Kebudimuliaan: Value or Virtue?

Kebudimuliaan

Kebudimuliaan seperti pernah kuulas di blog ini mencakup 16 nilai.

Keutamaan dan Nilai (Virtue and Value)

Orang kerap menyamakan virtue (keutamaan) dengan value (nilai). Padahal, keduanya berbeda.

Keutamaan adalah nilai yang dihidupi, nilai dalam tindakan, nilai yang dijalankan pada hidup keseharian. Sementara nilai adalah gagasan, atau tujuan; sifatnya aspirasional; dan sering gagal terjadi dalam hidup keseharian, tak seperti yang diinginkan.

Contoh Kasus: Nilai Tanggung Jawab


Menciptakan Budaya Kebudimuliaan

Bruder Anastasius, BM (kiri) dan Bruder Polycarpus, BM (kanan) pada Sosialisasi Pendidikan Spiritualitas Budi Mulia di Aula Ronse SMA Budi Mulia Pematangsiantar, 18 Maret 2023.


Kompartementalisasi – Solusi buat Remaja Jompo SMA

“8 les sehari, semuanya ada PR.

Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.

Can you feel it?

I can. 

Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.

Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.

Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum,  dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.

Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.

Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.

Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.

Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”


Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:

Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.

Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.

Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)

Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.

Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.

Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi  guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.

Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.

Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.

S = specific

M = measurable

A = attainable/achievable

R = Relevant

T = Timebound.

Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.

Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.

Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.

Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.

Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.


Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?

Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.

Aku melihatnya secara positif.

Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.

Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.

Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.


KOMPARTEMENTALISASI

Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.

Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.

Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”

Bagaimana melakukan kompartementalisasi ini?

Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.

Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.

Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?

Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?

  1. Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
  2. Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
  3. Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
  4. Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.

Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika  tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.


Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.

Tidak semua siswa bisa sukses dengan cara ini.

Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.

Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja:  seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.

Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.

Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.

Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.

Lalu, kunci suksesnya apa?

Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.

Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.

Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.

Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.

Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.

Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.

Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.

Komunitas Yahudi di Indonesia

Jejak komunitas Yahudi di Indonsia memang tampak samar. Selain tidak dikenali secara luas, kelompok ini seperti ada dan tiada.

Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia menimbulkan keengganan bagi komunitas ini untuk tampil di muka publik

Prof. Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel menulis: “Kehadiran orang Yahudi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1290. Mereka adalah saudagar dari Fustat, Mesir yang berdagang di Barus, Sumatera Utara”

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya perusahaan Belanda (VOC) pada tahun 1602. Perkembangan komunitas Yahudi di Indonesia semakin meningkat pada 1870. Saat itu, komunitas Yahudi Amsterdam mengirim seorang rabi ke Indonesia. Kemudian, pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa. Dia melaporkan, saat itu terdapat dua ribu orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.

Kaum Yahudi di Indonesia terbagi atas tiga golongan:

Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dulu dipekerjakan pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru dan dokter.

Kedua, Yahudi Baghdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor dan pemilik toko. Yahudi Bagdadi ini dikenal religius, bahkan ada yang ultra-ortodoks.

Ketiga, Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka berasal dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Beberapa diantaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Indonesia.

Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur.

Akan tetapi, nasionalisasi segala yang berbau asing oleh Presiden Sukarno di awal 1950-an memantik migrasi besar-besaran keturunan Yahudi dari Indonesia kembali ke tempat asal mereka setelah situasi aman, atau ke tempat lain. Ditambah lagi Penetapan Presiden tahun 1965 tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama resmi yang diakui (difasilitasi) pemerintah.

Tahun 2004, komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya Sinagoga “Ohel Yaakov” di kota Manado, Sulawesi Utara. Yang paling mencolok adalah dibangunnya sebuah menorah berukuran raksasa setinggi 19 meter, di sebuah puncak dataran tinggi di pinggiran kota Manado. Sinagoga (synagogue) adalah tempat beribadah orang Yahudi, sementara menorah adalah lambang suci yang dipakai dalam ritual ibadat Yahudi.

