“Woy. Kamu itu udah bapak-bapak. Masih aja ngomongin hal ga jelas kayak anak-anak”?, keras sekali suara Pia, sang istri tercinta, di telinga Delano.
Bagaimana mungkin ucapan seperti itu terlontar dari orang yang bersamanya seatap, sekamar, sedapur dan semeja makan?
Saking seringnya mendengar ucapan seperti itu, Delano hanya tersenyum saja. Bahkan sesekali membalasnya dengan candaan dan tingkah kekanak-kanakan yang membuat Pia akhirnya mleyot dan salah tingkah. Kalau sudah begitu, Pia akan pergi ke dapur dan segera membuatkan secangkir kopi hitam untuk sosok misterius yang sudah dinikahinya selama 5 tahun, tetapi tak pernah sungguh dikenalinya.
Sebenarnya ketika pertama sekali ia mendengarnya, saat itu hampir saja ia tersulut emosi. Tetapi untunglah amarahnya tidak sampai meledak. Meski telinga dan hatinya panas, akal sehatnya berkata: bukankah justru karena Pia mengenalnya sangat dekat, mengetahui apa saja yang dia obrolkan, Pia mengenal Delano dengan baik?
Bagaimana kalau ia mencerna sekali lagi arti ucapan istrinya itu: “kamu masih kayak anak-anak”? Apa sebenarnya yang dimaksudkan isterinya itu.
Delano baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-35. Tinggal 5 tahun lagi saja waktunya tersisa untuk benar-benar menjadi seorang laki-laki, Ama, suami dan bapak bagi keluarga kecil mereka. A man. Seorang yang mampu menyediakan apa yang perlu untuk keluarganya sehingga tidak lagi disebut anak-anak oleh sang isteri.
Rumah.
Tempat usaha, investasi, mungkin beberapa sertifikat logam mulia juga.
Plus sebuah jabatan di punguan dongan samarga mereka, supaya ketika ada ulaon (pesta adat), Pia akan bangga duduk menyaksikan orang datang meminta saran dari suaminya itu, dengan tak lupa membawa uang dan ucapan sekapur sirih.
Atau seseorang yang dipercaya menjadi pengurus di gereja tempat mereka beribadah, supaya setiap kali mereka beribadah di sana, isterinya yang sudah bersusah-payah memoles diri dengan pakaian kebaya dan riasan wajah lengkap dengan bulu mata yang lentik itu bisa duduk dengan anggun di barisan depan dan percaya diri, sebab orang akan menyebutnya “itu isteri pengurus Gereja kita“.
Saat ini, penghasilannya sebagai kolumnis sastra di dua-tiga majalah yang oplah cetaknya kecil tentu belum bisa menyediakan semuanya itu.
Tetapi Delano memang berbeda. Seakan tidak cemburu sedikitpun dengan banyak rekan seusianya yang sudah sukses menurut ukuran Pia, Delano masih saja meneruskan kesukaannya menulis puisi.
Dia akan tahan ngobrol lewat telefon berjam-jam dengan Juan, seorang penulis puisi berusia 50 tahunan, tidak menikah. Membahas sebuah puisi dari penyair terkenal lalu menulis puisi. Atau membicarakan sebuah kejadian besar di negara ini, lalu menulis puisi. Bahas, tulis, bahas lagi, tulis lagi. Itulah lingkaran tak berujung yang tepat menggambarkan kegemaran dua lelaki yang Pia sebut kekanak-kanakan ini.
Juan adalah orang yang pertama kali memberi selamat kepada Delano ketika ia memberitahukan bahwa ia akan menikah. “Kawan, hidupmu akan jauh lebih sulit setelah menikah. Kau tidak akan bebas lagi menulis puisi sebebas aku. Aku salut atas keberanianmu mengambil keputusan ini. Kuharap kau bahagia”, ucap Juan 5 tahun yang lalu.
Bersama Juan, tidak hanya sekali saja mereka mencoba membuat buku antologi puisi yang mereka berdua tulis, tetapi selalu ditolak penerbit. Tetapi mereka tak pernah jera. Mereka juga rajin mengirim puisi mereka ke surat kabar lokal, kerap tanpa imbalan jasa sama sekali. Belakangan ketika surat kabar itu sudah cukup besar dan bermigrasi menjadi situs berita online, mereka tak pernah lagi dimintai menulis puisi. “Para pembaca kami tidak tertarik lagi membaca puisi”, begitu balasan email dari pemimpin redaksi mereka saat itu.
