Lagi dan lagi, saya mengalami ini. Kembali saya harus menerima keadaan, bahwa saya dipimpin oleh orang tolol. Orang tolol adalah orang yang bertindak tidak dengan kejernihan, tetapi dengan emosi dan pikiran pendek. Ia cenderung egois, dan tak segan-segan mengorbankan orang lain, selama kepentingannya terpenuhi.
Setelah berbincang dengan beberapa teman, hal ini tak hanya terjadi pada diri saya. Mereka pun pernah, dan bahkan sedang, mengalaminya. Apa yang terjadi? Mengapa, di Indonesia, orang tolol sering menjadi bos?
Mengapa?
Ada lima hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, budaya jilat pantat sudah menjadi budaya umum di Indonesia. Orang naik jabatan, bukan karena kemampuan, tetapi karena pandai menjilat atasan. Hasilnya, banyak orang memegang posisi pemimpin, walaupun tak memiliki kemampuan yang memadai.
Ini terkait dengan sebab kedua, yakni para atasan yang tidak jernih memahami keadaan. Kerap kali, mereka sebelumnya adalah pekerja yang penjilat pantat. Karena berulang, tindakan busuk ini telah menjadi budaya. Pada akhirnya, seluruh sistem akan ambruk, karena diisi dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan.
Ketiga, secara keseluruhan, inilah yang disebut sebagai budaya feodalisme. Beberapa orang merasa, bahwa mereka memiliki derajat lebih tinggi. Lalu, mereka menuntut, supaya orang lain menyembah dan melayani mereka. Inilah akar dari budaya menjilat pantat yang dengan mudah ditemukan di banyak organisasi maupun institusi politik di Indonesia.
Keempat, budaya feodal ini tidak turun dari langit. Ini adalah warisan budaya yang tak pernah sungguh ditanggapi secara kritis. Para penjajah, mulai dari Belanda, Inggris, Portugis sampai Jepang, memanfaatkannya untuk memecah belah, dan menindas seluruh nusantara. Ketika masyarakat dipimpin oleh para penjilat pantat dan orang gila hormat, masyarakat itu akan lemah, serta mudah dikuasai.
Kelima, budaya feodal terus bertahan, karena lemahnya sikap kritis di Indonesia. Ini tentunya terkait dengan mutu pendidikan yang tak banyak berkembang sejak jaman penjajahan Belanda. Budaya patuh buta dan menghafal terus dikembangkan, tak peduli siapa presiden atau menteri yang berkuasa. Tampaknya, bangsa kita sengaja diperbodoh dan dipermiskin, sehingga tetap hidup dalam permusuhan satu sama lain, dan siap ditipu oleh bangsa asing.
Kita harus sungguh sadar, bahwa budaya jilat pantat dan feodal ini akan menghancurkan bangsa kita. Kita akan hidup dalam kesenjangan ekonomi yang amat besar antara si kaya dan si miskin. Kita tetap akan saling bermusuhan satu sama lain, karena kerap diadu domba soal agama. Disinilah arti penting sikap kritis.
Perubahan Budaya
Memang, mengubah budaya dan kebiasaan, apalagi yang sudah mengendap di dalam masyarakat, amatlah sulit. Namun, itu sangat bisa terjadi. Banyak contoh yang bisa dideret, mulai dari perubahan budaya di organisasi, perusahaan sampai dengan perubahan budaya sebuah bangsa. Tiga hal kiranya penting menjadi perhatian.
Pertama, sikap kritis jelaslah harus menjadi ujung tombak pendidikan maupun pola asuh masyarakat. Sikap kritis bahkan sudah menjadi salah satu keterampilan utama masyarakat abad 21. Tradisi tentu perlu dihargai, namun harus terus ditanggapi secara kritis. Kebodohan tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik nama tradisi dan ajaran agama yang harus dipatuhi secara buta.
Sikap kritis mengajak manusia untuk tak gampang percaya. Ia mengajarkan orang untuk lolos dari tipu muslihat yang kerap kali berbungkus kesucian. Daya nalarnya berkembang. Keputusan-keputusannya pun semakin mendekati akal sehat dan kebijaksanaan.
Dua, ketidakadilan memang menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Namun, sikap diam dan tak peduli justru akan memperparah keadaan. Ketika ketidakadilan terjadi, orang harus bersuara lantang. Perubahan sosial hanya bisa terjadi dengan cara ini.
Tiga, seperti terus diingatkan oleh Noam Chomsky, pemikir asal Amerika Serikat, perubahan budaya hanya dapat terjadi melalui gerakan sosial yang konsisten dan teroganisir. Budaya jilat pantat dan feodalisme juga hanya dapat lenyap dengan gerakan sosial yang kuat. Perubahan yang cepat dan mendasar tentu sulit dicapai. Kerap kali, gerakan sosial adalah gerakan lintas generasi, sehingga tindakan sekarang baru bisa dinikmati buahnya di generasi mendatang.
Semoga saya tidak bermimpi di siang bolong. Indonesia memilih orang-orang yang punya integritas dan berkemampuan tinggi untuk memimpin. Setiap bidang kehidupan berkembang pesat, sehingga cita-cita keadilan dan kemakmuran untuk semua mulai terjangkau. Bukankah ini alasan kita semua mendirikan dan mempertahankan Indonesia? Jika tidak, lalu buat apa negara ini ada?
*(Repost dari tulisan Reza A.A Wattimena di Rumah Filsafat)
(Suhunan, seorang penulis yang cukup aktif menguraikan gambaran Rikba Tjiptaning di dinding Facebook. Untukku, tulisan ini menarik dan padat. Berikut repost-nya.)
Ning.
Nama lengkapnya, Ribka Tjiptaning Proletaryati. Nama yang tak jamak bagi masyarakat Indonesia umumnya. Ia berdarah Jawa, kedua orangtuanya bukan orang sembarang: berdarah biru (bangsawan) dari dua kesultanan Jawa, Solo dan Yogjakarta.
Ayahnya, Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro, masuk trah keluarga besar Kasunanan Keraton Pakubuwono (Solo). Ibunya, Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati, keturunan keluarga besar Kesultanan Yogjakarta.
Ning, demikian ia biasa dipanggil oleh orang-orang dekatnya, lahir 1 Juli 1959 di Solo (tetapi ada juga yang menulis Yogjakarta). Kisah hidupnya bak sebuah roman yang layak difilmkan. Kisah yang sarat penderitaan, perjuangan, ironi dan tragedi, keberhasilan, juga kontroversi.
Sebelum Peristiwa G 30 S/Gestok, 1965, meletus, ayahnya dihormati umumnya warga Solo. Seorang pengusaha sukses, usahanya pabrik paku dengan lima pabrik dan produksi pakunya laku di berbagai kota dan desa sekitar Jawa Tengah.
Peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia modern itu, sekejap saja memporakporandakan kehidupan RM Soeripto Tjondro Saputro dan istri anaknya. Tak lama kemudian, ia diciduk tentara dan dibawa ke Jakarta. Ia anggota Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masa itu termasuk partai politik besar beranggotakan 30 jutaan orang.
Ibunya Ribka (atau Ning) yang juga ningrat itu pun kemudian ditangkap militer, diinterogasi beberapa hari, sebelum dilepas. Saat itu ia tengah hamil anak kelima, Ning anak ketiga dari lima bersaudara, saat itu masih anak TK. (Usia enam tahun).
Ibunya kemudian membawa anak-anaknya ke Jakarta. (Dalam wawancara dengan satu media besar, dikatakan Ning, koper mereka dicuri di stasiun Gambir sesaat setelah turun dari keretaapi yang membawa mereka dari Solo).
Mereka menumpang tinggal sementara di rumah seorang kerabat yang sudi menolong, berumah di wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Tetapi, ibunya kemudian dijemput tentara. Ning dan satu adiknya tinggal di rumah paman itu, tak ikut ibunya. Kedua bocah cilik itu sering menangis karena kangen ibu dan ayah mereka.
