Membuat Logline bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 2)

Elevator Pitch

Sebuah logline (intisari cerita) harus singkat, seperti sebuah elevator pitch. Apa itu elevator pitch?

Jessy ingat Pak Heru sudah pernah menjelaskan ini, bahkan guru muda yang kritis itu menuliskan juga di blognya ketika ia mengulas tentang premis.

Intinya: sebuah kalimat yang harus menarik perhatian seorang produser film atau investor, harus selesai diucapkan ketika berpapasan di elevator. Jessy membayangkan dirinya menaiki eskalator dari lantai 1 menuju ke lantai 2, sementara di seberangnya seorang produser turun dari lantai 2 menuju ke lantai 1.

Oke. Jadi sekarang Jessy harus membuat sebuah logline. Sebuah intisari cerita yang singkat, yang selesai diucapkan ketika Jessy berpapasan dengan sang produser di eskalator imajiner itu.

Jessy berfikir. Kalau ia hendak mengembangkan cerita tentang petualangannya di Indomaret di hari Valentine itu, ia harus membuat logline: sebuah kalimat singkat intisari cerita 110 halaman yang akan ditulisnya.

Hmmm. Apa ya?

Oh iya.

Ia membayangkan dirinya sebagai protagonis. Diketiknya:

Jessy pergi ke Indomaret untuk membeli coklat.

Dia membaca kembali kalimat itu sebentar. Tidak menarik.

Baru diingatnya. Ternyata sebuah logline itu harus mengandung konflik, pertaruhan (stake), ada kekuatan emosi serta karakter yang unik. Keempat elemen (character, conflict, stake, goal) itu harus ada dalam sebuah kalimat singkat.


Merumuskan Logline

Maka, Jessy mulai mengetik lagi. Tidak cocok, dihapusnya. Begitu beberapa kali, sampai akhirnya ia tersenyum membaca kalimat terakhir di layar laptopnya:

Jessy, cewek SMA yang mau membeli coklat di Indomaret untuk hadiah Valentine buat Rachel sahabatnya, terpaksa merebut pisau dari perampok bertopeng di meja kasir.

Ia tampak puas. Kalimat ini sudah mengandung elemen prasyarat sebuah logline.

Ada karakter menarik (anak remaja putri yang masih duduk di bangku SMA).

Kekuatan emosi (siapa sih yang tidak akrab dengan kebiasaan memberi hadiah coklat di hari Valentine).

Konflik besar oleh karakter lemah (seorang cewek SMA yang umumnya dianggap lemah, tiba-tiba entah mendapat keberanian dari mana, bergerak cepat merebut pisau tajam dari tangan salah satu dari dua pria perampok bertubuh tinggi besar).  Lalu, ada pertaruhan: jika ia tidak merebut pisau itu secepat kilat, besar kemungkinan ia akan ikut dibunuh, atau setidaknya menjadi sandera.

Seperti mendapat ilham, Jessy kemudian mencatat: Ternyata logline itu ada formulanya, yakni: Somebody wants something real bad, but having a hard time while having it.

Eh, tiba-tiba Jessy teringat sesuatu. Di file Word satunya lagi kan Jessy ingin menulis tentang Ben, si cowok ganteng di kelasnya yang sudah lama membuat hatinya hangat dan pipinya memerah.

Kalau yang ini, logline-nya apa ya?

Tapi sepertinya seru kalau dia menggunakan samaran, supaya kalau logline-nya dibaca Rachel dan Cassandra, kedua sahabatnya itu tidak menggodainya. Seperti bergerak sendiri, jemari Jessy mengetik di keyboardnya:

Vanessa, cewek SMA yang sejak kecil ditinggal ayahnya, sekelas dengan Ben yang wajah dan suaranya sangat mirip dengan ayahnya, tetapi ia tidak suka dengan sifat Ben yang temperamental dan terkenal suka berkelahi.



Ini adalah bagian kedua dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR (too long didn't read) yang pastinya kamu akan suka.

Menulis Naskah Film bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 1)

Mencari Ide

Jessy, remaja yang duduk di bangku SMA itu, cukup percaya diri bahwa dia memiliki segudang kreatifitas. Sejak kecil selalu begitu yang dia dengar dari teman-temannya.

Tetapi akhir-akhir ini, muncul keraguan. Soalnya, selama belajar di kelas, sangat jarang Pak Heru – guru Seni Budaya – memberikan penugasan dengan metode active learning. Hanya ceramah, mengupas bacaan dari buku teks, sesekali disuruh menulis analisis sederhana tentang sebuah karya seni, tetapi tidak sampai menghasilkan karya kreatif: sebuah karya yang benar-benar berangkat dari gagasan siswa sendiri dan akhirnya menjadi karya yang bisa dinikmati banyak orang.

Pernah suatu siang, Jessy memberanikan diri bertanya pada Pak Heru. Saat itu Pak Heru sedang duduk di mejanya di kantor guru. Kebetulan para guru lain tampak sudah pulang. “Pak, mau nanya.”

“Eh, ada Jessy. Gimana?”

“Gini, Pak. Kan kebetulan kita sedang membahas materi drama nih. Mengapa kita tidak langsung menciptakan skenario saja?”, tanyanya dengan sikap kritisnya yang khas situ.

Awalnya Jessy sempat ragu, jangan-jangan Pak Heru akan menanggapinya dengan ketus. Tapi, Pak Heru malah antusias. “Makasih loh, Jes. Bapak pikir tidak ada yang memperhatikan ini. For the first note, membuat 30-an orang siswa untuk mencipta scenario from zero to be a writer hero, tentu tidak mudah”, jelas Pak Heru dengan kebiasaannya mencampur-adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia ketika berbicara.

