Pasangan Yang (Tak) Bisa Dipercaya

Dari protofonnya, polisi Ray Mandel (diperankan Thomas Jane) mendapat info dari markas polresnya bahwa dia mendapat tugas mendampingi anak baru untuk patroli di jalan raya. Nama anak baru itu Nick Halland (diperankan Luke Kleintank).

Itulah awal perkenalan kedua partner penegak hukum ini. Adegan berikutnya dalam film Crown Vic (2019) ini berkisah tentang petualangan mereka berhadapan dengan penjahat, pengedar narkoba, preman dan orang-orang jahat lainnya.

Selain sinematika yang keren, dialog intens antara keduanya pun menarik.  Pantas saja, Director Screenwriternya adalah Joel Souza.

Hanya dalam satu sif jaga, dari petang hingga menjelang pagi, banyak pelajaran yang bisa diambil dari percakapan Ray dan Nick. Ray akhirnya memiliki anak baru untuk diajarinya berpatroli setelah 25 tahun. Bagi Nick, ini adalah hari pertamanya bertugas setamat dari akademi kepolisian.

Mereka pun terlibat pembicaraan menarik selama sif itu di sela-sela tugas yang mengharuskan mereka berlari mengejar penjahat atau bertemu dengan orang iseng yang melempari mobil mereka dengan batu bata. Atau pengemudi yang sengaja menerobos lampu merah di depan mereka.

Setidaknya ada dua tema menarik yang bisa kita ambil dari Crown Vic ini. Pertama, tentang filosofi kerja. Kedua, tentang filosofi sebuah relationship (entah dalam berpacaran maupun perkawinan)


Filosofi Bekerja.

Ray: Ada satu hal penting yang harus kau ingat selama patroli ini, Nick. Ada dunia kita di dalam mobil polisi ini. Lalu, ada dunia lain, yakni apapun di luarnya. Seperti yang kau lihat, mobil ini dilapisi logam dan kaca. Kau harus menghormati peralatan yang diberikan kepadamu. Ucapkan dengan lantang, “kau harus menghargai peralatan yang dipercayakan padamu”.

Nick: Serius, aku harus mengucapkannya dengan lantang?

Ray: Ucapkan dengan lantang. Aku serius. Cek rover-nya. Periksa baterinya. Lihat rompimu. Persnelling dan remnya. Sini coba, senjata macam apa yang mereka berikan padamu. Oh. Pistol 6262 dengan 16 peluru. Wow. Kuharap kau merawatnya. Jangan sampai lupa membersihkan residunya.  Jadi, ucapkan sekali lagi, aku harus menghargai alat yang diberikan kepadaku ini. Paham?

Nick: …

Ray: Di dalam mobil ini, kuhabiskan umurku 25 tahun. Kau pun, mulai dari hari pertamamu, akan begitu. Di luar mobil ini, semua orang bisa jadi adalah kriminal.  Orang yang hari ini kau selamatkan, bisa jadi besok dia yang akan membunuhmu. Banyak orang akan membencimu karena itu. Bahkan partnermu di lapangan, hari ini melindungimu tetapi kemudian menjebakmu. Kuharap kau sudah menyadarinya sejak hari pertama kau di akademi kepolisian. Orang-orang bisa beristirahat dengan nyenyak di tempat tidur mereka pada malam hari karena ada orang-orang yang bersedia melakukan kekerasan untuk melindungi mereka.

Nick: …

Ray: Dengar. Camkan baik-baik apa yang akan aku katakan ini. Karena setelah malam ini hanya akan ada dua pilihan. Entah kau akhirnya memahami bagaimana melakukan pekerjaan itu atau pekerjaan ini yang akan memakanmu hidup-hidup. Ingat, ada dunia sendiri di dalam mobil ini, dan dunia lain di luarnya. Ketika kau patroli, setiap orang yang kau lihat, yang tidak mengenakan seragam seperti yang kau kenakan, mereka adalah orang yang sudah pernah duduk di kursi tahanan ini atau yang akan duduk di sana. Semua orang. Pokoknya siapa saja yang bukan polisi, kau bukan bagian dari mereka lagi. Sekarang, yang ada adalah kita berhadapan dengan mereka. Paham? Kau adalah anjing penjaga, mereka dombanya. Saat ini kau selamatkan satu orang, besok bisa jadi orang itu yang akan berbalik menyerangmu.


Filosofi Perkawinan

Ray: Nick, apakah kau percaya dengan pasanganmu?

Nick: Ya. Tentu saja. Aku percaya padanya.

Ray: Terus, mengapa dia terus mengirim SMS dari tadi sejak kita mulai patroli? Darimana kau tahu bahwa dia tidak sedang pria lain, lalu sekedar ingin memastikan posisimu tidak sedang berada dekatnya dan memergokinya secara tiba-tiba?

Nick: Bro … Kau sedang membacarakan istriku loh.

Ray: Mengapa kau berfikir bahwa karena dia isterimu, kau lantas melepas penjagaanmu? Apa kau pikir karena cincin yang kau kenakan melingkar di jarinya tiba-tiba dia tidak berani keluar dan bertemu orang lain?

Nick: Tolong, berhentilah membahas isteriku. Kami sudah lama pacaran sebelum menikah. Sejak SMA sudah saling mengenal.

Ray: Justru itu. Apakah menurutmu, karena sudah lama denganmu, ia tidak penasaran bagaimana rasanya dengan pria lain. Tak ada satu orangpun yang benar-benar mengenal orang lain.

Nick: Caramu memandang orang aneh sekali.

Ray: Bro, satu-satunya orang yang persis kau kenal adalah dirimu sendiri.

Nick: Maaf, tapi kau sudah dua kali menikah. Kau sudah mengalami banyak hal. Apakah kau tidak rindu ketika kau pulang ke rumah sehabis jam kerja yang melelahkan, ada yang menyambutmu di rumah?

Ray: Kalau itu, pelihara anjing saja.

Nick: Hmmm … Setidaknya, ketika kita meninggal, kita tidak sendirian. Ada orang di samping kita.

Ray: Bro, orang mati itu sendiri. Setiap orang mati sendirian.

Seniman LEKRA Pencipta Lagu Garuda Pancasila Itu Bernama Sudharnoto

 

Seniman yang Apes dalam Sejarah

Hampir semua anak sekolah pasti mengenal lagu Garuda Pancasila. Lagu bertempo mars itu juga tak pernah absen dari daftar lagu pada buku lagu wajib nasional. Namun, penciptanya, Sudharnoto, justru hampir dilupakan. Padahal, sepak terjangnya cukup panjang dalam sejarah musik dan kebudayaan Indonesia.

Ilustrasi: Tirto ID

Lagu “Garuda Pancasila”, seperti disebut dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:732) digubah pada tahun 1956. “Dialah penggubah lagu ‘Mars Pancasila’ bersama Prahar, atau yang umum mengenal [lagu itu] sebagai ‘Garuda Pancasila’ (1956),” tulis Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003:274).

Dengan demikian, Sultan Hamid II, perancang lambang negara Republik Indonesia Garuda Pancasila bukan satu-satunya tokoh yang apes dalam sejarah Indonesia. Tokoh lain, yang juga terkait Garuda Pancasila, adalah Sudharnoto, sang pencipta lagu “Garuda Pancasila”. Dulu, ada masa lagu ini diperdengarkan di TVRI. Lagu wajib nasional ini termasuk lagu yang bagi banyak pihak di Indonesia, pantang untuk dipelesetkan.

Sudharnoto lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 24 Oktober 1925. Meski lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia justru berkarier di dunia musik. Pasalnya, ibunya pandai main akordeon sedangkan ayahnya gemar main gitar, seruling, dan biola meskipun juga seorang dokter pribadi Mangku Negara VII di Surakarta.

Ia adalah pencipta lagu wajib nasional yang kurang dikenal. Penata musik film terbaik yang dipenjara rezim Orde Baru. Selain Garuda Pancasila beberapa lagu Sudharnoto yang populer pada masanya antara lain Madju Sukarelawan, Asia Afrika Bersatu, dan Bangkit Wartawan AA.

Setelah Orde Baru tumbang, musisi Harry Roesli, cucu Marah Roesli sang penulis roman Siti Nurbaya, pernah akan diperkarakan karena mempelesetkan lagu itu. Padahal, bisa jadi apa yang dilakukan Harry adalah bentuk kritik terhadap pelaksanaan Pancasila di Indonesia yang jauh dari ideal. Pemerkaraan Harry itu, tentu merupakan bukti “Garuda Pancasila” ini bukan lagu main-main.

