Konglomerasi Retail Shopping: Masih Itu-itu Juga!!!

Keberadaan toko modern kerap ditengarai secara analogis sebagai buah simalaka bagi pemerintah. Di satu sisi toko modern sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern. Di sisi lain, toko modern menjadi pesaing bagi keberadaan pasar tradisonal, meskipun  keduanya memiliki pangsa pasar atau konsumen berbeda.

Benarkah pernyataan ini?

Sebagaian pengamat menilai bahwa situasi nyata seperti ungkapan di atas tidak ada. Ini dibuat-buat. Pernyataan ini adalah korban iklan, korban promosi, dan korban sesat pikir. Bagaimana  mungkin rakyat yang harus dibela dikonfrontasikan dalam dilemma dengan toko korporasi kapitalistik?. Faktanya yang terjadi justru adalah:

Masyarakat memilih pasar modern berjejaring adalah dikarenakan adanya struktur kesempatan yang dibuka bebas oleh pihak otoritas yaitu pemerintah daerah. 

Toko-toko milik korporasi kapitalistik ini dibuka di lokasi strategis. Tidak sedikit berdiri di atas tanah kas desa, tidak sedikit yang memvandal regulasi dengan kongkalikong dengan pihak tertentu mulai dari proses perizinan sampai proses penyamaran dengan nama toko modern yang  berbau lokal. Ironi yang terjadi dis ini ialah: Semua daerah punya aturan/regulasi perlindungan pasar rakyat tetapi faktanya tak ada atau hanya sedikit yang ditegakkan.

Mengapa ini bisa terjadi?

Selain karena law enforcemenet yang benar-benar low, hal ini juga disebabkan musuh utama yang menyebabkan bangsa Indonesia bisa dijajah hingga sekian lama, yakni mentalitas senang dijajah. Mentalitas seperti ini menjarah pikiran dan dan memenjara nurani.

Sekuensi langsung dari fakta ini ialah seruan langsung untuk menyadari dan mengindentifikasi siapa dan apa saja yang menjadi barisan perampas sumber kesejahteraan rakyat.

Siapa (saja) pemilik toko modern berjejaring itu?

Indofood Group dkk.

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya minimarket di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Menyusul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan beberapa tahun saja minimarket telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri. Daya tarik semu akibat konstruksi media/sosial.

PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan minimarket Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari Sabang sampai Merauke.

Selain Alfamart dan Indomaret masih banyak pemain minimarket lain. Sebut saja Circle K, Starmart, Yomart, AMPM, dan beberapa nama lainnya (termasuk pemain lokal). Namun, yang tampak di mata warga adalah adu kuat antara Alfamart dan Indomaret.

 

versus

Semua orang tahu, kedua merek minimarket ini super-agresif mengesploitasi pasar dari kota, perumahan, sampai perkampungan sunyi. Saking ketatnya bersaing, mereka seperti tak peduli dengan kedekatan lokasi tokonya dengan pasar tradisional, kelontong, warung tetangga.

Di beberapa tempat ada satu gerai Indomaret diapit dua Alfamart juga banyak tempat berada dekat pasar rakyat. Sama sekali mereka tiada peduli keberadaan warung dan pasar rakyat. Bisnis yang tidak menguntungkan daerah ini, seperti membabi buta merampas sumber kesejahteraan rakyat dengan makin terpingirnya pasar rakyat (warung tradisional).

Jumlah gerainya kini tak bisa diketahui secara pasti karena mereka bekerja seperti siluman juga. Tetapi pastilah jumlahnya ribuan baik yang dimiliki perusahaan pembuat maupun yang jaringan (waralaba).

Hingga Maret 2014 saja, Indomaret berhasil mengoperasikan 9.096 outlet yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Sebanyak 60 persen dimiliki perusahaan dan sisanya dikelola pemilik usaha waralaba.

Lebih dari sembilan ribu outlet Indomaret tersebut telah berdiri di pulau Jawa, Bali, Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok. Masing-masing toko menyediakan lebih dari 4.800 jenis makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, hingga akhir periode yang sama, gerai Alfamart di seluruh Indonesia tercatat sudah mencapai 8.557 unit. Rencananya, PT Sumber Alfaria Trijaya menargetkan penambahan 1.000 outlet lagi.

Publik yang masih meluangkan waktu untuk berkaca semestinya bisa melihat beratnya perjaungan yang dihadapai oleh pemilik warung atau toko tradisional. Bahwa pasar rakyat masih ada yang bertahan hingga saat ini, ini adalah hasil kerja keras dan empot-empotan sendiri sementara pemerintah abai terhadap kehidupan masyarakat kecil.

Pemerintahan yang membiarkan rakyat digilas pasar modern adalah pemerintah yang zalim – kebodohan yang teramat besar.   Silahkan menyimpulkan sendiri, apakah ini saat yang tepat untuk menabuh genderang perang melawan toko modern berjejaring atau tidak.

Kehadiran toko modern berjejaring adalah bentuk perampokan terselubung, massif, cerdas, dan professional maka perlu kita identifikasi bagaimana dosa-dosa sosialnya.

Setidaknya ada tujuh dosa besar yang dilakukan secara sengaja oleh pelaku pasar modern berjejaring nasional dan internasional.

1. Karakter monopolistik dan dominatif

“Bahwa sesungguhnya dominasi adalah penjajahan, dan penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. 

Setiap dominasi adalah penindasan, membuat jutaan orang menderita. Liarnya pebisnis toko modern menggerus ekonomi rakyat. Dominasi pasar oleh swalayan yang merugikan pedagang kecil dan lokal selama ini sudah sangat parah. Kerakusan pebisnis swalayan ini mengakali regulasi dengan menghalalkan segala cara. Mulai dari melanggar jarak dengan pasar traditional, saham atas nama hingga memalsukan nama toko. Silahkan amati di kota masing-masing mana saja swalayan tanpa nama.

2. Vandalisme terhadap regulasi. 

Penipuan dan kelicikan sangat akrab dengan usaha bisnis toko modern ini. Pengusaha licik dan pemerintahan yang cenderung kompromistik dengan para pemilik modal. Walaupun berbagai peraturan daerah serta regulasi lainnya telah diterbitkan untuk melindungi pasar tradisional, kita masih bisa melihat langsung bagaimana liberalisasi pasar waralaba masih dan akan terus menyuburkan praktik eksploitatif di daerah.

3. Suap dan korupsi. 

Di kota kecil tempat saya menghabiskan sebagian besar masa akademis, ada plesetan yang tenar untuk UUD. Seyogiaya, Undang-undang Dasar, tetapi sudah menjadi rahasia umum (yang semestinya ditangisi, bukan malah ditertawakan) bahwa di lapangan itu berarti “Ujung-ujungnya Duit”. Publik masih belum sepenuhnya yakin dengan law enforcement. Maka secanggih apapun regulasinya, publik merasa bahwa itu hanya wacana tanpa kerja nyata.

Paket ironi menjadi lengkap tatkala ada beberapa LSM yang masih menyisakan idealismenya melaporkan praktik suap, tetapi harus berhadan dengan KUHP. KUHP plesetan ini ialah “Kasih Uang, Habis Perkara”. Itupun kalau LSM-nya masih berupaya bersih menolak disuap untuk bungkam suara.

Itulah kekacauan moral dalam praktik koruptif penyuapan dalam pendirian gerai swalayan modern-berjejaring ini. Prinsip dasar “kebaikan publik” (bonum commune) dan keadaban publik (public governance) diperkosa.

Harus dilawan kalau begitu, ya?

Tentu saja. Tetapi tentu saja amunisi untuk melawan mereka harus diperhitungkan terlebih dahulu sehingga perjuangan tidak sia-sia dan berhenti di tengah jalan. Upaya paling konkret yang bisa kita lakukan adalah berbagi cerita alias story telling. Bagi Bagilah kisah di daerah Anda, kemukakanlah kegelisahan dan keprihatanan Anda terhadap kenyataan semakin tergerusnya pangsa pasar tradisional. Pelan tapi pasti, kesadaran publik akan terbentuk. Jika kesadaran ini sudah menjadi kesadaran bersama, tanpa harus meniru para religiopreneurs yang berdagang dakwah atau para demonstran bayaran, kita bisa secara jujur mengajak publik untuk merebut kembali nurani mereka yang sudah tercemar selama ini.

