O amang, o inang borhat ma au tu na dao
Mangalului ngolu-ngolu, ngolu siapari i
Mangalului ngolu-ngolu, ngolu siapari i
Lehon poda mi tu au di na lao paborhatton au
Asa tukkot di na landit jala sulu di na golap
Asa tukkot di na landit jala sulu di na golap
Asa ijuk di para-para jala hotang di parlabian
Asa bisuk ma ho amang dung sahat di pangarantoan
Ingot ma hami on na paimahon baritam
Unang lea hami amang, di ujung ni ngolu on
I do hata ni damang i di nalao paborhaton au
Hape nuaaeng pe amang, mangaranapi rohakki
Soa da na hubaen dope na boi palasson rohami
Martangiang au tu Tuhan i sai ganjang ma umur mi
Paima ro au amang lao mangubati arsakmi
Malengleng ate-atekki marningot holong mi tu au
Datang akan pergi
Lewat ‘kan berlalu
Ada kan tiada bertemu akan berpisah
Awal kan berakhir
Terbit ‘kan tenggelam
Pasang akan surut bertemu akan berpisah
Hey!
Sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi
Meskipun
Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada bertemu akan berpisah
Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut bertemu akan berpisah
Hey!
Sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi
Meskipun
Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu
Hey!
Sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi
Meskipun
Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
Du duu duuduuu
(Suhunan, seorang penulis yang cukup aktif menguraikan gambaran Rikba Tjiptaning di dinding Facebook. Untukku, tulisan ini menarik dan padat. Berikut repost-nya.)
Ning.
Nama lengkapnya, Ribka Tjiptaning Proletaryati. Nama yang tak jamak bagi masyarakat Indonesia umumnya. Ia berdarah Jawa, kedua orangtuanya bukan orang sembarang: berdarah biru (bangsawan) dari dua kesultanan Jawa, Solo dan Yogjakarta.
Ayahnya, Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro, masuk trah keluarga besar Kasunanan Keraton Pakubuwono (Solo). Ibunya, Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati, keturunan keluarga besar Kesultanan Yogjakarta.
Ning, demikian ia biasa dipanggil oleh orang-orang dekatnya, lahir 1 Juli 1959 di Solo (tetapi ada juga yang menulis Yogjakarta). Kisah hidupnya bak sebuah roman yang layak difilmkan. Kisah yang sarat penderitaan, perjuangan, ironi dan tragedi, keberhasilan, juga kontroversi.
Sebelum Peristiwa G 30 S/Gestok, 1965, meletus, ayahnya dihormati umumnya warga Solo. Seorang pengusaha sukses, usahanya pabrik paku dengan lima pabrik dan produksi pakunya laku di berbagai kota dan desa sekitar Jawa Tengah.
Peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia modern itu, sekejap saja memporakporandakan kehidupan RM Soeripto Tjondro Saputro dan istri anaknya. Tak lama kemudian, ia diciduk tentara dan dibawa ke Jakarta. Ia anggota Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masa itu termasuk partai politik besar beranggotakan 30 jutaan orang.
Ibunya Ribka (atau Ning) yang juga ningrat itu pun kemudian ditangkap militer, diinterogasi beberapa hari, sebelum dilepas. Saat itu ia tengah hamil anak kelima, Ning anak ketiga dari lima bersaudara, saat itu masih anak TK. (Usia enam tahun).
Ibunya kemudian membawa anak-anaknya ke Jakarta. (Dalam wawancara dengan satu media besar, dikatakan Ning, koper mereka dicuri di stasiun Gambir sesaat setelah turun dari keretaapi yang membawa mereka dari Solo).
Mereka menumpang tinggal sementara di rumah seorang kerabat yang sudi menolong, berumah di wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Tetapi, ibunya kemudian dijemput tentara. Ning dan satu adiknya tinggal di rumah paman itu, tak ikut ibunya. Kedua bocah cilik itu sering menangis karena kangen ibu dan ayah mereka.
Suatu hari, karena kangen ibunya, Ning dan adiknya nekat berjalan kaki dari wilayah Pondok Gede yang saat itu masih sepi ke terminal bus Cililitan; perjalanan yang cukup jauh dengan jalan kaki, apalagi bagi anak kecil, menelusuri Jalan Raya Bogor-Kramatjati-Cililitan. Modal mereka lima buah salak yang dimakan saat lapar. Syukurlah, ada seseorang yang mengenali mereka, lalu dibawa ke rumahnya.
Ning akhirnya bisa bertemu ibunya. Mereka kemudian tinggal di satu bedeng dekat kandang sapi di wilayah Cawang, Jakarta Timur. Mereka diberi tumpangan oleh seorang kenalan ayahnya yang kasihan melihat mereka. Dalam kondisi yang sangat sulit dan tetap diawasi tentara, ibu dan keempat saudaranya menjalani hari demi hari penuh derita. Uang tak ada, makanan tak bisa dibeli. Mereka sering kelaparan.
Suatu hari, Ning dan adiknya dibawa paksa tentara ke wilayah Kebayoran Lama untuk melihat ayah mereka. Ternyata, di sebuah rumah di Gang Buntu, ayahnya tengah disiksa. Tubuh ayahnya berlumur darah, digantung dengan kaki ke atas, kepala ke bawah. Ning dan adiknya sontak menangis.
Peristiwa tersebut sungguh tak mudah mereka lupakan, dan barangkali hanya bisa dihapuskan bila masa mereka di dunia ini telah selesai. Belasan tahun ditindih penderitaan, sungguh tak mudah. Kesulitan hidup seakan tak ada kata usai mendera mereka. Demi makanan dan supaya bisa bersekolah, apa saja dilakukan ibunya. Hidup mereka amat susah, tetapi Ning dan kakak adiknya tetap ingin sekolah. Pekerjaan apa saja dilakukan Ning, termasuk jadi kondektur bus jurusan Blok M-Cililitan. Suatu pekerjaan yang tak lazim bagi gadis remaja.
Ning dan saudara-saudara kandungnya tumbuh berkembang dengan tindihan derita. Rezim Orde Baru tiada ampun menghukum orang-orang PKI dan keturunan mereka.
Tentu saja bagi anak seperti Ning yang saat peristiwa berawal masih anak TK, sangat sulit memahami mengapa mereka harus mengalami semua itu. Ia tak paham kenapa ayahnya yang berstatus ningrat dan pengusaha sukses harus disiksa dan dipisahkan dari istri dan anak-anak yang amat membutuhkan.
Bisa dibayangkan betapa berat bagi ibunya menyediakan nafkah sekaligus melindungi anak-anaknya. Ia berdagang kue-kue dan kemudian bergiat di satu gereja.
Ning tumbuh di tengah situasi dan lingkungan yang amat keras, tak boleh lembek apalagi bermanja-manja. Hidup harus dilanjutkan kendati dihimpit segala jenis kesulitan.
Tamat SMP, 1974, ia masuk SMA 14, Cawang, Jakarta Timur, lulus 1977 (saya lulus dari SMA yang termasuk favorit ini, 1979). Kemudian dia “nekat” kuliah di FK UKI (Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia) yang juga berlokasi di Cawang. Biaya kuliahnya yang tak murah itu dia upayakan sendiri.
