Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menggunakan Media Sosial?

Paus ternyata memiliki akun Twitter.

Akun @Pontifex sendiri dibuat pada Februari 2012 pada masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI dan dilanjutkan oleh penerusnya, yakni Paus sekarang: Paus Fransiskus. Sampai hari ini, 28 Agustus 2022, akun tersebut diikuti oleh sebanyak 19 juta pengguna.

Mengapa seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik menggunakan akun media sosial se”receh” Twitter? Bukankah seharusnya sebagai pemimpin tertinggi organisasi religius terbesar di dunia, seorang Paus akan dikecam banyak orang karena menggunakan Twitter?

Dengan segala macam konsekuensinya, ternyata hal ini sejalan dengan semangat pembaharuan (aggiornamento) Gereja yang sejak konsili Vatikan II antara lain secara tegas menyatakan bahwa: Gereja wajib menggunakan media sosial.

Apa? Orang Katolik atau orang Kristen wajib menggunakan media sosial?

Wajib. Setidaknya itulah yang diajarkan Gereja Katolik dalam Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya Komunikasi Sosial (“Inter Mirifica”).

Dekrit ini sendiri adalah salah satu dari 16 dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Ekumenis terbesar yang pernah ada tersebut. Terbesar karena sebanyak 2.908 pria (yang disebut para bapa Konsili) tercatat memiliki hak suara dalam konsili tersebut. Ekumenis karena sebanyak 17 gereja-gereja Ortodoks dan denominasi Protestan juga mengirimkan pengamat-pengamat mereka.

Bersama dokumen lainnya, Inter Mirifica secara jelas menghembuskan napas pembaharuan Gereja dalam berbagai bidang. Paus Paulus sejak awal sudah menggaungkan semangat itu pada Amanat Pembukaan 29 September 1963 yang menekankan kembali sifat Pastoral Konsili, dan menetapkan empat tujuan Konsili, yakni:

  1. untuk lebih mendefinisikan sifat dasar gereja dan tugas pelayanan para uskup;
  2. untuk memperbaharui gereja;
  3. untuk mengembalikan kesatuan di antara kaum Kristiani, termasuk meminta maaf akan kontribusi Gereja Katolik pada masa lampau terhadap perpecahan itu; serta
  4. untuk memulai dialog dengan dunia modern.

Kita kembali ke Inter Mirifica.

Pada artikel 3 tertulis:

Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Dalam bahasa sederhana, artikel ini memuat sekaligus dua kewajiban yang dimaksud:

  1. Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial untuk mewartakan keselamatan
  2. Kewajiban untuk mengajar bagaimana menggunakan media komunikasi sosial dengan tepat.

Jika demikian, wajibkah semua orang Katolik atau orang Kristen memiliki HP dan menginstal aplikasi media sosial? Jika iya, sekarang ada ribuan aplikasi media sosial dan masih akan bertumbuh, yang mana yang harus diinstal dan digunakan, yang mana yang tidak perlu? Apakah ini berarti bahwa semua orang Kristen wajib memiliki akun Facebook, Instagram, Tiktok, Twitter dan sejenisnya?

Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol dan receh bagi orang yang memahami atau setidaknya pernah membaca dekrit konsili tersebut.

Maka, pada kesempatan ini aku ingin mengajak kamu memahami apa pentingnya dokumen resmi Vatikan ini dalam bahasa sesederhana mungkin. Sehingga pertanyaan “receh” seperti ini atau pertanyaan serius lainnya yang kamu punya bisa terjawab.

Media Komunikasi Sosial bukan Sekedar Media Sosial

Gereja menggunakan istilah “Komunikasi Sosial”. Terlepas dari pemakaiannya yang kurang umum dibandingkan media massa atau media sosial, “Komunikasi Sosial” lebih tepat.

Mengapa? Karena seluruh komunikasi bersifat sosial;  namun belum tentu semua komunikasi itu bisa disebarluaskan kepada “massa”. Komunikasi antara dua pribadi yang sedang curhat, misalnya,  sudah dapat disebut sebagai komunikasi sosial. Padahal, sangat sering isi curhat itu tidak pantas disebarluaskan ke semua orang (publik/massa).