Pernah juga mereka menggagasi berdirinya sebuah komunitas penyair, tetapi lalu kompak meninggalkannya sebab saat itu Darmono, yang kelihatan bernafsu menjadi ketua perkumpulan, ternyata menyisipkan agenda untuk membesarkan nama seorang politikus dalam syair-syair puisi mereka. Juan dan Delano langsung melihatnya sebagai gelagat tidak beres. Belakangan politikus yang dipuji Darmono dan kawan-kawannya itu muncul di TV, memakai rompi oranye. Angka korupsi yang dilakukannya tidak main-main ternyata, sehingga ketika menangkapnya, KPK menyebutnya “sebuah tangkapan besar, ikan yang besar”
Perkenalannya dengan Juan sendiri tergolong cukup unik. Ketika itu, Delano masih kelas 5 SD. Ada perlombaan menulis puisi yang diselenggarakan untuk merayakan HUT RI. Juan, mahasiswa muda saat itu, menjadi salah satu juri lomba. “Nak, kamu punya bakat menjadi penulis puisi. Terus berlatih ya”, kata Juan menepuk pundak Delano kecil puluhan tahun lalu.
Sampai kini, meski tinggal di kota yang berbeda, Delano dan Juan masih saling menelepon. Membahas karya pujangga besar seperti Joko Pinurbo, Charles Bukowsi bahkan seorang legenda seperti Leo Tolstoy.
Ini yang membuat Pia tidak habis pikir. Bagaimana bisa dua orang manusia, laki-laki larut dalam percakapan tiada henti, dengan semangat yang berapi-api ketika membahas puisi. Memangnya mereka berdua ini masih anak SD yang ketakutan bakal dimarahi guru kalau PR mengerjakan puisi untuk tugas Bahasa Indonesia tidak selesai?
“Kalian ini laki-laki 35 dan 50 tahun loh”, ketus Pia suatu waktu lain.
Suatu kali Pia menunjukkan sebuah quote Instagram, berharap mungkin bisa menjadi sindiran pedas bagi suaminya itu. Kutipan itu berbunyi: “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”.
Tapi, alih-alih tersindir, Delano malah balik menceramahinya dengan argumen filosofis:
“Sayangku … Quote-mu itu benar sekali. Tapi kebenarannya tidak absolut. Saat ini, menjadi dewasa itu pasti, sebab konstruksi pikir masyarakat menuntut setiap orang, terutama laki-laki, untuk menjadi dewasa. Sebelum umur 25, laki-laki sudah harus menamatkan kuliahnya dan memiliki pekerjaan yang mapan. Sebelum umur 30, laki-laki sudah harus menikah. Sebelum umur 35, laki-laki seperti suamimu ini sudah harus memiliki rumah, menyediakan tempat tinggal untuk keluarganya. Inilah dewasa menurut standar masyarakat sekarang. Tinggal ikuti saja, sudah pasti kamu dianggap dewasa. So, terimalah kebenaran versi lain dariku. Menjadi dewasa itu pasti, menjadi anak-anak kembali itu pilihan”
Begini bangunan argumentasi Delano.
Menjadi dewasa itu artinya tidak menjadi anak-anak lagi. Apa yang dimiliki anak-anak, yang harus dihilangkan ketika seseorang memutuskan menjadi dewasa? Hobbi atau minat. Passion.
Dua puluh lima tahun yang lalu, Delano kecil sangat gembira ketika namanya dipanggil saat upacara di sekolah sebagai pemenang lomba menulis puisi. Kedua orangtuanya pun terlihat bangga saat itu ketika tetangga memuji betapa beruntungnya mereka memiliki anak pintar dan berprestasi seperti Delano.
Delano kecil yang melihatnya lalu merenung dalam hati: Ayah dan ibuku tersenyum senang senang karena aku menang menulis puisi. Mereka menyemangatiku dan mengusap kepalaku. Aku ingin mereka tetap senang.
Sejak saat itu, membaca dan menulis puisi menjadi kegemarannya. Ia berangan-angan, ketika besar nanti ia tak hanya menang lomba menulis puisi tingkat sekolah lagi, tetapi menjadi penyair besar yang diperhitungkan di tingkat internasional. Sebab kalau itu terjadi, tentu kedua orangtuanya akan jauh lebih senang lagi. Memikirkannya saja membuat Delano bahagia.
Angan untuk menyenangkan ayah dan ibunya itulah yang memberinya energi dan kepuasan untuk membaca puisi lebih banyak lagi, menulis puisi lebih banyak lagi. Ia gembira setiap kali satu puisi selesai ditulisnya. Di benaknya, satu puisi yang selesai ditulisnya ini adalah harapan untuk kembali membuat bangga ayah dan ibunya. Lengkap sudah.
Bagi Delano, menulis puisi adalah kegembiraan dan harapan.
Menjadi penyair besar suatu saat nanti, itulah mimpinya. Maka Delano harus tetap menulis puisi. Sebab jika Delano tidak menulis puisi lagi, dia takut ia tidak lagi memiliki mimpi.
Akhir-akhir ini dia memang semakin jarang bermimpi. Entah karena tertidur pulas setelah keletihan membaca buku sumber dan mengolahnya menjadi artikel – untuk memenuhi deadline permintaan dari majalah yang memberinya penghasilan meski kerap tidak cukup bahkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka – atau karena hal lain, Delano tidak tahu pasti.