Suatu hari, karena kangen ibunya, Ning dan adiknya nekat berjalan kaki dari wilayah Pondok Gede yang saat itu masih sepi ke terminal bus Cililitan; perjalanan yang cukup jauh dengan jalan kaki, apalagi bagi anak kecil, menelusuri Jalan Raya Bogor-Kramatjati-Cililitan. Modal mereka lima buah salak yang dimakan saat lapar. Syukurlah, ada seseorang yang mengenali mereka, lalu dibawa ke rumahnya.
Ning akhirnya bisa bertemu ibunya. Mereka kemudian tinggal di satu bedeng dekat kandang sapi di wilayah Cawang, Jakarta Timur. Mereka diberi tumpangan oleh seorang kenalan ayahnya yang kasihan melihat mereka. Dalam kondisi yang sangat sulit dan tetap diawasi tentara, ibu dan keempat saudaranya menjalani hari demi hari penuh derita. Uang tak ada, makanan tak bisa dibeli. Mereka sering kelaparan.
Suatu hari, Ning dan adiknya dibawa paksa tentara ke wilayah Kebayoran Lama untuk melihat ayah mereka. Ternyata, di sebuah rumah di Gang Buntu, ayahnya tengah disiksa. Tubuh ayahnya berlumur darah, digantung dengan kaki ke atas, kepala ke bawah. Ning dan adiknya sontak menangis.
Peristiwa tersebut sungguh tak mudah mereka lupakan, dan barangkali hanya bisa dihapuskan bila masa mereka di dunia ini telah selesai. Belasan tahun ditindih penderitaan, sungguh tak mudah. Kesulitan hidup seakan tak ada kata usai mendera mereka. Demi makanan dan supaya bisa bersekolah, apa saja dilakukan ibunya. Hidup mereka amat susah, tetapi Ning dan kakak adiknya tetap ingin sekolah. Pekerjaan apa saja dilakukan Ning, termasuk jadi kondektur bus jurusan Blok M-Cililitan. Suatu pekerjaan yang tak lazim bagi gadis remaja.
Ning dan saudara-saudara kandungnya tumbuh berkembang dengan tindihan derita. Rezim Orde Baru tiada ampun menghukum orang-orang PKI dan keturunan mereka.
Tentu saja bagi anak seperti Ning yang saat peristiwa berawal masih anak TK, sangat sulit memahami mengapa mereka harus mengalami semua itu. Ia tak paham kenapa ayahnya yang berstatus ningrat dan pengusaha sukses harus disiksa dan dipisahkan dari istri dan anak-anak yang amat membutuhkan.
Bisa dibayangkan betapa berat bagi ibunya menyediakan nafkah sekaligus melindungi anak-anaknya. Ia berdagang kue-kue dan kemudian bergiat di satu gereja.
Ning tumbuh di tengah situasi dan lingkungan yang amat keras, tak boleh lembek apalagi bermanja-manja. Hidup harus dilanjutkan kendati dihimpit segala jenis kesulitan.
Tamat SMP, 1974, ia masuk SMA 14, Cawang, Jakarta Timur, lulus 1977 (saya lulus dari SMA yang termasuk favorit ini, 1979). Kemudian dia “nekat” kuliah di FK UKI (Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia) yang juga berlokasi di Cawang. Biaya kuliahnya yang tak murah itu dia upayakan sendiri.
Ning termasuk lama menamatkan sekolah dokternya, 1992, sangat mungkin terhambat biaya kuliah. Setelah dapat izin praktik dokter, ia buka klinik sederhana di daerah Cileduk. Ning kemudian berteman dengan kalangan aktivis yang menentang Rezim Orde Baru.
Ia mulai tertarik politik meski pemerintah membatasi ruang gerak orang seperti dirinya: keturunan PKI, tidak bersih lingkungan. Walau tidak menonjol sebagai kader, dia pilih PDI (Partai Demokrasi Indonesia, cikal bakal PDIP). Dia tahu diri, posisinya yang tidak bersih lingkungan, tak memungkinnya aktif berpolitik.
Perjalanan waktu kemudian membuatnya kenal dan dekat ke Puan Maharani dan juga Taufik Kiemas-Megawati Soekarnoputri.
Meski dianggap “orang terlarang”, Mega dan Taufik tentu tahu latar belakang Ning, keturunan bangsawan Keraton Solo dan Yogja, ayahnya seorang terhormat pula, ningrat pengusaha yang dalam hitungan hari dihancurkan sebuah peristiwa yang disebut pemerintahan Soeharto, “Pemberontakan 30 September PKI.”
Peristiwa Reformasi 1998, menjadi momen yang amat penting bagi Ning, apalagi sejak Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI. Ia dekati tokoh NU yang moderat dan pembela HAM itu. Gus Dur pula yang mendukungnya menulis buku: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Buku yang dianggap berani dan kontroversial–meski Rezim Soeharto telah redup.
Ning tak salah membanggakan ayahnya, tentu. Baginya, lelaki ningrat yang dahulu amat dihormati orang Solo itu sosok yang tak tergantikan baginya; meski akhir hidupnya amat tragis dan Ning serta adiknya pernah dipaksa militer menyaksikan lelaki yang mereka rindukan itu digantung dan disiksa; dan dari hidung, kuping, mata, mengucur darah.
Pastilah ia menyimpan amarah, apalagi belasan tahun hidup sengsara, berpindah-pindah rumah dan sejak kecil melakukan apa pun yang bisa menghasilkan sedikit uang.
Ning yang kemudian jadi politisi PDIP dan (bisa) terpilih dua kali jadi anggota DPR, sering mengaku seorang Soekarnois. Tetapi statusnya sebagai keturunan anggota biro khusus PKI, kerap dijadikan lawan politik untuk mendiskreditken parpol berlambang moncong (banteng) putih itu.
(Dalam hal ini saya salut ke Taufik Kiemas dan Megawati, tak ragu memajukan Ning sebagai kader PDIP, meski berisiko dinilai negatif oleh yang antipati atau yang tak cukup paham histori politik pra dan pasca Orde Baru).
Karir Ning melejit di PDIP, pernah dipilih jadi Ketua Komisi IX di DPR, 2009-2014, membidangi tenaga kerja, transmigrasi dan kesehatan. Tetapi, di masanya ketua komisilah pernah terjadi kegemparan karena kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009. Ning dituduh aktor yang menghilangkan pasal mengenai tembakau dan zat adiktif. Meski namanya sempat tercoreng, ternyata dalam Pileg 2014, kembali ia berhasil mengumpulkan suara dari Dapil Jabar IV. Hasil itulah yang membuatnya kembali menduduki kursi DPR.
Sempat diisukan, dia akan menjabat Menteri Kesehatan saat Jokowi memenangkan Pilpres 2014. Konon, ketakjadiannya diangkat Menkes karena IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak dan juga dari petisi online. Ia termasuk anggota DPR yang vokal, pernah menyuarakan ketidaksetujuan kenaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan yang diputuskan pemerintah. Dia minta kenaikkan iuran tersebut dibatalkan karena membebani rakyat, apalagi saat pandemi Covid-19.
Saya tak kenal Ribka Tjiptaning atau Ning. Kebetulan saja saya juniornya di SMA 14 Jakarta dan kemudian sama kampus walau berbeda fakultas. Saya mulai tertarik mengikuti sepak-terjangnya sejak dia luncurkan buku yang kontroversial: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Gila juga ini orang, pikir saya saat itu. Buku keduanya saya baca pula (lupa judul dan masih saya cari di perpustakaan pribadi).
Pemikirannya, menurut saya biasa saja. Tak distingtif dari rata-rata politisi dan anggota DPR di negara ini. Hanya kuat menguasai isu-isu permukaan, walau itu sudah cukup jadi modal beretorika bagi politisi seperti dirinya. Personalitasnya pun–yang hanya melihatnya dari jauh– kurang menarik (Ini pandangan agak subjektif).