Good insight. Sebenarnya, Bapak sejak kuliah sudah tertarik dengan pendekatan experiential learning atau active learning. Tapi makin kesini kok malah jadi lupa. Untung ada kamu yang mengingatkan lagi. Thanks anyway, Bapak akan mencoba mempertimbangkan saranmu,” lanjut Pak Heru sambil tersenyum.

“Makasih Pak. Saya permisi ya,” ucap Jessy seraya membungkukkan badan sambil meninggalkan gurunya yang sepertinya masih terkejut itu.

Sejak saat itu, Jessy dan Pak Heru semakin intens berkomunikasi. Sesekali ketika bertemu langsung. Selebihnya, melalui chat dan panggilan suara Whatsapp.

Tidak begitu jelas: entah karena sikap Pak Heru yang antusias atau karena sejak awal Jessy memang tertarik dengan dunia tulis-menulis, tetapi yang jelas Jessy semakin tertantang mencipta skenario. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya hingga sekarang.


Belum Mulai Menulis

Sebenarnya, perjalanan menulis Jessy belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai. Begitu  menghidupkan laptopnya, tiba-tiba dia berhenti sejenak. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benaknya. Skenario macam apa yang hendak kutulis? Naskah film berdurasi panjang? Drama? Komedi romantik? Fiksi sains? Horror? Atau apa?

Menulis cerpen Jessy sudah biasa. Apa bedanya sih dengan menulis skenario

Sebenarnya proses kreatif menulis skenario ini apa saja? Ada nggak struktur yang bisa dipakai untuk menghasilkan naskah yang siap baca (pitch ready script)? Kurang lebih 110 halamanlah.

Oh iya. Selalu butuh peer review. Tiba-tiba Jessy ingat dengan Rachel dan Cassandra. Dua teman yang juga sama kutu bukunya dengan dirinya. Aman kalau begitu.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan tadi belum berjawab.

Bahkan, dari percakapan dengan Pak Heru, ia tidak mendapat penjelasan yang menjawab pertanyaan teknis yang ada di kepalanya. “I will guide you, I will show you how to get there. Hopefully, I will inspire you. I will show you how to use script writing software, but I won’t show you how to write or what to write, that is up to you. You are the only one who can illustrate your creative thoughts. I firmly believe that the only way to become a writer is to write, write, write.

Jadi, cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis, menulis dan menulis? Hmmmm …

Jadi, mau nulis apa nih?

Tidak ada yang spesifik. Tetapi kalau diingat-ingat, ada banyak pengalamannya yang menarik ditulis. Ada banyak orang yang dikenalnya dengan kepribadian yang menarik. Bagus juga kayaknya kalau aku menulis tentang teman-temanku aja?

Menarik semua nih.

Bisa jadi. Tapi tidak akan menjadi film sampai Jessy berhasil menyelesaikan utuh naskahnya. Dan naskahnya tidak akan selesai jika dia tidak mulai membuat paragraf pertama. Paragraf pertama tidak akan selesai kalau dia tidak mengembangkan daya pikir kritis dan analitiknya. Daya kritis dan analitiknya hanya akan terlatih jika ia tidak rajin membaca naskah karya orang lain dan memberikan komentar serta masukan yang otentik, membantu, membangun dan bermakna. Komentar dan masukannya hanya akan bermakna otentik kalau dia membuatnya seakan sedang mengkritik naskah tulisannya sendiri.

Masalahnya: mengembangkan gagasan jauh lebih penting dari gagasan itu sendiri.

Itu yang diingatnya dari Nicholas Baker, seorang penulis yang bisa menulis sebuah novel, padahal hanya mengupas 30 detik di eskalator. Sebuah novel loh. Hebat.

Pikiran kreatif Jessy berpetualang cepat. Berpindah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Oh iya, hari ini di hari Valentine 2023, ia baru saja pergi ke Indomaret membeli coklat untuk Rachel dan Cassandra, dua teman terbaiknya. Sebenarnya, seperti kutu buku lainnya – ditambah introvert lagi – hanya dua orang itu yang dimilikinya.

Jadi apa yang mau kuketik nih?

Indomaret? Coklat? Rachel, atau Cassandra?

Gimana kalau begini saja:

Ketika aku baru saja mau bayar belanjaan ke kasir Indomaret, datang dua orang bertopeng yang mau merampok. Lengkap dengan pisau berkilat tajam. Kedua orang itu tentu saja tidak punya pilihan. Selain kedua kasir yang ketakutan setengah mati itu, pasti mereka juga menculikku. Lalu aku – bermodalkan sedikit kelincahan yang kulatih kala ikut kelas bela diri di SMP – spontan merebut pisau dari tangan salah satu penjahat itu, menusuk cepat di bagian dada dan balik mengancam. Kedua penjahat itu lari ketakutan meninggalkan lokasi Indomaret itu. Naik ke mobil hitam yang sedari tadi sudah parkir, sedia menunggu mereka jika terjadi apa-apa. Aku lupa bahwa seperti lokasi belanja lainnya, Indomaret itu punya rekaman CCTV. Aku menjelaskan susah-payah ke penyidik dari pihak polsek setempat, tetapi mereka tidak menerima. Akhirnya, aku ditahan di penjara. Berkenalan dengan sejumlah pelaku criminal lainnya di penjara: pengedar sabu, pemerkosa, pencuri dan pelaku balas dendam yang membunuh pembunuh orangtuanya.

Hei, ini bakal menarik dijadikan film.

Perlahan tapi pasti, jemari Jessy mulai bergerak di laptopnya. Kosakata, alur, adegan dan nama-nama karakter seakan berlomba untuk ditulisnya.

Muncul masalah baru. Bagaimana ia menertibkan lalu lintas gagasan yang kini memadati pikirannya?


Ini adalah bagian pertama dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR yang tentu tidak akan habis kamu baca.

