Ateis, Agnostik dan Teis Dikaruniai Akal
Kalau kamu punya waktu untuk browsinng di internet, cobalah iseng mengetik keywords:
Dawkins’ Scale,
Nietszche,
religious people less intelligent,
Mudah-mudahan kamu akan memperoleh sekilas gambaran betapa wacana religiositas mempengaruhi keterbukaan kaum beragama terhadap ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah yang terbaru secara jujur.
Harapan dari tulisan singkat Saya ini semoga bisa bermuara pada penyadaran sederhana.
Apa itu?
Yakni kesadaran bahwa sebagai satu spesies homo sapiens sesuai evolusi Charles Darwins (either you accept Darwinism or not) dan taksonomi Carolus Linnaeus, situasi dianugerahkannnya akal budi kepada semua manusia itu berlaku umum, entah kamu termasuk kaum (yang menyebut diri) beragama, agnostik (para peragu kritis akan benar-tidaknya eksistensi Tuhan) dan ateis (teman-teman yang tidak meyakini adanya Tuhan berangkat dari lack of evidence) sesuai nomenklatur Dawkins’ Scale.
Sebagai golongan teis paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah Republik Indonesia, layak rasanya jika teman-teman Muslim dan Kristen merenungkan dan mengevaluasi kembali sejauhmana pencerapan kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi.
Tidak perlu rumit-rumit, pakai saja empat indikator utama literasi dalam mengukurnya, yakni reading, writing, listening and speaking. Jadi, alih-alih berbalik menyerang (seringkali tanpa sadar kita bumbui dengan berbagai logical fallacies yang sulit kita hilangkan) rekan ateis yang kerap melakukan bully seakan-akan fakta keberagamaan kita berbanding lurus dengan tingkat ignoransi, jadilah well-prepared “membela” rasionalitas dari iman yang dimiliki dengan memperkaya diri dengan segala pengetahuan dan sikap terbuka yang perlu untuk itu.
Teman Muslim, Warnailah Dunia dengan Menulis
Kemarin, pada hari ke-17 Ramadhan, pada malam Nuzulul Qur’an seorang teman online Saya di aplikasi Line mengirim pesan terusan dari M. Anwar Djaelani, penulis buku “Warnai Dunia dengan Menulis” kepada Saya. Berikut isi pesannya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam (tulis-baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS [96]: 1-5).
Modal Sukses
Di negeri ini, di tiap 17 Ramadhan, umat Islam banyak yang mengadakan Peringatan Nuzulul Qur’an. Di acara ini, hampir pasti lima ayat Al-Qur’an yang kali pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw dan yang terjemahnya menjadi paragraf pembuka tulisan ini akan dibacakan. Akibatnya, nyaris tak ada umat Islam yang tak tahu perintah ini: Iqra’ (Bacalah).
Acara itu secara umum diniati untuk menjadi media agar kita lebih mencintai Al-Qur’an (dalam makna, lebih bersemangat untuk mengamalkan semua ajaran di dalamnya). Dalam kaitan ini, mestinya kita harus lebih mencermati perintah membaca dan menulis. Jika itu yang kita kerjakan, sungguh kita akan punya gambaran bahwa di depan Islam, aktivitas membaca dan menulis mendapat nilai yang sangat tinggi dan akan menjadi katalisator tegaknya sebuah peradaban mulia.
Di ayat pertama sangat jelas meminta kita untuk membaca. Apa yang harus dibaca? Semua ayat Allah, baik yang tertulis ataupun yang tak tertulis. Ayat yang tertulis adalah Al-Qur’an. Ayat tak tertulis adalah alam semesta dan seisinya yang merupakan ciptaan Allah.
Di antara ayat-ayat itu, sangat banyak yang harus dijelaskan lebih lanjut. Misal, kita diminta ‘menerangkan’ bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung-gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan?” (baca QS [88]: 17).
Jika demikian, apakah Al-Qur’an tak sempurna seperti yang digambarkan antara lain di QS [2]: 2? Sama sekali tidak! Lewat ayat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam itu Allah justru memberi sarana kepada manusia agar memanfaatkan akal yang dipunyainya. “Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS [55]: 33).
Kekuatan apa? Kekuatan akal! Maka, di Al-Qur’an banyak ayat yang berupa rangsangan Allah agar kita terus memikirkan ciptaan-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS [3]:190).