Yang saya kagumi dari dia, ketabahan dan kepercayaan dirinya. Gila, menurut bahasa anakmuda. Penderitaan, tekanan, rintangan, yang dia hadapi sejak usia enam tahun sebagai orang yang distigma menakutkan (yakni anaknya PKI) sungguh tak mudah saya bayangkan. Perjuangannya agar survive dan kemudian jadi dokter cum politisi, terus terang, suatu keajaiban bagi saya.
Ia sangat tangguh dan kukuh bak batu karang.
Memang ia pernah bermasalah dalam kasus hilangnya pasal tembakau di RUU Kesehatan, dan teranyar kontroversi penolakannya divaksinasi untuk menghadang Covid-19 dalam rapat DPR dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin. Ia berani menolak kebijakan presiden yang didukung partainya, membuat dirinya dikecam habis-habisan oleh warganet hingga kemudian ditegor Sekjen PDIP–walau akhirnya minta maaf.
Statusnya sebagai anaknya eks anggota biro khusus PKI pun kembali marak dihujamkan oleh para pengecam ke dirinya. (Alangkah tak adil sebenarnya, para orangtua yang terlibat di suatu parpol yang kemudian dilarang rezim yang berkuasa, keturunan mereka jadi kena stigma dan cibir, perlakuan diskriminatif dari negara).
Saya tak berniat membela Ribka Tjiptaning atau Ning melalui tulisan ini, pun tak bermaksud mendiskreditkannya, yang sama sekali tak saya kenal. Ia bukan pula figur atau seseorang yang karena pemikiran dan perbuatannya membuat saya jadi kagum, misalnya.
Tetapi, dari pikiran jujur, saya mengakui ketangguhannya. Ia bahkan sangat tangguh dan amat percaya diri. Suatu hal yang pasti sangat sulit saya lakukan atau miliki andai berposisi seperti dirinya.
Kisah hidupnya, seperti roman berisi tragedi manusia akibat pertarungan kuasa dan politik yang bukan fiksi. Itu sungguh seksi difilmkan oleh sineas, menurut saya.
Kamu baru lulus kuliah, lalu mulai mencari-cari kerja. Ternyata susah. Apalagi sekarang, imbas pandemi COVID-19 membuat perusahaan memperketat anggaran untuk menggaji karyawan baru. Lalu kamu mulai menimang-nimang apa sebenarnya yang terjadi. Selain karena jurusan yang kamu ambil diambil banyak orang juga, artinya kamu punya kompetitor yang banyak. Padahal lowongan yang tersedia jauh lebih sedikit untuk menampung kalian semua. Atau, jurusanmu kurang diminati, kamu berfikir “enak nih, pesaing sedikit”, tapi ternyata tidak diterima juga, karena kamu tidak benar-benar ahli di bidang yang kamu pelajari itu.
Sesekali kamu tergoda untuk menyalahkan kampus atau sistem pendidikan yang kamu kritik “seperti memaksa ikan memanjat pohon”. Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa, salahkan dirimu juga. Sebab kampus manapun tidak melarangmu mempelajari materi dan skill selain kurikulum yang mereka sediakan di ruangan kelas.
Atau kamu sudah bekerja. Cukup lama, tapi tidak mendapat promosi juga. Tentu tidak ada kenaikan gaji pula. Sebab keduanya berjalan seiring. Mengapa susah sekali ya? Padahal kamu merasa sudah sangat loyal kepada perusahaan. Bahkan tak pernah menulis status di medsos perihal overtime yang tak pernah dibayar. Karena kamu memang tidak menuntutnya. Kamu maklum. Apalagi sekarang, imbas pandemi COVID-19 membuat perusahaan memperketat anggaran untuk menambah gaji karyawan dan mempromosikan orang baru. Masih ada kerja saja, sebetulnya pantas disyukuri.
Tapi dalam hati sebenarnya kamu menggerutu. Selain itu, kamu juga memiliki pesaing di kantormu yang sama pekerja kerasnya denganmu, atau bahkan lebih. Kamu kan tidak melihat pengorbanan mereka setiap waktu untuk perusahaan dan bos. Sesekali kamu tergoda untuk menyalahkan atmosfer kantor atau iklim perusahaan yang kamu kritik “di kantor ini sepertinya harus jadi penjilat dulu baru diangkat”. Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa, salahkan dirimu juga. Sebab kantor dan perusahaan manapun tidak melarangmu mengembangkan skill kepemimpinan, kemauan bekerja dalam tim serta kemampuan menulis. Ketiga skill ini yang paling disukai oleh perusahaan menurut survei-survei mutakhir.
Lalu, kamu pun mulai iri dengan orang-orang kaya yang seolah tak empati denganmu, memajang potret mereka dengan seabrek kemewahan. Di pandanganmu, merekalah yang mendapat kebahagiaan yang kamu idam-idamkan. Bro, mereka tidak punya kewajiban untuk perduli dengan apa yang kau rasakan. Jadi, jangan menyiksa diri sendiri dengan menciptakan kesedihan dan iri yang tak perlu.
Mereka yang Memikirkan Cara
Tidak hanya kamu, sebenarnya banyak juga yang memikirkan bagaimana caranya memberantas kemiskinan. Bedanya, kamu memikirkan itu karena kamu alami sendiri. Kamu masih miskin hingga sekarang, saat kamu membaca artikel ini (yang ditulis oleh orang miskin juga).
Sementara mereka, sudah kaya dan mau ikut sepertimu: memikirkan bagaimana caranya memberantas kemiskinan. Mulai dari Epicurus, Stoa, hingga Mahatma Gandhi, mereka sudah memikirkan itu.
Sejak ribuan tahun yang lalu. Ternyata: kemiskinan masih ada hingga sekerang. Buktinya: kamu.
Ide Unik Mengatasi Kemiskinan
Oh iya. Ini ada berita tahun lalu. Menko PMK Muhadjir Effendy mengajurkan supaya orang kaya menikahi orang miskin sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan. Ide ‘unik’ ini lahir seiring upaya pemerintah yang konon serius untuk menurunkan jumlah keluarga miskin.
Jumlah keluarga miskin di Indonesia mencapai 9,4 persen dari total 57 juta rumah tangga pada akhir tahun 2019. Muhadjir menejelaskan bahwa ini terjadi antara lain karena perilaku masyarakat yang selalu mencari kesetaraan. Orang kaya akan memilih menikah dengan yang kaya, dan orang yang miskin akan memilih menikah dengan yang miskin. Masalahnya, jika pemuda miskin menikah dengan wanita miskin, maka lahirlah keluarga baru yang miskin.
Muhadjir berharap, ada gerakan moral yang bisa menghilangkan cara-cara pandang tersebut. Dengan cara orang kaya bersedia menikah dengan orang yang miskin. “Inilah yang kita harapkan ada gerakan moral untuk menghilangkan cara-cara pandang yang menurut saya tidak terlalu baik untuk upaya kita memotong mata rantai kemiskinan,” ungkapnya dalam video ini.
Tampaknya Muhadjir serius dengan usulannya itu. Ia sampai mengusulkan kepada kepada Menteri Agama supaya mengeluarkan fakta yang berisi “Orang kaya wajib menikahi orang miskin”. Publik menanggapi berita ini heboh. Banyak juga yang menertawakannya. Aku sendiri geli mendengar usulan seperti ini terucap dari seorang menteri. Tapi sebenarnya, aku pun tak tahu mengapa aku ikut tertawa. Bukan apa, aku, sama seperti kamu, memang serius memikirkan caranya untuk memberantas atau mengatasi kemiskinan ini. Tapi belum pernah berani mengeluarkan usulan seperti ini. Muhadjir jauh lebih hebat. Ia berani. Tentu saja, saat itu, ia seorang menteri. Entah karena ini ia kemudian diganti Jokowi dengan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan, tidak tahu juga.