Lekra berkaitan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Soal siapa Sudharnoto, tentu tidak diceritakan dalam buku pelajaran sejarah atau seni di sekolah. Semua tahu Orde Baru anti PKI.

Diakui atau tidak, Sudharnoto pernah menjadi anggota pimpinan pusat dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menurut Subagio Sastrowardoyo, yang berseberangan dengan PKI dan Lekra, dalam Bakat Alam dan Intelektualisme (1983:70) Sudharnoto adalah tokoh musik di Lekra bersama Amir Pasaribu yang menggubah lagu “Andhika Bhayangkari”, yang dipesan ABRI dan masih dipakai lagunya setelah ABRI berganti nama.

Sambil bermusik, Sudharnoto juga aktif dalam organisasi kebudayaan. Ia tercatat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, ia menjabat sebagai Ketua Lembaga Musik Indonesia (LMI).

Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Sudhanoto termasuk salah satu anggota awal sekaligus pengurus Lekra bersama A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb.

Sudharnoto juga termasuk di antara para seniman yang memperkuat redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru pimpinan Rivai Apin. Pada Desember 1959, bersama sejumlah seniman Lekra, Sudharnoto juga turut mengirim petisi Pencabutan Larangan Terbit Harian Rakjat ke Istana Merdeka.

Salah satu kerja monumentalnya adalah mendirikan Ansambel Gembira. Ansambel tertua di Indonesia ini dibentuk pada 3 Februari 1952 oleh Sudharnoto bersama Titi Subronto dan Bintang Suradi. Ansambel Gembira cukup terkenal pada masanya. Grup ini seringkali mengisi resepsi-resepsi penting hingga acara di Istana Negara. Bahkan, mereka juga tampil di berbagai acara di luar negeri, seperti Tiongkok, Vietnam, Korea, dan negara-negara di Eropa Timur.

Kiprah terakhir Sudharnoto di Lekra diketahui ketika LMI menggelar Konferensi Nasional I di Jakarta pada 31 Oktober–5 November 1964. Ia terpilih sebagai ketua presidium.

“Sudharnoto menyatakan dengan tegas agar dengan irama Djarek, Resopim, dengan melodi Takem dan Gesuri, dengan harmoni Manipol yang diperkuat gubahan megah Tavip, seniman musik progresif mengganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat, mengganyang Manikebu dan membina musik yang berkepribadian nasional,” tulis Rhoma dan Muhidin.

Kiprah Sudharnoto di Lekra terhenti pada 1965. Hersri menyebut pasca tragedi berdarah itu, ia dipecat dari RRI dan menjadi tahanan politik di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba.

Pada tahun 1956 Orde Baru belum lahir, sementara Lekra yang berdiri pada 17 Agustus 1950 masih berjaya dan anggota-anggotanya berkarya dengan bebas.

Setelah PKI disikat, orang-orang Lekra juga kena garuk. Sudharnoto ikut ditahan sebagai Tahanan Politik di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Tak cukup hanya dipenjara, Sudharnoto juga kehilangan pekerjaannya. Pada tahun 1965, seperti dicatat Hersri, Sudharnoto dipecat dari Radio Republik Indonesia (RRI), tempat dia menjadi Kepala Seksi Musik sejak 1952 dan juga jadi pengisi acara Hammond Organ Sudharnoto.

Hidup Getir Usai G30S

Sudharnoto tak pernah sekolah musik secara formal. Dia lahir dari keluarga dokter. Ayahnya adalah dokter Keraton Mangkunegaran yang hobi bermain musik dan biasa memainkan seruling, biola dan gitar di waktu luang. Sementara ibunya bisa bermain akordeon. Sejak kecil, telinga Sudharnoto sudah tak asing mendengarkan lagu-lagu-lagu klasik.

Sudharnoto yang lahir di Kendal pada 24 Oktober 1925, kerap bergaul dengan seniman dari Solo. Dia belajar not balok dari musisi keroncong Maladi yang kelak jadi Menteri Penerangan (1959-1962), juga pada Daldjono yang menciptakan lagu “Bintang Kecil”. Sedangkan untuk aransemen lagu, dia belajar dari Sutedjo dan RAJ Sudjasmin. Agar jagat pergaulannya makin luas, Sudharnoto juga bergaul dengan banyak musisi luar negeri. Dia dikenal berkawan dengan musisi dari Belanda seperti Jos Cleber. Sedangkan musisi lokal yang dikaguminya adalah Ismail Marzuki. Dia pernah membuat rekaman kaset berjudul Mengenang Ismail Marzuki.

“Karya Bang Mail padat kata-katanya,” ujarnya.

Sudharnoto belajar mencipta lagu ketika masih belasan tahun. Lagu pertamanya adalah “Bunga Sakura”. Lagu ciptaannya yang juga populer adalah lagu “Mars Dharma Wanita”, juga lagu-lagu pop seperti “Setitik Kasih” dan “Di Tokyo Kita kan Bertemu”. Namun tentu saja, karya terbesarnya adalah “Garuda Pancasila”.

Setelah keluar dari tahanan, dengan nama dan hidup yang dirusak, Sudharnoto harus memulai hidup dari bawah lagi. Hidup seorang bekas tapol selalu harus susah di zaman Orde Baru, apalagi tapol yang dikaitkan dengan G30S.

Seperti dicatat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, pria yang punya nama samaran Damayanti ini harus menjadi penyalur es batu di Petojo dan supir taksi. Menggunakan nama samaran Damayanti ini, ia mengikuti sayembara penulisan lagu Mars Dharma Wanita dan ternyata menang. Taksinya pernah menjadi langganan hostess yang bekerja di klub malam LCC. Di sana, Sudharnoto jadi pemain organ sejak 1969, juga bermain di restoran Shangri-La pada 1978. Hasratnya untuk menulis lagu tak pernah padam. Semasa jadi pemain organ di Shangri-La, Sudharnoto diketahui “…selalu menyelipkan kertas di sakunya. Ilham yang muncul langsung dicorat-coret notnya.”

Sementara itu, lagunya Dari Barat Sampai ke Timur pernah diduga menjiplak Marsaillaise, lagu kebangsaan Perancis.

“Memang ada miripnya dengan Marsaillaise, lagu kebangsaan Prancis. Tapi apakah jiplakan dari Barat, apakah terpengaruh oleh Barat, itu tidak usah dipersoalkan. Lagu Dari Barat Sampai ke Timur nyata-nyata dapat membangkitkan semangat perjuangan, nyata-nyata dapat membangkitkan gairah revolusi. Itu yang penting,” ucap Sudharnoto dalam majalah Minggu Pagi, 3 Januari 1965.

Meski rusak nama, Sudharnoto tetap dipercaya orang-orang dunia perfilman untuk menggarap ilustrasi musik di beberapa film, pekerjaan yang juga pernah dia lakoni di zaman Sukarno jadi Presiden. Beberapa tahun kemudian, Sudharnoto bisa membangun kembali karier musiknya. Menurut data filmindonesia.or.id, pada 1972 ia menjadi penata musik pada film Dalam Sinar Matanya. Sejak itu, ia menggarap tata musik 26 film. Ilustrasi musik garapannya antara lain ada di Juara Sepatu Roda (1959)—yang merupakan film pertama Wim Umboh–dan Kabut Sutra Ungu (1980)—yang membuatnya dapat Piala Citra.

Tahun berikutnya, ia menyabet penghargaan yang sama untuk film Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa. Kemudian pada 1983, ia kembali meraih penghargaan tersebut melalui film R.A. Kartini. Film Amrin Membolos (1996) menjadi film terakhir yang ia garap tata musiknya.

Meski hidupnya dihancurkan oleh Orde Baru, dia tetap menaruh perhatian terhadap rezim itu. Sudharnoto merasa prihatin karena lagu-lagu mars tidak berkembang di era Orde Baru. Padahal orde militer butuh lebih banyak lagu-lagu mars. Secara umum, menurut Sudharnoto, lagu-lagu yang berkembang di zaman Orde Baru adalah lagu-lagu tentang gagalnya percintaan.