Meskipun sekarang kedua istilah ini dianggap sama, tetapi jika kita meletakkan keduanya pada makna aslinya, kita akan lebih memahami kewajiban orang Kristen menggunakan media sosial tadi.

Tanggung jawab dan tujuan positif dari Komunikasi Sosial tidak hanya ditanggung oleh seorang individu namun seluruh Gereja melalui berbagai tingkatan otoritasnya. Mengikuti kebijakan Dewan Kepausan ini, lingkup Gereja yang lebih spesifik (mulai dari tingkat keuskupan sebagai Gereja partikulir, paroki hingga lingkungan atau komunitas basis Gerejani) seharusnya gencar memperkenalkan pula kewajiban menggunakan MKS ini untuk berbagai misi Gereja.

Hari Komunikasi Sosial

Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial (MKS) begitu penting hingga kemudian dua tahun setelah Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI meresmikan Hari Komunikasi Sosial Sedunia untuk memberikan pesan tahunan Gereja kepada Gereja Katolik universal dan kepada seluruh dunia.

Tema Hari Komunikasi Sosial tahun 2022 ini adalah:

DENGARKANLAH


Kita kembali sebentar ke dokumen yang menjadi rujukan kewajiban menggunakan media komunikasi sosial ini, yakni Dekrit Inter Mirifica.

Inter Mirifica” dalam bahasa Indonesia berarti “diantara penemuan yang menakjubkan”. Penemuan mana yang dimaksud? Artikel 1 secara jelas menjawabnya, yakni:  Penemuan media komunikasi sosial: media cetak, sinema, radion, televisi dan sebagainya – yang mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia.

Saat dekrit ini ditulis dan dipromulgasikan (diundangkan) pada 4 Desember 1963 internet belum lahir. Namun, berdasarkan hakikat yang sama dengan media komunikasi yang sudah sebelumnya, internet dan berbagai media sosial di dalamnya adalah juga bagian dari media komunikasi sosial. Maka, patutlah kita mencari apa petunjuk yang diberikan Inter Mirifica perihal bagaimana seharusnya orang Katolik, orang Kristen dan seluruh manusia menggunakan media sosial.

Satu hal sudah jelas tadi, yakni: Gereja wajib menggunakan media sosial sebagai sarana pewartaan keselamatan. Mari kita telisik hal-hal lain tentang media sosial yang bisa digali dari Inter Mirifica.

 

Sejujurnya, sebagai awam, sangat pantas kita mengharapkan bahwa para Bapa Konsili merumuskan lebih banyak pandangan tentang masa depan. Sebab sebagai otoritas yang diakui Gereja Katolik, mereka terutama wajib untuk terus melatih diri “membaca tanda-tanda zaman”.

Sudah bukan saatnya lagi untuk mengabaikan peran media dalam kehidupan kita di dunia ini. Dalam sudut pandang itu, kita dapat menganggap bahwa Inter Mirifica adalah pembuka jalan bagi tahapan selanjutnya perihal bagaimana seharusnya orang – aku dan kamu – menjalani, mengalami dan menjelajah lebih mendalam realitas dunia media.

Moralitas dalam Media Sosial

Media sosial harus digunakan secara bermoral. Semua yang menonton, membaca atau mendengarkan media haruslah memiliki standar moral dan menaatinya. Begitu pula dengan semua pihak yang memproduksi, mendistribusikan dan membuat regulasi atas konten media. Semua keputusan terkait media haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip moral, sebab segala media komunikasi dapat memengaruhi umat manusia secara positif maupun negatif.

Tujuan tertinggi dalam bermedia ialah untuk mengungkapkan kebenaran.

“Kebenaran ada banyak, kebenaran yang mana?”, mungkin muncul pertanyaanmu. Kamu tidak salah. Sebab tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap pengalaman sehari-sehari dibombardir dengan pengaruh dari kombinasi paham dan situasi yang sangat membingungkan dewasa ini, yakni paham relativisme dan situasi dunia postmodernisme dengan tawaran absurditasnya.

