“Pak, Saya senang membaca novel di Wattpad. Terus, jadi senang menulis juga”, begitu isi chat Ester, seorang siswa, beberapa waktu yang lalu.
Toni, siswa yang lain berkata, “Pak, aku baru baru buat blogspot. Karena nggak tau mau nulis apa disana, jadi sebagian yang aku ingat dari penjelasan Bapak dari materi pelajaran kita, ya aku bikin disitu deh.”
Satunya lagi, Rentika, mau mengomentari artikel yang kurilis di blog ini. “Tapi, malu Pak. Nanti dibaca teman-teman yang lain,” katanya di Whatsapp.
Ketiga testimoni ini (nama disamarkan dan isi percakapan aku sunting) entah mengapa membuatku merasa sedikit senang. Ternyata siswa-siswa di tempatku mengajar banyak juga yang suka menulis. Kupikir juga berlaku untuk siswa-siswa SMA lainnya. Ternyata mereka tak melulu menghabiskan waktunya dengan bermain game atau berjualan di Instagram (yang keduanya juga menjanjikan jika diseriusi). Padahal, aku sendiri juga menulis seadanya. Belum sepenuhnya displin untuk mengisi konten entah harian maupun mingguan.
Satu hal: ternyata menulis dan membaca masih diminati. Jadi, tak sepenuhnya benar kalau remaja zaman sekarang hanya sibuk menonton Youtube atau bermain Tiktok (yang juga menjanjikan jika diseriusi). Okelah, mereka tidak lagi membaca buku, koran, majalah atau produk cetak lainnya. Karena sudah begitu zamannya. Semua beralih ke platform digital.
Sejenak aku berfikir, dalam 5 atau 10 tahun ke depan, jika mereka masih rajin menulis, bisa jadi mereka akan menjadikannya passion dan karier yang patut diseriusi. Entah mereka mengambil kuliah jurnalistik atau bukan, tentu saja mereka harus membuktikan kepada orangtua dan siapapun yang mendukung mereka secara finansial dan moral, bahwa ada yang bisa diharapkan dari kegiatan menulis yang mereka lakukan.
Sementara itu, profesi kepenulisan sendiri sudah begitu luas. Mulai dari penulis novel, cerpen, blogger, naskah drama/film, copywriter hingga content writer. Belum lagi niche yang masih belum banyak dikenal, seperti penulis lirik Hip-hop untuk dinyanyikan orang lain. Atau menulis dalam bidang apa saja tapi setuju memberikan kredit hak cipta kepada orang lain dan menerima upah sebagai ganjarannya (ghostwriter).
Ada kegelisahan yang muncul. Bagaimana jika ternyata mereka sendiri akhirnya frustrasi karena tidak kunjung menemukan titik cerah dari periode kepenulisan yang panjang. Bagaimanapun, entah menulis atau profesi lain, tentu ada ada hasil yang diharapkan. Dan, tentu saja, tidak sekedar kepuasan batin atau pengakuan. Harus ada suatu hasil riil yang bisa dilihat dan ditunjukkan ke orang lain. Uang, misalnya.
Tips apa yang bisa kuberikan? Sementara aku sendiri hanya seorang tenaga pendidik yang menjadikan menulis sebagai hobbi. Belum lagi kalau berbicara AdSense dari kepenulisan, aku bukan orang yang pantas untuk membicarakannya.
Lalu, aku coba ingat-ingat lagi curhat dari teman-teman penulis perihal perjuangan mereka hingga bisa sukses.
Seorang pegiat blogspot mengatakan, sudah saatnya meninggalkan blogspot karena tampilan sederhana, kustomisasi terbatas dan dianggap kurang profesional alias amatiran. Belum lagi alasan yang lain, terutama soal menjadikannya lahan untuk mendapatkan uang. Mau membuat blog dengan domain dan hosting berbayar, banyak pertimbangan.
Seorang penulis novel menceritakan kegelisahannya di sebuah hampir. Seolah hampir menangis dan tidak merekomendasikan kepada para kami pemula untuk mengikuti langkahnya. Dia berkisah tentang bagaimana ia meluangkan banyak waktu dan mengorbankan banyak hal untuk menyelesaikan novelnya. Sayangnya, begitu novelnya selesai, ia kesulitan menemukan penerbit untuk menerbitkan karyanya. Begitu ketemu, ternyata dia harus urun uang untuk itu, sementara royalti yang didapatkan ternyata tidak semanis yang diberitakan di internet. Bahkan ia juga diminta untuk ikut berjualan sendiri.