Sudharnoto tutup usia pada 11 Januari 2000, tepat hari ini 20 tahun lalu. Meski nama baiknya dicemari noktah bikinan penguasa, namanya akan tetap dikenang sebagai pencipta lagu “Garuda Pancasila”. Orde Baru bisa membuat namanya rusak, membikin hidupnya jadi ruwet, tapi mereka tak bisa merampas “Garuda Pancasila” darinya. Dan terbukti lagu itu jauh lebih kuat dari rezim yang memenjarakan Sudharnoto.

Selain mencipta lagu, Sudharnoto juga melakukan penelitian musik ke berbagai daerah, antara lain Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Daerah yang sangat ingin ia kunjungi namun terhalang biaya adalah Papua.

Orde Baru ambruk pada 1998, dan lagu “Garuda Pancasila” masih terus dikumandangkan hingga hari ini.

 


Sumber:

  1. Historia
  2. Tirto 

 

Gimana, Mimpimu Sudah Terwujud?

Kamu masih menyimpan niat untuk berkunjung ke Raja Ampat. Atau ingin membuka usaha sendiri. Atau berkunjung ke Paris, supaya kamu juga bisa selfie membelakangi menara Eiffel yang ikonik itu dengan kekasihmu. Atau menjadi backpacker dan mengelilingi Indonesia dari Aceh hingga Papua. Atau menjadi warga kosmopolitan yang bebas bepergian kemana saja. Atau bergabung dengan salah satu NGO di sebuah negara yang jauh. Atau ingin berhenti dari pekerjaanmu sekarang dan hendak menulis buku. Kamu selalu ingin menggapai semua mimpi itu. Bahkan, sekedar memikirkannya pun ada rasa senang membuncah di dadamu. Masih, hingga sekarang.

Tapi lalu kamu menyalahkan lingkunganmu karena kamu tidak bisa mencapai semua itu. Kamu mencari-cari kesulitan praktis yang bisa terjadi di lapangan. Kamu merasa bahwa sistem tidak pernah adil untukmu. Lalu, sembari mematut diri di depan cermin kamu berkata: INI bukan saat yang tepat. Lalu kamu menunggu. Nanti, kalau aku sudah berumur 35 tahun, kalau aku sudah resign dari kantor, setelah wirausaha yang kugeluti menghasilkan ratusan juta rupiah, setelah ini dan  itu. Ada target jangka menengah, ada target jangka panjang. Beberapa sudah tercapai. Tapi kamu tidak kehabisan alasan untuk membela diri mengapa kamu tidak bisa menjalani semua mimpimu itu sekarang. Pokoknya, kamu punya seribu dalih.

Di benakmu, tergambar sekian paket detail yang lengkap dengan segala kerumitannya. Tentang akan seperti apa hidupmu nanti. Akan tinggal dan menetap dimana. Orang-orang seperti apa yang nanti berada di sekelilingmu. Prestasi apa saja yang akan kamu dapatkan. Pengembangan pribadimu. Situasi keuanganmu. Pacarmu yang baru. Masa depanmu yang cerah dan bahagia selamanya. Kamu memikirkan semuanya. Dan ini kamu lakukan setiap kali kamu melewatkan mimpimu yang tidak terwujud. Setiap kali kamu lalai melakukan apa yang perlu untuk mewujudkan mimpi itu.

Apakah kamu memang menginginkan akan selamanya bekerja selama 16 jam sehari? Atau masa depan dimana kamu bahkan mengepel lantai kantormu sendiri? Atau, sendiri di sebuah koskosan sempit, sibuk menulis dan merancang jam kerja untuk periode 5 tahun? Apakah kamu pernah kepikiran untuk keluar sebentar, menyepi ke sebuah desa yang sunyi untuk menyelesaikan sebuah masalah? Atau, apakah dalam mimpimu kamu juga sudah memiliki komitmen untuk hanya makan telor mata sapi dan nasi putih selama enam bulan supaya rencana trip ke Raja Ampat akhirnya kesampaian?

Mimpi memang penuh bunga-bunga. Makanya disebut mimpi. Atau, bisa jadi itu mimpi buruk. Mimpi yang kita pelihara tidak bertanggungjawab apapun ke kita, selain untuk menginspirasi kita. Untuk membakar semangat kita sehingga kita mau berjam-jam melakukan sesuatu yang kita benci. Hal-hal yang harus kita lakukan. Tidak ada pilihan lain. Jalan yang berbatu dan penuh duri. Tidak ada karpet lembut sehalus beludru disana. Bermimpi itu enteng, tapi jalan ke sana penuh rintangan.

Lalu kamu memotivasi diri sendiri untuk jatuh cinta dengan proses yang kamu alami sekarang. Dengan kebosanan. Dengan rasa sakit dan monotonnya rutinitas harian.  Kamu takut untuk melangkah keluar dari tempat kerjaanmu yang nyaman dengan kursi empuk dan kolega yang santai diajak bersenda-gurau. Kamu benar. Mengejar mimpi memang bukan untuk semua orang.

Itu selalu yang kamu pikirkan. Apakah sebaiknya aku mulai mengejar mimpiku?Pikiranmu sendiri yang menjawabnya. Atau malah mempertanyakannya balik. Mengapa? Mengapa harus sekarang? Memangnya apa yang akan terjadi denganku kalau aku sudah pergi ke Raja Ampat? Benarkah yang kudambakan itu setimpal dengan harga yang harus kubayar? Benarkah akan membuatku bahagia? Layakkah mimpi ini kukejar? Lalu, bagaimana nanti dengan teman-teman, keluarga, dan pacarku? Bagaimana nanti dengan dana yang sudah kutabung sekian lama itu? Apa kata orang nanti?

Lalu kamu perlahan memahami bahwa apapun yang terjadi dengan mimpimu, semuanya tergantung padamu. Kemalasanmu. Ketakutanmu. Kemudian kamu akhirnya menyerah. Mau apapun ceritanya – aku memang malas atau tidak mampu mengatasi segala ketakutan dan keraguanku, memang sudah itu mungkin takdirku.

Kamu pun stuck, jalan di tempat. Dalam karir. Dalam relationship. Dalam hal keuangan. Kamu tidak maju, tidak juga mundur. Kamu tahu bahwa suatu saat nanti kamu harus mundur sedikit untuk kemudian membuat lompatan besar. Nggak mungkin akan selamanya begini kan?

Kemudian kamu mulai mengambil langkah pertama. Lakukan cek ombak. Kamu mulai pencet smarphone, booking trip ke Raja Ampat yang sudah lama kamu idamkan itu. Lalu kamu berfikir bahwa nanti kamu akan merancangnya lebih jauh. Pokoknya satu-satu dulu. Kemudian kamu mulai berani bertemu dengan orang-orang, para pengusaha, investor atau entrepreneur muda yang mungkin tertarik untuk bergabung denganmu mendirikan sebuah bisnis. Lalu kamu rajin bertukar kartu nama. Jariganmu kamu perluas.

Tetapi, kamu kemudian stuck lagi. Kamu sudah di pintu gerbang menuju mimpimu, dan sadar bahwa sudah berada disana untuk waktu yang cukup lama. Kamu lalu frustrasi, putus asa. Kamu ingin menjangkau lebih dan melompat lebih tinggi, tapi sekeras apapun kamu berusaha, tidak bisa. Pokoknya, tidak bisa melanjutkan ke langkah berikutnya.
Kemudian kamu melihat mimpimu dari kejauhan. Angan yang dulu terlihat sangat jelas di depanmu, kini seolah kabur, pergi meninggalkanmu. Akhir dari perjalanan ini tampaknya tak seindah yang pernah kamu pikirkan ketika pertama kali bermimpi.

Akhirnya, kamu berhenti mencari. Kamu berhenti bermimpi. Kamu melakukan apa saja yang bisa dilakukan, pokoknya menyelesaikan apapun yang sekarang sedang kamu lakukan. Tujuannya: naik ke level berikutnya. Itulah perjuangan. Survival. Atau entah sebutan apapun yang kamu sematkan. Kamu menuntaskan apapun yang bisa kamu tuntaskan, mengerjakan apa yang bisa kamu kerjakan. Kamu tidak lagi mengejar mimpi. Sekarang, kamu sekedar menjalani hidupmu saja. Tidak lagi melihat ke masa lalu, tapi hari ini. Apapun yang kamu lakukan saat itu, bisa jadi itulah sauh yang akan kamu gunakan berlabuh. Bisa jadi itulah lompatan yang kamu inginkan. Itulah tali yang kamu pegang sehingga kamu bisa melangkah ke tahap berikutnya tanpa harus tergelincir ke bawah lagi.

