“Pak, Saya sudah buat lirik dan notasi untuk tugas cipta lagu sederhana yang Bapak tugasin. Tapi nggak tau gimana caranya menentukan akornya. Bisa dijelasin lagi nggak, Pak?”
Begitu isi chat seorang Siswa di fasilitas Google Classroom. Selama pandemi COVID-19 ini kegiatan belajar-mengajar di sekolah memang berlangsung secara daring. Termasuk untuk tanya jawab dan diskusi.
Aku lihat Siswa ini cukup memperhatikan setiap materi yang kuberikan. Ada niat. Seperti sebagian besar murid-murid yang kubimbing.
Tentu selalu ada pengecualian. Tetapi itupun, tak melulu harus menyalahkan mereka. Belajar seni, secara umum, adalah hal yang menarik buat Siswa. Jadi, kalau ada Siswa yang ogah-ogahan mengikuti materi yang kuberikan atau tidak menunjukkan respons apapun, penyebabnya biasanya kompleks: faktor lingkungan, jadwal yang padat, sumber daya yang tersedia, termasuk cara pengajar menyampaikan materinya. Yang terakhir ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagiku.
Maka, respons seperti yang ditunjukkan siswa lewat chat tadi kubaca sebagai bukti antusiasme. Tentu saja: anak yang antusias layak mendapat perhatian.
Tuntutan kurikulum untuk tema Berkreasi Musik Kontemporer sendiri ada 3 yakni:
- Siswa mampu mendeskripsikan konsep dan teknik berkreasi musik kontemporer
- Siswa mampu memahami dan mengidentifikasi sejarah musik yang berkembang di dunia
- Siswa mampu memahami perkembangan musik kontemporer di Indonesia
Ketiga indikator ini bagus, tapi melulu melibatkan hafalan. Karena itu, kupikir: sebaik-baiknya pemahaman adalah jika dituangkan dalam praktek.
Maka dengan pengantar yang tentu tidak se-‘jelimet’ di bangku kuliah seni, kuberanikan untuk mengajak mereka menuangkan kreasi dan imajinasi seni dengan mencipta lagu sederhana.
Mulai dari memahami motif, menentukan narasi dan memahami progresi akor sederhana.
Nah, pada bagian progresi akor inilah kupikir perlu untuk dijelaskan ulang.
Apa itu Lagu?
Ringkasnya, lagu adalah puisi yang dinyanyikan.
Secara analogi, lagu adalah sebuah cerita lengkap dengan paragraf, kalimat dan tanda-tanda baca yang mendukung sehingga pembaca bisa memahami dengan mudah.
Sebuah lagu, dengan demikian, adalah sebuah komposisi dengan motif, perioda, frase, dan kadens yang mendukung sehingga pendengar bisa menikmati lagu dengan mudah.
Kembali ke akor.
Agar bisa menjadi sebuah akor yang tonal (karena ada juga yang atonal), nada-nada yang dimainkan dalam harmoni harus dalam interval yang pas.
Interval sendiri adalah jarak antara nada yang satu dengan nada yang lainnya. Jarak ini diukur dengan satuan tones dan semitones.
Apa itu tone dan semitone?
Anggaplah kita berpatokan kepada nada C tengah di piano.
Jika kita menekan nada C dan tuts hitam yang berada di sebelah nada C (nada C#), maka jarak itu dihitung sebagai satu semitones.
Sedangkan kalo kita menekan nada C dan nada D (tuts putih disebelah nada C), maka jarak itu dihitung sebagai satu tones atau dua semitones.
Progresi akor sendiri tidak bisa lepas kaitannya dengan interval tangga nada dan akor itu sendiri.
Definisi sederhana dari sebuah akor adalah gabungan dari beberapa nada yang dimainkan secara bersamaan, sehingga menghasilkan harmoni.
Setiap interval jika dimainkan secara bersamaan akan menghasilkan dua nuansa yang berbeda, yaitu konsonan dan dissonan.
Misalnya jika ingin menghasilkan akor mayor dari C maka harus memainkan nada C (root), E (major third), dan G (Prefect Fifth).