Sebuah forum diskusi para penulis puisi bahkan saban hari diisi dengan curhat sedih para anggotanya. Seandainya kepuasan batin dan pengakuan akan karya tak cukup lagi membuat mereka bertahan, mereka pasti akan segera meninggalkan profesi menulisnya. Sebab tak tahan melihat karya mereka dipajang di rak belakang toko buku. Jauh di belakang. Sementara di bagian depan, stationary dan kaset DVD yang dipromosikan oleh pramuniaga. Padahal, untuk menjadikan antologi puisi mereka sampai terbit sebagai buku, tidak sedikit rupiah yang harus mereka keluarkan. Such a prize for a recognition. Mereka ini memang angkatan militan, dan kebanyakan sudah cukup dengan apa yang mereka punya. Tak sedikit pula yang memang sudah uzur.
Untuk anak SMA dengan perjalanan yang masih panjang, tentu saja ada lesson learned yang bisa diterapkan dari kisah-kisah para senior mereka ini. Sebab, bagaimanapun, selain mereka tengah berada dalam fase pencarian jati diri, mereka juga membutuhkan pembuktian diri. Jadi, ketika mereka akhirnya bekerja sebagai penulis, entah di perusahaan atau independen, mereka punya sesuatu untuk diceritakan di acara kumpul keluarga atau reuni alumni sekolah.
Maka, setelah baca sana-sini, aku menarik sebuah poin penting. Seiring dengan dunia kepenulisan yang terkena imbas dari ditinggalkannya dunia cetak, hampir semua profesi menulis kini beralih ke platform digital. Maka, profesi menulis pun akan terfilter juga. Mereka yang mengandalkan jasa kepenulisan dari penerbit dan pencetak harus segera pivot ke alternatif lain, yakni: vlogger, copywriter dan technical writer.
(Ada yang lebih menjanjikan sebenarnya, yakni screenwriter atau penulis naskah film. Tetapi untuk yang satu ini, selain berjibaku dengan banyak kesulitan teknis, modal paling penting adalah koneksi dengan para pelaku industri film, terutama produser, perusahaan pembuat film dan para aktor. Jadi, untuk pemula seperti anak SMA yang gemar menulis ini, belum pas direkomendasikan).
Dari antara ketiga profesi menulis itu, aku tertarik dengan technical writer. Sebab, kubaca bahkan sang raksasa Google sendiri memberi tempat istimewa buat mereka.
Apa itu Technical Writer?
Semakin kesini, semakin sering pula perusahaan mendaftarkan lowongan pekerjaan sebagai technical writer. Kamu pun tidak susah menemukannya di daftar lowongan pekerjaan di situs-situs penyedia kerja semacam LinkedIn, Upworks, bahkan yang bersifat sambilan semacam Freelancer atau Sribulancer. Meskipun di nomenklatur bahasa Indonesia, belum lazim. Buktinya, sampai hari ini kita belum menemukan padanannya di KBBI. Kalau tidak percaya, cek saja.
Jadi, untuk sementara kita pertahankan dulu istilah asing ini.
Apa itu technical writer?
Tak seperti penulis pada umumnya, technical writer punya bidang kerja yang spesifik. Technical writer bertugas mengubah bahan tulisan yang kompleks dan penuh perkara teknis menjadi lebih jelas dan ringkas untuk menyasar audiens tertentu. Umumnya mereka membuat bentuk dokumentasi untuk mengomunikasikan informasi yang teknis dan kompleks dalam cara yang user-friendly, alias nyambung dengan pengguna.
Konon, Albert Einstein pernah berkata: “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough“. Jika kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana, berarti kamu tidak benar-benar mengerti apa yang hendak kamu jelaskan. Ini tentu tidak mudah. Karena tidak mudah, tidak banyak yang melakukannya. Itu sebabnya posisi technical writer banyak dicari oleh perusahaan.