Di titik ini, agar pembacaan kita atas ayat-ayat Allah lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh kaum yang lebih luas, maka perlulah kesemuanya ditulis. Di sinilah makna penting ayat ke-4 dari QS Al ‘Alaq, bahwa Allah yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (tulis-baca).
Aktivitas membaca dan menulis itu saling terkait.
Pertama, kita diminta untuk membaca.
Terkait ini, tentu diperlukan bahan bacaan. Bagi Muslim, bacaan utama adalah Al-Qur’an (bahkan, Al-Qur’an menurut bahasa maknanya adalah bacaan atau yang dibaca). Setelah itu, Al-Qur’an (plus ayat Allah yang tak tertulis) perlu dijelaskan oleh “kaum yang berakal”. Di titik ini, kita memerlukan penulis dari kalangan ulama dan cendekiawan Muslim, yang bisa menyediakan bahan bacaan yang baik.
Kedua, untuk membuat tulisan yang baik, penulis butuh ilmu atau wawasan. Untuk itu, penulis harus banyak membaca. Bukankah –kita tahu- bahwa tulisan yang baik itu hanya akan lahir dari pembaca yang tekun?
Tampak, bahwa aktivitas membaca dan menulis seperti dua sisi mata uang yang satu dan lainnya tak boleh tiada.
Keduanya harus ada, karena saling bergantung.
Terkait hasil beraktivitas membaca dan menulis, tercatat bahwa sejarah umat Islam di tujuh abad pertamanya adalah rangkaian kisah gemilang sebuah peradaban. Kala itu, ilmu –yang diperoleh lewat membaca dan menulis- berkembang pesat. Ilmu menopang penemuan berbagai teknologi yang membuat hidup manusia lebih nyaman. Tak hanya itu –dan bahkan ini yang paling penting- ilmu ketika itu bisa membuat manusia lebih mengenal siapa Tuhannya.
Bangun, Bangkit!
Sekarang, kita tengok sebuah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pertama, di antara cita-cita dari pendiri negeri ini adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Usaha itu, tak dapat tidak, harus dilakukan lewat peningkatan aktivitas membaca dan menulis. Masalahnya, sudah seperti itukah kita?
Lihatlah, di segi minat baca! Ternyata, menurut UNESCO, pada 2012 indeks minat membaca masyarakat Indonesia 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang hanya seorang yang punya minat baca (www.linggapos.com 28/09/2013).
Lalu, bagaimana dengan minat menulis? Kita pakai logika saja. Aktifitas membaca diperlukan untuk menjadi modal menulis. Maka, bisa dipastikan, bahwa minat menulis kita akan lebih rendah jika dibandingkan dengan minat membaca. Asumsinya, bagaimana mungkin seseorang akan suka menulis jika dia tidak senang membaca?
Kini, tak usah meratap, tapi – sebaliknya – mari bangkit!
Pertama, kepada para Ulama, jadilah seperti Nabi SAW yang sangat menomorsatukan akivitas membaca dan menulis. Apa yang terjadi pasca-Perang Badar cukup memberi pelajaran kepada kita. Kala itu, atas tawanan perang dari pihak musuh yang ingin bebas, Nabi Saw hanya memberikan syarat ‘sederhana’ yaitu si tawanan memberikan pelajaran baca-tulis terlebih dulu kepada umat Islam. Lihat, Nabi Saw tak meminta tebusan harta tapi sebuah ‘modal sukses’ yaitu kecakapan membaca dan menulis. Dalam konteks ini, duhai ulama, gairahkan umat Islam untuk gemar membaca dan menulis.
Kedua, kepada pemerintah. Amanah yang kamu pikul cukup berat. Sudahkah kamu menyediakan strategi yang bagus sedemikian rupa membaca dan menulis (sebagai bagian paling pokok dari usaha “Mencerdaskan kehidupan bangsa”) dapat menjadi keseharian dari semua murid / mahasiswa dan warga pada umumnya?
Mari bangkit, songsong peradaban mulia dengan menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai keseharian kita. Hanya dengan cara demikian, peringatan Nuzulul Qu’an yang kita selenggarakan tiap tahun tak sia-sia.
Teman Kristen, Ambil dan Bacalah!