Sejarah Singkat Doa “Salam Maria”

Doa Salam Maria sepertinya adalah doa yang paling populer dari antara doa-doa lain kepada Maria. Doa ini terdiri atas 2 bagian berbeda: bagian teks Kitab Suci dan bagian permohonan (intercessory). Bagian pertama dikutip dari Injil Lukas dengan menggabungkan kata-kata malaikat Gabriel ketika mengunjungi Maria (Lukas 1:28) dan kata-kata Elizabeth kepada Maria ketika ia melakukan Kunjungan ke rumah sepupunya itu (Lukas 1:42).

Praktek penggabungan kedua teks ini dapat ditemukan pada awal abad V, bahkan kemungkinan pada abad IV pada ritus liturgi Gereja Timur yang dituli oleh St. Yakobus dari Antiokhia dan St. Markus dari Aleksandria. Hal serupa juga dicatat dalam ritual yang ditulis oleh St. Severus (538 CE). Sementara di Gereja Barat, penggunaannya terlacak di abad VII sebagaimana dicatat sebagai antifon persembahan (offertory antiphon) pada Pesta Maria Diberi Kabar oleh Malaikat Tuhan (Annunciation). Populernya frasa itu dinyatakan dalam tulisan St. Petrus Damianus (1007-1072) dan Hermann dari Tournaii (wafat pada tahun 1147). Barulah pada masa Paus Urbanus IV sekitar tahun 1262, nama Yesus dimasukkan diantara kedua bagian itu.

Sementara itu bagian kedua, yakni bagian permohonan dapat dilacak ke abad XVI dimana terdapat dua bagian penghujung dari doa tersebut. Peghujung pertama, “Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus” ditemukan pada tulisan St. Bernardinus dari Siena (1380-1444 CE) dan para biarawan Kartusian. Sementara penghujung kedua, “Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis nunc et in hora mortis nostrae” , dapat ditemukan pada tulisan kaum Servites, pada sebuah Brevir Romawi dan pada arsip beberapa keuskupan Jerman.

Bentuk doa seperti yang kita gunakan saat ini menjadi standar pada periode sekitar abad XVI dan dimasukkan dalam Brevir yang dipromulgasikan oleh Paus Pius pada tahun 1568


AVE MARIA, gratia plena, Dominus tecum. Benedicta tu in mulieribus, et benedictus fructus ventris tui, Iesus. Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus, nunc, et in hora mortis nostrae. Amen. (Latin)

HAIL MARY, full of grace, the Lord is with thee. Blessed art thou amongst women and blessed is the fruit of thy womb, Jesus. Holy Mary, Mother of God, pray for us sinners, now, and in the hour of our death. Amen. (Inggris)

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin. (Bahasa Indonesia)

Tabi di ho Maria na gok asi, didongani Tuhan i do ho. Ho do na pinasupasu sian akka boruboru jala pinasupasu ma parbue ni bortianmu, Jesus. Ina Maria nabadia, tangianghon ma hami pardosa on, nuang dohot di hamamate nami. Amen. (Bahasa Batak Toba)


Sumber: Preces Latinae

Semiotika dalam Penulisan Naskah Lakon

Jessy sudah mulai asyik mengerjakan naskahnya. Tetapi ini baru terjadi hari ini. Sebelumnya, ia harus melalui perjuangan yang cukup melelahkan.

Pak Heru, Guru Seni Budaya yang sudah beberapa kali menjelaskan premis, stake, goals, obstacle, wants, needs dan istilah rumit lainnya beberapa kali harus mengulang materi yang sama. Sebenarnya, masuk akal sih. Jessy, si anak IPA yang ambis ini memang sudah terbiasa dengan materi pelajaran yang pasti dan eksak. Ya, mereka kan guru. Mestinya dikasih tau donk, langkahnya apa saja. Kalau perlu, huruf apa yang harus ditulis pertama kali, dan sekalian dengan jenis font yang bagus. Sialnya, selama materi kepenulisan naskah, hal itu tidak pernah terjadi. Malah, tanpa disadari, seluruh sekuens dari kerangka dramatik alias metode penulisan 8 sequence sudah selesai dibahas di kelas.

“Ini hanya panduan. Disuruh merumuskan premis. Terus, apa dialog pertama yang harus kutulis? Mana acci kek gitu?”, begitu kalimat yang muncul di benak Jessy.

Sampai kemudian dia bermimpi pada suatu malam. Dia tidak persis ingat cerita mimpinya. Yang tersisa hanya ingatan samar bahwa di mimpinya, Ben, cowok di kelasnya mengajaknya menanam pohon di samping rumah. Itu saja. Benih. Rumah.

Awalnya ia merasa semua ini absurd. Mimpi yang absurd, tetapi menyimpan banyak tanda. Kemudian tumbuh rasa penasaran apakah semua ini hanya tanda, atau ternyata pertanda yang sarat makna.

Ia ingat kembali: benih dan rumah. Kedua benda dalam mimpi ini semakin lama semakin sering muncul di benak Jessy, menghantuinya.

Oh iya. Baru dia ingat. Pak Heru sepertinya pernah menjelaskan ini di kelas. “semiotik”, itu istilahnya. Maka dia berselancar sebentar di internet. Halaman itu berbunyi:

“Semiotik memiliki dua tokoh utama, yaitu Charles Sander Pierce di Amerika Serikat (1834-1914) dan Ferdinand de Sausure di Swiss (1857-1913). Pierce menyebut ilmu semiotik dengan nama semiotik, sedangkan Sausure menyebut semiotik dengan semiologi. Dari kedua tokoh ini muncul semiotik aliran Pierce yang dikenal dengan semiologi komunikasi, semiologi konotatif oleh Roland Bartnes, dan semiotik ekspansif yang dipelopori oleh Julia Kristeva.
Munculnya berbagai aliran semiotik dipengaruhi oleh fakta historis, geografis, metodologis, dan kepribadian. Dalam semiotik, hal tersebut akan mempengaruhi dalam pemberian arti sebuah penanda menjadi petanda. Selain itu, fenomena sosial juga dapat dibahami berdasarkan model bahasa yang dapat disebut tanda.”

