan pasar menyitir Lucillius?
  • Masyarakat sekarang hidup di tengah paradoks kemajuan (ekstrimnya: sebagian orang sudah coba menjajal pola hidup Metaverse, Big Data, Artificial Intelligence; sementara bagi sebagian orang lagi, kebutuhan pokok seperti akses penerangan listrik saja belum ada). Absurditas menyertainya pula, sehingga idealisme pendidikan ternodai begitu saja sebab harus kompromi dengan realitas yang terjadi. Bukankah jamak kita dengar: Untuk sukses, tak penting jurusannya hebat atau orangnya cerdas, tetapi apakah punya “orang dalam”, koneksi dan warisan orangtua?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kupikir mengajak kita untuk masuk ke refleksi ulang apa sebenarnya tujuan pendidikan di Budi Mulia secara khusus dan tujuan pendidikan Indonesia secara umum.

Jika memang pendidikan kita mau kita dasarkan pada gagasan-gagasan filosofis Ki Hajar Dewantara yang lebih mengedepankan transformasi nilai (value), sudah benar langkah Budi Mulia yang merasa perlu merumuskan nilai-nilai kebudimuliaan atau Kemendikbud merasa perlu memuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka yang diusungnya. Intinya, persoalan akhlak, karakter, budi pekerti dan terma lain yang sejenis masih perlu diajarkan, dan sekolah harus mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup untuk itu, sama seperti alokasi untuk mata-pelajaran lainnya.

Masalah konkret muncul: bagaimana kita mengukur implementasi nilai-nilai itu?

Bagaimana mengukur pengaruh karakter profil pelajar Pancasila itu pada anak didik? Bagaimana kita tahu bahwa lulusan Budi Mulia yang dicap “berhasil” atau “sukses” itu memang karena dia mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan; sebaliknya yang “gagal” itu karena dia tidak mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan?

Atau kalau mau lebih filosofis lagi, kita bisa mundur ke belakang dengan pertanyaan lebih mendasar: apa ukuran sukses? Lulusan sekolah yang kita sebut sukses itu sebenarnya apa?

Jangan-jangan sebaiknya kita mengalah saja dan mengikuti tren pendidikan berorientasi pada kecerdasan dan kreatifitas yang sejauh ini sudah terbukti sesuai keinginan pasar. Kita terima saja determinasi filosofi pendidikan Barat yang kerap kita anggap lebih mengedepankan transformasi pengetahuan (knowledge) tetapi nyatanya tanggap dan tangguh terhadap permintaan dunia dewasa ini.


UJILAH NILAI

Kini kita sampai pada permenungan yang lebih mendalam lagi. Upaya penanaman nilai-nilai (values) ini sejak Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Orde Baru dengan P4-nya, Kurikulum 2013 dengan Penanaman Budi Pekerti-nya, Yayasan Budi Mulia dengan Nilai Kebudimuliaan-nya, hingga Kurikulum Merdeka dengan proyek Pelajar Pancasila-nya semua mendaku sebagai sistem yang kelak akan menghasilkan manusia cerdas dan terdidik.

Tetapi, benarkah generasi terdidik hasil lulusan dari program penanaman nilai dengan nama yang hebat itu menjadikan Indonesia semakin berkemajuan?

Jangan-jangan kita terlalu lama berkutat dengan verbalisme nilai, sampai lupa bahwa masyarakat kita saat ini (hic et nunc) membutuhkan orang-orang cerdas dari sekolah untuk memberi kontribusi pengetahuan mereka.

Apa sebaiknya kita tinggalkan saja Seneca, kita ikuti nasehat Lucillius saja?

Jika ternyata kebutuhan akan pasokan ikan lele jelas di depan mata, ajarkan saja anak bisa baca tulis seadanya lalu didik untuk memelihara ikan lele sedari kecil, tak usah pusingkan anak dengan mengharuskannya menghafal rumus Fisika, Kimia, Matematika atau ikut bimbel supaya lulus UTBK? Sebab jika pun lulus dan tamat dari perguruan tinggi pilihannya toh dia akan kembali menganggur. Dia akan menghabiskan waktunya menonton video Youtube dengan kata kunci “bagaimana cara memelihara ikan lele”? 

Loh? Tapi kan anak harus kita ajarkan untuk beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Anak harus kita ajarkan untuk displin, berbakti, belajar keras, toleran, mandiri, religius, memiliki cinta kasih, tabah, kreatif, inovatif dan berintegritas?

Memangnya, menurutmu, seorang pengusaha lele tidak bisa memiliki semua nilai itu tanpa harus belajar di sekolah?