Di Jakarta Selatan (Batavia), ada tujuh kuburan berlambang bintang Daud dan berbahasa Ibrani di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, menjadi bukti kaum Yahudi pernah tinggal dan berbaur dengan warga kota Jakarta.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, mengatakan bahwa sebelum perang Arab-Israel tahun 1948 warga Yahudi hidup rukun dengan warga lainnya. Mereka bercampur-baur dengan warga muslim Jakarta. Apalagi, banyak Yahudi dari Timur Tengah yang juga masih bisa bahkan fasih berbahasa Arab, dan wajah mereka pun sangat mirip dengan bangsa Arab lainnya yang ada di Jakarta. Dalam kegiatan dagang, mereka tidak menyembunyikan identitas ke-Yahudi-annya.

Keberadaan komunitas Yahudi di Jakarta juga tergambar dari salah satu prajurit Belanda keturunan Yahudi bernama Leendert Miero (1755-1834). Selain menjadi prajurit, dia juga pernah menjadid tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi sekarang. Nama “Pondok Gede” (gedung/rumah yang sangat besar) sendiri merujuk pada kediaman Miero. Kini, bekas peninggalan rumah gedong milik Leendert Miero itu menjadi pusat perbelanjaan.

Sebuah artikel Selisip.Com mengisahkan Dorothy Marx, seorang pendeta dan teolog berdarah Yahudi. Dorothy dikeal luas di GKI, PGI, kampus UKI, ITB, UPI (dulu IKIP Malang), Universitas Kristen Maranatha, STT Bandung, STT Jakarta, SAAT Malang, Perkantas serta berbagai lembaga persekutuan di Bandung. Dorothy, yang lahir di Munchen (Jerman) pada 16 Februari 1923, pindah ke Inggris jelang Perang Dunia II. Ia pertama kali melayani Indonesia pada 1957 sbagai misionaris OMF (Overseas Missionary Fellowship) usai ia lulus dari Universitas Tubingen dan Lousiana Baptist University. Dorothy dikenal luas atas tulisan dan kontribusinya terhadap pendidikan para calon pendeta, terutama GKI.

Sekalipun komunitas Yahudi telah berjejak lama, dengan warisan seni dan budaya termasuk yang juga mereka bawa dan pelihara, namun Indonesia tetap tidak mengakui keberadaan negeri asal komunitas Yahudi itu, yakni Israel. Konflik antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah terutama dengan Palestina telah mewariskan sentimen negatif pada masyarakat Indonesia terhadap komunitas Yahudi.

Sentimen negatif terhadap Israel (termasuk komunitas Yahudi di Indonesia juga menerima imbasnya) diduga juga “dibakar” dengan kutipan dan interpretasi liar atas ayat-ayat Kitab Suci untuk tujuan tertentu. Padahal, Indonesia khususnya melalui ABRI sudah sejak lama menjalin hubungan dengan Israel, seperti pembelian pesawat A-4 Skyhawk, belum lagi kerjasama intelijen dalam memerangi terorisme. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kelompok simpatisan teroris di Indonesia gencar melancarkan propaganda anti-Israel dan anti-Yahudi karena mereka tahu gerakan mereka akan dibantai oleh teknologi maju dari Israel itu.

Tambahan lagi, sebagian masyarakat Indonesia terlanjur percaya dengan keberadaan Yahudi yang konon tidak bisa lepas dari gerakan Freemasonry, yakni gerakan diam-diam orang Yahudi untuk menguasai dunia.

 


Disadur dari berbagai sumber

 

 

 

Ajang Apresiasi kepada Penulis Skenario

Adakah penghargaan untuk penulis film (skenario) pada Piala Oscar, Academy Awards, atau di festival film lainnya?

Iya, betul. Penulis skenario film memang mendapatkan piala penghargaan.

Di ajang Academy Awards, penghargaan untuk penulis skenario itu ada dua kategori, yaitu Best Original Screenplay (Penulisan skenario asli) dan Best Adapted Screenplay (Penulisan Skenario Hasil Adaptasi). Perbedaannya tentu saja untuk kategori pertama skenario film biasanya ditulis sendiri oleh sutradara atau produser film tersebut sedangkan untuk kategori kedua ditulis berdasarkan inspirasi dari media lain, khususnya novel dan buku yang telah ada.

Tahun 2020 yang lalu yang mendapatkan piala Oscar untuk Best Original Screenplay adalah Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Sementara yang meraih piala Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay adalah Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit yang diangkat berdasarkan novel karya Christine Leunens berjudul Caging Skies.