Ning termasuk lama menamatkan sekolah dokternya, 1992, sangat mungkin terhambat biaya kuliah. Setelah dapat izin praktik dokter, ia buka klinik sederhana di daerah Cileduk. Ning kemudian berteman dengan kalangan aktivis yang menentang Rezim Orde Baru.
Ia mulai tertarik politik meski pemerintah membatasi ruang gerak orang seperti dirinya: keturunan PKI, tidak bersih lingkungan. Walau tidak menonjol sebagai kader, dia pilih PDI (Partai Demokrasi Indonesia, cikal bakal PDIP). Dia tahu diri, posisinya yang tidak bersih lingkungan, tak memungkinnya aktif berpolitik.
Perjalanan waktu kemudian membuatnya kenal dan dekat ke Puan Maharani dan juga Taufik Kiemas-Megawati Soekarnoputri.
Meski dianggap “orang terlarang”, Mega dan Taufik tentu tahu latar belakang Ning, keturunan bangsawan Keraton Solo dan Yogja, ayahnya seorang terhormat pula, ningrat pengusaha yang dalam hitungan hari dihancurkan sebuah peristiwa yang disebut pemerintahan Soeharto, “Pemberontakan 30 September PKI.”
Peristiwa Reformasi 1998, menjadi momen yang amat penting bagi Ning, apalagi sejak Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI. Ia dekati tokoh NU yang moderat dan pembela HAM itu. Gus Dur pula yang mendukungnya menulis buku: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Buku yang dianggap berani dan kontroversial–meski Rezim Soeharto telah redup.
Ning tak salah membanggakan ayahnya, tentu. Baginya, lelaki ningrat yang dahulu amat dihormati orang Solo itu sosok yang tak tergantikan baginya; meski akhir hidupnya amat tragis dan Ning serta adiknya pernah dipaksa militer menyaksikan lelaki yang mereka rindukan itu digantung dan disiksa; dan dari hidung, kuping, mata, mengucur darah.
Pastilah ia menyimpan amarah, apalagi belasan tahun hidup sengsara, berpindah-pindah rumah dan sejak kecil melakukan apa pun yang bisa menghasilkan sedikit uang.
Ning yang kemudian jadi politisi PDIP dan (bisa) terpilih dua kali jadi anggota DPR, sering mengaku seorang Soekarnois. Tetapi statusnya sebagai keturunan anggota biro khusus PKI, kerap dijadikan lawan politik untuk mendiskreditken parpol berlambang moncong (banteng) putih itu.
(Dalam hal ini saya salut ke Taufik Kiemas dan Megawati, tak ragu memajukan Ning sebagai kader PDIP, meski berisiko dinilai negatif oleh yang antipati atau yang tak cukup paham histori politik pra dan pasca Orde Baru).
Karir Ning melejit di PDIP, pernah dipilih jadi Ketua Komisi IX di DPR, 2009-2014, membidangi tenaga kerja, transmigrasi dan kesehatan. Tetapi, di masanya ketua komisilah pernah terjadi kegemparan karena kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009. Ning dituduh aktor yang menghilangkan pasal mengenai tembakau dan zat adiktif. Meski namanya sempat tercoreng, ternyata dalam Pileg 2014, kembali ia berhasil mengumpulkan suara dari Dapil Jabar IV. Hasil itulah yang membuatnya kembali menduduki kursi DPR.
Sempat diisukan, dia akan menjabat Menteri Kesehatan saat Jokowi memenangkan Pilpres 2014. Konon, ketakjadiannya diangkat Menkes karena IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak dan juga dari petisi online. Ia termasuk anggota DPR yang vokal, pernah menyuarakan ketidaksetujuan kenaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan yang diputuskan pemerintah. Dia minta kenaikkan iuran tersebut dibatalkan karena membebani rakyat, apalagi saat pandemi Covid-19.
Saya tak kenal Ribka Tjiptaning atau Ning. Kebetulan saja saya juniornya di SMA 14 Jakarta dan kemudian sama kampus walau berbeda fakultas. Saya mulai tertarik mengikuti sepak-terjangnya sejak dia luncurkan buku yang kontroversial: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Gila juga ini orang, pikir saya saat itu. Buku keduanya saya baca pula (lupa judul dan masih saya cari di perpustakaan pribadi).
Pemikirannya, menurut saya biasa saja. Tak distingtif dari rata-rata politisi dan anggota DPR di negara ini. Hanya kuat menguasai isu-isu permukaan, walau itu sudah cukup jadi modal beretorika bagi politisi seperti dirinya. Personalitasnya pun–yang hanya melihatnya dari jauh– kurang menarik (Ini pandangan agak subjektif).
Yang saya kagumi dari dia, ketabahan dan kepercayaan dirinya. Gila, menurut bahasa anakmuda. Penderitaan, tekanan, rintangan, yang dia hadapi sejak usia enam tahun sebagai orang yang distigma menakutkan (yakni anaknya PKI) sungguh tak mudah saya bayangkan. Perjuangannya agar survive dan kemudian jadi dokter cum politisi, terus terang, suatu keajaiban bagi saya.
Ia sangat tangguh dan kukuh bak batu karang.
Memang ia pernah bermasalah dalam kasus hilangnya pasal tembakau di RUU Kesehatan, dan teranyar kontroversi penolakannya divaksinasi untuk menghadang Covid-19 dalam rapat DPR dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin. Ia berani menolak kebijakan presiden yang didukung partainya, membuat dirinya dikecam habis-habisan oleh warganet hingga kemudian ditegor Sekjen PDIP–walau akhirnya minta maaf.
Statusnya sebagai anaknya eks anggota biro khusus PKI pun kembali marak dihujamkan oleh para pengecam ke dirinya. (Alangkah tak adil sebenarnya, para orangtua yang terlibat di suatu parpol yang kemudian dilarang rezim yang berkuasa, keturunan mereka jadi kena stigma dan cibir, perlakuan diskriminatif dari negara).
Saya tak berniat membela Ribka Tjiptaning atau Ning melalui tulisan ini, pun tak bermaksud mendiskreditkannya, yang sama sekali tak saya kenal. Ia bukan pula figur atau seseorang yang karena pemikiran dan perbuatannya membuat saya jadi kagum, misalnya.
Tetapi, dari pikiran jujur, saya mengakui ketangguhannya. Ia bahkan sangat tangguh dan amat percaya diri. Suatu hal yang pasti sangat sulit saya lakukan atau miliki andai berposisi seperti dirinya.
Kisah hidupnya, seperti roman berisi tragedi manusia akibat pertarungan kuasa dan politik yang bukan fiksi. Itu sungguh seksi difilmkan oleh sineas, menurut saya.