Ide Unik Menuntut Eksekusi Unik
Kemiskinan dianggap sebagai akar dari kerusakan dunia. Mereka yang benar-benar miskin secara materi, tidak jarang sampai menempuh jalur kekerasan untuk sekedar menafkahi anak isteri di rumah. Menjadi kriminal. Pengangguran dan kaum miskin selalu dicurigai sebagai calon kriminal.
Ada lagi orang-orang yang miskin secara etika dan moral. Dipanas-panasin dengan ideologi agama yang jahat, mereka juga sering menempuh jalur kekerasan untuk mewujudkan utopi dan hegemoni agama mereka. Mereka yakin bahwa jika semua orang menyembah tuhan yang mereka sembah, dunia akan lebih baik. Mereka yakin bahwa jika seluruh pemeluk agama yang lain meninggalkan kepercayaannya dan “bertobat” seperti mereka, maka dunia akan lebih indah. Orang-orang ini akhirnya menjadi kriminal yang sebenarnya. Kelompok ini, tidak hanya dicurigai, tetapi memang kerap terbukti adalah kriminal.
Kemudian ada juga orang-orang yang kaya secara materi, tetapi miskin jiwanya. Mereka ini pun tidak menjadikan dunia lebih baik. Tak sedikit pula, dari orang-orang kaya inilah para kriminal tadi memperoleh senjata untuk melancarkan aksi mereka. Dari kelompok ini juga lahir penjual kata-kata, motivasi dan trik sulap yang anehnya masih dipercaya banyak orang miskin di atas. Mereka hanya duduk di mimbar rumah ibadah atau di podium seminar, lalu para pendengarnya begitu saja mau melaksanakan apa yang mereka perintahkan. Entah menjarah alam, atau menjarah rumah dan toko orang lain. Tentu saja, lebih sering terjadi, pencurian hanya berhasil kalau si tuan rumah dibunuh terlebih dahulu.
Singkatnya, kemiskinan materi dan varian kemiskinan lainnya adalah penyumbang terbesar untuk ketidakadilan di dunia ini.
Tak kurang dari seorang Thanos, ternyata ikut pula memikirkan bagaimana caranya menciptakan dunia yang lebih baik. Bagi sebagian orang, Thanos adalah pahlawan yang sebenarnya. Ia muak dengan segala macam manusia yang jahat dan struktur sosial yang melegitimasi mereka. Ia ingin menghancurkan mereka semua. Sialnya, Thanos melihat bahwa jumlah manusia yang jahat itu sudah sangat banyak. Struktur sosial yang tidak manusiawi itu pun sudah sangat mengakar, tak bisa dicabut. Maka, ia mengambil keputusan: Ia akan menghapus setengah peradaban manusia, supaya tinggal orang-orang yang baik dan benar-benar kaya saja tinggal di bumi ini.
Ide Muhadjir memang tidak segila Thanos. Lagi pula, tidak pas memparalelkan keduanya. Satu manusia dan pejabat negara, satunya lagi tokoh fiktif rekaan Marvel saja. Tapi, ada benang merah yang membuat keduanya sama: yakni kegelisahan akan kemiskinan, dan ide untuk memberantasnya.
Kembali ke gagasan Muhadjir. Sangat masuk akal sebenarnya kalau hitungan di atas kertas. Kaum kaya, menengah dan sederhana disebut sudah mayoritas (untuk nomenklatur Indonesia saat ini ya). Tinggal anak-anak mereka menikahi 9,7 persen yang benar-benar miskin tadi, mestinya berhasil. Persebaran kemakmuran dan kue ekonomi akan terealisasi.
Pertanyaannya: bagaimana kita menyuruh anak orang kaya dan menengah mau menikah dengan anak orang yang benar-benar miskin itu, atau sebaliknya?
Dijodohkan?
Aku tak yakin berhasil. Anak-anak yang benar-benar miskin saja sudah tahu membaca, atau jangan-jangan ada juga yang sesekali berkesempatan mengakses dunia lewat internet. Mereka juga tak sudi dijodohkan. Remaja putri sudah tidak lagi mau mengikuti jejak Siti Nurbaya atau Boru Nangniaga.
Dikondisikan untuk berjodoh?
Artinya, pemerintah menciptakan ekosistem pergaulan yang membuat orang miskin bisa bertemu dengan orang kaya. Mulai dari remaja, dewasa hingga di dunia kerja. Mungkin terinspirasi dengan aplikasi semacam Tinder dan aplikasi cari jodoh lainnya. Tapi pasti rumit. Sebab sehebat apapun algoritma yang dibuat, tetap saja keputusan untuk swipe kiri dan swipe kanan adalah putusan bebas penggunanya. Keputusan untuk kawin dan tidur dengan siapa adalah hak asasi manusia.
Tidak bisa.
Ide unik seperti ini Muhadjir dan Thanos butuh eksekusi yang lebih unik. Lebih gila. Lebih total lagi. Tak akan bisa berhasil kalau hanya begini.
Meskipun banyak sumber mengatakan bahwa kekayaan dunia ini hanya dikuasai oleh 1% saja dari populasi yang ada, jangan lupa sepuluh persen itu banyak sekali. Saat ini populasi dunia kurang lebih 7,7 miliar orang. Maka, mereka ada sebanyak 70 juta orang. Banyak orang kaya di dunia ini. Mereka tersebar di berbagai tempat. Mereka dilahirkan dengan previlese akses ke sumber-sumber ekonomi. Di banyak tempat, previlese semacam ini dikagumi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Hidup yang Nyaman
Mereka mungkin cerdas dan pandai hitung-hitungan. Membuka sebuah gerai usaha baru bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Karyawan yang hebat dan loyal pun mudah mereka dapatkan. Perizinan dan pengurusan adminsitrasi bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikerjakan.
Mereka juga bisa hebat mengiklankan diri. Beberapa bahkan memiliki kanal Youtube atau website untuk menampilkan wajah dan rumah mewah mereka sebagai bukti bahwa di iklan mereka itu, mereka berhak meneriakkan ke telinga penonon, “nih, bukan cuma iklan, sudah kubuktikan”. Mereka mampu mengurai secara mendetail bagaimana mereka bisa mendapatkan semua itu. Rumah mewah. Mobil mewah. Koleksi seni. Hewan langka yang diimpor dari sabana Afrika sana. Hotel mewah kapan saja bisa mereka kunjungi. Kapan mereka mau makan steak atau hidangan carabou di restoran mahal, tinggal cuss.
Orang-orang kaya ini biasanya mempunyai latarbelakang keluarga kaya juga. Walaupun saat muda mereka mungkin belum memiliki perusahaan sendiri, kesempatan mereka untuk mendapatkan kepercayaan dan modal dari para investor cukup tinggi. Mereka biasanya bertemu di sebuah cocktail party, arisan kolektor tas branded, konser jazz paling modern, atau pada acara grand opening outlet terbaru kenalan mereka. Tidak jarang juga yang begitu saja bertemu dengan orang kaya lainnya yang tak pelit memodali mereka hanya karena orangtua menyekolahkan mereka sama-sama di kampus luar negeri yang mahal. Beberapa bahkan mendapat modal pinjaman lunak dari bank pensiunan negara kaya semacam Norwegia.
Mereka juga biasanya sukses dalam pendidikan. Ada yang mendapat gelar bakalaureat dari perguruan tinggi swasta, lengkap dengan predikat cum laude. Ada yang menjadi petinggi di badan usaha milik negara, dan memiliki kekuasaan besar. Apapun bidangnya, orang-orang kaya ini sungguh dikagumi oleh lingkungan sekitarnya.