Setiap pembaca tulisanmu penting. Setiap pendengar lagumu penting. Setiap pengikut di Instagram, Twitter, dan Facebook, itu penting. Setiap orang yang datang mengunjungi bisnismu penting. Setiap orang yang memberi ulasan atas apapun karya yang kau buat, itu penting. Terima, simpan, dan jagalah semua itu. Dan konsisten melakukannya sepanjang waktu. Kamu mencoba dan belajar dari setiap orang, dari apapun. Tidak ada yang remeh, tidak ada yang paling berbobot. Kini mimpimu bukan mimpi lagi.

Mimpimu kini sudah menjadi kenyataan.

Selamat ya.

Lirik Lagu “Parsobanan” (“Loving Her Was Easier” by Jose Feliciano)

Ai diingot ho dope itorap dakdanak uju i
rap marmeam meam di hauma manag di balian i
ho marlojong lojong di batangi laos hu adu sian pudi
laos tinggang do ho ditiki i sap gambo bohimi

Ai diingot hodope ito nadiparsobanan i
ima naso tarlupahon au tikki roma rimbus i
laos hubukka ma da bajuki asa adonk saong saong mu
tung massai gomos do ho huhaol asa tung las ma daging mi

(Reff)
Hape dung saonari nunga leleng dang pajumpang dohot ho hasian
nunga adong sappulu taon atik naung muli do ho
Molo tung pe namuli pe taho dang na pola sala i hasian
asal ma huida bohimi asa tung sonang rohakki
anggo rokkap do ito Tuhan ta do umboto i


“Parsobanan” aslinya adalah “Loving Her Was Easier”

Banyak orang mengira lagu “Parsobanan” adalah lagu Batak asli, dan diciptakan oleh orang Batak.

Saking terkenalnya lagu ini di kalangan orang Batak, banyak yang mengira demikian. Tak kurang dari Marsada Band, band akustik yang ramai penggemar itu, turut mempopulerkannya.

Aslinya, lagu ini hanyalah gubahan lirik ke bahasa Batak dari lagu aslinya yang berjudul “Loving Her Was Easier” ciptaan Jose Feliciano (sebagaimana sudah diulas juga dalam blog ini).

Daulat Hutagaol, penulis lirik “Parsobanan” sendiri mengakuinya, seperti dimuat Dalihan Natolu News:

Selain menciptakan lagu rohani, Daulat Hutagaol juga menggubah lyrik lagu “Loving Her Was Easier” karya Josse Plesiona ke Bahasa Batak menjadi “Ai Diingot Ho Do Di Na Jolo”. Lagu ini hits di kalangan masyarakat Batak hingga saat ini. Dia juga menciptakan lagu “Pesta Adat”, “Joing” dan puluhan pop Batak dan Indonesia yang belum pernah direkam.

Hal ini patut disayangkan. Seandainya kita mau menjunjung tinggi etika kesenimanan, mestinya dalam koridor apresiasi sebuah karya, tetap ada tempat khusus untuk pencipta aslinya.

Tentara Sumatera Timur Penumpas Laskar Islam Itu Bernama Nokoh Barus*

Ilustrasi: Counter Strike

Pada 1947, Belanda membentuk negara boneka di Sumatra yang diperkuat oleh tentara federal yang bernama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur.

Sejumlah bekas pejuang kemerdekaan yang kecewa kepada pemerintah melakukan pemberontakan. Mereka melakukan aksinya di sekitar Kebumen dan menamakan diri Angkatan Oemat Islam (AOI) yang dipimpin Kiai Somalangu.

Penumpasan gerakan ini menjadi tanggung jawab Letnan Kolonel Ahmad Yani selaku Komandan Brigade Q. Suatu hari, Yani melakukan peninjauan ke lapangan disertai beberapa anak buahnya.

“Ia (Ahmad Yani) mengambil anak buah Nokor Baros sebagai pengawalnya,” tulis penyusun buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1981:226).

Di batas kota, rombongan Yani diserang gerombolan AOI. Namun, para pengawalnya berhasil menghalau gerombolan dan perjalanan bisa dilanjutkan.

Nokor Baros, seperti dicatat istri Yani dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan (1981:123), berasal dari Sumatra Utara. Dia masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani bersama hampir satu batalion kawan-kawannya dari Sumatra Utara.

Nokor Baros juga kerap ditulis Nokoh Barus. Di zaman Jepang, menurut catatan Mestika Zed dalam Gyugun: Cikal-Bakal Tentara Nasional Sumatra (2005:197), Nokoh Barus termasuk pemuda yang dilatih masuk Gyugun (tentara sukarela) di Sumatra Timur.

Salah satu kolega Nokoh Barus, Richardo Siahaan, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (1983:315) menyebut Nokoh Barus termasuk 40 yang dilatih jadi perwira, dan mereka kebanyakan pernah belajar di MULO (singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP). Nokoh Barus juga termasuk yang berontak di akhir zaman pendudukan Jepang dan sempat ditahan Kempeitai (polisi militer Jepang).

Bekas Gyugun di Sumatra mayoritas terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang sangat kacau. Kekacauan dan revolusi sosial terjadi di sejumlah tempat dan memakan banyak korban. Penyair Amir Hamzah misalnya, jadi korban revolusi sosial meski ia sejatinya seorang nasionalis sejak lama. Ada pula keluarga Dokter Nainggolan, yang di awal revolusi berpihak pada Republik, juga jadi korban.

Boyke Nainggolan, anak sang dokter adalah kawan Nokoh Barus. Kemudian sang dokter bergabung dengan Negara Sumatra Timur (NST) yang disponsori Belanda dan sempat eksis di sekitar Medan. NST dibangun setelah NICA mulai mapan di sekitar Medan. Di dalam NST terdapat tentara federal. Pasukan ini muncul setelah Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisionil pada 21 Juli 1947.
“Sejak gerakan kepolisian pada bulan Juli 1947, di Siantar atas usaha paduka tuan Djomat Purba telah terbentuk suatu barisan istimewa, yang karena warna pakaian mereka ketika itu, segera mendapat nama julukan Blauw Pijpers (biru tua),” demikian ditulis jawatan propaganda NST dalam buku tipis berjudul Bukti (1949:44).

Dalam buku Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara (1953:235), disebutkan bahwa sebelum mendirikan barisan istimewa, “Djomat Purba adalah Inspektur Polisi Negara Republik Indonesia, yang mempunyai kebebasan dan keleluasaan bergerak antara daerah Republik dengan Medan yang diduduki oleh Inggris/Belanda.”

Dalam membangun Blauw Pijpers, dia tak sendirian. Di Tanjungbalai, pasukan itu dibentuk oleh Saibun; di Tebingtinggi dan Lubukpakam oleh Datuk Baharudin; di Brastagi dan Kabanjahe oleh Ngeradjai Meliala Bertindak; dan di Binjai serta Tanjungpura oleh Tengku Madian bersama Tengku Suleiman. Djomat Purba bertindak sebagai komandan seluruh tentara federal dengan pangkat kolonel.

Pasukan ini kemudian dikenal dengan nama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur. Tak hanya di Sumatra, di Jawa Barat dan Kalimantan juga terdapat tentara federal. Menurut Tan Malaka dalam Gerpolek (1964:83), tentara federal bersifat kolonial juga terpisah dari rakyat. Maka itu, Republik tidak menyukai kehadiran sejumlah tentara federal.

Sebanyak 50 kader Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur yang terdiri dari 23 kopral dan 27 sersan, dilatih di Cimahi–kota tangsi di Jawa Barat yang merupakan tempat pelatihan KNIL. Mereka kembali ke Sumatra Timur pada 7 Juni 1948. Sementara 9 letnan muda yang juga dilatih di Jawa Barat kembali ke Sumatra Timur pada 20 Desember 1948. Seperti tentara federal di sejumlah tempat lainnya, pasukan ini oleh Belanda disebut Veiligheids Batalyon (batalion keamanan disingkat VB).