Dengan nurani yang sudah kembali bersih, kita akan lebih mudah duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati untuk membicarakan mise penting berikutnya.

4. Bisnis tanpa etika 

Secara khusus penegakan etika bisnis juga harus dilakukan. Ini menyangkut tiga ranah “bottom line”, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial, yang secara sederhana menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggungjawab pada ketiga aspek tersebut. Aspek ekonomi sudah disorot dalam butir-butir di atas. Aspek-aspek lainnya juga sudah harus diindahkan segera dengan, antara lain, sebanyak mungkin memanfaatkan bahan yang dapat didaur ulang dalam kemasan atau wadah dari toko.

5. Maling trotoar jalan

Menjual kenyamanan untuk parker dengan mencuri area jalanan adalah bisnis tanpa sopan santun. Saksikan betapa banyak TMB menghancurkan bahu jalan seenaknya, untuk parkiran, untuk kelancaran kendaraan barang masuk. Seluruh tanah di negara ini seperti milik moyangnya saja sehingga sangat berani Kurang ajar. Hal lain, hotel juga sama-sama maling pedestrian side.

6. Menunda pembayaran gaji karyawan

Sesekali ajaklah teman yang bekerja sebagai SPG, SPB, kasir, terapis di salon kecantikan yang juga menjual produk kosmetik ngopi di warung dan dengarkanlah kisah mereka yang berjuang supaya gaji tidak terlambat dibayar perusahaan. Mereka punya segudang alasan rasional untuk tidak memberikan hak pegawai dan suplier secepat mungkin, sehingga memenuhi kaidah “diberikan haknya sebelum keringatnya kering”.

Faktanya ialah:

Kerja lagi. Aku masih belum melihatmu berkeringat. Sebelum keringatmu kering kembali, gaji bulan ini akan kami bayarkan terlambat”. 

Ini juga merupakan bentuk perampokan besar dengan capital flight: Setiap penundaan pembayaran gaji untuk para pegawai (bukan manajemen apalagi pemilik franchise) Alfamart, Indomaret, Circle K, 7 Eleven, Jhonny Andrean Salon, Ramayana, Hero, Guardian artinya tanpa sadar orang kecil turut memodali kapitalis raksasa dan menutup mata terhadap sesamanya orang kecil.

7. Rampok berkedok ramah lingkungan

Atas nama regulasi dari pusat seenaknya sendiri membebani pembeli dengan harus membayar kantong kresek 200 rupiah per kresek. Tanpa transparansi alokasi dana yang terkumpul dari kantong kresek tersebut, maka regulasi ini pantas di-bully sebagai “logika kacau berdalih ramah lingkungan”.

Kapitalis selalu lebih licik daripada penjaga keamanan dan sebagian besar pembuat peraturan. Kita tak mungkin berdamai dengan rampok yang menguras isi rumah Kita. Ajakan ramah lingkungan ditipu pasar modern. Akal sehat memaksa kita untuk semakin lantang bersuara bahwa:

Kita tidak akan pernah berdamai dengan rampok yang menghabisi isi rumah kita.

Hari ini, rampok itu bernama toko modern berjejaring.

Pelan-pelan mereka mencoba “baju baru” dalam kemasan toko berjejaring beraplikasi daring alias bisnis e-commerce. (Tulisan khusus tentang ini akan segera saya publish)

Setiap hari kita menyaksikan bagaimana mereka mengeruk uang rakyat. Kali ini dengan menjual kresek atas nama ramah lingkungan dan aturan pusat. Besok dengan strategi lain lagi.

Sembari kita menghitung sisa-sisa recehan yang masih tersisa untuk belanja buat susu si bayi atau beras untuk ditanak esok hari, para doktor, marketing, profesor dan pengacara yang dibayar mahal oleh para kapitalis pemilik toko modern berjejaring ini sedang menikmati suasana santai di kafe atau ruang tertutup ditemani sampanye atau karaoke a la arisan ibu-ibu PNS.

Sesekali mereka nimbrung dengan mencet layar HP, diskusi di whatsapp dan menertawakan kebodohan tetangga kita, yakni sopir taxi yang harus kehilangan rezeki sehari demi berdemo melawan kapitalis lain lagi.

(Berangkat dari artikel Kompasiana yang ditulis oleh David Efendi)

Kebanggaan-kebanggaan yang akan Terus Bermunculan

Menarik membaca postingan dari media online setempat yang mengisahkan perjalanan Pak Raja Sianturi sebagai salah satu dari 55 penumpang terbang perdana Garuda untuk trayek Jakarta – Silangit.

Berikut penggalan berita dari laman Suara Tapanuli yang diberi judul “Bangganya Jadi Penumpang Terbang Perdana Garuda Jakarta-Silangit” itu.

Penerbangan perdana pesawat Garuda Indonesia jenis CRJ 1000 dari Soekarno-Hatta Jakarta ke Bandara Silangit Taput, Selasa (22/3) mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan masyarakat Tapanuli.

Namun siapa sangka peristiwa bersejarah ini hanya dimiliki oleh segelintir orang, hanya 55 orang. Beberapa di antaranya adalah keluarga Raja Sianturi. Pria asal Tanah Batak ini kini sudah tinggal menetap dan bekerja di Jakarta. Mereka mengaku bangga dan sangat senang bisa menjadi bagian dari sejarah kian berkembangnya kawasan apanuli tersebut.

Dalam penerbangan selama 2 jam 40 menit itu, Raja ditemani istri, putranya dan menantu perempuannya, serta seorang cucu.

“Kami sangat menikmati penerbangan perdana ini. Tidak ada goncangan yang berarti saat berada di udara yang membuat kita kadang merasa takut. Begitu nyaman,” tutur Raja setibanya di Silangit.

“Kami dengar jadwal penerbangannya tiga kali dalam seminggu. Itu bagus sekali, saya yakin kawasan Tapanuli ini akan cepat berkembang, dan bukan tidak mungkin nanti jadwal penerbangan menjadi ada setiap hari,” katanya.

Sebelumnya, sambung Raja, jika dirinya ingin pulang kampung biasanya terbang dari Jakarta ke Medan, kemudian menempuh jalur darat ke Tapanuli. Itu membutuhkan waktu berjam-jam. Tapi dengan adanya rute baru ini, waktu dan tenaga menjadi jauh lebih efisien.

Primum Impressum

“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”.

Ini adagium yang dipegang oleh setiap marketer yang memberi kebebasan penuh kepada siapapun calon pembeli atau pelanggan. Seperti kisah Pak Raja Sianturi yang bersedia kisah curhatnya dituliskan, dia telah menjadi bagian dari primum impressum-nya Garuda. Sejatinya, Garuda bukanlah maskapai pertama yang terbang ke Silangit, tetapi mengingat besarnya brand image Garuda dibanding kompetitor domestik, maka pengalaman pertama menaiki Garuda ini akan tetap berbunyi lebih “wah” dibanding ratusan flight yang sudah ada sebelumnya.

Dan sebagaimana biasanya, impressum ini akan menjadi katalisator bagi brand management selanjutnya dalam konteks yang lebih luas.

Maksudnya bagaimana?

Sekian persen keyakinan pembaca anti-pariwisata (yang sebelumnya meragukan komitmen dari pemerintah dan swasta untuk mempercepat pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba bagi pertumbuhan ekonomis rakyat setempat) akan bertambah. Seiring dengan gebrakan branding yang lain (semoga berjalan simultan dan serentak), keyakinan dari para pembaca testimolni semacam ini terutama warga setempat ini akan menyuburkan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.

Mengikut jejak pak Raja sebagai konsumen Garuda, berikutnya kita akan semakin tertarik mendengar testimonial lainnya terhadap berbagai bentuk pelayanan di destinasi wisata Danau Toba:

Bangganya Jadi Peyicip Pertama Kopi Humbang Dalam Kemasan Semewah Starbucks” (Memangnya sudah ada, saya tidak tahu. Kalau belum ada, berarti ini blue ocean market. Pangsa pasar segar yang bisa disasar dan dimulai oleh para barrista coffee yang ingin membuka usaha sendiri)

Bangganya Jadi Panortor Pertama Mengisi Konvensi Internasional di Hotel Bintang Lima Kawasan Danau Toba” (Saat ini belum dibangun. Tetapi, jika kawasan pariwisata Danau Toba nanti benar berhasil menjadi destinasi wisata kelas dunia, ini adalah keniscayaan).