Kemiskinan Orang-orang Kaya
Sayangnya, orang-orang kaya ini seringkali tidak mampu melihat dunia secara keseluruhan. Mereka dibutakan oleh kekayaan mereka sendiri. Mereka menjadi sombong, dan kehilangan empati. Mereka tidak mampu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, atau merasakan penderitaan orang lain di sekitarnya.
Mereka hidup dalam ilusi, bahwa mereka adalah mahluk-mahluk unggul. Miliarder biasanya terjebak dalam ilusi dan kesombongan semacam ini. Mereka tak merasa bersalah menjadikan manusia lain, tumbuhan, hewan ataupun mahluk lain melulu sebagai sumberdaya untuk memperkuat pundi-pundi mereka. Mereka merusak alam atas nama pemberdayaan ekonomi dan kemajuan industri serta terobosan teknologi.
Orang-orang kaya seringkali tidak kritis. Mereka tidak mempertanyakan pandangan-pandangan yang mereka anut. Mereka mengira, gaya hidup serta pola berfikir mereka adalah kebenaran. Akhirnya, mereka kerap kali melakukan kesalahan yang merusak, tanpa mereka sadari.
Mereka juga kerap kali bermulut besar. Mereka gemar mengumbar janji. Mereka gemar juga memberikan harapan-harapan besar yang, sayangnya, palsu. Orang hanya perlu sedikit kritis, guna melihat kepalsuan yang dibalut dengan kesombongan di dalam diri orang-orang kaya ini.
Orang-orang cerdas ini seringkali juga penuh dengan kontradiksi. Misalnya, mereka mengaku membantu orang kecil dengan mencuri lahan mereka dan menjadikan mereka buruh di tanah mereka sendiri. Mereka berbicara soal menyelamatkan hutan dengan terlebih dahulu membuka tambang disana tanpa pernah sungguh mematuhi komitmen replantasi dan rehabilitasi lahan. Mereka berbicara tentang pentingnya membantu orang tak mampu, sambil memuaskan dahaga mereka akibat jiwa miskin yang tak pernah berkata cukup dengan yang mereka punya. Mereka tidak memiliki filosofi semacam “lama aku mengeruk, saatnya memberi”. Mereka juga tak kepikiran untuk meluangkan waktu memberi kontribusi bagi etika dan moral masyarakat layaknya seniman yang sampai mati bekerja mati-matian untuk nilai dan makna yang dipercayainya berguna bagi orang lain.
Inilah kemiskinan orang-orang kaya. Jangan terpesona dengan jabatan tinggi di perusahaan, gelar pendidikan tinggi, rumah mewah atau mobil mewah. Sebenarnya, merekalah justru perusak kehidupan sosial maupun alam, tempat kita semua hidup. Jika kemiskinan jiwa orang-orang kaya ini didiamkan, dunia kita akan hancur.
Ada sebagian orang yang ketika berdiskusi tentang karya seni bertahan dengan subjektifitas estetika. Bahkan secara ekstrem atau radikal. Misalnya, ada yang mengatakan begini:
“Dalam pandangan saya, tidak ada karya yang gagal. Tidak ada lukisan atau lagu yang bagus atau jelek, benar atau salah. Semua itu subyektif. Semua karya yang dibuat, selama diakui sebagai karya seni oleh pembuatnya, pasti memiliki makna. Jadi, tidak usah repot-repot mengurusi atau melakukan kritisisme terhadapnya.”
Jika sudah begini, diskusi pun terhenti. Habis perkara. Apa lagi yang mau diperbincangkan? Atau, di lain kesempatan orang-orang yang lain berkata begini:
“Sejauh itu dibuat oleh manusia, pastinya itu terkategori karya seni. Bagus atau jelek, itu urusan belakangan” – (X)
“Tidak perlu mencari makna dalam sebuah karya seni. Tidak usah terawang bentuk apa yang ada dalam lukisan abstrak. Tak perlu ulas makna dan bahas semiotika dalam lirik lagu Batak yang sering kau bawa-bawa itu.” – (Y)
Karya seni tidak untuk dipecahkan apa maknanya. Seabstrak apapun lukisan atau seabsurd apapun sebuah lagu, biarkan saja. Toh kita tidak dituntut untuk melihat atau menafsirkan makna di baliknya. Setiap karya seni memiliki tingkat kesulitan berbeda dalam proses penciptaannya. Semua tergantung pada penikmatnya. Karena estetika adalah hal yang subjektif. Apa yang Anda nikmati, belum tentu orang lain menikmati. Ada yang menilai bahwa lukisan abstrak, lukisan kontemporer atau lirik lagu absurd Nadin Amizah bukanlah citra seni. Bagi Saya, karya-karya itu adalah karya seni yang baik dan benar. Bodoh amat dengan pemikiran orang lain. Sekali lagi, estetika adalah hal yang subjektif. (Sambil menyodorkan penampilan Mawang ini). ” – (Z)
Terhadap pendapat subjektifis XYZ begini, tidak relevan berbicara salah dan benar. Sebab, yang mereka bawakan melulu adalah pengalaman menikmati, bukan pengalaman memahami. Tidak akan nyambung bernalar dengan teman yang mengumbar emosionalitas semata. Adalah irelevan jika kita hendak menilai sebuah karya jika peserta hanya bermodalkan pengalaman menikmati. Maka, istilah seperti “baik”, “benar”, “salah”, “kurang”, “berkualitas” salah tempat untuk diperbincangkan disini. Begitulah. Untuk percakapan begini, baiknya diskusi memang berhenti saja. Kecuali memang niatnya ngobrol ngadul ngidul ya. Beda lagi.
(Adapun perihal perbedaan kedua pengalaman ini, yakni pengalaman menikmati dan pengalaman memahami, sudah kutuliskan di blog ini baik untuk seni rupa maupun seni musik).
Subjektifisme Moderat
Ada sebagian orang lagi yang mengungkapkan emosionalitas mereka atas suatu karya tetapi juga sadar bahwa yang mereka miliki adalah pengalaman menikmati, bukan pengalaman memahami.
Mereka ini mengaku bisa menikmati lukisan abstrak seperti ini. Tapi tidak tahu apa artinya. Tidak apa-apa, sebab kedua pernyataan ini tidak bertentangan.
Pada tataran menikmati, memang tidak perlu memecahkan kode yang mungkin tersembunyi dalam lukisan ini. Yang penting orang bisa merasakan emosi di dalamnya sebagaimana tertuang dalam sebaran warna, ragam sapuan kuas, atau bagaimana komponen-komponen tersebut menghasilkan tekstur. Karena tujuannya untuk menikmati, maka kita tak perlu menghakimi bahwa lukisan ini tak layak dipajang di galeri (karena belum memahami).
Pada tataran menikmati, memang tidak perlu memecahkan arti teriakan Mawang pada video di atas. Atau diksi absurd Nadin Amizah dalam penggalan lirik lagu Bertaut ini:
Bun, hidup berjalan seperti bajingan (hidup dimetaforkan dengan bajingan?) Seperti landak yang tak punya teman
Ia menggonggong bak suara hujan (sinestesia ekstrem yang baru?) Dan kau pangeranku, mengambil peran (sebegitunya demi sajak berakhiran n-n?)Yang penting orang bisa merasakan emosi di dalamnya sebagaimana terdengar pada suara renyah Nadin, irama lagu, dinamika, tempo, warna, harmoni atau bagaimana komponen-komponen tersebut menghasilkan tekstur. Karena tujuannya untuk menikmati, maka kita tak perlu menghakimi lagu ini tak layak didengarkan (karena belum memahami).
Untuk teman subjektifis moderat seperti ini, diskusi selalu bisa terjadi. Mengapa? Karena diawali dengan kejujuran. Mereka benar menikmati, tetapi pada saat yang sama mengaku bahwa benar mereka belum memahami. Berbeda dengan subjektifis radikal sebelumnya yang langsung menutup diri.