Apakah benih dan rumah dalam mimpinya punya makna?

Benih. Rumah.

Kepada siapa dia bertanya untuk mengkaji arti benih dan rumah?

Oh iya.

Tentu saja.

Jessy mulai tersenyum. Sepertinya dia sudah mulai memahami arti dari mimpi ini. Bahkan, dia jadinya senang setelah mengetahui bahwa benih dan bunga adalah tanda dari keinginan bawah sadarnya. Asa yang selama ini dia pendam dalam-dalam. Tak pernah diberitahukannya kepada siapapun, bahkan tidak dengan diarinya.

Bukankah selama ini dia mengagumi Ben dalam diam?


Sejak saat itu, Jessy mulai bersemangat menulis naskahnya. Seperti mengalir begitu saja. Sebab ia tahu: ia sedang menulis kisahnya sendiri.

Tanda Salib bagi Umat Katolik

LATAR BELAKANG

Tanda salib bagi umat Katolik adalah sekaligus gerakan tubuh dan pernyataan iman. Gerakan sederhana ini menjadi tanda pernyataan iman akan penebusan, Salib dan Trinitas Mahasuci.

Adapun rujukan biblis yang bisa digunakan yakni teks Mat 28:19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus“.

Inilah rumusan kata yang diucapkan ketika membubuhkan tanda salib.

IN nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti. (Latin)

In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit. (Inggris)

Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus.

Di bagasan goar ni Ama, dohot Anak, dohot Tondi Porbadia. (Batak Toba)

 

Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang yang tekun menggunakan tanda salib mendapatkan indulgensi parsial (sebagian).


Awal Mula Penggunaan

Tanda Salib yang digunakan Umat Katolik saat ini sangat mirip dengan “tanda salib mini” yakni gerakan tangan di dahi, bibir dan di dada seperti ketika hendak mendengarkan pembacaan Injil.

Hingga hari  ini, masih sulit dipastikan kapan persis mulainya gerakan tangan memberkati diri sendiri dengan tanda salib besar dari dahi, dada dan bahu. Catatan sejarah terkait hal ini beragam dan menimbulkan banyak penafsiran, termasuk dari para penulis sejarah Gereja sendiri. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena kebiasaan seperti ini dalam periode Gereja Perdana umumnya diajarkan dengan cara dipraktekkan langsung, tidak dituliskan. Umum diterima bahwa penggunaan tanda salib pertama kali terjadi sebagai tanda berkat oleh para imam pada masa kontroversi Arianisme sekitar abad IV dan perlahan diterima oleh umat di berbagai tempat.

Instruksi tertulis yang ditemukan perihal pelaksanaan tanda salib baru muncul pada abad XII.

Paus Innosensius III (1198-1216) memberi petunjuk sebagai berikut:

Tanda salib dibuat dengan tiga jari, karena tanda ini dilakukan sambil menyeru nama Tritunggal. … Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah, dan dari kanan ke kiri, karena Kristus turun dari surga ke atas bumi, dan dari bangsa Yahudi (kanan) Dia berpindah ke bangsa-bangsa lain (kiri).

Meskipun demikian, orang-orang lain membuat tanda salib dari kiri ke kanan, karena dari sengsara (kiri) kita harus menyeberang menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus menyeberang dari kematian menuju kehidupan, dan dari Alam Maut ke Firdaus. [Beberapa imam] membuat tanda salib dengan cara ini agar mereka dan umat dapat melakukannya dengan cara yang sama. Kamu dengan mudah dapat menyelidiki kebenaran hal ini — perhatikan imam yang menghadap umat untuk memberi berkat — bila kita membuat tanda salib ke arah umat, gerakannya adalah dari kiri ke kanan …


PENAFSIRAN

Para penulis Abad Pertengahan mencatat bahwa penggunaan tanda salib ini kaya akan simbolisme yang sesuai dengan isi “Credo” (Symbolum Christianum)

Ketika Kristus datang untuk menebus dunia, Ia turun (berasal) dari Bapa, lahir dari Perawan, dimakamkan dan turun ke dunia orang mati. Dia kemudian bangkit  dari antara orang mati, naik ke surga dimana Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Maka, ketika kita membuat tanda salib, kita menggunakan tangan kanan (yang melambangkan Kristus yang duduk di sebelah kanan Bapa. Kita mulai dari dahi, yang melambangkan Bapa, Pencipta dan Sumber atas segalanya. Lalu tangan kanan bergerak turun dan menyentuh bagian bawah dada, yang melambangkan Inkarnasi, sebab Kristus berasal dari Surga turun ke bumi, berasal dari Bapa dan menjadi manusia dalam rahim Perawan Maria melalui kuasa Roh Kudus.

Di Gereja Barat, gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan menyentuh bahu kiri lalu bergerak ke bahu kanan. Kiri melambangkan kematian dan kegelapan, sementara kanan melambangkan kebenaran dan terang. Maka gerakan dari bahu kiri ke bahu kanan adalah simbol transisi dari penderitaan menuju kemuliaan, dari kematian menuju kehidupan, dari neraka menuju surga.Sebab Kristus melewati kematian menuju kehidupan dan duduk di sebelah kanan Bapa, demikian juga kita melewati kematian menuju kehidupan dalam Kristus melalui penyucian Roh Kudus.

Di Gereja Timur, gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan arah berlawanan dengan kebiasaan di Barat, yakni menyentuh bahu kanan terlebih dahulu lalu bergerak ke bahu kiri.

