Setelah mengulas Sekuens 3 dan 4 dari metode 8 sequence, sekarang kita lanjutkan dengan sekuens 5 dan 6 (biasa disebut Act II B)
ACT II B
Sekuens 5 – Subplot & Rising Action
Di sekuens 5, kita menginginkan tensi naik (rising action) akan tetapi belum sampai pada puncak utama konflik.
Ingat bahwa sebelumnya, di sekuens 4, kita sudah menguraikan puncak pertama, titik terendah yang dialami si karakter utama; yakni titik terendah yang paralel dengan nasib yang dialami si aktor utama di akhir cerita. Sementara puncak utama konflik baru terjadi di sekuens 6. Maka pada bagian ini kita harus menciptakan alur baru (subplot), yang berbeda dengan yang sudah pembaca/penonton ketahui sebelumnya.
Kedengaran tidak mudah. Lantas, apa yang harus kita isi pada sekuens 5 ini?
Sekuens 5 sering juga disebut sebagai Twists and Turns dari Act II. Singkatnya, “Pemutarbalikan alur cerita”. Disinilah kita menulis situasi ketika akhirnya rahasia-rahasia terungkap, hubungan diuji, tensi meninggi, halangan semakin berat dan semakin menantang, dan karakter utama (protagonis) benar-benar diuji. Di sekuens 5 ini, protagonis secara khusus diperlihatkan hendak memberontak atas segala perubahan yang terjadi, menunjukkan penolakan atas segala masalah yang harus dihadapinya: jika bisa dia ingin semuanya kembali seperti sedia kala, seperti ketika belum terjadi apa-apa. Sedikit ingatan kembali ke status quo yang menciptakan efek romance atau kegundahan akan sangat membantu.
Sekuens 6 – Main Culmination
Inilah puncak utama (main culmination), yakni puncak dari segala penolakan, keputusasaan dan pembalasan dendam atas segala masalah yang sudah terlanjur menghantui hari-hari di kehidupan karakter utama. Tantangan terakhir yang paling tinggi, alternatif terakhir yang masih ada, serta akhir dari semua ketegangan yang kita ciptakan. Situasi yang menghantar pembaca/penonton pada klimaks atau pertaruhan hidup mati di sekuens 7 nanti.
Jika karakter utama kita hendak memenangkan peperangan, maka disinilah dia bergegas menuju gelanggang. Jika karakter utama hendak menceraikan pasangannya, maka disinilah dia menuju pengadilan. Jika karakter utama hendak menyatakan cintanya pada karakter lain yang sudah lama ingin dilamarnya, maka disinilah dia berangkat hendak menemui orangtua calonnya.
Penting dicatat: Karena midpoint dan akhir cerita itu paralel, maka di sekuens 6 yang akan menjadi akhir dari Act II ini kita isi dengan sebuah titik alur (plot point) yang persis berlawanan dengan kedua poin tadi. Jika kita hendak memenangkan karakter utama di midpoint dan akhir cerita, maka disini kita membuatnya berada pada titik terjauh dari kemenangan. Jika kita hendak membuat karakter utama kalah di akhir cerita, maka di sekuens inilah kita membuatnya terlihat seperti menikmati semua kejayaan yang mungkin diraihnya.
Setelah memiliki sebuah premis dan konsep skenario, maka kita akan masuk pada teknikalitas penulisan skenario. Metode yang paling sering dilakukan adalah 8 sequence (8 sekuens).
Apa itu 8 sequence?
8 sequence ini bukan satu-satunya metode dalam mengembangkan sebuah ide menjadi skenario, tapi oleh para penulis naskah film terkenal, dianggap efektif dan mudah diajarkan dan dipahami terutama oleh para penulis pemula.
Perlu diingat bahwa kerangka 8 Sekuens ini bukanlah formula mutlak atau resep sempurna untuk membuat sebuah bangunan cerita. Karena setiap naskah itu adalah sebuah prototipe: baru, unik, dan dibuat khusus sesuai isi cerita/kisah yang ingin ditulis. Akan tetapi pengalaman para penulis skenario kenamaan (termasuk para penulis skenario film Hollywood) yang menggunakannya mengakui bahwa formula ini adalah titik berangkat yang baik. Ernest Prakasa, seorang produser sekaligus screenwriter Indonesia mengaku bahwa dia menggunakan metode ini untuk menggarap film-filmnya.
Sebenarnya 8 sequence adalah pengembangan dari pola 3 Acts Structure (drama 3 babak) dari Yunani Kuno, yang berupa awalan/perkenalan, perjalanan/konflik, dan hasilnya seperti apa (akhir cerita). Khusus pada bagian perjalanan/konflik durasinya biasanya setengah dari durasi keseluruhan cerita, sehingga kerap dibagi lagi menjadi 2 bagian. Maka, sekarang kita memperoleh Babak 1, Babak 2A, Babak 2B dan Babak 3.
Lebih lanjut, metode 8 sequence adalah pemecahan dari keempat babak ini, dimana masing-masing babak dibagi menjadi 2 sekuens. Maka, pembagiannya:
Babak 1 menjadi Sekuens 1 dan Sekuens 2.
Babak 2A menjadi Sekuens 3 dan Sekuens 4.