Kaidah Berdiskusi Seni: Jujur
Sama seperti diskusi persoalan lain, maka ketika kita hendak berdiskusi tentang seni, pertama-tama sebaiknya sepakat dulu kaidah diskusi. Selain harus menghindari berbagai logical fallacy (kesesatan logika) dan itikad untuk berbagi informasi, juga jangan melupakan aturan ini: “The burden of proof is always on the person making an assertion or proposition. So the burden is on those who make claims to offer reason and evidence in support of those claims.” Artinya, beban pembuktian ada pada pihak yang klaim atau pernyataan. Secara etis, dia memiliki kewajiban untuk menyediakan alasan dan bukti yang mendukung klaimnya.
Maka, jika ada orang yang mengatakan “lagu ini bagus, recommended banget deh“, sebenarnya kita berhak meminta dia untuk menyediakan alasan dan bukti yang mendukung klaim tadi, mengapa lagu itu bagus. Dia sudah berani menyentuh pengalaman memahami. Tentu saja, ungkapan “karena aku suka” tidak cukup. Dia dituntut untuk mengurai karya itu dari unsur-unsur penciptaannya, latar belakang pencipta, bahkan sampai ke atmosfer keseniannya. Dalam konteks ini, kita akan segera menemukan inkonsistensi pada kelompok subjektifis ekstrim tadi, karena sedari awal sudah tidak jujur.
Berbeda jika orang mengatakan “aku suka lagu ini, tapi aku belum tahu apa artinya”, maka dia tidak wajib menyediakan alasan dan bukti apapun. Sebab dia sedang bercerita tentang pengalaman menikmati. Yang bersangkutan jujur mengaku bahwa dia menyukainya karena baginya lagu itu enak didengar dan menimbulkan rasa tertentu. Tetapi dia belum mampu menguraikan aspek-aspek, menjelaskan unsur dan komposisi, tidak bisa menjelaskan melodinya, progresi chordnya, dan mengapa lagu itu dapat menimbulkan rasa. Dalam konteks ini, kita bisa bersama-sama menggali apa makna dari lagu atau karya seni lainnya, karena dimulai dengan sikap jujur.
Inilah kaidah berdiskusi. Maka kalau hendak mendiskusikan sebuah karya seni secara intelektual, rangkullah sikap dasar seorang ilmuwan, yakni: Ilmuwan boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong.
Di tulisan sebelumnya yakni Kompilasi Pertanyaan – Imajinasi pada Seni Rupa Dua Dimensi, muncul pertanyaan berikut:
Bagaimana cara kita menentukan atau menilai bahwa karya seni rupa dua dimensi tersebut merupakan sebuah karya yang baik/bagus. Apa hal yang mendasar yang perlu kita ketahui untuk menilai karya tersebut?
Kita ambil contoh karya seni rupa dua dimensinya adalah lukisan. Terhadap lukisan, ada dua pengalaman manusia sebagai subyek yang mengamati, yakni pengalaman menikmati dan pengalaman memahami.
Menikmati lukisan tidak sama dengan memahami lukisan. Sebagian orang, bisa begitu terpesona saat melihat sebuah lukisan lalu kemudian spontan juga ingin memilikinya. Namun ketika ditanya kenapa ia tertarik, ia tidak bisa menjelaskannya. Bila dipaksa untuk menjawab, jawabannya bisa berkisar antara suka dan tidak suka, senang dan tidak senang. Pada level ini, seseorang belum bisa mengatakan apakah sebuah lukisan bagus atau tidak.
Tetapi pada sebagian orang, justru ia bisa menjelaskan secara rinci dan logis kenapa ia tertarik pada sebuah lukisan, terlepas apakah ia ingin memilikinya atau tidak. Pada level inilah, seseorang baru bisa mengatakan apakah sebuah lukisan bagus atau tidak.
Berbeda dengan menikmati, memahami lukisan justru bukan dengan melibatkan unsur psikologis (emosional). Jika pada menikmati seseorang bisa saja merasa lebur, terserap bahkan hanyut secara kejiwaan saat melihat sebuah lukisan, maka pada memahami, seseorang harus dalam keadaan sadar (diri).
Harus ada jarak antara dirinya sebagai pengamat dengan lukisan sebagai objek yang diamati. Seperti dikatakan Edward Bullough (1800-1934), seseorang harus membebaskan diri dari segala pengaruh ketika akan memahami sebuah karya seni, karena keterlibatan emosional akan menyebabkan penilaiannya menjadi sekedar pembenaran dari kecendrungan pribadi.
Karena itu penjelasan menyukai sebuah lukisan karena tertarik dengan pilihan objeknya, atau karena merasa terharu saat melihatnya, misalnya, bukan merupakan ungkapan dari sebuah pemahaman.
Memahami, lebih melibatkan sisi intelektual ketimbang emosional. Karena dalam prakteknya, memahami juga berarti memberikan apresiasi, dimana seseorang akan menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap lukisan, hal ini juga berarti seseorang akan melakukan penalaran, dan ini tidak mungkin dilakukan dengan melibatkan emosi, melainkan harus dengan menggunkan logika dan argumentasi, sehingga sebuah pemahaman bisa dijabarkan secara meyakinkan dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Seseorang yang menyatakan bahwa sebuah lukisan sangat menarik karena objek dan warna yang digambarkan mengingatkannya pada suatu pengalaman tertentu, misalnya, bukanlah suatu penjelasan yang logis dan meyakinkan, tetapi merupakan penjelasan emosional, karena dasar penjelasannya masih hubungan antara pengalaman pribadi dengan unsur yang ada pada lukisan.
Karena yang dijelaskan bukanlah tentang respon psikis dari yang mengamati, melainkan adalah tentang karya itu sendiri, maka dalam memahami akan membutuhkan wawasan seni sebagai dasar untuk melakukan pemahaman. Paling tidak, diperlukan empat pengetahuan dasar untuk memahami sebuah lukisan.
Pertama, pengetahuan akan unsur-unsur seni rupa, yaitu pengetahuan tentang garis, bidang, bentuk, tekstur, gelap terang dan warna. Semua unsur inilah yang membentuk sebuah lukisan. Sebuah lukisan akan bisa dinilai berdasarkan hal ini, yaitu bagaimana kesan, efek dan kualitas dari setiap unsur yang digambarkan.
Kedua, penataan unsur-unsur seni rupa. Ini juga disebut dengan istilah komposisi, yaitu bagaimana pengaturan dan pengkombinasian semua unsur seni rupa. Dengan mengetahui hal ini, misalnya, akan bisa dinilai bagaimana komposisi bidang, warna dan apa yang menjadi pusat perhatian pada sebuah lukisan.
Ketiga, aspek teknis dalam melukis, yaitu pengetahuan tentang alat, bahan dan teknik-teknik dalam melukis, sehingga sebuah lukisan bisa dinilai kualitasnya dari segi material sekaligus ketahanannya.
Keempat, semiotika, yaitu pengetahuan tentang tanda dan simbol. Prinsip dasar dari kajian ini adalah bahwa setiap unsur seni rupa pada sebuah lukisan merupakan simbol dari makna tertentu, sehingga dengan menggunakan pengetahuan ini, akan bisa ditafsirkan apa kemungkinan makna yang tersirat dibalik sebuah lukisan.
Demikianlah antara menikmati dan memahami lukisan. Dalam prakteknya, tidak jarang kedua hal ini bercampur baur, tidak mudah memisahkannya secara tegas. Seseorang bisa mengaku, bahkan bersikeras mengatakan sangat mengerti terhadap lukisan. Namun bila dicermati, apa yang ia jelaskan sebagai mengerti (memahami), pada intinya tidak lebih dari tindakan menikmati, dan begitu juga sebaliknya.
Kepekaan seseorang dalam menikmati lukisan, misalnya, pada akhirnya bisa dijadikan faktor pendukung dalam meningkatkan pemahaman agar lebih utuh dan mendalam. Begitu juga sebalikanya, pemahaman seseorang akan lukisan akan bisa memicu dan menambah kepekaannya dalam menikmati lukisan. Dengan catatan, yang bersangkutan bisa menjaga dan menukar keterlibataannya secara sadar di wilayah mana ia akan berada.