Dalam penghargaan Golden Globes, kategori untuk penulis skenario film terbaik disebutnya sebagai Best Screenplay – Motion Picture, dan tahun 2020 pemenangnya adalah Quentin Tarantino untuk film Once Upon a Time in Hollywood.

Sementara di British Academy Film Awards atau BAFTA, untuk penulis skenario film kategorinya juga ada dua, yaitu Best Original Screenplay dan Best Adapted Screenplay, sama seperti di Academy Awards. Dan tahun ini untuk kategori Best Original Screenplay dimenangkan Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Kemudian Best Adapted Screenplay diraih oleh Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit. Jadi pemenangnya sama juga seperti di ajang piala Oscar.

Di Festival Film Indonesia penulis skenario juga mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk dua kategori, yaitu Skenario Asli Terbaik, dan Skenario Adaptasi Terbaik. Tahun ini 2020 pemenang piala Citra untuk Skenario Asli Terbaik adalah Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru, sementara peraih piala Citra untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik dimenangkan oleh Gina S. Noer dan Yandy Laurens untuk film Keluarga Cemara.

Beberapa festival film di Indonesia adalah Festival Film Bandung, dan Piala Maya juga memiliki penghargaan untuk penulis skenario film. Kalau di Festival Film Bandung disebutnya sebagai Penulis Skenario Terpuji Film Bioskop, dan tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Untuk Piala Maya, ada dua kategori untuk penghargaan bagi penulis skenario, yaitu Penulisan Skenario Asli Terpilih yang tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Dan satu kategori lagi adalah Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih, untuk tahun ini dimenangkan pasangan suami istri Ernest Prakasa dengan Meira Anastasia untuk film Imperfect.

Dan masih banyak lagi festival film lainnya, baik berskala internasional atau hanya sebatas di Indonesia yang memberikan penghargaan bagi penulis skenario film terbaik.

True Self Manusia Nusantara

Berbagi Keprihatinan

Baru-baru ini, saya menikmati diskusi dengan teman-teman yang menyebut diri sebagai “kelompok yang perduli terhadap budaya nilai Indonesia”.

Group chatting-nya menggunakan aplikasi Telegram. Menurut sang admin, mengingat sejauh ini Telegram masih mengakomodasi lebih banyak members dibandingkan Whatsapp, akan semakin banyak manfaat yang bisa ditularkan jika semakin banyak orang yang bergabung.

Saya setuju dengan beliau.

Tak terbayang jika semua orang Indonesia ikut dalam perjuangan yang di-share dalam deskripsi group tersebut, yaitu

sumbangan pemikiran bagaimana mengembangkan budaya nilai itu di lingkungan kehidupan kita sehari-hari (di rumah, di kantor, di sekolah dan lain-lain).

Umumnya group chatting, termasuk group nostalgia hanya bertahan di minggu-minggu pertama sebelum kemudian sepi kembali karena memang tidak ada substansi yang benar-benar layak untuk di-share dan dibaca di sela-sela kesibukan atau curi-curi waktu supaya tidak ketahuan bos saat kerja (hehehe .. yang ini termasuk nilai yang tidak baik).

Tetapi group yang ini berbeda.

Segera terbaca buat saya bahwa bunyi tang ting tung yang masih bertahan hingga kurang lebih satu bulan ini menandakan bahwa para member merasakan keprihatinan yang sama. Bagi kami jelas, bahwa saat ini di Indonesia: Nilai-nilai mulai tergerus.

Mulai dari penggagalan penerusan kehidupan (entah itu aborsi, baby trafficking, kesadaran yang lemah tentang kesehatan pada masa kehamilan), pertumbuhan anak yang sarat dengan penolakan (entah itu bullying di lingkungan sekolah, kekerasan remaja, penyalahgunaan seks, seks pranikah, drugs abuse), hingga relasi yang mestinya tumbuh di tengah lingkungan keluarga.

Diskusi menghangat hingga berhari-hari ketika masing-masing mencoba memberikan argumentasi dan contoh narasi terhadap nilai-nilai apa yang tergerus itu. Kemudian menjadi semakin sempit ketika iseng-iseng mau menginventarisir nilai-nilai mana saja yang dimaksud, akhirnya mengerucut pada nilai-nilai asli manusia Indonesia.