Kamu baru lulus kuliah, lalu mulai mencari-cari kerja. Ternyata susah. Apalagi sekarang, imbas pandemi COVID-19 membuat perusahaan memperketat anggaran untuk menggaji karyawan baru. Lalu kamu mulai menimang-nimang apa sebenarnya yang terjadi. Selain karena jurusan yang kamu ambil diambil banyak orang juga, artinya kamu punya kompetitor yang banyak. Padahal lowongan yang tersedia jauh lebih sedikit untuk menampung kalian semua. Atau, jurusanmu kurang diminati, kamu berfikir “enak nih, pesaing sedikit”, tapi ternyata tidak diterima juga, karena kamu tidak benar-benar ahli di bidang yang kamu pelajari itu.
Sesekali kamu tergoda untuk menyalahkan kampus atau sistem pendidikan yang kamu kritik “seperti memaksa ikan memanjat pohon”. Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa, salahkan dirimu juga. Sebab kampus manapun tidak melarangmu mempelajari materi dan skill selain kurikulum yang mereka sediakan di ruangan kelas.
Atau kamu sudah bekerja. Cukup lama, tapi tidak mendapat promosi juga. Tentu tidak ada kenaikan gaji pula. Sebab keduanya berjalan seiring. Mengapa susah sekali ya? Padahal kamu merasa sudah sangat loyal kepada perusahaan. Bahkan tak pernah menulis status di medsos perihal overtime yang tak pernah dibayar. Karena kamu memang tidak menuntutnya. Kamu maklum. Apalagi sekarang, imbas pandemi COVID-19 membuat perusahaan memperketat anggaran untuk menambah gaji karyawan dan mempromosikan orang baru. Masih ada kerja saja, sebetulnya pantas disyukuri.
Tapi dalam hati sebenarnya kamu menggerutu. Selain itu, kamu juga memiliki pesaing di kantormu yang sama pekerja kerasnya denganmu, atau bahkan lebih. Kamu kan tidak melihat pengorbanan mereka setiap waktu untuk perusahaan dan bos. Sesekali kamu tergoda untuk menyalahkan atmosfer kantor atau iklim perusahaan yang kamu kritik “di kantor ini sepertinya harus jadi penjilat dulu baru diangkat”. Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa, salahkan dirimu juga. Sebab kantor dan perusahaan manapun tidak melarangmu mengembangkan skill kepemimpinan, kemauan bekerja dalam tim serta kemampuan menulis. Ketiga skill ini yang paling disukai oleh perusahaan menurut survei-survei mutakhir.
Lalu, kamu pun mulai iri dengan orang-orang kaya yang seolah tak empati denganmu, memajang potret mereka dengan seabrek kemewahan. Di pandanganmu, merekalah yang mendapat kebahagiaan yang kamu idam-idamkan. Bro, mereka tidak punya kewajiban untuk perduli dengan apa yang kau rasakan. Jadi, jangan menyiksa diri sendiri dengan menciptakan kesedihan dan iri yang tak perlu.
Mereka yang Memikirkan Cara
Tidak hanya kamu, sebenarnya banyak juga yang memikirkan bagaimana caranya memberantas kemiskinan. Bedanya, kamu memikirkan itu karena kamu alami sendiri. Kamu masih miskin hingga sekarang, saat kamu membaca artikel ini (yang ditulis oleh orang miskin juga).
Sementara mereka, sudah kaya dan mau ikut sepertimu: memikirkan bagaimana caranya memberantas kemiskinan. Mulai dari Epicurus, Stoa, hingga Mahatma Gandhi, mereka sudah memikirkan itu.
Sejak ribuan tahun yang lalu. Ternyata: kemiskinan masih ada hingga sekerang. Buktinya: kamu.
Ide Unik Mengatasi Kemiskinan
Oh iya. Ini ada berita tahun lalu. Menko PMK Muhadjir Effendy mengajurkan supaya orang kaya menikahi orang miskin sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan. Ide ‘unik’ ini lahir seiring upaya pemerintah yang konon serius untuk menurunkan jumlah keluarga miskin.
Jumlah keluarga miskin di Indonesia mencapai 9,4 persen dari total 57 juta rumah tangga pada akhir tahun 2019. Muhadjir menejelaskan bahwa ini terjadi antara lain karena perilaku masyarakat yang selalu mencari kesetaraan. Orang kaya akan memilih menikah dengan yang kaya, dan orang yang miskin akan memilih menikah dengan yang miskin. Masalahnya, jika pemuda miskin menikah dengan wanita miskin, maka lahirlah keluarga baru yang miskin.
Muhadjir berharap, ada gerakan moral yang bisa menghilangkan cara-cara pandang tersebut. Dengan cara orang kaya bersedia menikah dengan orang yang miskin. “Inilah yang kita harapkan ada gerakan moral untuk menghilangkan cara-cara pandang yang menurut saya tidak terlalu baik untuk upaya kita memotong mata rantai kemiskinan,” ungkapnya dalam video ini.
Tampaknya Muhadjir serius dengan usulannya itu. Ia sampai mengusulkan kepada kepada Menteri Agama supaya mengeluarkan fakta yang berisi “Orang kaya wajib menikahi orang miskin”. Publik menanggapi berita ini heboh. Banyak juga yang menertawakannya. Aku sendiri geli mendengar usulan seperti ini terucap dari seorang menteri. Tapi sebenarnya, aku pun tak tahu mengapa aku ikut tertawa. Bukan apa, aku, sama seperti kamu, memang serius memikirkan caranya untuk memberantas atau mengatasi kemiskinan ini. Tapi belum pernah berani mengeluarkan usulan seperti ini. Muhadjir jauh lebih hebat. Ia berani. Tentu saja, saat itu, ia seorang menteri. Entah karena ini ia kemudian diganti Jokowi dengan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan, tidak tahu juga.
Ide Unik Menuntut Eksekusi Unik
Kemiskinan dianggap sebagai akar dari kerusakan dunia. Mereka yang benar-benar miskin secara materi, tidak jarang sampai menempuh jalur kekerasan untuk sekedar menafkahi anak isteri di rumah. Menjadi kriminal. Pengangguran dan kaum miskin selalu dicurigai sebagai calon kriminal.
Ada lagi orang-orang yang miskin secara etika dan moral. Dipanas-panasin dengan ideologi agama yang jahat, mereka juga sering menempuh jalur kekerasan untuk mewujudkan utopi dan hegemoni agama mereka. Mereka yakin bahwa jika semua orang menyembah tuhan yang mereka sembah, dunia akan lebih baik. Mereka yakin bahwa jika seluruh pemeluk agama yang lain meninggalkan kepercayaannya dan “bertobat” seperti mereka, maka dunia akan lebih indah. Orang-orang ini akhirnya menjadi kriminal yang sebenarnya. Kelompok ini, tidak hanya dicurigai, tetapi memang kerap terbukti adalah kriminal.
Kemudian ada juga orang-orang yang kaya secara materi, tetapi miskin jiwanya. Mereka ini pun tidak menjadikan dunia lebih baik. Tak sedikit pula, dari orang-orang kaya inilah para kriminal tadi memperoleh senjata untuk melancarkan aksi mereka. Dari kelompok ini juga lahir penjual kata-kata, motivasi dan trik sulap yang anehnya masih dipercaya banyak orang miskin di atas. Mereka hanya duduk di mimbar rumah ibadah atau di podium seminar, lalu para pendengarnya begitu saja mau melaksanakan apa yang mereka perintahkan. Entah menjarah alam, atau menjarah rumah dan toko orang lain. Tentu saja, lebih sering terjadi, pencurian hanya berhasil kalau si tuan rumah dibunuh terlebih dahulu.