Karena meskipun bisa saling mempengaruhi, keduanya tetap memiliki sifat, cara kerja dan manfaat yang berbeda: menikmatiadalah untuk merasakan lezatnya sebuah lukisan, sedangkan memahamiuntuk mengerti kenapa lukisan itu enak dilihat.
Bonus skesta hasil coretan my lil Bro, Jeswit Haromunthe. (Kalau penasaran silahkan cek langsung ke akun Instagramnya)
Oke. Ini cara untuk menilai karya seni rupa. Untuk menilai seni musik bagaimana? Baca disini.
Adakah penghargaan untuk penulis film (skenario) pada Piala Oscar, Academy Awards, atau di festival film lainnya?
Iya, betul. Penulis skenario film memang mendapatkan piala penghargaan.
Di ajang Academy Awards, penghargaan untuk penulis skenario itu ada dua kategori, yaitu Best Original Screenplay (Penulisan skenario asli) dan Best Adapted Screenplay (Penulisan Skenario Hasil Adaptasi). Perbedaannya tentu saja untuk kategori pertama skenario film biasanya ditulis sendiri oleh sutradara atau produser film tersebut sedangkan untuk kategori kedua ditulis berdasarkan inspirasi dari media lain, khususnya novel dan buku yang telah ada.
Tahun 2020 yang lalu yang mendapatkan piala Oscar untuk Best Original Screenplay adalah Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Sementara yang meraih piala Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay adalah Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit yang diangkat berdasarkan novel karya Christine Leunens berjudul Caging Skies.
Dalam penghargaan Golden Globes, kategori untuk penulis skenario film terbaik disebutnya sebagai Best Screenplay – Motion Picture, dan tahun 2020 pemenangnya adalah Quentin Tarantino untuk film Once Upon a Time in Hollywood.
Sementara di British Academy Film Awards atau BAFTA, untuk penulis skenario film kategorinya juga ada dua, yaitu Best Original Screenplay dan Best Adapted Screenplay, sama seperti di Academy Awards. Dan tahun ini untuk kategori Best Original Screenplay dimenangkan Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Kemudian Best Adapted Screenplay diraih oleh Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit. Jadi pemenangnya sama juga seperti di ajang piala Oscar.
Di Festival Film Indonesia penulis skenario juga mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk dua kategori, yaitu Skenario Asli Terbaik, dan Skenario Adaptasi Terbaik. Tahun ini 2020 pemenang piala Citra untuk Skenario Asli Terbaik adalah Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru, sementara peraih piala Citra untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik dimenangkan oleh Gina S. Noer dan Yandy Laurens untuk film Keluarga Cemara.
Beberapa festival film di Indonesia adalah Festival Film Bandung, dan Piala Maya juga memiliki penghargaan untuk penulis skenario film. Kalau di Festival Film Bandung disebutnya sebagai Penulis Skenario Terpuji Film Bioskop, dan tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Untuk Piala Maya, ada dua kategori untuk penghargaan bagi penulis skenario, yaitu Penulisan Skenario Asli Terpilih yang tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Dan satu kategori lagi adalah Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih, untuk tahun ini dimenangkan pasangan suami istri Ernest Prakasa dengan Meira Anastasia untuk film Imperfect.
Dan masih banyak lagi festival film lainnya, baik berskala internasional atau hanya sebatas di Indonesia yang memberikan penghargaan bagi penulis skenario film terbaik.
Beberapa orang bisa saja langsung suka dengan sebuah lagu baru saat pertama kali diperdengarkan. Lalu spontan ingin memiliki kasetnya atau menonton video Youtube-nya hingga habis. Tapi ketika ditanya mengapa ia suka, ia tidak bisa menjelaskan. Dipaksa untuk menjawab, jawabannya, “ya suka aja“. Habis perkara.
Beberapa orang yang lain bisa menjelaskan secara rinci dan logis mengapa dia suka dengan lagu baru itu, terlepas apakah ia ingin memiliki kasetnya atau tidak.
Dalam prakteknya, tidak jarang kedua hal ini bercampur baur. Seseorang bisa mengaku, bahkan bersikukuh, sangat mengerti apa makna sebuah lagu. Namun bila dicermati, apa yang ia jelaskan sebagai mengerti (memahami), pada intinya tidak lebih dari tindakan menikmati. Begitu sebaliknya, ada yang bisa menjelaskan mengapa lagu (lirik, musik, dan latarbelakang penciptaannya) itu patut didengarkan.
Berbeda dengan menikmati, memahami lagu justru bukan dengan melibatkan unsur psikologis (emosional). Jika pada menikmati seseorang bisa saja merasa lebur, terserap bahkan hanyut secara kejiwaan saat mendengarkan lagu, maka pada memahami, seseorang harus dalam keadaan sadar (diri).
Harus ada jarak antara dirinya sebagai pendengar dengan lagu sebagai objek karya yang ia dengarkan. Mestinya ini tidak sulit. Kita ibaratkan seperti seekor ikan di laut. Ia tidak bisa menikmati keindahan laut dan seberapa luasnya jika ia berada di dalamnya, berenang-renang disitu. Itu hanya bisa terjadi kalau ia melihatnya dari luar. Maka, perlu ada jarak (distansi) antara manusia dengan karya untuk bisa memahaminya. Sebisa mungkin, seseorang harus membebaskan diri dari segala pengaruh dan apriori ketika akan memahami sebuah karya seni, karena keterlibatan emosional akan menyebabkan penilaiannya menjadi sekedar pembenaran dari kecenderungan pribadi.
Maka, jika ada orang yang bilang bahwa ia menyukai sebuah lagu karena tertarik dengan pilihan genre-nya, atau karena merasa terharu saat mendengarnya, ini belum merupakan ungkapan dari sebuah pemahaman karena yang dia ungkapkan adalah emosionalitasnya sebagai pendengar.
Jika ada orang yang menyatakan bahwa lagu itu bagus karena liriknya atau video lagunya mengingatkannya pada suatu pengalaman tertentu, ini bukanlah suatu penjelasan yang logis dan meyakinkan, tetapi merupakan penjelasan emosional. Dasar penjelasannya masih berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai penikmat lagu dengan lagu yang didengarnya.
Untuk memahami, seseorang harus lebih melibatkan sisi intelektual ketimbang emosionalnya. Maka, memahami berarti memberikan apresiasi, dimana seseorang akan menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap lagu. Artinya, diperlukan penalaran menggunakan logika dan argumentasi sampai pemahaman itu dijabarkan secara meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan bahkan kepada orang yang belum pernah mendengar lagu itu.
Jika sudah sampai pada tahap ini, tinggal selangkah lagi yang bersangkutan sampai pada kritik seni.
Apersepsi, Apresiasi dan Kritik Seni
Di kelas, saat mengajar Seni Budaya, selalu Saya ingatkan para murid bahwa ada tiga tahapan untuk sepenuhnya mengetahui makna sebuah karya seni.
Pertama, apersepsi yaitu melakukan pengamatan sekilas atau mengungkapkan kesan sepintas yang muncul ketika pertama kali bertemu sebuah karya. Ketika pertama kali melihat lukisan atau meraba sebuah patung. Ketika pertama kali mendengar sebuah lagu. Ketika pertama kali menonton teater atau film.
Kedua, apresiasi yaitu menafsirkan dan memberikan penilaian atas karya.
Ketiga, kritik seni yaitu mengungkap makna (meaning) dan nilai (value) yang terkandung dalam karya itu, apa tujuan atau pesan moralnya bagi masyarakat, serta membandingkan dengan karya lain yang sejenis.