Ingatan masa kecil memenangi lomba menulis puisi tingkat SD yang menjadi awal perjalanan karirnya menjadi penulis kolom sastra tidak lagi muncul dalam mimpinya. Mungkin ingatan itu berusaha ditekannya ke alam bawah sadarnya sebab di kenyataan sehari-hari, apa yang dilakoninya sekarang tidak lagi mendapat tepuk tangan dari banyak orang. Bahkan pekerjaannya sebagai penulis kerap menjadi bahan tertawaan rekan sealmamaternya pada satu dua kali reuni. Rekan-rekan satu sekolahnya dulu, yang sekarang setiap kali reuni pasti datang dengan mobil mewah terbaru mereka.
Mungkin seiring bertambahnya usia, orang memang tidak bermimpi lagi. Baik mimpi tidur maupun mimpi dalam arti cita-cita. Sempat Delano berpikir begitu.
Tapi Delano tak bisa membohongi hati kecilnya. Ia bahkan ingat bahwa perasaan bangga yang muncul pertama kali ketika ia menjadi penulis puisi cilik masih terasa hangat. Hingga sekarang, di usianya yang ke-35.
“Dukung Delano. Dorong Delano bermimpi. Bukan sembarang mimpi saja, tetapi mimpi yang besar”, begitu kata Bu Sinaga, wali kelas Delano pada pertemuan dengan kedua orangtuanya pada saat acara kelulusan mereka. Ibu Sinaga sendiri memiliki alasan memberi motivasi seperti itu sebab ingat ketika ia mengajar di kelas Delano.
”Delano, apa cita-citamu?” tanya bu Sinaga.
“Aku ingin jadi penyair, Bu Guru,” kata Delano.
”Aku ingin jadi artis sinetron,” sahut yang Suman, anak yang lain.
”Aku mau jadi astronot,” ujar yang lain berebut.
Selain jawaban itu masih banyak jawaban anak-anak lain yang berbeda. Ada yang ingin menjadi guru, jadi perawat, jadi kyai, polisi, tentara, bahkan ada juga yang menyebut ingin jadi presiden. Itu semua terucap atas pikiran mereka yang begitu sederhana sesuai kemampuan berpikir mereka.
Tapi menjadi penyair? Ini sesuatu yang unik. Bagi Ibu Sinaga, menjadi penyair adalah jawaban yang sangat berani. Terlebih di tengah masyarakat yang mengolok-olok berkesenian sebagai pekerjaan orang malas dan tidak akan mampu menghasilkan banyak uang.
Dan memang benarlah, ketika di bangku kuliah dimana para mahasiswa sudah mampu merumuskan cita-cita mereka lebih mengerucut pada bidang dan profesi yang lebih spesifik. Ada yang mengaku ingin menjadi arsitek, dosen, peneliti, ahli biologi dan sebagainya sesuai dengan bayangan yang mereka inginkan. Dan Delano masih tetap ingin menjadi penyair.
Teman-temannya sendiri sekarang kerap menyindir Delano sebagai pemimpi. Ia tahu, ini sindiran untuknya. Di awal, Delano tidak habis pikir dengan cemooh mereka. Delano beberapa kali ingin menjelaskan dasar pikirnya ini kepada siapapun yang meremahkan profesi dan passion yang dia miliki ini.
Tetapi sekarang Delano memilih menarik diri. Batinnya berkata bahwa bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak bisa melihat bahwa mimpi seorang anak bukanlah omong kosong atau bualan semata. Bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak lagi memperjuangkan sesuatu yang dulu mereka sangat yakini, pikirkan atau bayangkan.
Ia teringat dengan Suman. Rekan masa kecilnya yang tetap satu sekolah dengannya hingga bangku SMA. Saat itu Suman bercerita bahwa ketika ia mengutarakan keinginan menjadi artis sinetron, kedua orangtuanya memberikan tanggapan pesimis.
“Sudahlah, nak. Bapakmu punya lahan sawit yang luas. Kamu mau kuliah, ya kuliah saja. Ngapain mau jadi artis sinetron. Kamu tinggal selesaikan saja kuliahmu sebab kalau tidak, sebagai keluarga terpandang di kampung kita ini, kami akan malu kalau ternyata kamu kuliah lalu malah drop out“. Suman sangat kesal ketika itu. Untuk apa kuliah kalau ijazah yang didapat nanti hanya demi gengsi keluarga, tetapi tidak sesuai dengan cita-citanya.
Suman memang akhirnya meneruskan mengurusi kebun sawit warisan orangtuanya. Tetapi pada pertemuan mereka yang terakhir, Suman banyak mengeluh dalam curhatnya. Wajahnya murung. Meski tidak kekurangan dari segi materi, sepertinya Suman tidak menikmati apa yang ia jalani sekarang. Wajahnya malah tampak berbinar ketika Delano sengaja memancing obrolan tentang industri perfilman Indonesia saat ini.
Sesampainya di rumah, Delano mengingat kembali pertemuan mereka. Seingatnya, selain omongan cerewet Pia isterinya yang selalu menyebutnya kekanak-kanakan itu, seingatnya hari-harinya ia lalui dengan semangat. Terlebih ketika ia menyelesaikan karya-karya puisinya. Berbeda dengan Suman.