Benjamin Bouman–mantan perwira Belanda yang pernah berperang dan dilatih jadi perwira di Jawa Barat–dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:404-406) menyebutkan beberapa nama pemuda dari Sumatra Timur yang ikut kursus VB di Opleiding Centrum voor Officieren (OCO) alias pusat pelatihan perwira. Mereka di antaranya adalah Tengku Ali, Tengku Jafar, Jansen Saragih, Oesman, Tengku Razli, Sinaga, Isara Sinaga, dan Sulaeman.

Nokoh Barus, seperti disebut AR Surbakti dalam Perang Kemerdekaan (1978:328), mencapai pangkat letnan muda dan pernah berpangkalan di Seribudolok. Karena kekuatan militer Belanda selama revolusi banyak ditempatkan di Jawa, maka keberadaan tentara federal ini yang jumlahnya sekitar 1949 dan mencapai 4 batalion, cukup dibanggakan Wali Negara NST.

Setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, ada ketentuan bekas tentara Belanda di masukan ke dalam TNI atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Tak hanya KNIL, tapi juga VB, termasuk yang di Sumatra Timur atau Sumatra Utara.

Hampir satu batalion VB dari Sumatra Timur yang masuk TNI/APRIS kemudian dikirim ke Jawa Tengah, termasuk Nokoh Barus yang mendapat pangkat kapten. Nokoh Barus dan kawan-kawan VB dari Sumatra lalu masuk ke brigade pimpinan Ahmad Yani dan berjasa dalam penumpasan gangguan keamanan di Jawa Tengah.


*(Dipublikasikan ulang dari artikel Tirto yang berjudul “Mantan Tentara Federal Sumatra Timur Menumpas Angkatan Oemat Islam”)

 

Curhat Penulis Sukses yang Dulu Suka Menunda-nunda

I was a great procastinator.

Pertama kali Aku menulis, tepatnya berupaya menulis, itu Aku mulai sejak 15 tahun yang lalu. Sekarang 2021, berarti saat itu tahun 2006. Aku punya ide. Pakai komputer, Aku tulis halaman pertama. Habis itu, kusimpan. Tak pernah dilanjutkan lagi.

Habis itu, ada ide lagi, kucoba menulis lagi. “Oh, ini berbeda dengan yang sebelumnya”. Satu paragraf, kusimpan. Tidak kulanjutkan.

Terus, kemudian Aku ada ide lagi. “Bagus nih idenya”, pikirku waktu itu. Lalu, dua tiga tiga paragraf selesai. Tapi masih belum lengkap gagasannya. Jadi, belum selesai. Aku simpan lagi. Alhasil, Aku punya  beberapa folder yang isinya entah sudah berapa file Microsoft Word, Wordpad atau Notepad. Jumlahnya sudah tak bisa kuhitung lagi. Itu semua calon naskah buku yang tidak pernah selesai.

Pernah terjadi dengan kamu? Kalau iya, kamu sama denganku.

Komitmen Selesai

Itulah proses yang kita lalui saat kita belum punya sebuah komitmen kuat untuk menuntaskan. Kata yang paling penting disini ialah tuntas. Menuntaskan.

Semua orang punya ide menulis. Banyak orang mungkin sudah mulai menulis saat ini. Mungkin ada yang sedang menulis. Tapi kalau bicara menuntaskan, itu hal berbeda.

Pada akhirnya, pertama kali Aku menulis hingga selesai jadi buku, yang kulakukan waktu itu sebenarnya satu saja, yakni: mengkomitmenkan selesai.

Aku dibantu oleh seorang guru waktu itu. Aku dibimbing, diingetin, diajak ketemu. Diajak ngobrol, “sudah sampai dimana?” Terus begitu. Aku diikuti. Pelan-pelan. Hingga akhirnya selesai.

Kuingat-ingat sekarang, yang terjadi waktu itu adalah aku menulis sedikit saja tiap hari. Sedikit sedikit, lama-lama selesai. Dan itu baru bisa terjadi setelah dikomitmenkan selesai dari awal. Jadi, bukan hanya komitmen memulai ya, tapi komitmen selesai.

Tetapi komitmen selesai ini tidak bisa jalan kalau hanya di mulut. Karena ternyata saat kita mulai melakukan, banyak tantangan terjadi. Kita dituntut lebih mandiri karena situasi yang terjadi adalah: kita terkendala dengan yang namanya waktu. Maka, kutekadkan: Pantang tidur sebelum selesai. Pantang pulang dari tempat biasa ngopi sambil ngetik di laptop sebelum menyelesaikan apa yang ditargetkan hari itu. Akhirnya selesai. Terbit.

Aktifitas fisik yang kulakukan ini ternyata mempengaruhi pikiranku juga. “Tulis, tulis, tulis“, itu selalu yang terpaku dalam pikiran.

Menulis Itu Tidak Bisa Menggunakan Waktu Luang

Jadi, menulis itu memang tidak bisa menggunakan waktu luang. Salah kalau orang berkata: “Aku nulis hanya kalau ada waktu luang” (Kalaupun tak sepenuhnya salah, biasanya tulisannya tak akan pernah selesai. Atau selesai tapi tak pernah berani diterbitkannya karena gagasannya belum dituangkan secara utuh).

Atau, ada orang berkata, “nanti aja deh kalau misalnya kalau Aku sudah nggak sibuk. Kalau sudah selesai semua urusan.” Yang ada, kalau sudah selesai semua urusan, capek, lalu tidur. Kemudian ada bisikan-bisikan “besok aja deh“. Begitu tiba besok? Sama sibuknya.

Maka, menulis itu memang dikomitmenkan. Menulis setiap hari. Tidak menunggu waktu luang, tapi menyediakan waktu luang. Semua itu ada konsekuensinya, ada harga yang harus dibayar. Ada waktu yang dikorbankan. Mengorbankan waktu istirahat, waktu ketemu teman, bahkan mengorbankan waktu untuk sekedar duduk sejenak, minum kopi lalu menghisap sebatang rokok. Lebih efektif lagi, mengurung diri di ruang kerja. Yang tak ditinggalkan hanya makan, berdoa, dan kencing serta berak.

Jadi, komitmen dari awal bahwa ini harus selesai. Meluangkan waktu, menyediakan waktu, bukan menunggu waktu luang.

Disanalah terletak kunci paling dasar, dimana naskah kita akan selesai.


Ini curhat dari seorang penulis sukses, yang tak berkenan disebutkan namanya. Aku pun baru berani menarik gelas kopi dan menghisap rokok setelah menyelesaikan tulisan ini.

Mengapa “Berkesenian” menjadi Predikat Ejekan?

Percobaan Pertama: Membunuh Filsafat

Beberapa ribu tahun lalu di negeri Yunani, seorang lelaki parlente mendekati seorang temannya yang berpenampilan polos bersahaja.

Lelaki parlente itu, belakangan kita kenal sebagai Calicles, berkata kepada temannya:

Berhentilah berfilsafat, kawan. Kembalilah ke dunia nyata. Tuntutlah ilmu di  sekolah bisnis.

Quit philosophizing.

Get real.

Go to business school.

Belakangan kita tahu, temannya yang bersahaja itu bernama Socrates.

Untunglah, Socrates tidak mengikuti anjuran temannya itu. Seandainya Socrates mengikuti anjuran Calicles dalam “Giorgias Dialogue” itu, filsafat tidak akan menjadi sebesar sekarang. Plato tidak akan mempunyai guru. Aristoteles, juga tentu saja.

Tidak akan ada para murid peripatetik (para filsuf pejalan kaki) yang membahas segala macam hal sembari berjalan-jalan bersama sang guru. Tidak akan ada Akademia, yang menjadi cikal bakal semua sekolah modern yang ada sekarang ini. Semua orang akan berfokus pada satu hal saja: memenuhi kebutuhan perut, mencari shekel, drachma, dolar atau rupiah.

Untunglah. Ternyata kebutuhan manusia tidak hanya soal urusan perut, tetapi juga soal pikiran. Selain asupan gizi, manusia ternyata butuh nutrisi intelektual dan seni. (Iya. Filsafat bukan hanya induk dari sains tetapi juga seni).

Meskipun demikian, upaya percobaan untuk membunuh filsafat itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak sedikit teman yang mengolok-olok ketika seseorang memposting keresahannya di media sosial dalam sudut pandang filosofis.

Alah, bacot. Na mangula on ma bah ni puhuthon“, kata mereka seolah merendah padahal nyatanya mereka ingin menderogasi pentingnya filsafat.