Bangganya Jadi General Manager Hotel Pribumi Pertama di Swiss Belhotel – Silangit” (Saat ini juga belum ada. Tapi akan ada. Idem dengan yang di atas) Dan akan ada untaian “bangganya”-“bangganya” yang lain.

Ini saatnya bagi setiap warga lokal yang ingin mencari opportunity di tengah pengembangan destinasi Danau Toba. Kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka selama ini, lalu mengidentifikasi ke sektor mana mereka bisa berkecimpung, berjuang, bersusah-payah, dan berprestasi di sana.

Hasil akhirnya, selain dapur tetap bisa mengepul, ialah kebanggaan-kebanggaan seperti di atas yang sulit ditukar nilainya dengan rupiah semata.

Impressum mesti sustainable

Tentu kebanggaan hanya bisa muncul jika kesan pertama atau primum impressum berlanjut dengan secunda impressum, tertium impressum, dan seterusnya.

Dalam konteks branding pariwisata Danau Toba, ini berarti komitmen untuk sustainability. Bukan apa, soalnya, setiap kesan pertama itu bisa disulap. Jika pengembangan KSPN Danau Toba mesti diletakkan dalam konteks sustainable and holistic ecotourism, maka gebrakan branding-nya juga mesti demikian.

Kopi Humbang, Kopi Sidikalang, Kopi Simalungun atau daerah lain dari kaldera Toba yang lain tidak akan singgah di lidah para penikmat kopi di resto sebuah hotel jika tidak mengikuti standar peracikan kopi yang seorang barrista coffee pun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mahir menguasainya.

Sulit dibayangkan bahwa EO sebuah konvensi berkelas internasional akan menandatangani kontrak dengan para penari tortor yang tidak terorganisir dengan baik.

Para hotelier, entah pribumi dari kawasan Danau Toba atau bukan, tidak akan dilirik oleh operator hotel kelas internasional jika tidak memiliki rekam jejak yang baik.

Yang bertahan hingga akhir, ialah mereka yang selalu menciptakan kesan kedua, ketiga dan ke-sejuta berikutnya … yang lebih “wah” daripada kesan pertama.

Haromunthe di Adopan ni Punguan PARNA

Ditulis oleh marga Haromunthe dengan akun FB @Haro Alap

Tugu

Tung mansai lomos jala loja do hami pomparan ni Op Jelak Maribur khususna na marhuta sian Negeri Tamba, Kec Sitiotio, Kab Samosir molo disungkun dongan tubu Pomparan ni Nai Amboton ima sukkun-sukkun : “Boasa hamu mangalap boru Tamba molo marga Munte do hamu, alana marga Munte i pomparan ni Nai Ampaton manang parna do i”.

Tung mansai maol do hualusi hami sukkun-sukkun i. Sipata do hami margabus asa unang adong sukkun-sukkun i.

Alani i patorangon nami do saotik pardalanna tu hamu angka Amanta Raja dohot Inanta soripada boasa hami mangalap boru Tamba dohot angka boru ni Pomparan ni Nai Ambaton na asing, ima boru Simbolon, boru Sitanggang dohot angka na asing dope noso boi pinajojor.

Taringot tu sukkun-sukkun i, anggo alus na jempek sian hami songonon do: “ Ai dang ditonahon oppung nami tu hami na iboto nami boru Tamba dohot boru ni Pinompar ni Nai Ambaton na asing, alai sada tihas do dibahen di hami gabe digoari ma oppung nami Haro”. Ido sada siingoton dibahen di hami tarlumobi ma di Pinompar ni Jelak Maribur na marhuta di Negeri Tamba. Ido asa umbahen mangalap boru Tamba dohot boruni Pinompar ni Nai Ambaton na asing sahat tu sadarion.

Taringot tu tihas i, paboaon nami do saotik turi-turian na ditonahon ni natoras nami tarsongonon:

 Ia ompunta Munte tua dua do anak na, ima Jelak Karo, na marhuta jala marpinompar di Negeri Tongging; dohot anggina ima Jelak Maribur na ginoaran Datu Parultop. Tudos songon tu goarna i,  ia Oppu Jelak Maribur na malo do marultop, jala mansai lomo do rohana mangultop angka pidong.

Dinasahali dibereng ibana do sada pidong tung mansai uli warna ni habong na, jala laos diultop ibana do pidongi, alai dang hona, jala laos habang do pidongi. Alani lomo ni rohana mamereng pidongi laos di ihutton ibana didia muse songgop pidongi. Dung jonok ibana tu parsonggopan ni pidong i diultop ibana muse, alai tong dang hona jala laos habang muse.

Dina mangihutton pidongi ibana, gabe sahat do ibana tu sada huta, ima huta Negeri Tamba saonari. Di huta Negeri Tamba dibereng ibana ma sada boru-boru, martonun di bona ni unte puraga, jala laos godang do boras ni unte i naung malamun. Alani i sir do rohani Oppu Jelak Maribur naing mangallang unte, laos dipangido ibana tu boru-boru i. Dung dipangido ibana tu boru-boru i dipaloas do  ibana didok,: Jakkit hamu ma ito molo sir do rohamu naing mangallang unte i. Dung dipaloas boru-boru i dijangkit Jelak Maribur ma unte i jala laos diallang do unte di ginjang tingki na manjangkit i. Dungi manaili ma boru-boru i dompak ginjang.  

Diberengma Jelak Maribur manggallang unte puraga. Alani i rodo ijur ni boru-boru i naing mangallang unte i, laos didok:  “ia dobuhon hamu ma di au sada unte i, ai gabe laos ro do ijurhu dung hebereng hamu mangallang unte i”.

Dialusi Jelak Maribur do pangidoan ni boru-boru i didok:

Tarehon hamu ma ulos muna i asa hudabuhon”.

Di nanidabuhon ni Jelak Maribur unte i, alani borat ni unte gabe laos bukka jala russur do ulos pinakke ni boru-boru i, gabe maila do boru-boru i laos lao maringkat tu jabu. Alai anggo Jelak Maribur tung mansai lomo do rahana mamereng boru-boru i.

Dilului Jelak Maribur do dalan boha asa boi boru-boru i gabe parsonduk bolonna,pola do marsahit boru-boru i dibahen asa adong dalanna laho mangubati. Di na mangubati sahit ni boru-boru i laos tubu do holong di nasida, jala martunas do siubeon ni boru-boru i, I ma nagabe oppu boru namamopar hami, boru ni Tamba Lumban Tonga-tonga.

Dung diboto Raja Tamba Lumban Tonga-tonga naung martunas siubeon ni boruna, dijou ma angka hahanggina naloho manungkun Oppu Jelak Maribur. Disungkun hahanggina ma Oppu Jelak maribur manang na sian dia do harorona. Disungkun-sungkun ni Raja Tamba Tua, dialusi Jelak Maribur do na ro sian Tongging do Ibana jala anak ni Munte Tua.

Dung dialusi Jelak Maribur, ditimbangi Raja Tamba Tua do alusni oppu Jelak Maaribur jala di dok : “Naso adat, naso uhum do hape pangalaho ni Jelak Maribur, namariboto do hape nasida. Ikkon siseaton do ibana, situtungon tu api, sinongnongon tu tao”.

Dibege boru ni raja ido hata naung pinasahat ni angka Bapana tu oppu Jelak Maribur, alani i maringkati do ibana mandapothon oppu Jelak Maribur laos dihaol jala didok : Molo songoni do amang rap seat hamu ma hami nadua, asa unang maila au”.

Dung dibege hata ni boruna, didok Raja Lumban Tonga-tonga do tu angka hahanggina : “Dihamu angka hahanggingku, dang tarjalo au pangidoan ni borunta i, pangidoan ku di hamu asa loas hamu ma mangolu nasida, sai donganna gabe mai. Ai manang boha pe jolma do nataluli, dang bahenonta umum nalaho pasuda jolma. Alai asa unang gabe andor siuhut-ihuton on tabahen ma sada tihas di nalaho helanta, dang margoar Jelak Maribur be ibana alai Haro ma, ai nungnga managam-nagam haroan be hita.