Jika kita merangkai akor berdasarkan rumusan di atas, maka jika kita menyusun akor dari tangga nada C maka tingkatan akor yang didapat adalah:
1. Akor C mayor (C-E-G atau 1-3-5), merupakan tingkatan akor tonika (I).
2. Akor D minor (D-F-A atau 2-4-6), merupakan tingkatan akor super tonika (ii).
3. Akor E minor (E-G-B atau 3-5-7), merupakan tingkatan akor median (iii).
4. Akor F mayor (F-A-C atau 4-6-‘1), merupakan tingkatan akor subdominan (IV).
5. Akor G mayor (G-B-D atau 5-7-‘2), merupakan tingkatan akor dominan(V).
6. Akor A minor (A-C-E atau 6-‘1-‘3), merupakan tingkatan akor submedian (vi).
7. Akor B diminis (B-D-F atau 7-‘2-‘4), merupakan tingkatan akor leading tone/subtonika(vii).
Jika diperhatikan, jarak antara nada tersebut memiliki kesamaan yaitu berselang satu nada diantaranya (Simetris).
Selanjutnya ialah menjelaskan jenis akor berdasarkan ‘kualitasnya’, yang dibagi dalam 4 jenis utama, yaitu mayor, minor, diminis, dan augmented.
Akor mayor memiliki jarak interval tones masing-masing 2- 1 1/2. Akor ini memiliki nuansa umumnya ceria dan dominan.
Akor minor memiliki jarak interval tones masing-masing 1 1/2 – 2. Akor ini memiliki nuansa sedih dan meredup.
Akor diminis memiliki jarak interval tones masing-masing 1 1/2-1 1/2. Akor ini memiliki nuansa miris dan serasa seperti ada nada yang kurang.
Akor augmented memiliki jarak interval tones masing-masing 2-2. Akor ini memiliki nuansa janggal dan serasa ada nada yang berlebih.
Selanjutnya, kadens.
Penggunaan di dalam setiap akor itu sendiri tidak bisa asal-asalan.
Anggaplah progresi akor itu adalah sebuah ‘kalimat’, maka setiap awal ‘kalimat’ harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Maka di dalam progresi akor, harus diawali dengan akor I dan diakhiri dengan akor I juga.
Di dalam setiap kalimat juga tanda pungtuasi lainya yaitu koma, yaitu sebagai pemisah bagian didalam kalimat.
Di dalam progresi akor juga ada semacam tanda ‘koma’, yaitu akor IV dan V.
Akor I, IV, dan V merupakan akor standar yang pasti bisa ‘nyambung’ sama semua lagu.
Dalam sebuah progresi akor terdapat semacam ‘hukum’ bernama kadensa.
Kadens berarti alur akor yang sudah pasti di dalam sebuah akhir kalimat dalam lagu, dan bersifat resolutif.
Macam-macam dari kadens yang umum terjadi di dalam progresi akor dalam karya musik termasuk lagu pop antara lain:
1. Kadens otentik
Sebuah progresi akor dimana nuansa “selesai” nya sangat terasa, progresi akor nya berupa V-I
2. Kadens separuh
Progresi akor yang nuansanya seperti masih menggantung atau belum “selesai” sepenuhnya, berupa I-V atau ii-V atau dari akor mana saja yang berakhir di akor V.
3.Kadens Plagal
Progresi akor yang nuansa nya bisa “selesai” tetapi tidak terlalu tegas. Di dalam musik gereja progresi akor ini biasanya digunakan untuk mengiringi kata “amen” pada akhir sebuah pujian. Biasanya berupa akor IV-I atau IV-iv-I.
Sedangkan akor ii, vi, dan vii biasanya menjadi akor jembatan di dalam lagu, tergantung dari pergerakan nadanya. Nah, kini sampailah pada bagian tersulit. Untuk prakteknya bagaimana?
We are going to need tons of practises. Mesti berlatih banyak-banyak dan sering-sering.
Karena bagaimana pun seseorang bisa “peka” dengan progresi akor tidak hanya karena paham teori, tetapi juga bisa merasakan pergerakan nada di dalam sebuah lagu.
Jadi, meski secara teori nada, tangga nada dan akor bisa diuraikan secara matematis, tetapi untuk mempraktekkannya dengan benar tetap saja setiap seniman harus melakukan olah rasa secara konsisten.