Dalam sudut pandang Kristen, kebenaran yang dimaksud tentu saja adalah kebenaran dalam arti kabar baik keselamatan. Keselamatan dari apapun yang menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai co-creator (citra Allah): kemiskinan, penindasan, pembungkaman, dan keterasingan diri.

Media bertugas mempersatukan orang-orang dan mendampingi mereka dalam perjalanan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Tujuan akhir dari media seharusnya tidak diukur dari pencapaian laba atau keuntungan finansial. Adanya saling percaya (trust) diantara pihak-pihak yang terlibat pada sebuah media tertentu (produsen, regulator, distributor dan pengguna) justru esensial untuk sehingga usaha media itu bisa berjalan terus secara bekelanjutan (viable).

Begitu sesuatu dikomunikasikan menjadi konten media (medium), konten itu membawa serta substansi pesan bahwa kita memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas diri kita. Kurang lebih dapat kita gambarkan sebagai berikut:

POTENTIA – MEDIUM – ACTUS

Semakin kita tercerahkan sebagai bagian dari seluruh semesta ini, kita semakin mampu untuk memberi respon yang pas dan pantas.

Maka, tujuan akhir dari komunikasi bukanlah semata untuk menghibur atau menjajal tawaran stimulasi emosional.

Justru, tujuan sosial dari komunikasi adalah untuk mengembangkan persaudaraan dan persatuan. Itulah sebabnya mengapa penyalahgunaan bentuk-bentuk komunikasi menjauhkan orang dari sesama. Miskomunikasi menyebabkan konfik dalam masyarakat. Dimana masyarakat terpecah-belah, iblis (kejahatan) meraja. Disharmoni dalam kemanusiaan adalah pintu lebar bagi masuknya berbagai agenda kejahatan.

Kebebasan untuk mendapatkan akses terhadap informasi membuat orang berkembang dan maju. Opini personal dan publik yang berguna hanya muncul dalam masyarakat yang melek informasi (well-informed).

Jika informasi yang dihasilkan justru salah atau bias, maka opini yang berkembang di masyarakat juga tidak menunjukkan realitas yang sebenarnya terjadi. Inilah yang membuat masyarakat gagal merespon secara pas dan pantas, dan malah membenarkan hal yang salah dan tidak adil. Jika sudah begini, maka kemanusiaan yang berkemajuan sedang mengalami jalan buntu.

Memang tidak ada jaminan bahwa komunikasi kita alami dalam bentuk yang sempurna, bahkan ketika segala macam cara dan kemampuan kita rasa sudah kita kerahkan. Ketidaksempurnaan ini menjadi cermin kemanusiaan kita. Tetapi ada tanggung jawab moral di pundak pihak media bahwa ketika mereka melakukan kesalahan, mereka harus mengesampingkan citra diri dan biaya yang harus dikeluarkan demi mengoreksi komunikasi. Singkatnya: jika melakukan kesalahan, akui dan perbaiki.

Sebagai contoh, isu yang menggandung kekerasan, penggambaran tubuh manusia secara seksual, dan merendahkan martabat manusia kerap dikemas tanpa mempertimbangkan bagaimana seharusnya konten ini di disebarluaskan dengan dalih untuk memastikan bahwa setiap detil kebenarannya tersampaikan. Ini adalah prinsip yang jelas bertentangan dengan prinsip moral atau “index” suara hati bahwa mengumbar kekejaman dunia secara sembarangan itu tidak baik. Akan tetapi, di sisi lain, membuat masyarakat tidak awas terhadap realitas yang kejam atau mempromosikan berbagai bentuk korupsi juga tidak baik.

Solusi atas dilema moral seperti ini dapat kita cari dengan bertolak dari kesadaran bahwa manusia dapat mengalami kemajuan secara intelektual jika ada beragam cara dan bentuk edukasi; dan orang-orang memiliki akses terhadapnya.

 

Facebook Comments

Published by

Donald

A great Big Bang and then it all starts, we have no idea where will it end to ...

Komentar