Songoni ma saotik turi-turian naboi dipatorang hami tu hamu Amanta Raja dohot Inanta Soripada boasa hami marga Munte khususna pinampar ni Oppu Jelak Maribur na marhuta di Negeri Tamba, Kec Sitio-tio, Kab Samosir mangalap boru Tamba, dohot angka boru ni pinompar ni Raja Naiambaton. Molo marningot tarombo, patar do disi ia Oppu Jelak Maribur/Datu Parultop pinompar ni Munte Tua.

Tentang KSPN Danau Toba: BODT Gasnya, Geopark Remnya

Gas dan Rem

Antusiasme

Pascakedatangan Jokowi dalam kunjungan kerjanya, saat ini ramai-ramai warga sekitar Danau Toba, para pengamat di dunia republik maya Facebook dan kekaisaran Twitter, berlomba-lomba menyampaikan persepsi mereka. Bersama-sama mereka mencoba menafsirkan dan menanam berbagai harapan pada seruan pak Presiden: “Bersatu(lah) untuk Danau Toba”.

Mau Kemana?

  1. Ketujuh bupati yang mengepalai tujuh kabupaten sekitar Danau Toba sudah sepakat “Iya”. Mereka sudah menandatangani ajakan untuk bekerjasama itu. Turut hadir dalam rapat tersebut adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Plt Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, Bupati Dairi KRA Johnny Sitohang Adinegoro, Bupati Simalungun Binsar Situmorang, Bupati Samosir Rapidin Simbolon, Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Bamjarnahor, Bupati Toba Samosir Darwin Siagian, Bupati Karo Terkelin Brahmana, dan Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan.
  2. Merujuk poin no 1, mereka juga sudah sepakat untuk bekerjasama dalam sinergi dengan Badan Otoritas Kawasan Danau Toba. “Artinya yang berkaitan dengan izin-izin dalam lingkup kawasan wisata yang sudah ditentukan sebesar 500 hektar akan jadi kewenangan badan otorita, lainnya menjadi kewenangan pemerintah daerah,” ucap Presiden di Hotel Niagara, 1 Maret lalu.
  3. Diskusi-diskusi juga mulai dimarakkan, baik di partukkoan, lapo maupun di rapat-rapat terbatas, entah melibatkan pemerintah atau tidak, entah dengan vested interest untuk mendapat kue dari 21 Trilliun itu atau tidak, sehingga kini pelan-pelan sudah ada bayangan kurang lebih bagaimana kelak “wajah baru” dari kawasan Danau Toba tersebut. Ada suara yang cukup dominan bahwa untuk layak menjadi destinasi turisme internasional, perusahaan-perusahaan yang kerap-kerap disebut sebagai perusak lingkungan kawasan Danau Toba mesti ditertibkan bahkan pemerintah menyatakan komitmennya bahwa para perusak itu akan ditindak tegas. Beberapa nama yang sejak dulu dan terus mencuat ke permukaan (sekaligus juga mengkritisi LSM peduli lingkungan yang selama ini mengisi “periuk” mereka dengan sogokan-sogokan untuk berhenti bersuara), yakni  PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT Alegrindo Nusantara,  PT Merek Indah Lestari (PT MIL) Simalem Resort, PT Gorga Duma Sari, dan PT Aquafarm Nusantara.
  4. Bandara Silangit akan diperlebar mulai pada bulan April 2016 dan pengembangannya diharapkan selesai pada bulan September 2016. Pengembangan bandara meliputi perluasan landasan pacu dari 2400 x 30 meter menjadi 2650 x 45 meter dan perluasan pembangunan terminal penumpang. Sarana akomodasi juga tak luput menjadi perhatian Presiden, pemerintah akan membangun hotel di kawasan Danau Toba dengan fasilitas yang lebih baik.

BODT sebagai “Gas”-nya

Tampaknya pemerintah sudah memetakan geopolitik para pemangku kebijakan di daerah-daerah seputar Danau Toba yang selama ini kental dengan sikap resistensi mereka sebagai “penguasa lokal”, sehingga dengan meminjam argumentasi keberhasilan Kawasan Pariwisata Bali yang menggunakan otoritas tunggal, maka sejak awal pemerintah tegaskan bahwa areal izin pengelolaan 500 hektar ini (entah dimana koordinatnya belum ada publikasi) akan ditangani oleh badan otoritas tunggal. Namanya disebut sebagai Badan Otorita Danau Toba (sebagian menyebut lebih tepat Otorita Danau Toba saja, tanpa embel-embel badan).

Rasionalisasinya jelas seperti dikemukakan Jokowi:

Karena ini menyangkut tujuh kabupaten, kalau nggak bersatu, nggak ada kata sepakat “iya”, memang pemerintah pusat akan kesulitan.

Alih-alih memoderasi ketujuh bupati untuk saling tenggang rasa dan bahu membahu membangun Danau Toba – langkah yang tentu akan bloody difficult atau malah impossible, BODT-lah yang nanti akan mengkoordinir pengembangan kawasan wisata hasil muntahan Gunung Supervolkanik Toba jutaan tahun lalu itu (beberapa fakta ilmiah bahkan menyebutnya sebagai gunung berapi aktif).

Jika rencana pengembangan KSPN Danau Toba ini ibarat rancang bangun mesin motor, jelaslah bahwa si akselerator, clutchpersnelling atau “gas”-nya adalah BODT.

Geopark sebagai Rem-nya.

Layaknya mesin yang dipersenjatai dengan rem dan gas (sehingga penunggangnya sampai ke tujuan dengan selamat, tapi tidak buru-buru ke akhirat), maka road map pengembangan KSPN Danau Toba ini pun punya rem-nya yang akhir-akhir kerap lenyap dalam diskursus (mungkin karena para pemrasaran banyak yang sudah terbayang dengan proyek menggiurkan di depan mata sehingga terbawa dalam materi yang disampaikan ataupun citra yang tampak ke masyarakat). Rem yang dimaksud adalah konsep geopark.

Senada dengan tulisan Mangadar Situmorang, prinsip paling penting yang paling mungkin mengurangi cedera pada setiap mesin pembangunan kawasan wisata ialah sustainable and holistic ecotourism.  Artinya, dengan analogi keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir sebagai visualisasi alam paling konret dan universal dari sebuah rahim yang agung, mengembangkan Danau Toba berarti tidak melulu “memperkosa” alam sebagai paket-paket jualan wisata, tetapi membesarkannya, merawatnya dan bahkan jika bisa memperindahnya setelah bertahun-tahun lamanya dirusak oleh para “pejantan” ganas yang meninggalkannya begitu saja tanpa tanggung jawab setelah memuaskan “syahwat” bagi corporate income-nya.

Apa itu konsep geopark?

Wikipedia menulis seperti ini.

The Global Geoparks Network (GGN) is a UNESCO activity established in 1998. According to UNESCO, for a geopark to apply to be included in the GGN, it needs to:

  1. have a management plan designed to foster socio-economic development that is sustainable based on geotourism (memiliki rencana manajemen yang dirancang untuk mendorong pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan konsep geotourism);
  2. demonstrate methods for conserving and enhancing geological heritage and provide means for teaching geoscientific disciplines and broader environmental issues (memiliki menunjukkan metode untuk melestarikan dan meningkatkan warisan geologi dan menyediakan sarana untuk disiplin geosains dan isu-isu lingkungan yang lebih luas);
  3. have joint proposals submitted by public authorities, local communities and private interests acting together, which demonstrate the best practices with respect to Earth heritage conservation and its integration into sustainable development strategies (lengkap dengan proposal bersama yang disampaikan oleh otoritas publik, masyarakat lokal dan kepentingan pribadi bertindak bersama-sama, yang menunjukkan praktik terbaik sehubungan dengan pelestarian pusaka Bumi dan integrasinya ke dalam strategi pembangunan berkelanjutan).