Di setiap tahapan itu, kita akan menjelaskan apa yang kita alami. Jadi, sejauh ini kita punya 2 pengalaman, yakni pengalaman menikmati dan pengalaman memahami.
Mencari Kadar Seni Sebuah Lagu
Lalu, bagaimana caranya untuk memahami sebuah lagu dan menjawab pertanyaan “seninya dimana?”.
Paling tidak, diperlukan empat pengetahuan dasar untuk memahami sebuah lagu.
Pertama, pengetahuan akan unsur-unsur seni musik, yaitu pengetahuan tentang melodi, birama, irama, tempo, tangganada, harmoni, timbre, dan dinamika. Semua unsur inilah yang membentuk sebuah lagu. Sebuah lagu akan bisa dinilai berdasarkan kesan, efek dan kualitas dari setiap unsur musik yang ada pada lagu itu.
Jadi, kalau video lagu (jika misalnya lagu itu diunggah ke Youtube) tidak termasuk dalam penilaian?
Tidak.
Kalau ingin menilainya, perlakukanlah lagu dan videonya sebagai dua buah karya seni yang terpisah. Ketika kita berbicara tentang lagu, ingat kembali filosofi dasarnya: bahwa lagu itu untuk didengar, bukan untuk ditonton. Jika ingin menilai videonya, unsur-unsur pembentuk sebuah video yang akan dibahas. Jikapun ada interseksi (persinggungan) antara lagu dan videonya, itu hanya tentang sejauh mana video lagu menunjang makna lagu.
Kedua, penataan unsur-unsur seni musik. Ini juga disebut dengan istilah komposisi, yaitu bagaimana pengaturan dan pengkombinasian semua unsur seni musik. Dengan mengetahui hal ini, misalnya, akan bisa dinilai bagaimana komposisi melodi, phrasering dan motif lagu yang mestinya menjadi pusat perhatian pada sebuah lagu.
Ketiga, aspek teknis dalam musik, yaitu pengetahuan tentang alat musik, teknologi yang digunakan, dukungan alat musik terhadap lagu serta kelengkapan sound system dan sound editing. Itulah caranya sehingga sebuah lagu bisa dinilai kualitasnya dari segi materi lagu, tingkat kesulitan membuatnya serta kadar keterlibatan manusia di dalam proses penciptaannya.
Yang terakhir ini, yakni keterlibatan manusia, menjadi aspek yang penting. Itu sebabnya, sebuah lagu hasil menggunakan musik olahan midi yang diedit di DAW dihargai kurang dibandingkan yang musiknya menggunakan sentuhan tangan manusia langsung.
Dasar pemikirannya jelas: berkesenian (termasuk bermusik di dalamnya) adalah kerja manusia (man). Maka proses dan hasilnya sebaiknya juga manusiawi (human), meski dengan resiko ada cacat disana-sini. Konsekuensi dari filosofi bermusik ini bisa sangat ketat. Bahkan sampai ada seorang seorang pemusik tidak mengizinkan permainan musiknya direkam, karena ia tidak sudi orang mendengar musik tanpa mengakui eksistensi dari manusia yang memainkannya disana.
Keempat, semiotika, yaitu pengetahuan tentang tanda dan simbol. Prinsip dasar dari kajian ini adalah bahwa setiap unsur seni musik pada sebuah lagu terutama liriknya merupakan simbol (petanda) dari makna (penanda) tertentu, sehingga dengan menggunakan pengetahuan ini, akan bisa ditafsirkan apa kemungkinan makna yang tersirat dibalik sebuah lagu.
Lagu Untuk Didengar, Kok Ada di Youtube?
Dalam prakteknya, tidak mudah memang untuk memisahkan mana pengalaman memahami dan mana pengalaman menikmati lagu secara tegas. Kerap, keduanya mempengaruhi satu sama lain.
Kemunculan lagu di Youtube adalah fenomena yang menarik. Kita tak perlu berdebat panjang mengapa banyak seniman musik memasang lagunya di Youtube. Sampai sekarang, Youtube masih menjadi platform favorit untuk memasarkan apapun, tak terkecuali karya seni seperti lagu.
Menariknya adalah, bahkan dalam tataran menikmati, orang menjadi terdistorsi antara lagu dan videonya. Ditambah fakta bahwa kebanyakan orang tidak lagi sudi mencari keempat jenis pengetahuan di atas, sering terjadi orang lebih menyukai versi cover dari sebuah lagu karena videonya dikemas lebih sinematik, teatrikal dan berbiaya lebih besar dibandingkan versi asli lagunya yang dikemas secara standar dalam format audio. Sepatutnya ini adalah kenyataan yang menyedihkan bagi pemusik. Apalagi jika sebuah lagu kita lekatkan dengan proses penciptaan dan hak cipta yang menyertainya.
Akhirnya, kepekaan seseorang dalam menikmati lagu dijadikan faktor pendukung dalam meningkatkan pemahaman agar lebih utuh dan mendalam. Tapi bukan lagi faktor utama, sebab banyak orang suka memutar lagu di Youtube antara lain karena algoritme Youtube yang akan memperlihatkan video yang sudah lebih banyak trafik penontonnya dibandingkan versi aslinya yang mungkin sepi karena hanya berupa audio saja.
Sebaliknya, pemahaman seseorang akan makna lagu bisa memicu dan menambah kepekaannya dalam menikmati lagu. Dengan catatan, yang bersangkutan bisa menjaga dan menukar keterlibatannya secara sadar di wilayah mana ia akan berada.
Karena itu meskipun bisa saling mempengaruhi, kedua jenis pengalaman itu (menikmati dan memahami) tetap memiliki sifat, cara kerja dan manfaat yang berbeda. Menikmati adalah untuk merasakan enaknya sebuah lagu, sedangkan memahami untuk mengerti kenapa lagu itu indah didengar.
Kamu ada di posisi mana?
Kamu mendengar lagu karena “suka aja” atau karena memang paham proses penciptaannya bahkan sampai mempelajari riwayat hidup penciptanya?
Oke. Ini cara untuk menilai karya seni musik. Untuk menilai seni rupa bagaimana? Baca disini.
KH. Musthofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus adalah seorang ulama Indonesia. Sapaan Gus (panggilan masyarakat pesantren kepada seorang putra Kyai) didapatnya karena ia putra dari KH. Bisri Musthofa (Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang). Kyai lulusan Universitas Al Azhar Cairo ini sekarang menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang.
Selain Kyai, Gus Mus juga dikenal sebagai seorang Budayawan, Penulis produktif, dan Seniman. “Ada Apa Dengan Kalian”, “Cintamu”, “Sajak Atas Nama”, dan “Gelap Berlapis-lapis”, adalah beberapa contoh dari sekian banyak puisi karangannya.
Diantara puisi-puisi Gus Mus, “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” adalah salah satu yang aku sukai. Realitas banal yang terjadi di kehidupan nyata dirangkainya dalam bait, yang masing-masing terdiri dari dua paradoks (kecuali pada dua bait terakhir). Tetapi harus berhati-hati membaca puisi ini, atau mendengarkan rekaman audionya. Karena, di dalamnya ada kritik pedas yang hendak disampaikannya.
Bungkus bahasa yang digunakannya menjangkau semua wilayah ekstrem, mulai dari banalitas, kontraversi, kontradiksi, dikotomi, hingga paradoks. Di telinga awam kita, masing-masing bait bisa dimaknai dengan kelima-lima ekstrem itu sekaligus. Tergantung alam pemaknaan (paradigma) mana yang mau kita gunakan. Lantas, bagaimana memaknainya kritik pedas yang disampaikannya secara maksud sebenarnya? Ya, mesti kita tanyakan langsung pada beliau.
“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”
Kau ini bagaimana Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir
Aku harus bagaimana Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab
Kau ini bagaimana Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana Aku bilang terserah kau, kau tidak mau Aku bilang terserah kita, kau tak suka Aku bilang terserah aku, kau memakiku