Sebuah buku teks kateketik Yunani mencoba menerangkan perbedaan kebiasaan Latin (Gereja Barat) dari kebiasaan Yunani (Gereja Timur) dengan mengatakan bahwa sisi kanan melambangkan kekudusan, dan hati (di sisi kiri) melambangkan roh, dengan demikian orang-orang yang menyebut Roh Kudus dalam Bahasa Latin yakni “Spiritus Sancti” (nomina mendahului adjektiva) menyentuh sisi kiri sebelum kanan, sedangkan orang-orang yang menyebut Roh Kudus dalam Bahasa Yunani yakni “τοῦ Ἁγίου Πνεύματος” (adjektiva mendahului nomina) berbuat sebaliknya.

 


Sumber:

  1. Preces Latinae
  2. Wikipedia: Tanda Salib
  3. Sermon LXXXI dari Santo Augustinus

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence – Sekuens 7 dan 8

Kini sampailah kita pada Act III dari metode 8 Sequence.  Jika dalam struktur klasik (kerangka dramatik Yunani Kuno) Act III ini memuat akhir cerita berupa kemenangan atau kekalahan; dalam metode 8 sequence bagian ini berisi resolusi salah (sekuens 7) dan resolusi benar (sekuens 8)


Sekuens 7 – New Tension & Twist

Inilah bagian ketegangan yang lengkap tetapi tetap sederhana, singkat tetapi sekaligus memuat pemaparan yang penting. Lebih sederhana dan lebih cepat alur ceritanya, berisi adegan singkat dan tidak lagi ada bangunan cerita yang benar-benar baru, melainkan ketegangan baru (new tension) akibat mulainya fase kebangkitan (revival) atas segala jatuh-bangunnya karakter utama mulai dari sekuens 1-6.

Sekuens 7 kerap dianggap sebagai tahap yang paling sulit sekaligus penting karena tuntutan ini. Pada tahap ini, karakter utama harus bangkit untuk memperbaiki kesalahan atau kegagalannya. Biasanya, adegan revival ini dipicu dari 3 hal yakni:

1) kebetulan,

2) datang dari orang lain, atau

3) menuai “petunjuk” (clue) yang sudah ditabur sejak awal.

Contohnya, dalam film petualangan, karakter bisa mengetahui letak harta karun dari 1) insiden tidak sengaja menggali tanah tau-tau ketemu, 2) diberi tahu orang lain “harta karunnya ada disana”, atau 3) mengikuti petunjuk sejak awal hingga akhirnya menemukan harta karun.

Sebaik-baiknya kisah, tetaplah ingat untuk menyelaraskan logika dan perasaan. Maka, sebaiknya jangan pernah menyatukan ketiga pemicu revival tadi dalam satu naskah karena akan menjadi “too good to be true”. Sama seperti kebanyakan pengalaman orang dalam kehidupan mereka, sumber ide untuk penyelesaian masalah itu tidak banyak, datangnya satu saja. Jika kebanyakan, akan menjadi tidak masuk akal. Sebab, pembaca atau penonton akan bereaksi: “kalau sedari awal karakter utama sudah memiliki solusi sebanyak ini atas permasalahan yang dihadapinya, mengapa tidak dari awal saja cerita ini selesai?

Ingat, sekuens 7 belumlah akhir cerita. Itu sebabnya, sekuens 7 sering juga disebut resolusi salah. Pada tahap ini, karakter utama akan menemukan pilihan. Ia akan memilih secara sadar antara dua kemungkinan. Cerita belum selesai juga.


Sekuens 8 – Resolution

Inilah resolusi sebenarnya. Disini, semua mesti jelas. Jika para petualang itu mengambil jalan kiri, maka semuanya baik-baik saja; tetapi jika mereka mengambil jalan kanan, maka dunia yang kita kenali ini akan berakhir alias kiamat. Ketegasan yang sama harus kita tunjukkan: apakah pria karakter utama akan berhasil mendapatkan gadis pujaannya, apakah berhasil menjinakkan bom, atau apakah dia berhasil selamat dari perahu yang bocor dan mulai tenggelam di tengah lautan yang dipenuhi ikan hiu?

Pembeda antara sekuens 7 dan sekuens 8 ialah:  pada sekuens 8, karakter utama kita sudah tidak bisa melakukan usaha penyelesaian. Ia hanya menjalani hasil dari penyelesaian konflik yang ada di sekuens 7. Jadi, sekuens 7 ini adalah efek dari revival. Kalau kita masih memasukkan usaha karakter menyelesaikan masalah, itu berarti naskah yang kita tulis masih berada di sekuens 7, belum sampai pada akhir cerita.

Bagaimana kita yakin bahwa ini adalah akhir dari seluruh cerita yang kita susun? Ingatlah kembali “wants” (keinginan) dan “needs” (kebutuhan), yakni aspek karakter yang sejak awal kita sudah tetapkan ketika merumuskan premis. Akhir cerita berarti  kedua aspek ini sudah tercapai. (Tentu saja, kita selalu punya kesempatan untuk mencipta twist pada sekuens ini untuk membuat penonton tetap terkejut). Pada bagian inilah pembaca atau penonton bisa menyimpulkan bahwa cerita yang kita tulis berakhir dengan kemenangan karakter utama (happy ending) atau Tujuan/Goals mengalahkan Obstacle/Hambatan; atau berakhir dengan kekalahan karakter utama (sad ending) atau Obstacle/Hambatan yang mengalahkan Tujuan/Goals.

Mengapa Doa Bapa Kami versi Katolik dan Protestan Berbeda?

Konon, ketika ngobrol dengan para murid-Nya, Yesus berkata, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah  kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (Mat 6:9-13). Versi yang mirip kita temukan pada Luk 11:2-4.

Kedua versi ini tidak memuat kalimat penutup yang kita temukan pada versi Protestan, “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.”