Masyarakat yang cinta dengan keindahan Danau Toba, entah karena mereka benar-benar punya keterikatan emosional dengannya sebagai bona pasogit atau tidak, sempat kecewa karena menurut ekspektasi mereka mestinya Danau Toba bisa masuk sebagai Global Geoparks Network pada kontes beberapa waktu lalu. Sebagian malah saking emosionalnya menuduh bahwa ada yang tidak beres dengan para juri yang lebih memilih Danau Batur sebagai Geopark Nasional untuk Indonesia.

Menurut pemantauan saya, ternyata yang perduli dengan Danau Toba ini sangat banyak sekali, bukan hanya yang memilikinya sebagia bona pasogit, tetapi juga semua saja yang perduli dengan pengembangan kawasan wisata yang berkelanjutan  dan menyeluruh.

Ringkasnya: berkelanjutan berarti ini mesti dipandang sebagai proyek puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun, selamanya (kalau “selamanya'” itu ada); holistik berarti yang bertanggung jawab dan menikmati manfaat dari berkembangnya kawasan Danau Toba ini ialah alamnya sendiri dan manusianya (bukan satu kabupaten atau satu kelompok tertentu saja, sekalipun itu mayoritas – entah dari segi statistik pendukung ataupun dari kekuatan politis).

Saya berharap Jokowi, Rizal Ramli, Luhut Binsar Panjaitan, gubernur Sumatera Utara dan ketujuh bupati juga SEPAKAT dan konsisten dengan konsep ini.

Tugas berikutnya:

BODT sudah ada sebagai gas-nya.
Konsep geopark sebagai rem-nya.
Tapi mesin ini bukan mesin matic yang bergerak otomatis. Mesti ada yang memposisikan diri sebagai persnelling atau “gigi”nya.

Siapakah yang mau jadi clutch atau persnelling-nya?

Transkrip Sambutan Jokowi pada Konpers di Hotel Niagara

Jokowi

Pada kunjungan kerjanya ke kawasan Danau Toba pada 1 Maret 2016, Presiden Jokowi bertemu dengan Plt. Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, ketujuh bupati yang mengepalai tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba (Samosir, Tobasa, Simalungun, Taput, Humbahas, Dairi, dan Karo) dan melakukan sejumlah pembicaraan dengan mereka terkait rencana pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau Toba.

Tidak ketinggalan pula, presiden yang senang blusukan ini meneruskan kebiasaannya menyapa rakyat Balige pada kunjungannya ke Institut Teknologi DEL. Tentu pengalaman ini akan membawa kenangan tersendiri bagi siapapun yang mengalaminya (sayang sekali saya tidak ikut hadir pada kesempatan ini). IT DEL sendiri adalah institut yang didirikan oleh Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sekarang) yang turut pula mendampingi Jokowi dalam kunjungan kerja tersebut.

Berikut ini transkrip sambutan Presiden Jokowi pada konferensi pers di hadapan para awak media di Hotel Niagara yang berdurasi 3 menit 50 detik, seperti dimuat BatakToday. Semoga berguna bagi para pembaca, pengamat terutama ahli komunikasi politik sehingga pesan ini bisa sampai dan menimbulkan pengertian yang univokal bagi semua rakyat yang perduli dengan pengembangan KSPN Danau Toba.

Tadi sudah dibicarakan dan final mengenai pengembangan kawasan wisata Danau Toba. Ini sudah sebetulnya dimulai pada Agustus yang lalu. Kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa rapat terbatas. Yang terakhir rapat di istana dengan gubernur sumatera utara dan seluruh bupati yang ada. Sekarang kita ulang lagi dengan gubernur dengan tujuh bupati.
Sudah sepakat semuanya, dan kita ingin membangun bersama-sama.
Rapatnya tadi juga diberi judul “Bersatu untuk Danau Toba”.
Judulnya itu.

(Tepuk tangan dari hadirin)

Karena ini menyangkut tujuh kabupaten, kalau nggak bersatu, nggak ada kata sepakat “iya”, memang pemerintah pusat akan kesulitan.

Tapi karena sudah bersatu. semuanya sudah tanda tangan, “ya” semuanya, sehingga ini segera akan dilakukan.

Apa yang akan kita kerjakan?
Yang pertama membangun Bandara Silangit yang langsung akan dimulai kira-kira pada bulan Aril. Akan selesai, janji dengan saya, pada bulan September. Tetapi, okelah, mujur-mujur paling terakhir tahun ini akan selesai.

Seandainya diperpanjang menjadi 2650 yang akan bisa didarati oleh Boeing, kemudian terminalnya juga akan dibangun yang besar, sehingga kita harapkan dengan infrastruktur perhubungan ini, wisatawan yang datang akan mulai lebih banyak.

Tahun depan dengan infrastruktur yang berikutnya akan lebih banyak lagi.

Kemudian tahun-tahun berikutnya kita harapkan juga akan tambah terus. Dan tentu saja kita akan membangun hotel dan beberapa kawasan disini yang kita harapkan dengan fasilitas yang lebih baik, akan juga mendatangkan wisatawan nusantara dan wisatawan dari luar lebih banyak lagi.

Dengan positioning lebih baik, dengan differensiasi yang berbeda dengan wisata yang lain, dan rebranding yang lebih baik lagi, dengan promosi yang lebih baik lagi, kita semua meyakini bahwa Danau Toba akan mejadi ikon destinasi yang betul-betul layak dikunjungi baik dari wisman maupun mancanegara.

Itu yang bisa saya sampaikan.

 

Leonardo: Horas, Amang Jokowi.

Advent

Jokowi Datang: Horas!!!

Hari ini Pak Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara pada Selasa (1/3) pagi untuk meninjau destinasi wisata Danau Toba. Sebagai tindak lanjut dari hasil Rapat Terbatas tanggal 2 Februari 2016 di Kantor Presiden, langkah ini, entah bermuatan politis atau tidak (biarlah tugas pengamat yang lebih senior untuk memberikan catatan, analisis dan komentarnya), menurut saya dilakukan pada momentum yang tepat.

Sebagai rangkaian dari tiga hari perjalanannya di Sumatera, beliau mengunjungi destinasi wisata prioritas yakni Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba. Setibanya di Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang dengan menggunakan Pesawat Kepresidenan Indonesia-1, beliau dan rombongan rombongan berganti pesawat dengan menggunakan CN-295 menuju Bandara Silangit, Kabupaten Tapanuli Utara dan melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba dengan berkendaraan mobil. Sore harinya, Presiden dan rombongan akan menuju Medan untuk bermalam.

Seprti diinfokan oleh Berita Lima, paket perjalanan ini kemudian akan meliputi kunjungan ke Takengon untuk peresmian Bandara Rembele – Takengon, Provinsi Aceh kemudian meninjau pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan.

Dengan segala hormat kepada para pengamat, jelas langkah ini bukan semata langkah politis tetapi juga marketing yang sangat baik. Setelah resistensi dari para pemangku jabatan di tujuh kabupaten setempat soal pengembangan KSPN Danau Toba, apapun yang dilakukan atau dibicarakan Jokowi dengan kunjungan singkatnya, ia telah mulai memenangkan hati para “raja lokal” tersebut.

Tak hanya menunjukkan kapasitas sebagai kepala suku (presiden) yang mengepalai kepala-kepala suku yang lebih kecil  (para bupati, camat, para “hampung” atau kepala desa hingga para “maujana” atau penatua adat setempat), jiwa marketing itu telah menghasilkan efek yang diharapkan sehingga beberapa saat kemudian muncul tweet update penuh percaya diri dari akun @jokowi sebagai berikut:

Membanggakan. Tujuh bupati sepakat membangun Danau Toba. Toba akan jadi tujuan wisata dunia -Jkw

Jelas. Ini langkah bagus buat akuisisi lahan dan langkah superberat lainnya yang kerap menghantui setiap agenda pembangunan infrastruktur dan pengembangan kawasan wisata di berbagai belahan nusantara ini. Bagi para penikmat kopi hangat dan koran pagi hari, jelas ini cukup jadi alasan untuk tersenyum dalam hati.

“Yesss … Jokowi sudah datang, jadi nih barang”, ucap para pebisnis yang melihat prospek cerah di industri pariwisata ini.

Atau:

“Horas ma di amang Jokowi!!! Horas ma muse tu angka parsakkap na laho padengganhon jala paulihon Tao Toba i!!!”, sebut orang kecil seperti saya yang – karena tidak punya pengetahuan apapun di bisnis pariwisata –  hanya berharap supaya konsep Sustainable and Holistic Ecotourism tetap terjaga.