Singkatnya, kemiskinan materi dan varian kemiskinan lainnya adalah penyumbang terbesar untuk ketidakadilan di dunia ini.
Tak kurang dari seorang Thanos, ternyata ikut pula memikirkan bagaimana caranya menciptakan dunia yang lebih baik. Bagi sebagian orang, Thanos adalah pahlawan yang sebenarnya. Ia muak dengan segala macam manusia yang jahat dan struktur sosial yang melegitimasi mereka. Ia ingin menghancurkan mereka semua. Sialnya, Thanos melihat bahwa jumlah manusia yang jahat itu sudah sangat banyak. Struktur sosial yang tidak manusiawi itu pun sudah sangat mengakar, tak bisa dicabut. Maka, ia mengambil keputusan: Ia akan menghapus setengah peradaban manusia, supaya tinggal orang-orang yang baik dan benar-benar kaya saja tinggal di bumi ini.
Ide Muhadjir memang tidak segila Thanos. Lagi pula, tidak pas memparalelkan keduanya. Satu manusia dan pejabat negara, satunya lagi tokoh fiktif rekaan Marvel saja. Tapi, ada benang merah yang membuat keduanya sama: yakni kegelisahan akan kemiskinan, dan ide untuk memberantasnya.
Kembali ke gagasan Muhadjir. Sangat masuk akal sebenarnya kalau hitungan di atas kertas. Kaum kaya, menengah dan sederhana disebut sudah mayoritas (untuk nomenklatur Indonesia saat ini ya). Tinggal anak-anak mereka menikahi 9,7 persen yang benar-benar miskin tadi, mestinya berhasil. Persebaran kemakmuran dan kue ekonomi akan terealisasi.
Pertanyaannya: bagaimana kita menyuruh anak orang kaya dan menengah mau menikah dengan anak orang yang benar-benar miskin itu, atau sebaliknya?
Dijodohkan?
Aku tak yakin berhasil. Anak-anak yang benar-benar miskin saja sudah tahu membaca, atau jangan-jangan ada juga yang sesekali berkesempatan mengakses dunia lewat internet. Mereka juga tak sudi dijodohkan. Remaja putri sudah tidak lagi mau mengikuti jejak Siti Nurbaya atau Boru Nangniaga.
Dikondisikan untuk berjodoh?
Artinya, pemerintah menciptakan ekosistem pergaulan yang membuat orang miskin bisa bertemu dengan orang kaya. Mulai dari remaja, dewasa hingga di dunia kerja. Mungkin terinspirasi dengan aplikasi semacam Tinder dan aplikasi cari jodoh lainnya. Tapi pasti rumit. Sebab sehebat apapun algoritma yang dibuat, tetap saja keputusan untuk swipe kiri dan swipe kanan adalah putusan bebas penggunanya. Keputusan untuk kawin dan tidur dengan siapa adalah hak asasi manusia.
Tidak bisa.
Ide unik seperti ini Muhadjir dan Thanos butuh eksekusi yang lebih unik. Lebih gila. Lebih total lagi. Tak akan bisa berhasil kalau hanya begini.
Di tulisan sebelumnya yakni Kompilasi Pertanyaan – Imajinasi pada Seni Rupa Dua Dimensi, muncul pertanyaan berikut:
Bagaimana cara kita menentukan atau menilai bahwa karya seni rupa dua dimensi tersebut merupakan sebuah karya yang baik/bagus. Apa hal yang mendasar yang perlu kita ketahui untuk menilai karya tersebut?
Kita ambil contoh karya seni rupa dua dimensinya adalah lukisan. Terhadap lukisan, ada dua pengalaman manusia sebagai subyek yang mengamati, yakni pengalaman menikmati dan pengalaman memahami.
Menikmati lukisan tidak sama dengan memahami lukisan. Sebagian orang, bisa begitu terpesona saat melihat sebuah lukisan lalu kemudian spontan juga ingin memilikinya. Namun ketika ditanya kenapa ia tertarik, ia tidak bisa menjelaskannya. Bila dipaksa untuk menjawab, jawabannya bisa berkisar antara suka dan tidak suka, senang dan tidak senang. Pada level ini, seseorang belum bisa mengatakan apakah sebuah lukisan bagus atau tidak.
Tetapi pada sebagian orang, justru ia bisa menjelaskan secara rinci dan logis kenapa ia tertarik pada sebuah lukisan, terlepas apakah ia ingin memilikinya atau tidak. Pada level inilah, seseorang baru bisa mengatakan apakah sebuah lukisan bagus atau tidak.
Berbeda dengan menikmati, memahami lukisan justru bukan dengan melibatkan unsur psikologis (emosional). Jika pada menikmati seseorang bisa saja merasa lebur, terserap bahkan hanyut secara kejiwaan saat melihat sebuah lukisan, maka pada memahami, seseorang harus dalam keadaan sadar (diri).
Harus ada jarak antara dirinya sebagai pengamat dengan lukisan sebagai objek yang diamati. Seperti dikatakan Edward Bullough (1800-1934), seseorang harus membebaskan diri dari segala pengaruh ketika akan memahami sebuah karya seni, karena keterlibatan emosional akan menyebabkan penilaiannya menjadi sekedar pembenaran dari kecendrungan pribadi.
Karena itu penjelasan menyukai sebuah lukisan karena tertarik dengan pilihan objeknya, atau karena merasa terharu saat melihatnya, misalnya, bukan merupakan ungkapan dari sebuah pemahaman.
Memahami, lebih melibatkan sisi intelektual ketimbang emosional. Karena dalam prakteknya, memahami juga berarti memberikan apresiasi, dimana seseorang akan menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap lukisan, hal ini juga berarti seseorang akan melakukan penalaran, dan ini tidak mungkin dilakukan dengan melibatkan emosi, melainkan harus dengan menggunkan logika dan argumentasi, sehingga sebuah pemahaman bisa dijabarkan secara meyakinkan dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Seseorang yang menyatakan bahwa sebuah lukisan sangat menarik karena objek dan warna yang digambarkan mengingatkannya pada suatu pengalaman tertentu, misalnya, bukanlah suatu penjelasan yang logis dan meyakinkan, tetapi merupakan penjelasan emosional, karena dasar penjelasannya masih hubungan antara pengalaman pribadi dengan unsur yang ada pada lukisan.
Karena yang dijelaskan bukanlah tentang respon psikis dari yang mengamati, melainkan adalah tentang karya itu sendiri, maka dalam memahami akan membutuhkan wawasan seni sebagai dasar untuk melakukan pemahaman. Paling tidak, diperlukan empat pengetahuan dasar untuk memahami sebuah lukisan.
Pertama, pengetahuan akan unsur-unsur seni rupa, yaitu pengetahuan tentang garis, bidang, bentuk, tekstur, gelap terang dan warna. Semua unsur inilah yang membentuk sebuah lukisan. Sebuah lukisan akan bisa dinilai berdasarkan hal ini, yaitu bagaimana kesan, efek dan kualitas dari setiap unsur yang digambarkan.