Kalimat “Karena Engkaulah yang empunya … ” secara teknis adalah doxologi. Istilah doksologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata δόξα [dόxa] yang berarti kemuliaan. Sebagai bagian penutup dari Doa Ekaristi atau sering disebut dengan Doa Syukur Agung, rumusan doksologi bermaksud untuk mewartakan kemuliaan Tuhan. Kata doksologi yang dalam bahasa Latin doxologia atau gloria dapat juga diterjemahkan dengan kemuliaan, penghormatan, pujian atau keluhuran. Di Bibel, kita menemukan praktek menutup doa dengan ayat singkat mirip madah yang isinya meninggikan kemuliaan Tuhan.

Orang Yahudi sering menggunakan doxologi ini untuk menutup doa mereka pada masa sekitar hidup Yesus. Contoh serupa kita temukan pada doa Daud di 1 Tawarikh 29:10-13 pada Perjanjian Lama.

Lalu Daud memuji TUHAN di depan mata segenap jemaah itu. Berkatalah Daud: “Terpujilah Engkau, ya TUHAN, Allahnya bapa kami Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.
Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.
Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.

Pada masa Gereja Perdana, orang-orang Kristen di bagian Kekaisaran Romawi Timur menambahkan doksologi “Karena Engkaulah yang empunya …” pada perikop Injil dari doa Bapa Kami ketika mereka mengucapkan doa itu pada perayaan Misa. Bukti adanya praktek semacam ini dapat kita temukan pada Didakhe (Ajaran dari Keduabelas Rasul), sebuah manuskrip dari abad pertama yang berisi panduan moral, pujian dan doktrin Gereja. Juga ketika menyalin kitab-kitab, para penulis berbahasa Yunani kerap menambahkan doxologi pada naskah asli ‘Bapa Kami’.

Demikianlah hingga kebanyakan teks Kitab Suci dewasa ini tidak memasukkan bagian doxologi itu, tetapi meletakkannya sebagai catatan kaki; atau memasukkannya tetapi dalam tanda kurung. Bibel “Vulgata”, Bibel Douay-Rheims, Bibel edisi The Confraternity serta edisi The New American tidak pernah memasukkan doxologi ini. Di Vulgata, misalnya, ditulis:

PATER NOSTER, qui es in caelis,
Sanctificetur nomen tuum.
Adveniat regnum tuum.
Fiat voluntas tua,
sicut in caelo et in terra.

Panem nostrum cotidianum da nobis hodie,
et dimitte nobis debita nostra
sicut et nos dimittimus debitoribus nostris.
Et ne nos inducas in tentationem,
sed libera nos a malo.


Di Kekaisaran Romawi Barat dan pada ritus Latin kita melihat pentingnya doa Bapa Kami saat perayaan Misa.

Santo Hieronimus (wafat pada 420) menyatakan kesaksian atas penggunaan doa Bapa Kami dalam perayaan Misa, dan Santo Gregorius Agung (wafat pada 604) menetapkan doa Bapak Kami diresitir setelah Doa Ekaristi, sebelum Pemecahan Roti.  Pada tulisannya Komentar terhadap Sakramen-sakramen, Santo Ambrosius (wafat pada 397) merenungkan makna “roti setiap hari” dalam konteks Ekaristi Suci. Dengan nada yang sama, Santo Agustinus (wafat pada 430) menyatakan bahwa doa Bapa Kami menghubungkan Ekaristi Suci dan pengampunan dosa. Dalam banyak kesempatan, Gereja menempatkan doa yang sempurna ini, doa yang diajarkan oleh Tuhan, sebagai doa persiapan diri untuk Komuni Suci. Akan tetapi, dari antara contoh-contoh ini, tidak ada yang menggunakan doxologi.

Menariknya, terjemahan Bahasa Inggris dari doa Bapa Kami yang kita gunakan dewasa ini merupakan versi yang diamanatkan oleh Raja Henry VIII (ketika masih berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik), yang didasarkan pada Bibel Tyndale (1525). Akan tetapi, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I dan menguatnya kecenderungan Gereja Inggris untuk menghindari kesamaan dengan Gereja Katolik, terjemahan Inggris kemudian menambahkan doxologi, dan inilah yang menjadi standar untuk umat Protestan yang berbahasa Inggris.


Prekonklusi:

Tradisi adalah proses komunikasi dan penerusan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya. Demikianlah Gereja Katolik dan Gereja Protestan memiliki keunikan dalam memahami doa Bapa Kami dan menggunakannya dalam ibadat bersama maupun pribadi. Patut diingat bahwa doxologi – yang menjadi pembeda utama itu – bukan sesuatu yang buruk, malah merupakan khazanah iman Gereja yang memang sejak awal menyerap dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan Gereja Barat dan Gereja Timur; bahkan dengan tradisi jemaat perdana yang sebelum menjadi pengikut Kristus, sudah terbiasa dengan pujian seperti yang dilantunkan Daud pada perikop 1 Tawarikh 29 di atas.

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence – Sekuens 5 dan 6

Setelah mengulas Sekuens 3 dan 4 dari metode 8 sequence, sekarang kita lanjutkan dengan sekuens 5 dan 6 (biasa disebut Act II B)


ACT II B

Sekuens 5 – Subplot & Rising Action

Di sekuens 5, kita menginginkan tensi naik (rising action) akan tetapi belum sampai pada puncak utama konflik.

Ingat bahwa sebelumnya, di sekuens 4, kita sudah menguraikan puncak pertama, titik terendah yang dialami si karakter utama; yakni titik terendah yang paralel dengan nasib yang dialami si aktor utama di akhir cerita. Sementara puncak utama konflik baru terjadi di sekuens 6. Maka pada bagian ini kita harus menciptakan alur baru (subplot), yang berbeda dengan yang sudah pembaca/penonton ketahui sebelumnya.

Kedengaran tidak mudah. Lantas, apa yang harus kita isi pada sekuens 5 ini?