Entah kamu Katolik atau pengikut salah satu dari ribuan denominasi Protestantisme, sebagai orang yang gemar membaca dan mengikuti perkembangan sejarah literatur Gereja, nama Aurelius Agustinus dari Hippo tentu bukan nama yang asing lagi.
Khusus untuk Gereja Katolik, penulis dari zaman Gereja sebelum abad Pertengahan ini, Santo Agustinus dari Hippo (Afrika Utara) ini dinobatkan sebagai salah satu dari beberapa Pujangga Gereja dengan buah-buah pemikiran yang masih relevan dan karenanya menjadi referensi dari berbagai dokumen doktrinal Gereja hingga hari ini.
Salah satu anjuran Santo Agustinus yang banyak dijadikan inspirational quote adalah “tolle et lege” (Lat., artinya: ambillah dan bacalah). Seorang teman blogger menyuguhkan review singkatnya sebagai parafrase yang cukup apik terhadap anjuran tersebut. Berikut isi review-nya.
(Tanya teman atau gunakan Google Translate, Tradukka atau tools penterjemah lain jika kamu kesulitan memahami teks berbahasa Inggris)
“But when a deep consideration had from the secret bottom of my soul drawn together and heaped up all my misery in the sight of my heart; there arose a mighty storm, bringing a mighty shower of tears. Which that I might pour forth wholly, in its natural expressions, I rose from Alypius: solitude was suggested to me as fitter for the business of weeping; so I retired so far that even his presence could not be a burden to me. Thus was it then with me, and he perceived something of it; for something I suppose I had spoken, wherein the tones of my voice appeared choked with weeping, and so had risen up.
He then remained where we were sitting, most extremely astonished. I cast myself down I know not how, under a certain fig-tree, giving full vent to my tears; and the floods of mine eyes gushed out an acceptable sacrifice to Thee. And, not indeed in these words, yet to this purpose, spake I much unto Thee: and Thou, O Lord, how long? how long, Lord, wilt Thou be angry, for ever? Remember not our former iniquities, for I felt that I was held by them. I sent up these sorrowful words: How long, how long, “tomorrow, and tomorrow?” Why not now? why not is there this hour an end to my uncleanness?
So was I speaking and weeping in the most bitter contrition of my heart, when, lo! I heard from a neighbouring house a voice, as of boy or girl, I know not, chanting, and oft repeating. ‘Take up and read; Take up and read.’ [’Tolle, lege! Tolle, lege!’] Instantly, my countenance altered, I began to think most intently whether children were wont in any kind of play to sing such words: nor could I remember ever to have heard the like. So checking the torrent of my tears, I arose; interpreting it to be no other than a command from God to open the book, and read the first chapter I should find.
Eagerly then I returned to the place where Alypius was sitting; for there had I laid the volume of the Apostle when I arose thence. I seized, opened, and in silence read that section on which my eyes first fell: ‘Not in rioting and drunkenness, not in chambering and wantonness, not in strife and envying; but put ye on the Lord Jesus Christ, and make not provision for the flesh, in concupiscence.’ [Romans 13:14-15] No further would I read; nor needed I: for instantly at the end of this sentence, by a light as it were of serenity infused into my heart, all the darkness of doubt vanished away.”
Jika ingin membaca secara penuh karya Agustinus yang memuat quote tadi, silahkan mencari di perpustakaan yang ada, entah offline atau online. Berikut ini detail dari referensi yang Saya maksud:
Aurelius Augustine, The Confessions of St. Augustine, translated by Edward Pusey. Vol. VII, Part 1. The Harvard Classics. New York: P.F. Collier & Son, 1909–14.
Fides et Ratio (Iman dan Akal Budi)
Mencari titik temu (interseksi) antara iman (yang doktrin dan penjelasannya pertama-tama tidak harus melalui standar metode ilmiah) dan ratio (akal budi) adalah tugas bagi setiap akademisi, pemuka jemaat (pastor, pendeta, bijbelvrouw, katekis, penceramah, kyai, ustadz dan ustazah) termasuk seluruh umat beragama. Sekali lagi, secara khusus, seruan ini dialamatkan kepada teman-teman Muslim dan Kristen, golongan teis Indonesia paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah.
Kamu bisa mulai dengan memperbanyak frekuensi membaca dua jenis buku sekaligus.
Satu, Kitab Sucimu dan ribuan tafsir-tafsirnya.
Dua, buku ilmiah yang berbicara tentang topik terkait di perikop atau ayat yang sedang kamu perdalam.