Kedua, penataan unsur-unsur seni rupa. Ini juga disebut dengan istilah komposisi, yaitu bagaimana pengaturan dan pengkombinasian semua unsur seni rupa. Dengan mengetahui hal ini, misalnya, akan bisa dinilai bagaimana komposisi bidang, warna dan apa yang menjadi pusat perhatian pada sebuah lukisan.
Ketiga, aspek teknis dalam melukis, yaitu pengetahuan tentang alat, bahan dan teknik-teknik dalam melukis, sehingga sebuah lukisan bisa dinilai kualitasnya dari segi material sekaligus ketahanannya.
Keempat, semiotika, yaitu pengetahuan tentang tanda dan simbol. Prinsip dasar dari kajian ini adalah bahwa setiap unsur seni rupa pada sebuah lukisan merupakan simbol dari makna tertentu, sehingga dengan menggunakan pengetahuan ini, akan bisa ditafsirkan apa kemungkinan makna yang tersirat dibalik sebuah lukisan.
Demikianlah antara menikmati dan memahami lukisan. Dalam prakteknya, tidak jarang kedua hal ini bercampur baur, tidak mudah memisahkannya secara tegas. Seseorang bisa mengaku, bahkan bersikeras mengatakan sangat mengerti terhadap lukisan. Namun bila dicermati, apa yang ia jelaskan sebagai mengerti (memahami), pada intinya tidak lebih dari tindakan menikmati, dan begitu juga sebaliknya.
Kepekaan seseorang dalam menikmati lukisan, misalnya, pada akhirnya bisa dijadikan faktor pendukung dalam meningkatkan pemahaman agar lebih utuh dan mendalam. Begitu juga sebalikanya, pemahaman seseorang akan lukisan akan bisa memicu dan menambah kepekaannya dalam menikmati lukisan. Dengan catatan, yang bersangkutan bisa menjaga dan menukar keterlibataannya secara sadar di wilayah mana ia akan berada.
Karena meskipun bisa saling mempengaruhi, keduanya tetap memiliki sifat, cara kerja dan manfaat yang berbeda: menikmatiadalah untuk merasakan lezatnya sebuah lukisan, sedangkan memahamiuntuk mengerti kenapa lukisan itu enak dilihat.
Bonus skesta hasil coretan my lil Bro, Jeswit Haromunthe. (Kalau penasaran silahkan cek langsung ke akun Instagramnya)
Oke. Ini cara untuk menilai karya seni rupa. Untuk menilai seni musik bagaimana? Baca disini.
Dari protofonnya, polisi Ray Mandel (diperankan Thomas Jane) mendapat info dari markas polresnya bahwa dia mendapat tugas mendampingi anak baru untuk patroli di jalan raya. Nama anak baru itu Nick Halland (diperankan Luke Kleintank).
Itulah awal perkenalan kedua partner penegak hukum ini. Adegan berikutnya dalam film Crown Vic (2019) ini berkisah tentang petualangan mereka berhadapan dengan penjahat, pengedar narkoba, preman dan orang-orang jahat lainnya.
Selain sinematika yang keren, dialog intens antara keduanya pun menarik. Pantas saja, Director Screenwriternya adalah Joel Souza.
Hanya dalam satu sif jaga, dari petang hingga menjelang pagi, banyak pelajaran yang bisa diambil dari percakapan Ray dan Nick. Ray akhirnya memiliki anak baru untuk diajarinya berpatroli setelah 25 tahun. Bagi Nick, ini adalah hari pertamanya bertugas setamat dari akademi kepolisian.
Mereka pun terlibat pembicaraan menarik selama sif itu di sela-sela tugas yang mengharuskan mereka berlari mengejar penjahat atau bertemu dengan orang iseng yang melempari mobil mereka dengan batu bata. Atau pengemudi yang sengaja menerobos lampu merah di depan mereka.
Setidaknya ada dua tema menarik yang bisa kita ambil dari Crown Vic ini. Pertama, tentang filosofi kerja. Kedua, tentang filosofi sebuah relationship (entah dalam berpacaran maupun perkawinan)
Filosofi Bekerja.
Ray: Ada satu hal penting yang harus kau ingat selama patroli ini, Nick. Ada dunia kita di dalam mobil polisi ini. Lalu, ada dunia lain, yakni apapun di luarnya. Seperti yang kau lihat, mobil ini dilapisi logam dan kaca. Kau harus menghormati peralatan yang diberikan kepadamu. Ucapkan dengan lantang, “kau harus menghargai peralatan yang dipercayakan padamu”.
Nick: Serius, aku harus mengucapkannya dengan lantang?
Ray: Ucapkan dengan lantang. Aku serius. Cek rover-nya. Periksa baterinya. Lihat rompimu. Persnelling dan remnya. Sini coba, senjata macam apa yang mereka berikan padamu. Oh. Pistol 6262 dengan 16 peluru. Wow. Kuharap kau merawatnya. Jangan sampai lupa membersihkan residunya. Jadi, ucapkan sekali lagi, aku harus menghargai alat yang diberikan kepadaku ini. Paham?
Nick: …
Ray: Di dalam mobil ini, kuhabiskan umurku 25 tahun. Kau pun, mulai dari hari pertamamu, akan begitu. Di luar mobil ini, semua orang bisa jadi adalah kriminal. Orang yang hari ini kau selamatkan, bisa jadi besok dia yang akan membunuhmu. Banyak orang akan membencimu karena itu. Bahkan partnermu di lapangan, hari ini melindungimu tetapi kemudian menjebakmu. Kuharap kau sudah menyadarinya sejak hari pertama kau di akademi kepolisian. Orang-orang bisa beristirahat dengan nyenyak di tempat tidur mereka pada malam hari karena ada orang-orang yang bersedia melakukan kekerasan untuk melindungi mereka.
Nick: …
Ray: Dengar. Camkan baik-baik apa yang akan aku katakan ini. Karena setelah malam ini hanya akan ada dua pilihan. Entah kau akhirnya memahami bagaimana melakukan pekerjaan itu atau pekerjaan ini yang akan memakanmu hidup-hidup. Ingat, ada dunia sendiri di dalam mobil ini, dan dunia lain di luarnya. Ketika kau patroli, setiap orang yang kau lihat, yang tidak mengenakan seragam seperti yang kau kenakan, mereka adalah orang yang sudah pernah duduk di kursi tahanan ini atau yang akan duduk di sana. Semua orang. Pokoknya siapa saja yang bukan polisi, kau bukan bagian dari mereka lagi. Sekarang, yang ada adalah kita berhadapan dengan mereka. Paham? Kau adalah anjing penjaga, mereka dombanya. Saat ini kau selamatkan satu orang, besok bisa jadi orang itu yang akan berbalik menyerangmu.
Filosofi Perkawinan
Ray: Nick, apakah kau percaya dengan pasanganmu?
Nick: Ya. Tentu saja. Aku percaya padanya.