Saya coba nyeletuk, sembari mengajak teman yang lain menarik diri dengan pertanyaan:

Memangnya siapa manusia Indonesia?

Nilai-nilai mana yang memang khas Indonesia, yang layak kita pelihara dan teruskan?

True Self

True Self adalah apa yang tertinggal pada insan Nusantara jika Self-Palsu-nya dilepas.

Setiap manusia yang dicipta, adalah manusia sejati yang sesuai dengan kehendak dan gambaran Pencipta-nya. Setiap manusia Indonesia, entah karena DNA-nya memang dari lelehur kala Nusantara atau dia memilih menjadi bagian dari Indonesia, adalah sesuai dengan kehendak dan gambaran pencipta-nya. Mula-mula ia adalah manusia sejati. Tapi lama-lama melalui pelabelan demi pelabelan, akhirnya citra diri sejati itu ditutupi oleh label-label. Pada akhirnya tidak kelihatan lagi citra diri manusia yang sejati dan hanya kelihatan label-labelnya.

Dialog apapun dalam konteks musyawarah menjadi sangat sulit dicapai ketika akhirnya citra diri pribadi yang sejati itu lalu direduksi sesuai “pendapatku”, “ajaran agamaku”, “lingkungan sosialku”, “lingkaran politisku”.

Diri yang dihasilkan dari reduksi semacam inilah yang disebut sebagai #Citra diri palsu.

Citra Diri Palsu

Maka, untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang #TrueSelf manusia Nusantara atau diri sejati dari insan Indonesia, mau tak mau, semua lapisan doktrinal mesti dibuang dahulu, termasuk ideologi agama dan keyakinan yang rentan multitafsir. Tidak hanya unsur SARA saja, sebab SARA hanya pakaian usang yang digunakan untuk menutupi kebusukan yang lebih besar lagi di dalamnya.

Apakah ini berarti menempatkan diri makhluk primitif seperti tayangan Meet The Natives dengan wanita berpayudara lepas tanpa penutup dan lelaki tegap dengan koteka penutup kemaluannya di Discovery Channel atau National Geographic?

Entahlah.

Tetapi menjadi manusia primitif yang tahu caranya mengetik karakter via Telegram dan tahu tata cara mengantri di fasilitas umum sepertinya lebih civilized dibandingkan para manusia modern yang suka menyebarkan hoax; atau wakil rakyat yang hobinya berkelahi, ber-dagelan seolah-olah benar mereka menyampaikan suara rakyat.

Tak dirumuskan secara gamblang tetapi masing-masing anggota group chat berbagi pengalaman tentang bagaimana nilai (atau persepsi terhadap nilai) semakin tercemar. Seakan-akan para anggota group yang kebanyakan berasal dari generasi baby boomers ini merasa prihatin dengan kami ‘generasi millenials’ Y dan ‘post millenial Z’ yang lebih muda, sebab kenyataan akhir-akhir ini menunjukkan masyarakat yang teralienasi dari dirinya sendiri: mencoba mencari segala yang ‘wah’ dan keren, termasuk jika itu harus meninggalkan kearifan nusantara, filosofi hidup dan nilai-nilai lokal (life values) yang ada.

Anggota group yang berasal dari beragam profesi dalam hidup harian mereka coba menawarkan apa yang mereka maksud sebagai nilai. Berikut beberapa inventarisnya:

  1. Kesopanan
  2. Keramahan
  3. Kesantunan
  4. Kekeluargaan
  5. Mau berbagi
  6. Takwa
  7. Hormat kepada bumi
  8. Hasangapon (dihormati, karena kharisma bukan karena materi atau status ekonomi semata)
  9. Nrimo (teman dari etnis Jawa menyebut bahwa terjemahan “pasrah” kurang tepat menjelaskan kata ini)
  10. Hormat kepada yang tua
  11. dan sebagainya …

Dan inventarisasi itu semakin panjang.

Masing-masing merasa bahwa itulah terjemahan dari nilai-nilai yang disebut Pancasila. Itulah butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang mestinya sekarang terus digalakkan lagi sosialisasinya, bukan terutama karena Zaskia Gotik yang setelah menyamakan pancasila dengan pantat bebek lalu didaulat jadi duta untuk sosialisasi nilai-nilai pancasila. Menciptakan manusia dengan nilai seperti litani itulah yang disasar oleh setiap regulasi dan perundangan di republik ini.