Mudah-mudahan, dengan konsisten melakukan rutinitas membaca dengan cara itu, perlahan kamu bisa berdamai dengan realitas keberagaman sumber literasi terhadap topik atau bahasan yang ingin kamu perdalam.
Contoh sederhana, jika selama ini kamu hanya tahu tradisi pengetahuan tentang sosok Tuhan monoteistik yang kau puja, kamu akan segera menemukan bahwa nama dari Tuhan yang kamu puja hanyalah salah satu dari ribuan (nama) Tuhan yang dipuja umat manusia sepanjang sejarah manusia. Ternyata, ada banyak sekali (nama) Tuhan dan tradisi yang menyertainya. Tradisi yang kamu lakukan hingga hari ini hanyalah salah satu diantaranya.
Atau, jika kamu merasa bahwa terlalu konyol jika masih mempercayai bahwa setiap manusia tercipta secara literer dari tanah, padahal kamu tahu bahwa kamu sendiri adalah hasil dari senggama antara Ayahmu dan Ibumu, tidak ada salahnya kamu membaca teks Kitab Suci yang kau miliki. Lalu mulailah membandingkannya dengan literatur ilmiah terkait. Ada banyak sekali sumber yang bisa dibaca.
Membaca secara konsisten dan berdamai dengan situasi (bahwa menemukan interseksi yang dimaksud ternyata tidak mudah) ilmu keagamaan dan kemajuan sains teraktual yang tidak serta-merta sejalan, memang bukan hal yang mudah dan nyaman. Tapi, seperti kita pada awalnya susah payah memadukan huruf-demi huruf dan akhirnya kita bisa mengeja nama kita sendiri dengan benar, toh akhirnya kita berhasil melewati situasi itu. Tidak ada salahnya, kita kembali “belajar membaca”.
Saya sendiri masih berusaha membaca dengan metode membaca semacam itu. Kegelisahan intelektual ini sedikit bisa saya redam setelah membaca ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II yang langsung mengusung judul “Iman dan Akal Budi”. Jika tertarik, kamu bisa juga mencoba hal serupa.
Untuk mengetahui isi lengkap dari Ensiklik Fides et Ratio yang ditulis oleh (Alm.) Paus Paulus Yohannes II yang kini sudah dibeatifikasi menjadi Santo Yohannes Paulus II, silahkan klik disini:
Ensiklik Fides et Ratio by Vatican.Va
Kamu bisa memulainya sekarang. Selain kamu punya Alkitab, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang membahas tema terkait. Selain kamu punya Alquran, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang berbicara tentang topik sejenis. Tidak harus mulai dengan tulisan yang sulit seperti Confessiones-nya Agustinus, atau puisi-puisi sofistik Jalaluddin Rumi, atau Kitab Kuning-nya Islam Nusantara. Kamu bisa mulai dengan memanfaatkan akses internet yang kamu miliki.
Kamu bisa mulai dengan membaca lebih banyak informasi dari sumber terpercaya. Jika kamu selama ini lebih banyak menikmati sumber bacaan yang sifatnya satu arah (dari tokoh atau media tertentu yang begitu mempengaruhi kamu sampai tidak ngeh bahwa mereka juga adalah manusia yang tidak mustahil menyertakan unsur subjektifitas dalam penyampaian informasi atau ilmu, sekalipun mereka menyebut atau meminjam otoritas dari agama tertentu atau Tuhan sekalipun), saatnya kamu memperbanyak frekuensi untuk membuka diri pada diskusi dengan anggota yang beragam latar belakang keagamaan.
Jika kamu cukup konsisten dengan sikap ilmiah dan rasional yang sejatinya sudah kamu miliki, berdiskusi dengan anggota dari masing-masing Dawkins’ scale yang berbeda, kelak bukan lagi masalah buatmu. Kamu tidak perlu lagi bertegang urat leher dengan rekan diskusi yang kelihatan seolah menyerang doktrin atau akidah yang selama ini kau pegang teguh mati-matian. Malahan, kamu akan belajar lebih banyak.
Konon, Tuhan menitipkan ilmu dan pengetahuan dimana-mana, termasuk pengetahuan dan pengenalan tentang Diri-Nya sendiri. Wallahualam.
So, whenever you can afford any book, “tolle et lege”, ambil dan bacalah.