Ray: Terus, mengapa dia terus mengirim SMS dari tadi sejak kita mulai patroli? Darimana kau tahu bahwa dia tidak sedang pria lain, lalu sekedar ingin memastikan posisimu tidak sedang berada dekatnya dan memergokinya secara tiba-tiba?
Nick: Bro … Kau sedang membacarakan istriku loh.
Ray: Mengapa kau berfikir bahwa karena dia isterimu, kau lantas melepas penjagaanmu? Apa kau pikir karena cincin yang kau kenakan melingkar di jarinya tiba-tiba dia tidak berani keluar dan bertemu orang lain?
Nick: Tolong, berhentilah membahas isteriku. Kami sudah lama pacaran sebelum menikah. Sejak SMA sudah saling mengenal.
Ray: Justru itu. Apakah menurutmu, karena sudah lama denganmu, ia tidak penasaran bagaimana rasanya dengan pria lain. Tak ada satu orangpun yang benar-benar mengenal orang lain.
Nick: Caramu memandang orang aneh sekali.
Ray: Bro, satu-satunya orang yang persis kau kenal adalah dirimu sendiri.
Nick: Maaf, tapi kau sudah dua kali menikah. Kau sudah mengalami banyak hal. Apakah kau tidak rindu ketika kau pulang ke rumah sehabis jam kerja yang melelahkan, ada yang menyambutmu di rumah?
Ray: Kalau itu, pelihara anjing saja.
Nick: Hmmm … Setidaknya, ketika kita meninggal, kita tidak sendirian. Ada orang di samping kita.
Ray: Bro, orang mati itu sendiri. Setiap orang mati sendirian.
Realistislah. Bekerja. Lalu, bekerja hingga semangat bekerja menyatu dengan nafasmu. Sampai mimpimu menjadi kenyataan. Kalaupun kamu memiliki usaha sendiri, kamu justru harus bekerja lebih giat untuk memajukannya. Menjadi bos atas usahamu sendiri berarti kamu mesti bekerja lebih giat dua kali lipat dibandingkan ketika kamu masih menjadi karyawan dan masih bermental buruh.
Sekalipun kamu anak orang kaya, kamu tetap punya PR untuk dikerjakan. Orangtua sudah menitipkan kekayaannya dalam bentuk saham, tanah, perusahaan dan kamu tidak perlu menjadi karyawan disana? Kamu masih harus menjaga hubungan dengan para pengelola harta dan investasi. Karena jika tidak, bisa-bisa hartamu digerogoti tanpa kamu sadari.
Bisnis Monyet
Bisnis monyet dan kamu menjadi korbannya terjadi karena kamu tidak realistis.
Tidak ada yang salah dengan kamu tiba-tiba senang memelihara bunga janda bolong. Tetapi lakukanlah sebagai kesenangan tanpa harus menggadaikan mobilmu untuk membeli bibitnya, lalu kamu merasa bahwa hanya kamu yang tahu ‘rahasianya”: kalau bibit bunga ini kubesarkan, nanti mobil Avanza yang sudah kulepas untuk membelinya, akan berganti menjadi Mini Cooper atau Lamborghini. Bisa saja itu terjadi, tapi tidak pasti.
Tidak ada yang salah dengan kamu yang tiba-tiba tercerahkan setelah mengetahui bahwa rupiah yang bisa diraup dari AdSense Youtube ternyata bisa besar sekali. Kamu senang menonton video dan membagikan video Youtube, misalnya. Tetapi lakukanlah sebagai kesenangan tanpa harus menggadaikan waktu dan hubungan pertemanan. Lalu kamu merancang sebuah skema. Kamu merasa bahwa hanya kamu yang tahu ‘rahasianya’: kalau angka view video ini sudah banyak karena referral dariku, aku akan segera punya mobil dan rumah mewah. Soal teman-teman yang kujadikan downline (tapi kusanjung dengan sebutan partner), nggak urus. Aku akan sukses besar. Bisa saja itu terjadi, tapi tidak pasti.
Persisnya, bisnis monyet (monkey business) itu seperti apa sih? Bisa dijelaskan dengan sederhana?
Karena jiwamu sebenarnya masih anak-anak, meski badanmu besar dan jabatanmu mentereng, penjelasan lewat cerita masih yang efektif untukmu. Soalnya kalau yang teoritis dan formil, sudah banyak buku dan ahli yang mengulasnya, tapi kamu tidak pernah mau membaca. Atau kamu baca, tetapi kamu tidak mengerti.
Ini sudah ditulis dimana-mana juga. Di Kompasiana, blog Parpining, KoinWorks dan laman lainnya. Kuulanglah supaya kamu baca lagi. Begini.
Suatu hari di sebuah desa, seorang yang kaya raya mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp. 50,000,- per ekor. Padahal monyet disana sama sekali tak ada harganya karena jumlahnya yang banyak dan kerap dianggap sebagai hama pemakan tanaman buah-buahan. Para penduduk desa yang menyadari bahwa banyak monyet disekitar desapun kemudian mulai masuk hutan dan menangkapinya satu persatu. Kemudian si Orang Kaya membeli ribuan ekor monyet dengan harga Rp. 50,000,- .
Karena penangkapan secara besar-besaran akhirnya monyet-monyet semakin sulit dicari, penduduk desa pun menghentikan usahanya untuk menangkapi monyet-monyet tersebut. Maka si Orang Kaya pun sekali lagi kembali mengumumkan akan membeli monyet dengan harga Rp 100,000 per ekor. Tentu saja hal ini memberi semangat dan “angin segar” bagi penduduk desa untuk kemudian mulai untuk menangkapi monyet lagi. Tak berapa lama, jumlah monyet pun semakin langka dari hari ke hari dan semakin sulit dicari. Kemudian penduduk pun kembali keaktifitas seperti biasanya, yaitu bertani.
Karena monyet kini telah langka, harga monyet pun meroket naik hingga Rp. 150,000,- /ekornya. Tapi tetap saja monyet sudah sangat sulit dicari. Sekali lagi si Orang Kaya mengumumkan kepada penduduk desa bahwa ia akan membeli monyet dengan harga Rp 500,000,- per ekor! Namun, karena si Orang Kaya harus pergi ke kota karena urusan bisnis, asisten pribadinya akan menggantikan sementara atas namanya.
Dengan tiada kehadiran si Orang Kaya, si Asisten pun berkata pada penduduk desa: “Lihatlah monyet-monyet dikurungan besar yang dikumpulkan oleh si orang kaya itu. Saya akan menjual monyet-monyet itu kepada kalian dengan harga Rp 350,000,- / ekor dan saat si Orang Kaya kembali, kalian bisa menjualnya kembali ke si Orang Kaya dengan harga Rp 500,000,-/ekor. Bagaimana?”
Akhirnya, penduduk desa pun mengumpulkan uang simpanan mereka, menjual aset bahkan kredit ke bank dan membeli semua monyet yang ada di kurungan.