Tetapi lalu ada rasa jengah.

Kemudian terawang yang teramat dalam ke batin masing-masing sebelum mengetikkan huruf-huruf di gadget masing-masing untuk dikirimkan sebagai komentar dengan menekan tombol “enter”. Rasa segan yang teramat sangat ketika daftar yang hendak diinventarisir itu bersinggungan dengan doktrin agama, sebab ternyata tidak begitu saja kita mudah mengenakan Ockhams’ razor untuk membedah true self manusia Indonesia dari developed self dan contextual self Indonesia.

Tidak mudah berbicara tentang true self orang Indonesia sebagai orang Indonesia. Ketika kita mencoba melepas semua pelabelan demi pelabelan yang membentuk developed self, tidak begitu saja komunikasi bisa asertif dan straight at the point.

Yang bukan Mitos dari Teori Penciptaan

Terminologi Katolik nyaman dengan istilah “imago Dei” guna menterjemahkan #CitraDiriSejati.

Secara populer, imago dei (gambar, rupa Allah) mengacupada dua hal.

Pertama, aktualisasi diri Allah sendiri melalui manusia.

Kedua, perawatan Allah bagi umat manusia.

Tidak akan selesai perang tafsir teologis Kejadian 1 pada Kitab Suci dengan sains populer, tetapi kita akan cukup aman menyebut bahwa se-mitologis apapun kisah dalam penciptaan, itulah cara manusia zaman dahulu untuk membahasakan pengalaman dan refleksi mereka terhadap NILAI apa yang seharusnya ada pada mereka dan semestinya tetap ada pada generasi berikutnya. Artinya, tetap ada nilai yang bisa dipeluk sebagai kekayaan peradaban sekalipun benar bahwa teori penciptaan hanyalah teori, dan tidak pernah terjadi bahwa Allah mencipta manusia pertama di daerah Irak sekarang.

Menyebut manusia citra Allah adalah langkah paling berani, tanpa jatuh pada antroposentisme belaka, bahwa tataran NILAI paling tinggi itu bisa dicapai oleh manusia. Untuk itu, perlu kualitas khusus dari sifat manusia yang memungkinkan Allah untuk menjadi nyata pada manusia.

Implikasi moral dari doktrin imago Dei yang jelas dalam fakta bahwa jika manusia untuk mengasihi Allah, maka manusia harus mencintai manusia lainnya, karena masing-masing adalah ekspresi dari Allah.

Keluar dari konteks Katolik, menyebut manusia Indonesia sebagai manusia yang “ber-Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah langkah berani untuk mencari pada area mana saja manusia Indonesia sudah menghidupi kekayaan NILAI yang melampaui kepentingan kelompoknya saja.

Entah benar bahwa manusia Indonesia sekarang adalah keturunan dari para pelaut pemberani dari generasi perantau Proto-Melayu dan Deutro-Melayu atau malah sudah terlebih dahulu melihat jejak-jejak hangat bekas kaki dinosaurus yang cukup dekat rentangnya dengan hidup manusia dalam diri Homo Florensis, menyebut diri sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, tidak bisa tidak, berarti mengakui kulminasi nilai peradaban ada pada pengakuan diri sebagai citra Allah. Bahwa True Self manusia Indonesia ialah manusia yang sudah sedari awal berorientasi pada nilai, menghidupi nilai, bahkan rela mati demi nilai.

Nilai itu bisa diterjemahkan sebagai values of life, falsafah hidup atau bahkan tujuan hidup itu sendiri. Jika demikian, yang manakah nilai Indonesia itu?

Yaitu semua kearifan dan nilai yang terkandung pada setiap masyarakat Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua, mulai dari pemeluk agama resmi seperti Kristen hingga pelestari aliran kepercayaan seperti Parmalim, mulai dari penjual nasi aking di daerah Banten hingga pengembang properti hunian di Pantai Indah Kapuk. Ya, semua nilai yang baik itulah nilai sejati dari True Self manusia Nusantara.