(Kurang lebih berarti: Selamat pak Jokowi. Selamat juga buat semua yang berniat baik memajukan dan menjaga Danau Toba dengan keindahannya).

Horas yang Lain dari Leonardo diCaprio

Tentu saja Leonardo tidak mengucapkan “Horas” ketika ia menerima piala Oscar atas perannya sebagai Hugh Glass di film Revenant. Selain itu, dia bukan orang Batak Toba atau sub-etnis Batak lain yang terbiasa menyebut sapaan “Horas” untuk menyambut tamu. Leonardo adalah aktor Hollywood yang beberapa hari ini sedang dan mungkin akan semakin terus dibicarakan orang karena prestasinya menyabet piala Oscar untuk kategori Best Actor, Best Director dan Best Picture. Namun selain itu, yang tidak tidak luput dari perhatian publik adalah pesan ekologis yang kembali disampaikan oleh tim produksi film tersebut. Bagi saya, ini pantas jadi Best Message juga.

Seperti dikutip dari situs Oscar, teks pidato Leo setelah dia menerima piala tersebut aslinya berbunyi:

Thank you all so very much. Thank you to the Academy, thank you to all of you in this room. I have to congratulate the other incredible nomineesthis year for their unbelievable performances. The Revenant was the product of the tireless efforts of an unbelievable cast and crew I got to work alongside. First off, to my brother in this endeavor, Mr. Tom Hardy. Tom, your fierce talent on screen can only be surpassed by your friendship off screen. To Mr. Alejandro Innaritu, as the history of cinema unfolds, you have forged your way into history these past 2 years… thank you for creating a transcendent cinematic experience. Thank you to everybody at Fox and New Regency…my entire team. I have to thank everyone from the very onset of my career…to Mr. Jones for casting me in my first film to Mr. Scorsese for teaching me so much about the cinematic art form. To my parents, none of this would be possible without you. And to my friends, I love you dearly, you know who you are.

And lastly I just want to say this: Making The Revenant was about man’s relationship to the natural world. A world that we collectively felt in 2015 as the hottest year in recorded history. Our production needed to move to the southern tip of this planet just to be able to find snow. Climate change is real, it is happening right now. It is the most urgent threat facing our entire species, and we need to work collectively together and stop procrastinating. We need to support leaders around the world who do not speak for the big polluters, but who speak for all of humanity, for the indigenous people of the world, for the billions and billions of underprivileged people out there who would be most affected by this. For our children’s children, and for those people out there whose voices have been drowned out by the politics of greed. I thank you all for this amazing award tonight. Let us not take this planet for granted. I do not take tonight for granted. Thank you so very much.

Paragraf pertama berupa ucapan terima kasih kepada semua yang ambil bagian dalam pembuatan film tersebut. Paragraf kedua menyampaikan pesan yang saya maksud.

Seorang teman di Twitter menterjemahkannya seperti pada gambar di atas.

Membuat film the Revenant adalah tentang hubungan manusia dengan alam dunia ini. satu dunia yang kita jatuhkan secara kolektif yang membuat tahun 2015 menjadi tahun paling panas sepanjang rekaman sejarah. Tim produksi kami harus pergi ke kutub selatan dari planet ini untuk menemukan salju. Situasi ini merupakan yang paling urgen yang dihadapi oleh seluruh spesies kita. Kita harus bekerjasama dan berhenti menunda-nunda. Kita harus mendukung para pemimpin di seluruh dunia ini yang tidak bicara sola penyebab polusi atau korpotasi-korporasi besat tetapi yang bicara untuk kemanusiaan; dan kepada masyarakat lokal dunia ini, untuk jutaan orang yang kurang mampu disana, yang suaranya ditenggelamkan oleh para politisi serakah. Jangan menjadi orang yang tidak perduli atas planet ini. Yang saya capai malam ini pun tidak terjadi begitu saja.

Sama seperti pesan Paus Francis pada Laudato Si, ensiklik keduanya dengan kandungan pemahaman ekologis yang jauh lebih kaya, bagi saya pesan Leonardo Di Caprio ini cukup mewakili jutaan orang Indonesia yang sangat menginginkan bumi nusantara ini dibangun, dimajukan sekaligus dijaga untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi para korporasi atau pelaku lain (yang tidak berfikir dua kali mengorbankan sustainable ecotourisme demi sustainable corporate income).

Inilah horas “lain” yang saya maksud. Bukan sekedar basa-basi tetapi juga ungkapan salam silaturahmi penuh harapan bagi siapapun yang menerima salam itu. Entah mengapa bisa terjadi dalam waktu bersamaan dengan kedatangan Jokowi ke kawasan Danau Toba yang (konon) katanya kaya dengan keindahan alam dan limpah khazanah kearifan dan budaya penduduk lokal, pesan dari appara saya Leonardo Di Caprio ini menyatukan rasa dari jutaan orang yang cinta dan perduli dengan sustainable dan holistic development untuk Danau Toba dan rakyat yang berdiam di sana.

Saat ini, salam itu ditujukan kepada Pak Jokowi.

PDSKJI Akhirnya Mengalah

Akhirnya pak Menkominfo berhasil mencatatkan satu portofolio baru dalam CV-nya, yakni sebagai great opinionator (penggiring opini). Betapa tidak. Berawal dari reaksi beliau terhadap stiker LINE, kini isu LGBT menjadi viral kembali. Tiba-tiba saja, bermunculan penulis dan pengamat, yang entah dari mana, tiba-tiba menemukan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga merasa punya otoritas untuk menyatakan bahwa memilih mendukung LGBT termasuk sesat, mesti ditolak dan tidak pancasilais. Sebagian kecil memilih untuk berupaya netral, meskipun tidak ada parameter pasti untuk menyebut suatu persektif tulisan itu benar-benar netral, termasuk tulisan saya sebelumnya:-)

Beberapa hal menurut hemat saya perlu dicatat dalam diskursus yang masih terus berjalan ini.

Pertama, tidak ada sikap netral. Meskipun para moderat akan berupaya menggunakan jargon yang seolah-olah memberikan jalan tengah, tetapi pertarungan opini dan penegakan HAM para LGBT akhirnya bermuara pada bipolaritas: Menolak atau Mendukung.

Kedua, para penolak keberadaan LGBT sejatinya juga mempunyai kepentingan lain yang “menurut mereka” adalah demi membela nilai tertinggi dalam kemanusiaan, yakni meneruskan generasi. Mereka memvalidasi penolakan dengan argumen bahwa regenerasi manusia hanya bisa berlangsung secara alamiah antara pria dan wanita, kendatipun interseksi-interseksi seks dan gender pun belum final hingga saat ini. Bahasa sederhananya: Perbedaan pria dan wanita merupakan wacana dan subjek penelitian yang masih terbuka bagi banyak kemungkinan.

Ketiga, para pendukung LGBT bisa terdiri dari beberapa komposisi kepentingan. Barangkali karena mereka sendiri adalah manusia LGBT.  Ini yang paling umum menurut para penolak LGBT (sayangnya, kebanyakan dari mereka hanya berangkat dari asumsi semata). Lebih kerap adalah bahwa para pendukung LGBT (baca: yang berpandangan bahwa LGBT juga mesti diberi panggung sosial yang sama dengan kaum hetero) benar-benar tidak bisa menerima bahwa hak seseorang mesti dikekang hanya karena mereka terlahir dengan keadaan tertentu.

Keempat, penting dicatat bahwa setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, para LGBT dan yang pro terhadap keberadaan dan hak-hak mereka untuk mengekspresikan diri secara setara dengan kaum hetero masih harus menempuh jalan panjang.

Tertanggal 19 Februari 2016, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mengeluarkan surat yang isinya menegaskan bahwa panggung LGBT masih tidak berubah. Manusia LGBT mesti menunggu beberapa tahun atau dekade lagi sehingga mereka bisa hidup sebagai orang Indonesia secara sah, tanpa ditengarai sebagai paham yang tidak pancasilais.