“Untuk apa membahas dan mengulas realitas sosial. Pakai bedahlah, pake ulaslah, filosofi-filosofian segala. Tak ada gunanya kau habiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi filsafat Barat itu. Mending ternak lele sajalah”


Percobaan kedua: Membunuh seni?

Zaman sekarang, jika kita jeli, saban hari kita mendengar “Giorgias Dialogue” versi modern dalam konteks kesenian.

“Ngapain sih capek-capek buat tulisan? Yang baca sedikit. Uangnya pun tak jelas.”

“Ngapain sih terus buat lagu? Berdiskusi, begadang, membuat lirik, ulik nada, edit, mixing, mastering, release. Unggah di Youtube, belum dapat adsense, eh keburu kehabisan uang. Sekedar beli rokok dan kopi pun harus berfikir keras. Buat apa? Tuh lihat. Mending buat konten give-away kayak si Boim.”

“Atau lebih ekstrem, ada pesawat jatuh, jadikan konten. Nggak usah mikir empati dengan keluarga korban. Laku keras.”

Mungkin tak persis isi redaksinya seperti ini, tapi muatan maknanya sama.

Begitulah. Sekarang berkesenian seolah predikat ejekan.

Secara jenius, Tilhang Gultom menyisipkan sindirian ini pula dalam lagunya “Tudia Nama Au Lao”

Dia sebut:
Na hansit ma hape di au nadangol on. Alani pogos na tarlobi. Gabe marende nama au. Gabe marende nama. Tu kesenian nama au lao. Tu kesenian nama au lao” (Perih sekali hidup ini, bagiku yang sengsara ini. Karena kemiskinan yang teramat sangat. Aku pun bernyanyi. Ke kesenian-lah aku lari.)

Impresi publik sezamannya yang mau dikritik Tilhang Gultom kiranya cukup jelas: Mereka yang berkesenian atau bernyanyi-nyanyi  kelasnya ya orang kecil. Proletar. Kalau mau kaya dan sukses (gabe jala mamora), pilihlah jalur lain. Entah menjadi petani, pegawai atau pengusaha. Pokoknya, jangan menjadi seniman.

Setujukah kita?

Beberapa dekade lalu, ‘kesadaran’ sejenis juga yang membuat banyak orangtua Batak terlihat tidak konsisten. Ketika si anak masih kecil, akan diajari bernyanyi, main gitar, atau didaftarkan les musik. Tapi begitu selesai SMA, si anak akan diarahkan untuk ambil jurusan yang jelas menjanjikan fulus. Entah sebagai pengacara. Entah sebagai pengusaha atau petugas bea cukai.

Bukankah itu antara lain sebab “Opera Tilhang” (Opera Serindo) kehilangan generasi penerus sepeninggal Zulkaedah Harahap? Tak ada orangtua yang mengajarkan dan mendukung anaknya menekuni keterampilan multiseni dalam Opera Batak itu (bernyanyi, berdrama, berlawak).

Aku sendiri mengalami ini ketika kecil. Di ladang, kalau aku mencoba memukul-mukul kayu meniru “pargossi“, akan ditegur orangtua. Dalam diskusi kemudian setelah mereka rasa aku bisa berfikir, mereka jelaskan:

“Nak. Zaman sekarang, bermusik tidak memberi penghasilan. Jangan kau tiru tulangmu si anu. Margossi ibana, mangadangi sian pesta tu pesta, alai so hea dilean hepeng tu nantulangmi. Holan na mabuk ma ibana tiap borngin. Dungi marbadai ma begeon ni hombar jabu. Jangan kau ikuti yang begitu ya”, kata mereka.

(Aku tak menyalahkan mereka. Itulah impresi umum tentang berkesenian saat itu, jadi mereka pun ikut di dalamnya. Lagipula, tak didukung menjadi penabuh gendang, aku kemudian memilih jurusan “tak jelas”, yakni jurusan filsafat. Skor 1-1. Hehehe).

Di era postmodernisme sekarang yang bahkan banyak orang masih belum tahu mengarah kemana dan harus mendefinisikan seperti apa, sekelompok orang juga mulai jengah dengan filsafat. Mereka mempertentangkan sains dengan filsafat, seakan bisa memisahkan seorang anak dengan ibu kandung yang melahirkannya.

Mereka bosan dengan tuntutan kaidah berkesenian, seakan musik dan lagu melulu hanya soal profit dan ketenaran seorang artis, dan tidak ada kaitannya dengan upaya kurasi nilai ideologi dan budaya arif. Maka, tak heran, lahirlah banyak lagu yang tidak memiliki “jiwa”, hanya otak-atik gathuk tangganada dan analisa teknikal musik. Berkesan, tapi tidak mengandung pesan.

Atau, meminjam lawakan intelektual di tongkrongan kami:

“Godang siingoton. Alai dang adong sitiruon”

Pada situasi begini, wajarlah para seniman dengan ideologi dan kesetiaan pada tugas kesenimanan, akan tenggelam di pasar industri. Antara lain, karena mereka tak sudi “menjual” diri, tak mau repot dengan algoritma Google dan Youtube, tak mau pula menyebar spam disana-sini untuk meraup angka view.

Untuk mereka, pendengar yang baik akan mencari musik yang baik. Beberapa digital marketer mungkin akan menyebut mereka naif, tapi mereka masih bertahan. Entah sampai kapan.

Kritik Budaya dalam Lirik “Tondi-Tondikku”

Banyak lagu Batak zaman sekarang yang cukup berkesan. Tapi, tidak banyak yang meninggalkan pesan. (Mengapa tidak banyak, sudah kuulas pula di blog ini perihal kecenderungan lirik lagu Batak yang semakin jelek). Dari antara yang tidak banyak itu, salah satunya adalah “Tondi-Tondikku”. Secara singkat belum bisa kujelaskan mengapa. Soalnya ini menyangkut rasa.

Bisa jadi karena lagu ini awalnya dikenal dengan video di bawah yang dikemas cukup apik dengan konsep sinematiknya. Terlihat jelas unsur teatrikalnya. Siapa sih yang tidak tertarik menonton film/drama. Atau, bisa juga karena dipopulerkan oleh Style Voice. (Ada apa dengan Style Voice? Ada Willy Hutasoit disana, vokalis Batak kekinian yang cukup kena denganku setelah Tongam Sirait).

Oke. Ini tidak untuk diperdebatkan ya. Namanya juga selera.

De gustibus non disputandum est.

Lagu ini terbilang sukses. Tidak hanya dari statistik penonton setiap kali ada yang mengunggah videonya di Youtube (baik versi asli maupun cover) yang langung ramai sejak dirilis, tetapi juga terlihat cukup relatable dengan banyak orang.

Saya beri contoh kecil. Sebuah kode tuak di bilangan kota Siantar, sejak Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 yang lalu ramai dengan anak muda dan orangtua yang tak capek-capek bernyanyi dari jam 8 malam. Kadang baru selesai subuh. Hahaha. Salah satu lagu yang kuingat selalu mereka nyanyikan ya lagu ini, “Tondi-tondikku”. Metriks ini tampak sederhana. Tapi, bukankah kalau sebuah lagu sudah masuk ke kode tuak, bisa menjadi indikator kuat bahwa lagu itu kena (manghonai) dengan publik?

Tolok ukur ini belum cukup?

Silahkan cek sendiri. Biasanya di wisma atau gedung resepsi pernikahan Batak, lagu ini juga dibawakan oleh pihak  keluarga pengantin perempuan sebagai ganti dari umpasa untuk memberikan poda kepada putri mereka, atau sebagai penutup acara mandok hata. Menggeser lagu “Borhat Ma Dainang”. (Itu kudengar  sendiri, karena kebetulan saat ini tinggal dekat Sopo Siantar).


Di video di atas, kamu bisa membaca artinya dalam Bahasa Indonesia. Adapun teks dalam syair asli adalah sebagai berikut.

Lirik Tondi-Tondikku

Au do baoa naparjolo
Diida ho di portibion
Au do baoa na parjolo
Dihaholongi ho

Au na ma haduan
Hamagoan sian ho
Molo marhasohotan ho

Ho do gabe panggoaranki
Jala ho na lao manjujung goarhi
Ala sasada ho dilehon Tuhan i
Tu damang dainangmon

Unang mandele ho
Marnida donganmi
Ho do artakku di ngolukki

Unang huida ho marsak
Nasa tolap ni gogoki hubaen do
Unang hubege ho tangis
Maniak ate-atekki manaon i

Tondi-tondi hu do ho
Hagogoonku do ho
Boru hasianku

Sai dapot ho ma haduan
Naboi manghaholongi ho
Songon nahubaen tu ho


Selain soal selera pribadi, sebenarnya ada faktor lain yang membuat “Tondi-tondiku” terdengar spesial. Aku mengendus, ada kritik budaya disana.