Maka, nilai pertama yang mesti dimiliki setiap orang Indonesia adalah menerima diri sebagai bagian utuh dari kesatuan Indonesia. Berbela rasa terhadap yang lain, yang juga bagian utuh yang sama dari Indonesia. Itulah TrueSelf sejati dari manusia Indonesia: Berbelarasa karena bhinneka.

“Menghajar” Pendidik

Ada teman yang suka menyebut Indonesia, ada yang keukeuh dan bersikeras bahwa Nusantara punya kandungan makna lebih kaya. Pencarian identitas kebangsaan memang semestinya terus digalakkan. Dan cara yang paling ampuh untuk melakukannya ialah dengan pendidikan, termasuk mendidik siswa supaya berani melepas topeng-topeng dari Citra Diri Palsu dari para pendidiknya terdahulu.

Ini harus sejalan.

Pendidik mendidik siswanya, dan siswa “menghajar” pendidiknya.

Siswa yang sudah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana kemajuan zaman “menelan” mereka bulat-bulat hingga merenggut jatidiri mereka sebagai manusia Indonesia, layak untuk meng-konfrontasikan keprihatinan mereka terhadap nilai-nilai yang diajarkan para pendidik.

Umumnya pendidik yang mengerti substansi nilai akan merasa bersemangat, sementara guru yang ijazahnya pun diperoleh dengan membayar calo, mereka akan gamang dan linglung karena teori yang mereka copy-paste dari internet tidak membantu sama sekali menghadapi tuntutan semacam itu.

Tidak semua, tetapi kerap para pendidik terdahulu juga adalah bagian dari kepentingan yang lebih besar, yang rela memangsa Citra Diri Sejati bangsa Indonesia demi kepentingan mereka. Yang jelas, yang mereka bela itu bukan kepentingan Tuhan yang kita puja. Karena kalau Tuhan punya kepentingan, kita semua-lah, tidak hanya sebagian, yang mestinya jadi kepentingan-Nya.

 Selamat hari pendidikan!

(Seperti dimuat di Indonesiana Tempo)

 

Petojo Melintang, 2 Mei 2016

Haromunthe di Adopan ni Punguan PARNA

Ditulis oleh marga Haromunthe dengan akun FB @Haro Alap

Tugu

Tung mansai lomos jala loja do hami pomparan ni Op Jelak Maribur khususna na marhuta sian Negeri Tamba, Kec Sitiotio, Kab Samosir molo disungkun dongan tubu Pomparan ni Nai Amboton ima sukkun-sukkun : “Boasa hamu mangalap boru Tamba molo marga Munte do hamu, alana marga Munte i pomparan ni Nai Ampaton manang parna do i”.

Tung mansai maol do hualusi hami sukkun-sukkun i. Sipata do hami margabus asa unang adong sukkun-sukkun i.

Alani i patorangon nami do saotik pardalanna tu hamu angka Amanta Raja dohot Inanta soripada boasa hami mangalap boru Tamba dohot angka boru ni Pomparan ni Nai Ambaton na asing, ima boru Simbolon, boru Sitanggang dohot angka na asing dope noso boi pinajojor.

Taringot tu sukkun-sukkun i, anggo alus na jempek sian hami songonon do: “ Ai dang ditonahon oppung nami tu hami na iboto nami boru Tamba dohot boru ni Pinompar ni Nai Ambaton na asing, alai sada tihas do dibahen di hami gabe digoari ma oppung nami Haro”. Ido sada siingoton dibahen di hami tarlumobi ma di Pinompar ni Jelak Maribur na marhuta di Negeri Tamba. Ido asa umbahen mangalap boru Tamba dohot boruni Pinompar ni Nai Ambaton na asing sahat tu sadarion.

Taringot tu tihas i, paboaon nami do saotik turi-turian na ditonahon ni natoras nami tarsongonon:

 Ia ompunta Munte tua dua do anak na, ima Jelak Karo, na marhuta jala marpinompar di Negeri Tongging; dohot anggina ima Jelak Maribur na ginoaran Datu Parultop. Tudos songon tu goarna i,  ia Oppu Jelak Maribur na malo do marultop, jala mansai lomo do rohana mangultop angka pidong.

Dinasahali dibereng ibana do sada pidong tung mansai uli warna ni habong na, jala laos diultop ibana do pidongi, alai dang hona, jala laos habang do pidongi. Alani lomo ni rohana mamereng pidongi laos di ihutton ibana didia muse songgop pidongi. Dung jonok ibana tu parsonggopan ni pidong i diultop ibana muse, alai tong dang hona jala laos habang muse.