Namun …
Mereka tak pernah lagi melihat si Orang Kaya maupun si Asisten di desa itu. Dan seluruh penduduk desapun dalam sekejab jatuh miskin dan banyak hutang. Penduduk desa itu depresi dan frustrasi massal. Beberapa bahkan harus dirawat di rumah sakit jiwa yang ada di kota karena kondisinya yang memprihatinkan. Sementara itu, pihak keluarga tidak punya uang lagi untuk membiayai perawatannya yang cukup mahal. Harta yang ada sudah digadaikan untuk membeli monyet.
Jualannya bukan hanya monyet
Inilah Wall Street. Dimana ada sebagian kecil orang yang mencoba untuk membodohi semua orang lain. Dan, sayangnya, ini lebih sering berhasil daripada gagal. Mengapa? Karena ada legenda dan mistik disana, bahwa kalau kamu cukup cerdik, kamu tinggal jentikkan jari, pohon uang muncul. Apapun yang kamu sentuh, kamu bisa pastikan akan menjadi emas. Seperti Midas.
Dari Wall Street, legenda dan mistik itu berangsak masuk ke Indonesia. Hebatnya, oleh banyak orang ia diperbincangkan dan dipraktekkan seolah ia menjadi kebenaran. Trik dan tips untuk menjadi Midas pun dibagikan. Aktifitas untuk melaksanakan berbagai strategi yang dipercayai manjur itu menjadi kebiasaan. Menjadi budaya (dalam arti negatif) menipu dan membodohi orang,
Tentu saja, jualannya tidak lagi sesederhana monyet seperti pada kisah fiktif anonim diatas.
Hati-hati Sahabat. Jangan terjebak!
Bisa jadi jualannya sekarang adalah komoditas seperti ikan Arwana,
Seperti ikan Lohan,
Seperti batu Akik,
Seperti ikan Guppy.
Kuharap sudah jelas ya. Dalam dunia bisnis, Monkey Business bukan berarti bisnis monyet secara harafiah, namun bisnis yang diibaratkan seperti monyet yang ketika dia mendapatkan makanan/keuntungan, kemudian akan lari/kabur.
Seperti bunga gelombang cinta,
Seperti burung love bird,
Tokek atau tekek harga 1 miliar
Bunga janda bolong harga 100 jutaan Money game .. dan masih banyak lagi.
Judi bahkan lebih masuk akal. Itupun, semasuk akalnya judi, tetap tidak bisa kamu prediksi. Itulah sebabnya, tayangan “God of Gamblers” yang hebat diperankan Andy Lau itu, jangan lupa, itu hanya adegan film.
Kembali ingat petuah yang diberikan padamu sebelum diberangkatkan dari kampung untuk merantau ke kota besar:
Tetaplah curiga. Bahasa dan penyampaian boleh optimis dan bersemangat, tapi tetaplah curiga pada sesuatu yang berlebihan.
Sude na palobihu, dang toho. Molo tarsor toho, dang denggan.
Kamu masih menyimpan niat untuk berkunjung ke Raja Ampat. Atau ingin membuka usaha sendiri. Atau berkunjung ke Paris, supaya kamu juga bisa selfie membelakangi menara Eiffel yang ikonik itu dengan kekasihmu. Atau menjadi backpacker dan mengelilingi Indonesia dari Aceh hingga Papua. Atau menjadi warga kosmopolitan yang bebas bepergian kemana saja. Atau bergabung dengan salah satu NGO di sebuah negara yang jauh. Atau ingin berhenti dari pekerjaanmu sekarang dan hendak menulis buku. Kamu selalu ingin menggapai semua mimpi itu. Bahkan, sekedar memikirkannya pun ada rasa senang membuncah di dadamu. Masih, hingga sekarang.
Tapi lalu kamu menyalahkan lingkunganmu karena kamu tidak bisa mencapai semua itu. Kamu mencari-cari kesulitan praktis yang bisa terjadi di lapangan. Kamu merasa bahwa sistem tidak pernah adil untukmu. Lalu, sembari mematut diri di depan cermin kamu berkata: INI bukan saat yang tepat. Lalu kamu menunggu. Nanti, kalau aku sudah berumur 35 tahun, kalau aku sudah resign dari kantor, setelah wirausaha yang kugeluti menghasilkan ratusan juta rupiah, setelah ini dan itu. Ada target jangka menengah, ada target jangka panjang. Beberapa sudah tercapai. Tapi kamu tidak kehabisan alasan untuk membela diri mengapa kamu tidak bisa menjalani semua mimpimu itu sekarang. Pokoknya, kamu punya seribu dalih.
Di benakmu, tergambar sekian paket detail yang lengkap dengan segala kerumitannya. Tentang akan seperti apa hidupmu nanti. Akan tinggal dan menetap dimana. Orang-orang seperti apa yang nanti berada di sekelilingmu. Prestasi apa saja yang akan kamu dapatkan. Pengembangan pribadimu. Situasi keuanganmu. Pacarmu yang baru. Masa depanmu yang cerah dan bahagia selamanya. Kamu memikirkan semuanya. Dan ini kamu lakukan setiap kali kamu melewatkan mimpimu yang tidak terwujud. Setiap kali kamu lalai melakukan apa yang perlu untuk mewujudkan mimpi itu.
Apakah kamu memang menginginkan akan selamanya bekerja selama 16 jam sehari? Atau masa depan dimana kamu bahkan mengepel lantai kantormu sendiri? Atau, sendiri di sebuah koskosan sempit, sibuk menulis dan merancang jam kerja untuk periode 5 tahun? Apakah kamu pernah kepikiran untuk keluar sebentar, menyepi ke sebuah desa yang sunyi untuk menyelesaikan sebuah masalah? Atau, apakah dalam mimpimu kamu juga sudah memiliki komitmen untuk hanya makan telor mata sapi dan nasi putih selama enam bulan supaya rencana trip ke Raja Ampat akhirnya kesampaian?
Mimpi memang penuh bunga-bunga. Makanya disebut mimpi. Atau, bisa jadi itu mimpi buruk. Mimpi yang kita pelihara tidak bertanggungjawab apapun ke kita, selain untuk menginspirasi kita. Untuk membakar semangat kita sehingga kita mau berjam-jam melakukan sesuatu yang kita benci. Hal-hal yang harus kita lakukan. Tidak ada pilihan lain. Jalan yang berbatu dan penuh duri. Tidak ada karpet lembut sehalus beludru disana. Bermimpi itu enteng, tapi jalan ke sana penuh rintangan.
Lalu kamu memotivasi diri sendiri untuk jatuh cinta dengan proses yang kamu alami sekarang. Dengan kebosanan. Dengan rasa sakit dan monotonnya rutinitas harian. Kamu takut untuk melangkah keluar dari tempat kerjaanmu yang nyaman dengan kursi empuk dan kolega yang santai diajak bersenda-gurau. Kamu benar. Mengejar mimpi memang bukan untuk semua orang.
Itu selalu yang kamu pikirkan. Apakah sebaiknya aku mulai mengejar mimpiku?Pikiranmu sendiri yang menjawabnya. Atau malah mempertanyakannya balik. Mengapa? Mengapa harus sekarang? Memangnya apa yang akan terjadi denganku kalau aku sudah pergi ke Raja Ampat? Benarkah yang kudambakan itu setimpal dengan harga yang harus kubayar? Benarkah akan membuatku bahagia? Layakkah mimpi ini kukejar? Lalu, bagaimana nanti dengan teman-teman, keluarga, dan pacarku? Bagaimana nanti dengan dana yang sudah kutabung sekian lama itu? Apa kata orang nanti?