Surat itu menyebutkan bahwa homoseksual dan biseksual dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan. Sama dengan “maniak-maniak” lain, termasuk gangguan kejiwaan ekstrim seperti orang yang merasa mendapat bisikan ilahi untuk menunaikan tugas suci memusnahkan atau membunuh manusia lainnya.

Surat yang sama menyebutkan bahwa transeksualisme dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Gangguan Kejiwaan. Artinya, jika mau jujur, para transeksual ini mesti mendapat terapi kejiwaan. Jika berlanjut pada ranah hukum, sedikit egalisasi dari pemerintah, maka bisnis rumah sakit jiwa akan menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Mengapa? Karena jika kaum transeksual ingin diakui sebagai orang tanpa gangguan kejiwaan, maka mereka mesti berbondong-bondong mencari terapi. Mungkin dengan sertifikat juga.

Pembaca bisa memaknai catatan-catatan ini secara denotatif ataupun kiasan satir, saya yakin bahwa kita akan sampai pada kesimpulan yang sama: yakni bahwa kita mesti lebih banyak menemukan pencerahan lagi.
Pencerahan tentang apa arti manusia.
Pemahaman lebih lagi tentang sumbangsih dan mudarat suatu paham atau ideologi terhadap kemanusiaan.
Pengertian yang lebih lagi (mungkin sampai pada tingkatan yang melampaui kalkulasi untung rugi atau banyak-sedikitnya anggota dari sebuah kelompok) tentang apa arti menjadi manusia hetero di tengah sesama yang bukan hanya hetero, tetapi juga LGBT (bahkan LGBTIQ).

Saya yakin bahwa pengurus pusat PDSKJI tentu sudah memikirkan pertimbangan-pertimbangan ini sebelum mengeluarkan surat pernyataan yang bagi banyak orang langsung jelas terbaca sebagai suatu langkah mundur. Mengingat bahwa beberapa tahun sebelumnya LGBT sudah dinyatakan bahwa

Penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).

Para spesialis kejiwaan tentu bisa memberi argumentasi bahwa ODMK dan ODGK adalah dua hal yang sangat berbeda, masing-masing penjelasan medis mereka. Bagi publik, yang terbaca ialah:

Lihat noh. Dokter spesialis jiwa aja bilang kalo LGBT itu orang sakit jiwa. Ya pantes diterapi, disembuhkan dulu donk sebelum diterima sebagai manusia normal

Saya setuju, bahwa surat ini adalah langkah mundur.

🙁

Tetapi apakah para dokter spesialis yang terwakilkan suaranya di PP PDSKJI ini kekurangan riset?
Atau jangan-jangan mereka justru semakin piawai dengan mempelajari riset tambahan penting lainnya?

Saya cenderung memilih yang kedua.

Mengingat bahwa mayoritas warga Indonesia masih merasa bahwa LGBT adalah penyimpangan, abnormal, merupakan penyakit atau kelainan seksual, mesti disembuhkan, dan atribut serta beragam stereotipe lainnya, maka mengikuti Black Theory, mereka memilih untuk “sedikit” mengorbankan integritas dan intelektualitas mereka dengan memilih langkah mundur ini.

“Hampir semua warga Indonesia belum bisa menerima LGBT ini. Maka, supaya kita tetap populer, ada baiknya kita juga memilih langkah yang populis”, barangkali  seperti itu penggalan percakapan yang melatari lahirnya surat ini.

Saya tidak tahu persis apakah mereka punya rencana atau kebijakan lain yang akan merevisi pandangan dalam surat yang sekarang ini, tetapi bagi saya suara mereka saat ini kedengaran seperti kompromi para anggota dewan yang memilih mendukung revisi UU KPK – barangkali lebih nyaman bagi mayoritas pandangan para wakil rakyat ini, meskipun dalam hati mereka pun tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang mereka suarakan saat itu.
(Bagian ini agak nyerempet, tapi mudah-mudahan bisa menjadi analogi yang cukup membantu).

Syukurlah, riak-riak kecil terus bermunculan sepanjang sejarah peradaban manusia. Ya. Yakni redefinisi2 struktur sosial yang kerap dianggap menentang arus hanya karena membawa definisi lain tentang apa arti menjadi manusia. Pada setiap zaman, golongan ini dan yang berada pada golongan ini kerap kurang bergema suaranya, hanya karena pada zamannya pandangan mereka dinilai tidak populis.

Sama seperti, ketika saya dan teman2 mengatakan bahwa LGBT mesti diberi panggung sosial yang setara dan sama legalnya dengan kaum hetero, saat ini pandangan semacam itu pasti tidak populis.

Menindas #LGBT dengan Dalih Tidak Normal: Bukti Lain Inferioritas Kaum Mayoritas?

Tulisan ini saya tujukan buat sesama teman yang heteroseksual,

Saya penasaran dengan diskusi terbatas antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan perwakilan stasiun televisi mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) seperti ditulis oleh Om Brill. Mungkin ada yang bisa menuliskan detail dokumentasinya. Apakah diskusi terbatas yang katanya Melarang Tayangan Yang Mengkampanyekan LGBT ini akan membuka pintu untuk melahirkan peraturan baru dengan implikasi hukum yang baru untuk memuaskan nafsu kita sebagai mayoritas heteroseksual untuk menindas saudara-saudara kita kaum LGBT?

Tetapi lebih penasaran lagi ketika seorang pengamat membuat analisis dukungan pelarangan kampanye LGBT  berangkat dari paham mayoritas yang memaksakan gagasan mereka bahwa LGBT adalah kelainan.

Tanpa tenggelam dalam diksi dan semantik, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi nukilan sejarah yang sudah pernah terdokumentasikan dengan baik, tetapi lantas kita lupakan begitu saja. Mengapa dilupakan? Banyak sebabnya. Selain karena memang kita kerap lupa akan banyak hal secara tidak sengaja, lebih kerap lagi ialah kita memilih untuk tidak mengingatnya karena rentan mengusik kenyamanan kita.

Klik saja link dokumentasi Kompas.com ini. Dokumentasi tahun 2008 itu menyebut bahwa homoseksual bukan kelainan seksual.

Runut lagi ke belakang, ini sama dengan kebijakan dari The American Psychiatric Association (APA) yang mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental Pada tahun 1973, dan dengan demikian posisi sebelumnya (tahun 1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental klinis dihapuskan.

Langkah yang progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association dan juga oleh The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama. Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas telah dihapus dari daftar gangguan jiwa.

Membaca ini semua, kita sepertinya kehabisan amunisi karena bahkan di Indonesia sendiri kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai gangguan jiwa, lalu kita yang tidak nyaman dengan kehadiran kaum LGBT ini mencoba mempertahankan kenyamanan kita dengan menyebut mereka sebagai “tidak normal”. Akan ada seribu satu argumentasi untuk membela posisi kita kaum heteroseksual sebagai mayoritas bahwa kita mengakui HAM bagi LGBT, hanya saja bagi kita itu “tidak normal”.

Jujur atau tidak jujur mengakui, yang sekarang terjadi adalah:

Kita yang mayoritas heteroseksual merasakan bahwa mereka yang LGBT boleh ada, tetapi tidak boleh menunjukkan dirinya di depan umum.

Kita yang mayoritas heteroseksual merasakan bahwa mereka yang LGBT bukan penderita gangguan jiwa, tetapi tetap saja tidak boleh mempertontonkan ekpresi jiwa mereka di depan umum.

Kita yang mayoritas heteroseksual dan mulai moderat menyebut mereka yang LGBT adalah saudara kita juga, mempunyai HAM yang sama, tetapi tetap dengan kategori TIDAK NORMAL.

Litani ini bisa kita perpanjang lagi.

Buat saya ini jelas merupakan indikasi bahwa kita sebagai mayoritas heteroseksual merasa inferior karena begitu kuatnya kita menggenggam media dan arus informasi serta tempat dan waktu di bumi ini, mereka yang LGBT kok tetap ngeyel ya? Mereka kok tetap ada ya?

Ketika Magnis Suseno menyebut bahwa orientasi seksual tidak ditentukan seseorang tapi alami, kita seperti diingatkan untuk berdamai dengan kenyataan bahwa homoseksualitas adalah variasi dari alam semesta, dengan persentasi 5-10 persen dari jumlah penduduk yang pernah ada. Tidak mudah memang berdamai untuk situasi yang berbeda dengan yang selama ini kita alami dan ketahui. Terutama kita yang mengambil posisi di 90-95 % lainnya ini.

