Semakin lama, media sosial terasa semakin toxic.
Padahal, namanya media sosial kan mestinya adalah sarana untuk berinteraksi dengan orang lain sebagai sesama, sebagai teman (socius-i, Lat. berarti “teman”). Niat awal membuka akun digital social media mengenal semakin banyak orang, dan mendapat semakin banyak teman.
Tetapi kenyataan di lapangan berkata berbeda. Lihat saja. Terjadi polarisasi dan perseteruan dimana-mana. Ada terlalu banyak ghibah dan skandal.
Media sosial juga membuat kita lebih mudah minder. Iklan, propaganda dan hasutan dalam berbagai bentuk akhirnya berhasil membuat kita menyerah: kita akhirnya membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Dalam banyak hal.
Mulai dari yang menempel di tubuh (pakaian, perhiasan, kekayaan materi) sampai yang akan menempel di nisan nanti (nama besar, gelar, cerita kesuksesan).
Akhirnya susah berhenti mendengarkan omongan orang lain. Kemudian merasa kebanjiran sampai kelelep saking bayaknya informasi di media sosial. Kemudian menjadi cemas dengan diri sendiri. Jadinya melihat orang terus. Kemudian ingin belajar dari orang lain supaya bisa menjadi seperti mereka. Eh, tapi kok malah jadi semakin minder ya.
Padahal, kalau kita mau berhenti sejenak mengambil jarak dari keriuhan di media massa dengan tren silih berganti ini, sangat mungkin kita menemukan pola yang berulang. Atau setidaknya jadi tahu bahwa tren yang kita rasa ombak besar, ternyata hanya riak kecil, artinya tak perlu kita ikuti.
Dengan mengambil jarak sebentar, entah dengan cara puasa media sosial pada hari libur, atau dengan mengambil waktu 5 menit sebelum tidur untuk melakukan consideratio status, kita bisa melihat dengan jelas kekotoran dan toksisitas di dalamnya.
Ini beberapa temuan sederhana toxicity yang kumaksud …
- Standar hubungan (segala jenis relationship) atau pasangan (romantic couple)
- Informasi yang salah atau kurang lengkap
- Postingan yang sama sekali tidak mengindahkan netiquette sedikit pun dengan dalih #shitpost atau #menfess.
- Maksud mengedukasi tetapi isinya kurang lengkap, terlalu dangkal dan menimbulkan kesalahpahaman atau malah memang disengaja menyesatkan (ini jenis clickbait versi legend)
- Harusnya media sosial itu untuk memerdekakan hati, tapi yang didapat malah sebaliknya.
- Dulu ber-Wiki-ria satu jam saja rasanya indah sekali, sebab bisa mengakses banyak informasi. Sekarang, scrolling berjam-jam, bahkan berhari-hari di media sosial, tetapi rasanya kok tidak ada pengetahuan atau skill yang bertambah.
- Berusaha ingin mengatasi insecurity dengan berusaha keras keep in touch dengan teman-teman yang jauh lebih sukses diatas kita (sebab kita kadung menelan mentah-mentah motivasi ala postingan quotes Instagram “surround yourself with successful people“) , terus juga mau usaha biar bisa. Tetapi ekspektasi selalu ditampar oleh kenyataan.
Lalu mulai sadar. Ternyata tergantung algoritma juga ya. Akun atau topik apa yang kita ikuti. Platform mana yang aktif kita gunakan. Bagaimana sikap mental kita menyikapinya. Media sosial rupanya ibarat pisau dapur. Bisa digunakan untuk memotong sayur, cabe tetapi juga bisa digunakan untuk melukai bahkan membunuh orang lain.
Bagaimana caranya supaya kita terhindar dari gosip dan informasi lain yang tidak perlu?
Ternyata ada cara sederhana. Filsuf tua kita, Socrates, yang mengajarkannya.
Untuk menghindari ghibah dan gosip di media sosial dan berinteraksi tanpa toxicity, kita bisa melakukannya dengan menerapkan triple filter test.
Apa itu Triple Filter Test?
Sederhananya, sebelum ngomong atau menyebarkan informasi, periksa terlebih dahulu.
Goodness – Usefullness – Truth
Benarkah informasinya benarkah? Sesuaikah perkataan dan kenyataan? Faktual atau tidak?
Hal yang disampaikan, baik atau tidak?
Adakah manfaat yang kita dapat dari membahas atau melihat informasi ini?
Kalau jawaban dari salah satu, salah dua atau ketiganya adalah tidak, maka lebih baik hindari dan tidak perlu disebar ke orang lain. Jadi, itu kriterianya ya. BAIK – BERGUNA – BENAR.