Babak 2B menjadi Sekuens 5 dan Sekuens 6.
Babak 3 menjadi Sekuens 7 dan Sekuens 8.
Perjalanan kisah mulai dari sekuens 1 hingga sekuens 8 inilah yang kita kenal sebagai 8 sequence.
Penggunaan Metode 8 sequence
Tentu ini bukan satu-satunya cara. Kelima film box-office besutan Ernest Prakasa dibangun dengan metode ini. Sederhana tetapi sekaligus memberi banyak ruang untuk berkreasi dan mendramatisasi.
Sampai disini mungkin akan muncul pertanyaan: metodenya sama, apakah hasilnya akan sama? Tidak juga. Film-film mainstream di Hollywood umumnya menggunakan metode ini, tetapi kita bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa hasilnya tidak sama. Ini bisa dianalogikan seperti tengkorak manusia. Walaupun bangunan dasar tengkorak kita – manusia Homo Sapiens ini – sama, tetapi toh wajah dan penampilan kita berbeda-beda. Maka, walaupun menggunakan metode penggarapan ceritanya sama, tetapi alur film tetap berbeda.
Meski tidak dalam artian ketat secara matematis, metode 8 Sekuens ini bisa menjadi alarm bagi penulis skenario untuk membagi durasi setiap bagian cerita secara proporsional. Kasarnya, misalnya, jika cerita yang hendak dibangun berdurasi 1 jam (60 menit), maka setiap sekuens berkisar 7-8 menit. Jadi kalau misalnya sudah memasuki menit ke-20 ternyata sekuensnya masih di Act 1 (sekuens 1 dan sekuens 2), maka kita harus segera periksa: Mungkin kita sudah melenceng terlalu jauh dari ide cerita yang kita bangun.
BABAK 1
Sekuens 1: Status quo dan inciting incident
Pada bagian status quo ini terjadi perkenalan karakter. Apakah semua karakter harus diperkenalkan sekaligus di awal? Tidak ada aturan baku seperti itu. Yang sering terjadi ialah pengenalan dilakukan dengan dicicil bahkan bisa juga tersebar di sekuens berikutnya. Pada intinya, sekuens ini bertujuan supaya audiens (pembaca naskah atau penonton film) mengenal karakter. Tujuan lebih lanjut ialah: dengan mengenal, audiens sampai pada tahap empati terhadap apapun yang dialami si karakter. Peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” tepat menggambarkan tujuan ini.
Sekuens 1 ditutup dengan inciting incident (insiden pemicu).
Contoh insiden pemicu pada “Cek Toko Sebelah” (2016) adalah ketika Koh Afuk mulai sakit. Kalau dia tidak sakit, maka tidak ada urgensi baginya maupun anak-anaknya untuk mulai berfikir soal warisan. Ini juga menjadi pemicu buat Erwin untuk memikirkan ulang keputusan karirnya.
Pada “Susah Sinyal” (2017), insiden pemicu adalah ketika Oma (sang nenek) meninggal. Mental putrinya down, sehingga Ellen (karakter utama) harus putar otak untuk mengambil peran si nenek: kembali menjalin komunikasi yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya.
Pada “Black Panther” insiden pemicu adalah ketika museum dibobol, artefak Wakanda dicuri. Ini menjadi pemicu bagi warga Wakanda untuk melakukan sesuatu yang sangat berbeda: mereka meninggalkan zona nyaman mereka, membuka gerbang Wakanda sehingga bisa bertarung bersama dengan anggota tim lain Avengers.
(Silahkan kamu mencari contoh insiden pemicu ini di film lain yang sudah kamu tonton).
Singkatnya, Sekuens 1 ini membangun karakter utama, sekilas perjalanan hidupnya, serta status quo dan semesta kisahnya. Sekuens ini diakhiri dengan POINT OF ATTACK atau INCITING INCIDENT, meskipun bisa juga plot ini muncul pada menit-menit pertama film.
Sekuens 2: doubt (keraguan) dan decision (keputusan)
Ketika karakter dihadapkan dengan insiden pemicu ini, maka akan muncul keraguan: ia diharuskan untuk keluar dari kenyamanannya. Ia dihadapkan pada dua pilihan utama: tetap di zona sebelumnya dan tak melakukan apa-apa, atau memutuskan untuk melakukan sesuatu karena sudah jelas ada masalah di depan mata.
Pada “Black Panther” ini terlihat ketika para petinggi Wakanda setuju (decision) bahwa mereka harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, maka ceritanya tidak berjalan.
Pada “Susah Sinyal”, Ellen mulai benar-benar berfikir untuk mencari quality time, waktu berdua dengan putrinya. Sampai ia membatalkan untuk bertemu dengan klien penting dan mendelegasikan proyek itu kepada rekan kerja sekantornya.
Pada “Cek Toko Sebelah”, Erwin menjadi ragu apakah ia harus meninggalkan pekerjaannya di yang sudah di level atas manajemen perusahaan setelah ia mendengar penuturan bosnya yang menyesal karena ketika hidupnya tidak sempat membahagiakan orangtuanya. Cerita si bos sangat mengena dengannya karena saat itu Koh Afuk – ayahnya – sedang sekarat, kemungkinan tidak akan berumur panjang lagi.