Sekuens 5 sering juga disebut sebagai Twists and Turns dari Act II.  Singkatnya, “Pemutarbalikan alur cerita”. Disinilah kita menulis situasi ketika akhirnya rahasia-rahasia terungkap, hubungan diuji, tensi meninggi, halangan semakin berat dan semakin menantang, dan karakter utama (protagonis) benar-benar diuji.  Di sekuens 5 ini, protagonis secara khusus diperlihatkan hendak memberontak atas segala perubahan yang terjadi, menunjukkan penolakan atas segala masalah yang harus dihadapinya: jika bisa dia ingin semuanya kembali seperti sedia kala, seperti ketika belum terjadi apa-apa. Sedikit ingatan kembali ke status quo yang menciptakan efek romance atau kegundahan akan sangat membantu.


Sekuens 6 – Main Culmination

Inilah puncak utama (main culmination), yakni puncak dari segala penolakan, keputusasaan dan pembalasan dendam atas segala masalah yang sudah terlanjur menghantui hari-hari di kehidupan karakter utama. Tantangan terakhir yang paling tinggi, alternatif terakhir yang masih ada, serta akhir dari semua ketegangan yang kita ciptakan. Situasi yang menghantar pembaca/penonton pada klimaks atau pertaruhan hidup mati di sekuens 7 nanti.

Jika karakter utama kita hendak memenangkan peperangan, maka disinilah dia bergegas menuju gelanggang. Jika karakter utama hendak menceraikan pasangannya, maka disinilah dia menuju pengadilan. Jika karakter utama hendak menyatakan cintanya pada karakter lain yang sudah lama ingin dilamarnya, maka disinilah dia berangkat hendak menemui orangtua calonnya.

Penting dicatat: Karena midpoint dan akhir cerita itu paralel, maka di sekuens 6 yang akan menjadi akhir dari Act II ini kita isi dengan sebuah titik alur (plot point) yang persis berlawanan dengan kedua poin tadi. Jika kita hendak memenangkan karakter utama di midpoint dan akhir cerita, maka disini kita membuatnya berada pada titik terjauh dari kemenangan. Jika kita hendak membuat karakter utama kalah di akhir cerita, maka di sekuens inilah kita membuatnya terlihat seperti menikmati semua kejayaan yang mungkin diraihnya.

 

Tradisi Resmi Katolik – “Pater Noster” [Latin, Inggris, Indonesia, Toba, Simalungun]

ORATIO DOMINICA

PATER NOSTER, qui es in caelis,
Sanctificetur nomen tuum.
Adveniat regnum tuum.
Fiat voluntas tua,
sicut in caelo et in terra.

Panem nostrum quotidianum da nobis hodie,
et dimitte nobis debita nostra
sicut et nos dimittimus debitoribus nostris.
Et ne nos inducas in tentationem,
sed libera nos a malo. Amen.

 


OUR FATHER PRAYER

OUR FATHER, who art in heaven,
hallowed be Thy name.
Thy kingdom come.
Thy will be done
on earth as it is in heaven.

Give us this day our daily bread
and forgive us our trespasses
as we forgive those who trespass against us.
And lead us not into temptation,
but deliver us from evil. Amen.


DOA BAPA KAMI

Bapa kami yang ada di surga,
Dimuliakanlah nama-Mu.
Datanglah kerajaan-Mu.
Jadilah kehendak-Mu
di atas bumi seperti di dalam surga.
Berilah kami rezeki pada hari ini,
dan ampunilah kesalahan kami,
seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah masukkan kami
ke dalam pencobaan,
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.

(Sebab Engkaulah raja yang mulia dan berkuasa untuk selama-lamanya. Amin).


TANGIANG AMANAMI

“Ale Amanami nadi banua ginjang,
Sai pinarbadia ma goarMu,
Sai ro ma harajaonMu,
Sai saut ma lomo ni rohaM,
Di banua tonga on songon nadi banua ginjang.

Lehon ma tu hami sadari on hangoluan siapari.
Sesa ma salanami.
songon panesanami di sala ni angka parsala tu hami.
Unang togihon hami tu pangunjunan.
Alai palua ma hami sian pangago.

(Ai Ho do nampuna harajaon dohot hagogoon rodi hasangapon saleleng ni lelengna. Amen.)


TONGGO-TONGGO HAM BAPANAMI

Ham Bapanami na i nagori atas.
Sai napapansing ma goran-Mu!
Sai roh ma harajaon-Mu.
Sai saud ma harosuh ni uhur-Mu
i nagori tongah on songon na i nagoni atas!

Bere Ham ma bannami sadari on hagoluhan ari-ari.
Sasap Ham ma dousanami
songon panasap nami bani dousa ni hasoman na mardousa dompak hanami!
Ulang hanami bobai Ham hu parlajouan!
Paluah Ham ma hanami hun bani pangagou!

(Ai Ham do simada harajaon, pakon hagogohon ampa hasangapon sadokah ni dokahni.)

Tradisi Resmi Katolik – Syahadat Nicea “Credo in Unum Deum” [Latin, Inggris, Indonesia, Toba, Simalungun]

CREDO

Credo in unum Deum,
Patrem omnipotentem,
factorem caeli et terrae,
visibilium omnium, et invisibilium
et in unum Dominum Iesum, Christum,
Filium Dei unigenitum
et ex Patre natum ante omnia saecula.
Deum de Deo,
lumen de lumine,
Deum vero de Deo vero.
Genitum, non factum,
consubstantialem Patri per quem omnia facta sunt.
Qui propter nos homines et propter nostram salutem
descendit de caelis.
et incarnatus est de Spiritu Sancto ex Maria virgine
et homo factus est .
Crucifixus etiam pro nobis,
sub Pontio Pilato passus et sepultus est.
Resurrexit tertia die,
secundum Scripturas
et ascendit in caelum:
sedet ad dexteram Patris
et iterum venturus est cum gloria
iudicare vivos et mortuos
cuius regni non erit finis
et in Spiritum Sanctum, Dominum et vivificantem,
qui ex Patre, Filioque procedit.
Qui cum Patre, et Filio
simul adoratur et conglorificatur:
qui locutus est per prohetas.
Et unam, sanctam, catholicam, et apostolicam Ecclesiam.
Confiteor unum baptisma in remissionem peccatorum
et expecto resurrectionem mortuorum
et vitam venturi saeculi. Amen.