Lalu kamu perlahan memahami bahwa apapun yang terjadi dengan mimpimu, semuanya tergantung padamu. Kemalasanmu. Ketakutanmu. Kemudian kamu akhirnya menyerah. Mau apapun ceritanya – aku memang malas atau tidak mampu mengatasi segala ketakutan dan keraguanku, memang sudah itu mungkin takdirku.
Kamu pun stuck, jalan di tempat. Dalam karir. Dalam relationship. Dalam hal keuangan. Kamu tidak maju, tidak juga mundur. Kamu tahu bahwa suatu saat nanti kamu harus mundur sedikit untuk kemudian membuat lompatan besar. Nggak mungkin akan selamanya begini kan?
Kemudian kamu mulai mengambil langkah pertama. Lakukan cek ombak. Kamu mulai pencet smarphone, booking trip ke Raja Ampat yang sudah lama kamu idamkan itu. Lalu kamu berfikir bahwa nanti kamu akan merancangnya lebih jauh. Pokoknya satu-satu dulu. Kemudian kamu mulai berani bertemu dengan orang-orang, para pengusaha, investor atau entrepreneur muda yang mungkin tertarik untuk bergabung denganmu mendirikan sebuah bisnis. Lalu kamu rajin bertukar kartu nama. Jariganmu kamu perluas.
Tetapi, kamu kemudian stuck lagi. Kamu sudah di pintu gerbang menuju mimpimu, dan sadar bahwa sudah berada disana untuk waktu yang cukup lama. Kamu lalu frustrasi, putus asa. Kamu ingin menjangkau lebih dan melompat lebih tinggi, tapi sekeras apapun kamu berusaha, tidak bisa. Pokoknya, tidak bisa melanjutkan ke langkah berikutnya.
Kemudian kamu melihat mimpimu dari kejauhan. Angan yang dulu terlihat sangat jelas di depanmu, kini seolah kabur, pergi meninggalkanmu. Akhir dari perjalanan ini tampaknya tak seindah yang pernah kamu pikirkan ketika pertama kali bermimpi.
Akhirnya, kamu berhenti mencari. Kamu berhenti bermimpi. Kamu melakukan apa saja yang bisa dilakukan, pokoknya menyelesaikan apapun yang sekarang sedang kamu lakukan. Tujuannya: naik ke level berikutnya. Itulah perjuangan. Survival. Atau entah sebutan apapun yang kamu sematkan. Kamu menuntaskan apapun yang bisa kamu tuntaskan, mengerjakan apa yang bisa kamu kerjakan. Kamu tidak lagi mengejar mimpi. Sekarang, kamu sekedar menjalani hidupmu saja. Tidak lagi melihat ke masa lalu, tapi hari ini. Apapun yang kamu lakukan saat itu, bisa jadi itulah sauh yang akan kamu gunakan berlabuh. Bisa jadi itulah lompatan yang kamu inginkan. Itulah tali yang kamu pegang sehingga kamu bisa melangkah ke tahap berikutnya tanpa harus tergelincir ke bawah lagi.
Setiap pembaca tulisanmu penting. Setiap pendengar lagumu penting. Setiap pengikut di Instagram, Twitter, dan Facebook, itu penting. Setiap orang yang datang mengunjungi bisnismu penting. Setiap orang yang memberi ulasan atas apapun karya yang kau buat, itu penting. Terima, simpan, dan jagalah semua itu. Dan konsisten melakukannya sepanjang waktu. Kamu mencoba dan belajar dari setiap orang, dari apapun. Tidak ada yang remeh, tidak ada yang paling berbobot. Kini mimpimu bukan mimpi lagi.
Zaman sekarang, hampir semua kita memiliki akun media sosial (medsos). Entah Facebook, Line, Instagram, maupun yang lainnya. Kalian teman-temanku yang orang Batak juga tentu tidak ketinggalan.
Sesuai fungsi awal media sosial, yakni untuk menghubungkan orang kendati berjauhan tempat, maka momen-momen penting dalam hidup kita juga kerap kita bagikan. Momen ulang tahun misalnya. Bahkan, aplikasi Facebook mengingatkan teman kita kapan kita ulang tahun tanpa harus kita poskan (jika kita mengizinkan si Facebook untuk mengingat dan memberitahukannya kepada teman-teman kita setiap tahun).
Lalu biasanya akan ramai orang mengucapkan selamat ulang tahun. Umumnya ucapan yang berisi harapan dan doa. “SUT”. “HBD”. “Happy Birthday ya”. Beberapa teman jahil, misalnya kerap memplesetkannya menjadi “Selamat Hari Burung ya”. Ini pun terjemahan dari ucapan plesetan juga, yakni “Happy Bird Day”, yang secara pengucapan terdengar mirip dengan Happy Birthday. Ya, kuterima saja karena benar aku tahu maksudnya, sama-sama pemilik burung alias pidong. Kalau kamu masih nanya, “kok bisa jadi pidong, konteksnya apa?”, mungkin karena kita masih belum berteman. Hahaha.
Ketika kita baru memiliki jumlah teman medsos yang tidak begitu banyak, tidak akan menjadi masalah. Kita bisa membalasnya satu persatu tanpa menyita waktu banyak. Tapi bagaimana kalau teman kita sudah berjumlah ratusan bahkan ribuan? Pasti akan repot jika harus membalas satu persatu. Bisa-bisa kita didamprat bos karena asyik bermedsos ria membalas ucapan selamat, lupa kerjaan. Nah, salah satu solusi yang kurasa efektif supaya teman-teman yang mengucapkan selamat tidak berkecil hati adalah membalasnya sekaligus dengan pantun (umpasa). Biasanya metode ini lebih menarik dibandingkan dengan postingan balasan yang serba formal, filosofis, apalagi sampai kita ceritakan ulang proses kelahiran kita sampai mencapai umur sebanyak angka yang sedang dirayakan. Percayalah. Kebanyakan teman juga tidak mau tahu apakah kita waktu itu lahir di rumah sakit, di bidan atau di tangan Sibaso.
Seorang teman Facebook, Deni Lumbantoruan, yang juga dosen di King’s College London membuat ucapan balasan berupa pantun dalam 3 bahasa sekaligus, yaitu bahasa Batak Toba, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Ini dia pantun dan umpasa-nya.
(Bahasa Indonesia):
Bunga melati bunga dahlia,
Sungguh tajam keharumannya.
Betapa hati merasa bahagia,
Atas ucapan dan doa-doanya.
(Hata Batak Toba)
Songgop si Ruba-ruba tu dangka ni si Hapadan, Angka hata nauli dohot tangiang na dipasahat hamuna, sai dijangkon tondi ma dohot badan.
(English):
Queen lives in Windsor, Johnson lives in Downing Street, Fill my days with hope, Know that I am loved.