Tondi-tondikku: “Bongkar” versi Batak?

Bukan isapan jempol bahwa hingga saat ini, kelahiran putera di tengah keluarga Batak masih dianggap sebagai keharusan. Bukan rahasia pula bahwa di tengah masyarakat Batak, ada semacam ‘tekanan sosial’ (social pressure) supaya pasangan suami-isteri sebaiknya memiliki setidaknya seorang anak laki-laki. Alasannya klasik: Ai baoa do sijujung baringin (anak laki-lakilah penerus keturunan).

Karena itu, mudah kita jumpai di sekitar kita bahwa ada keluarga yang karena anak pertama mereka adalah perempuan, ‘terpaksa’ harus nambah lagi. Kalau anak kedua juga anak perempuan? Nambah lagi.  Ketiga, keempat, dan seterusnya sampai diperoleh anak laki-laki.

Sebegitu misoginis dan patriarkisnya keluarga Batak ini? Ya. Mungkin tidak untuk semua keluarga, tapi masih bisa kita jumpai pada beberapa keluarga.

Pada zaman dahulu, bahkan saking tingginya penghargaan terhadap anak laki-laki di tengah keluarga, tak jarang seorang suami diizinkan atau dianjurkan keluarga untuk menikah lagi jika isteri pertama tidak kunjung memberikan anak laki-laki.  Ini antara lain yang menciderai kodrat monogami dalam perkawinan Batak.

(Bahkan, sampai ada yang semi-taboo, yang dikenal dengan istilah “pinjam jago“. Kamu bisa tebak-tebaklah ya apa artinya. Ini agak sensitif. Kita bahas secara internal saja ya).

Meski dalam percakapan sehari-hari, kemungkinan besar kita hanya akan menemui petunjuk (clue) yang subtil sekali perihal keharusan berputra itu, tetapi tekanan sosial itu nyata adanya.

Uniknya, diakui oleh yang bersangkutan, terutama justru dirasakan oleh  pihak wanita (isteri). Kuat dugaanku, cerita ekstrem soal “diceraikan karena tidak kunjung memberikan anak laki-laki” menghantui mereka.

Dalam perspektif yang lebih positif, kehadiran anak laki-laki diakui pula cukup melegakan bagi kaum ibu sebab diyakini anak inilah nanti yang akan lebih membela ibunya (dibandingkan saudari-saudarinya) jika suatu saat si ayah melakukan kekerasan kepadanya. (Untuk poin ini, tak pula perlu kita menampik kenyataan bahwa berbagai jenis kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, masih terpelihara di banyak keluarga Batak, sejak dulu hingga kini).

Lalu, apa hubungan antara realita sosial hasil konstruksi budaya Batak ini dengan lirik lagu “Tondi-tondikku”?

Saya tidak tahu apakah Herbet H Aruan, si pencipta lagu ini sengaja atau tidak membuat bait yang “janggal” ini:

Ho do gabe panggoaranki
Jala ho na lao manjujung goarhi
Ala sasada ho dilehon Tuhan i
Tu damang dainangmon

Ho do gabe panggoaranki” (dengan namamulah aku akan dikenal orang),

sejalan dengan

ala sasada ho dilehon Tuhan i tu damang dainangmon” (karena hanya engkau anak yang diberikan Tuhan bagi kami orangtuamu ini”.

Sampai disini belum ada masalah.

Kejanggalan baru terjadi dengan penggalan “jala ho (do) na lao manjujung goarhi“. Sejauh ini, pemaknaan semantik “sijujung goar” dan “sijujung baringin” masih identik. Tetapi, mengapa ditulisnya pula “Jala ho na lao manjujung goarhi”? (engkaulah yang juga kelak akan meneruskan keturunanku). “Manjujung goar” tidak sekedar meneruskan keturunan, tetapi juga meneruskan marga . Padahal, kita tahu bahwa marga Batak diteruskan oleh anak laki-laki (sijujung baringin atau sijujung goar).

Beberapa orangtua Batak tak sungkan mengungkapkan langsung dalam pembicaraan di rumah: “Ai molo boru do, gabe pagar ni halak do i haduan” (adapun anak perempuan, kelak dia akan menjadi milik orang lain). Maksudnya jelas, seorang anak perempuan boru X akan melahirkan anak-anak bagi suaminya marga Y, dan anak-anak itu akan mengenakan marga Y. Sebanyak apapun keturunan dihasilkan oleh pasangan X dan Y, legacy “hagabeon” yang diperkuat adalah legacy marga Y, bukan marga X.

Hal ini tidak berhenti hanya pada keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak) tetapi berlanjut pada “tutur” atau “panjouon” kakek atau nenek. Jika seorang kakek memiliki cucu dari putra dan putrinya, sekalipun cucu dari putri yang duluan lahir tetapi kakek dan nenek akan dipanggil menurut nama cucu dari putra. Misalkan seorang putri memberi cucu bagi orangtuanya, diberi nama Frodo. Hingga ada cucu dari putra, kakek dan nenek akan dipanggil “Oppung ni si Frodo”. Begitu ada cucu dari putra, misalkan diberi nama Samwise, barulah kakek dan nenak akan dipanggil “Oppu Samwise”, inilah gelar paripurna untuk mereka hingga kakek dan nenek itu meninggal. Ini subtil, tetapi orang Batak akan mudah memahami perbedaan antara “Oppung ni si Frodo” dan “Oppu Samwise

Kiranya fakta-fakta ini cukup menggambarkan posisi penting putra di tengah keluarga Batak, lebih penting dibandingkan puteri. Dan kita tahu, ini sungguh tidak adil menggunakan perspektif progresif, apalagi jika kita adalah feminis.

Itulah sebabnya penggalan “jala ho do lao manjujung goar” pada “Tondi-Tondikku” memuat kritik sosial dan budaya yang tidak remeh.

Untukku, kejanggalan ini (entah disengaja penulis lagu atau tidak) bisa memantik diskusi dan dialog berkepanjangan berikutnya. Tujuannya jelas: Jangan lagi adanya anak laki-laki dijadikan tolok ukur paripurnanya sebuah keluarga Batak, adanya anak perempuan juga seharusnya diperlakukan sama. Saya setuju jika diskusi dan dialogi itu terjadi, sebab untukku cukuplah steretotipe misoginis dan patriarkis ini melekat cukup lama pada masyarakat Batak. Sudah harus ada yang memulai untuk mengubahnya supaya compatible dengan masyarakat berperadaban maju lainnya.

“Tondi-tondikku” menjadi corong aspirasi dan inspirasi bagi keluarga Batak yang hanya memiliki anak perempuan (juga keluarga Batak yang meski memiliki anak laki-laki tetapi toh tidak nyaman dengan kebiasaan misoginis dan patriarkis yang terpelihara selama banyak generasi).

Ibarat “Bongkar” karya Iwan Fals yang menjadi corong aspirasi dan inspirasi bagi masyarakat Indoensia yang selama masa Orde Baru tidak mendapatkan keadilan sesuai amanat konstitusi sebab korupsi, kolusi dan nepotisme menggerogoti hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu (mungkin juga sampai saat ini)

Mungkin itu sebabnya, hingga hari ini pesona lagu “Tondi-tondikku” masih memikat banyak orang sejak hari pertama dirilis. Masih dinyanyikan di kode tuak dan di kafe-kafe. Keluarga pihak pengantin perempuan masih dengan gegap gempita menyanyikan lagu ini ketika memberi wejangan sekaligus selamat kepada putrinya yang memutuskan meninggalkan mereka, membina keluarga yang baru.


Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto

 

Ulas Lirik “Ee Dang Maila Ho” karya Nahum Situmorang

Ito namarbaju tung so maila ho,
e… ndang maila ho
Donganmu mardalani namatua do,
e….ndang maila ho

Ai molo ro parsedan pintor gintal do ho,
e…ndang maila ho
Ai nang pe namatua dioloi ho,
e…ndang maila ho

Godang do namarbaju ndada songon ho
Donganna mardalani doli-doli do
Alai anggo ho tung so maila ho
Nang pe namatua dioloi ho

Ito namarbaju ipe jamot ma ho,
e….ndang maila ho
Sotung didokkon halak naung geno ho,
e…ndang maila ho


Lirik lagu “Ee Dang Maila Ho” ini menambah portofolio kandungan pesan moral dalam lagu-lagu Nahum Situmorang. Benarlah ia konsisten dengan perjuangannya melestarikan budaya dan (mungkin juga) pranata sosial dalam adat-istiadat Batak.

Pesannya sederhana: Baiklah anak gadis atau remaja putri pintar menempatkan diri dalam pergaulan. Seperti halnya pemuda atau remaja putri, anak gadis sebaiknya bertanggungjawab dengan pilihan pertemanan. Tidak melulu meng-iya-kan ajakan setiap lelaki tua hanya karena berduit dan menaiki mobil sedan.

Tanpa harus marah secara berlebihan dan sarkastis, Nahum menegur (mungkin juga dengan sedikit menyindir) para perempuan dengan karakter begitu: “Ee dang maila ho” (Ee, kamu kok nggak malu ya?)

Uniknya: Pesan yang berat kandungan filosofisnya tak melulu mesti dinikmati dengan suasana klasik, hening, dan sopan tetapi bisa juga sambil bergoyang-ria dalam balutan genre chacha atau dangdut. Lebih ringan. Lebih santai. Sejak awal ditulis, sepertinya lagu ini memang ditujukan untuk dikemas secara ringan, meski tidak sampai murahan.

Simak misalnya versi Christin Sianturi ini.

Sayang sekali, bahkan sampai tulisan ini dibuat, pemilik video yang kemudian secara otomatis diunggah Youtube tidak memberikan informasi kredit apresiasi kepada Nahum. Komentar pun dinonaktifkan. Nama Nahum tidak dicantumkan sebagai pencipta disana.

Hal serupa juga bisa kita temukan pada pengunggah lain, yakni kanal Mangasa Sitanggang dengan konten audio dimana “Ee Dang Maila Ho” dinyanyikan oleh Vocal Group Parisma 71.

Saya tak sempat memeriksa semua pengunggah lagu Ee Dang Maila Ho. Ini masih di Youtube, kita belum tahu di platform lain.

Sampai disini, Saya bisa meresakan kekesalan Suhunan, seorang ponakan Nahum, ketika menuliskan tentang sang maestro (sudah saya tuliskan ulang juga di blog ini).

Suhunan menulis:

Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.

Sepertinya, sindiran “Ee dang Maila Ho” juga pantas kita tujukan untuk pekerja dan pelaku seni yang tidak menjalankan etika berkesenian (jelas, mereka bukan seniman) seperti mereka ini.

Mungkin jika Nahum masih hidup sekarang, ia juga kesal. Belum lagi keinginannya untuk dikubur di Samosir, tanah leluhurnya, juga belum terwujud hingga hari ini.

Rupanya melankolia dan avonturisme yang melekat dengan Nahum ketika masih hidup, juga masih terjadi pada Nahum, bahkan setelah ia meninggal. Ini sebenarnya kenyataan yang menyedihkan. Semoga pihak terkait bisa mencari solusi terbaik untuknya.


Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto

Nahum Ingin Dikubur di Samosir*

SUDAH lama ia wafat, namun namanya kian sering disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan; menghibur orang-orang, menafkahi para pekerja dunia malam, mengalirkan keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi, orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak, segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya. Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.

Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.

Nahum Situmorang via KawalSumut.Com

 

Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya sendiri, terutama sukunya. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.

Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era milenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupannya yang dipenuhi romantika, yang jamak melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya.

Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis.

Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis.

NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman. Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu masih buta huruf.

Kilian sendiri berasal dari Desa Urat, Samosir, sebuah kampung di tepi Danau Toba dan jamak diketahui sebagai kampungnya para keturunan Ompu Tuan Situmorang. (Situmorang Pande, Situmorang Nahor, Situmorang Suhutnihuta, Situmorang Siringoringo, Sitohang Uruk, Sitohang Tongatonga, Sitohang Toruan). Kilian merantau ke wilayah Tapanuli Selatan demi mengejar kemajuan yang kian menguak gerbang peradaban manusia Batak Toba yang begitu lama tertutup dengan “splendid-isolation“-nya.

Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain, Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial. Harapannya tak tercapai meski Nahum lebih dari memenuhi syarat. Nahum lebih senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS, Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di “Kweekschool” Gunung Sahari dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun 1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat bersekolah di Lembang.

Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjari juara dua.

Sayang sekali, lagu yang dulu dilombakan Nahum itu tak terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru di sebuah sekolah partikelir “H.I.S Bataksche Studiefonds,” 1929-1932.

TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama “Instituut Voor Westers Lager Onderwijs.” Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya.

Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi.

Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak, dan orang-orang seperti tersihir saat mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).

Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan membuka restoran masakan Jepang bernama ‘Sendehan Hondohan,’ seraya merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.

Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960, misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta.

SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan boru Simorangkr yang akhirnya menikah dengan lelaki bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum, rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain, sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta pun lantas berhamburan dari jiwanya yang merana.

Demikianpun, Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu “Serenade Toscelli” yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi “Ro ho Saonari,” sebagai lagu ciptaan komponis Italia.

Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah satu contoh adalah lagu “Anakhonhi do Hamoraon di Au” (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu.

Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus “marhoi-hoi” (susah-payah) memenuhi keperluan anak.

Juga ketika ia menulis lagu “Modom ma Damang Unsok,” laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu “Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda” yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya.

Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu “Beha Pandundung Bulung,” umpamanya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: “Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan.” Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.

Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul “Nahinali Bangkudu.” Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati di usia yang tak lagi muda namun dengan status lajang. Dengan penggunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: “Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Mate ma ho amang doli, mate di paralang-alangan…” Ironis sekaligus tragis.

Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun ahli mengayun sanubari lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur “andung” (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu “Huandung ma Damang,” “Bulu Sihabuluan,” “Assideng-assidoli,” “Manuk ni Silangge,” dan yang lain, begitu pekat unsur ‘uning-uningan”-nya.

Akhirnya, kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan. Lagu “Ketabo-ketabo,” contohnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara “Lissoi-lissoi” yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.

Demikian halnya tembang “Rura Silindung” dan “Dijou Au Mulak tu Rura Silindung,” yang begitu kuat melukiskan lanskap daerah orang Tarutung hingga saya sendiri, contohnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu manakala mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui “O Tao Toba.” Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu “Pulo Samosir,” disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian.

SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang greget karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.

Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.

Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun di komplek pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke tanah leluhurnya melalui lagu Pulo Samosir, masih tetap sebatas impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah sakit-sakitan tiga tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi. Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono diberikan kepada dirinya pada 10 Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah Seni yang diberikan Menteri P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969.

Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti.

PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris yang diketuai Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua Yayasan Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum Situmorang berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan Medan, Februari 2008.

Kemudian, mereka minta pula saya, entah pertimbangan apa, jadi ketua pemindahan kerangka dan pembangunan Museum Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya dan Monang tentu antusias menerima tawaran tersebut, namun setelah belakangan tahu di antara para pewaris ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar mereka terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan sesuatu yang bisa disembarangkan dalam hukum adat Batak.

Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang “dongan sabutuha” (teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul Vista.

Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak, selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai.

Tentu saja saya kecewa seraya menyesali minimnya apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan Tapanuli terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan sesuatu untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan Bangso Batak. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman “cum” pendidik yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah kisruh akibat munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas karya cipta Nahum hingga keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya sederhana) agar dikubur di bumi Samosir, semakin tak pasti.

Saya tak tahu bagaimana perasaan mereka yang berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim hak cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu Pulo Samosir ini: “Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma.” (Bila hidupku sudah berakhir, ingatlah/Makamkanlah jasadku di sana/Sediakanlah kuburanku di sana). Demikianpun, saya tetap berharap gagasan memindahkan jasad Sang Guru ke bumi Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya akan terwujud suatu saat, entah siapapun pelaksananya.


*Repost dari tulisan Suhunan Situmorang di blog Parpining dengan judul asli:

Lelaki yang ingin dikubur di Samosir itu bernama NAHUM SITUMORANG