Dina mangihutton pidongi ibana, gabe sahat do ibana tu sada huta, ima huta Negeri Tamba saonari. Di huta Negeri Tamba dibereng ibana ma sada boru-boru, martonun di bona ni unte puraga, jala laos godang do boras ni unte i naung malamun. Alani i sir do rohani Oppu Jelak Maribur naing mangallang unte, laos dipangido ibana tu boru-boru i. Dung dipangido ibana tu boru-boru i dipaloas do  ibana didok,: Jakkit hamu ma ito molo sir do rohamu naing mangallang unte i. Dung dipaloas boru-boru i dijangkit Jelak Maribur ma unte i jala laos diallang do unte di ginjang tingki na manjangkit i. Dungi manaili ma boru-boru i dompak ginjang.  

Diberengma Jelak Maribur manggallang unte puraga. Alani i rodo ijur ni boru-boru i naing mangallang unte i, laos didok:  “ia dobuhon hamu ma di au sada unte i, ai gabe laos ro do ijurhu dung hebereng hamu mangallang unte i”.

Dialusi Jelak Maribur do pangidoan ni boru-boru i didok:

Tarehon hamu ma ulos muna i asa hudabuhon”.

Di nanidabuhon ni Jelak Maribur unte i, alani borat ni unte gabe laos bukka jala russur do ulos pinakke ni boru-boru i, gabe maila do boru-boru i laos lao maringkat tu jabu. Alai anggo Jelak Maribur tung mansai lomo do rahana mamereng boru-boru i.

Dilului Jelak Maribur do dalan boha asa boi boru-boru i gabe parsonduk bolonna,pola do marsahit boru-boru i dibahen asa adong dalanna laho mangubati. Di na mangubati sahit ni boru-boru i laos tubu do holong di nasida, jala martunas do siubeon ni boru-boru i, I ma nagabe oppu boru namamopar hami, boru ni Tamba Lumban Tonga-tonga.

Dung diboto Raja Tamba Lumban Tonga-tonga naung martunas siubeon ni boruna, dijou ma angka hahanggina naloho manungkun Oppu Jelak Maribur. Disungkun hahanggina ma Oppu Jelak maribur manang na sian dia do harorona. Disungkun-sungkun ni Raja Tamba Tua, dialusi Jelak Maribur do na ro sian Tongging do Ibana jala anak ni Munte Tua.

Dung dialusi Jelak Maribur, ditimbangi Raja Tamba Tua do alusni oppu Jelak Maaribur jala di dok : “Naso adat, naso uhum do hape pangalaho ni Jelak Maribur, namariboto do hape nasida. Ikkon siseaton do ibana, situtungon tu api, sinongnongon tu tao”.

Dibege boru ni raja ido hata naung pinasahat ni angka Bapana tu oppu Jelak Maribur, alani i maringkati do ibana mandapothon oppu Jelak Maribur laos dihaol jala didok : Molo songoni do amang rap seat hamu ma hami nadua, asa unang maila au”.

Dung dibege hata ni boruna, didok Raja Lumban Tonga-tonga do tu angka hahanggina : “Dihamu angka hahanggingku, dang tarjalo au pangidoan ni borunta i, pangidoan ku di hamu asa loas hamu ma mangolu nasida, sai donganna gabe mai. Ai manang boha pe jolma do nataluli, dang bahenonta umum nalaho pasuda jolma. Alai asa unang gabe andor siuhut-ihuton on tabahen ma sada tihas di nalaho helanta, dang margoar Jelak Maribur be ibana alai Haro ma, ai nungnga managam-nagam haroan be hita.

Songoni ma saotik turi-turian naboi dipatorang hami tu hamu Amanta Raja dohot Inanta Soripada boasa hami marga Munte khususna pinampar ni Oppu Jelak Maribur na marhuta di Negeri Tamba, Kec Sitio-tio, Kab Samosir mangalap boru Tamba, dohot angka boru ni pinompar ni Raja Naiambaton. Molo marningot tarombo, patar do disi ia Oppu Jelak Maribur/Datu Parultop pinompar ni Munte Tua.