Jadi, misalnya, jika sebuah perusahaan manufaktur smartphone mengeluarkan produk terbaru, maka tugas para technical writer-lah untuk membuat panduan penggunaan untuk disisipkan di bungkos kotaknya. Selain itu, informasi yang mereka tulislah yang juga digunakan oleh para reviewer atau media yang kemudian didaulat untuk mengiklankan produk yang bersangkutan. Maka, tak heran, posisi technical writer sangat strategis. Mereka menjembatani perusahaan dan konsumen dalam hal pemahaman akan produk. Jika sebuah produk baru cepat dikenal oleh pasar, maka ada peranan technical writer yang cukup besar disana.
Apa tanggungjawabnya?
Untuk menjadi technical writer profesional, kamu harus terlebih dahulu mengetahui audiens atau kepada siapa tulisanmu ditujukan. Audiens bisa saja klien, pelanggan, ataupun pihak teknisi. Memahami audiens berarti memahami juga ekspektasi dan level pengetahuan dari pembaca.
Selain itu, membuat tulisan teknis berarti mengetahui tujuan dan konteks dari dokumen yang ia buat, sehingga dokumen yang dibuat dapat tepat sasaran dengan jelas sesuai dengan tujuan dibuatnya.
Maka, seorang technical writer memiliki tanggung-jawab berikut.
Pertama, menentukan kebutuhan pengguna yang akan menerima dokumentasi teknis.
Kedua, mempelajari contoh produk dan berbicara lebih lanjut dengan pencipta dan pengembangnya.
Ketiga, bekerja bersama staf teknis untuk membuat produk lebih mudah digunakan dengan instruksi yang singkat namun mudah dimengerti.
Keempat, mengorganisasi dan menuliskan dokumen pendukung untuk produk
Kelima, menggunakan foto, gambar, diagram, dan animasi yang menaikan pemahaman pengguna
Keenam, menentukan medium yang tepat untuk menyampaikan pesan kepada audiens, seperti tulisan manual atau video
Ketujuh, melakukan standarisasi konten di seluruh platform dan media
Kedelapan, mengumpulkan feedback dari konsumen, desainer, dan pabrik.
Kesembilan, merevisi dokumen ketika ada pembaruan terkait produk
Kesepuluh, mengerjakan apapun yang ada di langkah pertama hingga kesembilan. Sebab, sama seperti penulis lain, tanggung jawab seorang penulis tidak hanya memikirkan gagasan, tetapi menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Jadi, seorang technical writer membuat intstruksi, panduan penggunaan barang, dan “frequently asked questions” atau pertanyaan yang sering diajukan. Hal ini dilakukan untuk membantu staf teknis, konsumen, dan pengguna lainnya yang ada di perusahaan maupun industri.
Setelah produk dirilis, kamu juga mungkin bekerja dengan spesialis pemeriksa kelayakan produk dan manajer customer service untuk mengembangkan pengalaman pengguna atau konsumen melalui perubahan desain produk.
Keterampilan yang Perlu Dimiliki?
Sebagai technical writer, penting untuk memilih penggunaan bahasa yang tepat untuk menyampaikan hal yang rumit dengan kalimat sederhana. Untuk dapat menulis dengan baik, penting untuk berlatih dan memperkaya kosa kata. Sekali lagi ingat, serumit atau sereceh apapun tulisan yang dihasilkan, fokus utamanya ialah pasar atau konsumen. Umpan balik dari mereka akan membuktikannya.
Untuk itu, tentu kamu tidak bisa mengarang bebas. Membuat tulisan teknis berisikan instruksi, kamu harus benar-benar yakin bahwa kamu memahami apa yang akan kamu tuliskan. Ini berarti, kamu harus melakukan riset terkait produk ataupun jasa tersebut dengan benar. Apalagi, jika kamu menuliskan sebuah dokumentasi untuk produk yang diproduksi sebuah perusahaan yang belum kamu kenal betul.
Terakhir, data hasil riset itu tentu saja tidak akan teratur jika kamu tidak mengetahui bagaimana cara menyusunnya. Untuk itu, kamu harus mampu berpikir kritis. Bagaimana menyampaikan instruksi yang sebenarnya rumit dengan bahasa sederhana tanpa kehilangan detail.
Oh iya. Tadi aku sebutkan soal peranan para technical writer di Google. Aku belum pernah kesana. Belum juga kenal salah seorang pun dari mereka. Maka, biarlah mereka sendiri yang berbicara. Simak di video mereka ini.