Mungkin sampai saat ini kita juga akan mengambil posisi yang sama dengan para pengkritik Surat terbuka Reza Aslan dan Hasan Minhaj dari situs Religion Dispatches ini.

Reza Aslan, seorang ahli agama dan komedian bersama Hasan Minhaj, wartawan Daily Show (keduanya Muslim Amerika) pada 7 Juli 2015, bersama-sama menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015.

Berikut ini bagian-bagian yang menurut saya penting diperhatikan.

“Kini perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak dapat merangkul perubahan ini. Kalian dapat merasa tidak ada masalah jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian. Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi, diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan kepada kalian.

Sebagai Muslim, kita adalah orang yang telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif. Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali kita sebagai Muslim. Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan kemunafikan.

Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau mengomel kepada kalian. Ingat juga bagaimana para pemimpin politik terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap biasa-biasa saja dengan semua itu?

Kalian boleh berpikir bahwa hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam sendiri.

Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam. Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.

Karena itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA. Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik. Sebagai minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin hidup kita bebas.

Hal terpenting yang kalian harus pikirkan sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan hanya bagi kalangan heteroseksual!”

Saya sependapat dengan Mas Ioanes Rahmat dalam blognya yang juga mengupas surat terbuka yang sama, bahwa terutama dengan melihat baris terakhir surat terbuka tersebut [“Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang], seperti yang bisa diprediksi sebelumnya, akan ada banyak kaum religius (terutama yang mengatasnamakan pandangan agama muslim dan Kristen yang mayoritas di republik ini) yang akan mengecam mereka.

Sebagian besar, Anda dan saya, masuk dalam arus besar ini. Dan jika Anda tidak ingin menjadi menjadi penindas kaum LGBT atas dasar inferioritas kaum mayoritas, sebaiknya kita mulai memberi panggung yang seadil-adilnya buat mereka.

Ilustrasi

Mangadar Situmorang: Sustainable and Holistic Ecotourism Is What The Authority Should Put As The Grand Design of Lake Toba

Mangadar Situmorang

Mangadar Situmorang

News Wire

News are widespread on the plan issued by Coordinating Maritime Affairs Minister Rizal Ramli when he is cited to upbeat the management of Lake Toba by a single agency.

“By focusing on the development pattern, there are sufficient funds available to build the necessary facilities,” said Rizal Ramli after attending a limited cabinet meeting on planned development of Lake Toba tourist destination at the Presidential Office in Jakarta on Tuesday, Feb. 2.

With budget allocated set at 21 thrillion rupiahs, this will be the most heavily targeted megaproject by all stakeholders.

Urgencies

The following steps that needs to be carried out by the government is cleaning fish waste in Lake Toba. At least 246 tons of fish fodder is scattered into the lake each month, while 20 percent of it is not eaten and so pollute the lake ecosystem. This is one among other challenges that needs to be brought in order to make a stable environmental support for the big plan itself.

The government also has set up a scheme so that seven regions around Lake Toba would benefit from the positive impacts of development in the region.
Lake Toba is one of the top 10 prioritized tourist destinations, namely Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Thousand Islands, Lake Toba, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai, and Tanjung Kelayang. Directly order from the president, this agenda should not be delayed for the common good of the people (bonum commune) especially for the local people.

Sustainable and Holistic Ecotourism: An offer from the very local people.
It is interesting to notice that this design has attracted so many attentions.

Put that in bipolar perspective and you will see that views are coming from both the very local people and other stakeholders that – probably are not really understand what happens in the regions surrounding Lake Toba – but still want to contribute in that project in any kind of approach.
Put that in unpolarized perspective and you will find so many insights and criticism, both destructive and constructive ideas.

Mangadar Situmorang, a consistent environmental activist and scholar, who currently is the rector of Catholic University of Parahyangan Bandung, recently wrote some enlightening and brief notions about the issue in Kompas, the biggest newspaper in the country, dated February 10th, 2016.

You can simply have the printed version in Kompasprint.com.

As I read his brief notions, his ideas are very simple yet the most decent ones.
With social justice as the purpose of the country with 250 million people, so does the development of Lake Toba for about 600.000 people living in its surroundings.
To Mangadar, it is so clear that there are three main keys that becomes the raisons d’etre of the formation of Lake Toba Authority Board (Badan Otorita Danau Toba or simply abbreviated as BODT).

First, coordination. Through this body the whole dimension of the tourism industry can be synergized into an integrated package.

Second, acceleration. Through this body the previous and current slow and very bureaucratic work patterns is now attempted to accelerate both in coordinative and istructive method.

Third, execution. With this sole authority, compromises that have long endured and bottlenecked any good governmental decision-making, will be overcome. In short, BODT intended to immediately execute the constitutional mandate Nawacita, brand promises of presidential politics agenda that the entire people of this country has yet to look for its realizations.

21 trillion rupiahs is a big money.

And if you are reading the newspaper or simply hear the chitchats and media blow up, either you are well-minded businessmen or just an ordinary people that really takes this mega-project as a common concern, I just want to encourage you not to forget the main purpose of Lake Toba development.

Mangadar has shoot the idea so clear.

He continued by saying as follows.

It is undeniable that all those three principles would be the framework of the BODT, by which the board itself will go hands in hands with the people to create sustainable ecotourism. It means that tourism sites in ​​Lake Toba will be a destination that will last forever. This megaproject is not merely a collection of short-term projects and sectors. Procurements and construction of infrastructure, such as roads, bridges, docks, or other physical facilities and the spatial arrangement, may be done in a relatively short time (e.g. up to 10 or 15 years); but the conservation of natural and historical values ​​and cultural community must continue because the real events and the economic benefits to be gained it all starts on the conservation of nature, history, and culture of the local community.

Therefore, the government established BODT decision should be read as a double unseparatable mission: conservation and harnessing. BODT has to honor all the wealth of nature, culture, tradition, and community, and at the same time use it as a source of revenue and sustainable community development. Both missions have to be taken simultaneously, mutually. Refererring to the main purpose of any kind of development, i.e. the common good (bonum commune), this will complete the perfect package, making it a holistic and sustainable ecotourism.

It can not be another way.

As seen in Quora

Tell me: “Why don’t you worship Aah and the other thousand deities?”

Aah is the ancient Egyptian god of the moon. His names translate into the Egyptian word of the moon. Alternative spellings of his name include Iah, Aa, Ah, Aos, Yah, Aah Tehuti or Aah Te-huti that may also mean “collar”, “defender” or “to embrace”. He is associated with other lunar deities including Thoth and Khonsu who may have eclipsed his popularity. He is sometimes believed to be the adult form of the child moon god Khonsu who eventually assimilated his functions. He is also believed to be the student of the god of wisdom, Thoth who likewise absorbed some of his functions. However, despite his waning following over the course of Egyptian history, Aah remains to be a fixture in Egyptian amulets and hieroglyphs.

He is often represented as a man with a tight fitting garment wearing a crown made of a sun disk with a crescent moon on top of it. Sometimes, he is seen wearing the Atef crown topped by moon resting on a full, long, tripartite wig. He may also be seen carrying a long staff.

His existence was further proven when he was mentioned in the Book of the Dead saying, “I am the moon-god Aah, the dweller among the gods”.

Aah is credited for having created the original Egyptian calendar. The said calendar is divided into 12 months with 30 days every month. In one of the myths, Nut, the sky and Geb, the earth were siblings, who were locked in what seemed like an eternal embrace. Their almost unbreakable bond irked their father, the sun god Ra, who abhorred their incestuous relationship. He cursed them that will never bear children on any day of the year when they continued their relationship despite his disapproval. Nut and Geb sought refuge in Thoth, the god of wisdom and knowledge. Thoth devised a plan to gamble with the creator of the calendar, Aah. The wager was that Aah would give Thoth five days of his moonlight if he won. Thoth won and the five days became the extra five days of the year. Nut was able to bear children on each day because it was not covered by the curse of Ra. She gave birth to Osiris, Isis, Set, Nephthys and Horus the elder on each day. These days were believed to be inserted in the month of July making all of them July babies.

As cited from EgyptianGods.Org