I BELIEVE

I believe in one God,
the Father almighty,
maker of heaven and earth,
of all things visible and invisible.

I believe in one Lord Jesus Christ,
the Only Begotten Son of God,
born of the Father before all ages.
God from God, Light from Light,
true God from true God,
begotten, not made, consubstantial with the Father;
through him all things were made.
For us men and for our salvation
he came down from heaven,

and by the Holy Spirit was incarnate of the Virgin Mary,
and became man.

For our sake he was crucified under Pontius Pilate,
he suffered death and was buried,
and rose again on the third day
in accordance with the Scriptures.
He ascended into heaven
and is seated at the right hand of the Father.
He will come again in glory
to judge the living and the dead
and his kingdom will have no end.

I believe in the Holy Spirit, the Lord, the giver of life,
who proceeds from the Father and the Son,
who with the Father and the Son is adored and glorified,
who has spoken through the prophets.

I believe in one, holy, catholic and apostolic Church.
I confess one Baptism for the forgiveness of sins
and I look forward to the resurrection of the dead
and the life of the world to come. Amen.


AKU PERCAYA

Aku percaya akan satu Allah,
Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan
dan tak kelihatan;

dan akan satu Tuhan Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa
sebelum segala abad,
Allah dari Allah,
Terang dari Terang,
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.

Ia turun dari surga untuk kita manusia
dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari Roh Kudus,
dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia.
Ia pun disalibkan untuk kita,
waktu Pontius Pilatus;
Ia menderita sampai wafat dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit
menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga,
duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
mengadili orang yang hidup dan yang mati;
kerajaan-Nya takkan berakhir.

Aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan;
Ia berasal dari Bapa dan Putra;
Yang serta Bapa dan Putra,
disembah dan dimuliakan;
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Aku percaya akan Gereja
yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Aku mengakui satu pembaptisan
akan penghapusan dosa.
Aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup di akhirat.
Amin.


AHU PORSEA

Ahu porsea di sada Debata, Ama Pargogo Nasohatudosan,
Sitompa langit dohot tano,
dohot sude na tarida dohot naso tarida;
dohot di sada Tuhan Jesus Kristus,
Anak na sasada i Tuhanta.
Tubu do Ibana sian Ama i andorang so nasa tingki,
Debata sian Debata,
Panondang sian Panondang,
Debata na sintong sian Debata na sintong,
Na tinubuhon do ibana, ndada na jinadihon,
sada dohot Ama i;
Na tinompana do nasa na adong.
Tuat do ibana sian banua ginjang humophop jolma gabe haluaonta.
Marhite Tondi Porbadia gabe daging do Ibana,
sian Nasohabubuhan Maria.
Diparsilanghon do Ibana humoophop hita,
di panguhumon ni Ponsius Silatus;
mate porsuk do Ibana jala ditanom.
Di ari patoluhon hehe do Ibana sian na mate
hombar tu na nidok ni Buku Nabadia.
Naung manaek tu Surgo, hundul di siamun ni Debata Ama.
Ro do ibana muse manguhumi halak na mangolu dohot na mate;
harajaonNa ndang na ra mansadi.
Ahu porsea di Tondi Porbadia,
Ibana do Tuhan na pangoluhon;
na ro sian Debata Ama dohot Anak;
Raphon Ama dohot Anak, na sinomba jala pinasangap;
Manghatai do Ibana dohot jolma marhite angka panurirang.
Ahu porsea di Huria
na sada, nabadia, Katolik jala Apostolik.
Huhatindanghon do sada pandidion baen hasesaan ni dosa.
Manghirim do au di haheheon ni angka na mate
dohot di hangoluan na saleleng ni lelengna. Amen.


AHU PORSAYA

Ahu porsaya bani sada Naibata,
Bapa pargogoh nasotarimbang,
na manompa langit pakon tanoh on,
pakon haganup na taridah,
sonai homa naso taridah.
Ahu porsaya bani sada Tuhan Jesus Kristus,
Anak na sasada ni Naibata.
Tubuh do Ia humbani Bapa paima adong panorang.
Naibata humbani Naibata,
Panondang humbani Panondang,
Naibata na sintong humbani Naibata na sintong;
Itubuhkon do Ia, sedo ijadihon,
sada do Ia pakon Bapa.
Marhiteihon Ia do ijadihon ganup na dong in.
Turun do ia hun surga bani hita jolma,
pakon bahen haluaonta.
Gabe daging ma ia marhitei Tonduy Napansing,
na tinubuhkon Maria Nasohaliaban in, anjanah gabe jolma.
Iparsilangkon do homa Ia banta
sanggah panguhumon ni Ponsius Pilatus.
Marsitaronon do Ia, matei, anjanah ikuburhon.
Bani ari patoluhon puho do Ia use
mangihutkon Buku Namapansing.
Ia naik hu surga
anjanah hundul i siamun ni Naibata Bapa.
Roh do Ia use magira ibagas hamuliaon
laho manguhumi halak na manggoluh pakon na dob matei, ai lang marujung harajaonNi.
Ahu porsaya bani Tonduy Napansing,
Tuhan, sibere hagoluhan, na roh humbani Bapa pakon Anak.
Na rup pakon Bapa ampa Anak
isombah janah ipasangap.
Ia do na marsahap marhitei nabi-nabi.
Ahu porsaya bani Kuria
na Sada, Namapansing, Katolik anjanah Apostolik,
Ahu mangakuhon sada pandidion bahen hasasapan ni dousa.
Hupaimaima do parpuhoon ni na dob matei
sonai homa hagoluhan bani ari magira.
Amen.