Menarik membaca postingan dari media online setempat yang mengisahkan perjalanan Pak Raja Sianturi sebagai salah satu dari 55 penumpang terbang perdana Garuda untuk trayek Jakarta – Silangit.
Berikut penggalan berita dari laman Suara Tapanuli yang diberi judul “Bangganya Jadi Penumpang Terbang Perdana Garuda Jakarta-Silangit” itu.
Penerbangan perdana pesawat Garuda Indonesia jenis CRJ 1000 dari Soekarno-Hatta Jakarta ke Bandara Silangit Taput, Selasa (22/3) mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan masyarakat Tapanuli.
Namun siapa sangka peristiwa bersejarah ini hanya dimiliki oleh segelintir orang, hanya 55 orang. Beberapa di antaranya adalah keluarga Raja Sianturi. Pria asal Tanah Batak ini kini sudah tinggal menetap dan bekerja di Jakarta. Mereka mengaku bangga dan sangat senang bisa menjadi bagian dari sejarah kian berkembangnya kawasan apanuli tersebut.
“Kami sangat menikmati penerbangan perdana ini. Tidak ada goncangan yang berarti saat berada di udara yang membuat kita kadang merasa takut. Begitu nyaman,” tutur Raja setibanya di Silangit.
“Kami dengar jadwal penerbangannya tiga kali dalam seminggu. Itu bagus sekali, saya yakin kawasan Tapanuli ini akan cepat berkembang, dan bukan tidak mungkin nanti jadwal penerbangan menjadi ada setiap hari,” katanya.
Sebelumnya, sambung Raja, jika dirinya ingin pulang kampung biasanya terbang dari Jakarta ke Medan, kemudian menempuh jalur darat ke Tapanuli. Itu membutuhkan waktu berjam-jam. Tapi dengan adanya rute baru ini, waktu dan tenaga menjadi jauh lebih efisien.
Primum Impressum
“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”.
Ini adagium yang dipegang oleh setiap marketer yang memberi kebebasan penuh kepada siapapun calon pembeli atau pelanggan. Seperti kisah Pak Raja Sianturi yang bersedia kisah curhatnya dituliskan, dia telah menjadi bagian dari primum impressum-nya Garuda. Sejatinya, Garuda bukanlah maskapai pertama yang terbang ke Silangit, tetapi mengingat besarnya brand image Garuda dibanding kompetitor domestik, maka pengalaman pertama menaiki Garuda ini akan tetap berbunyi lebih “wah” dibanding ratusan flight yang sudah ada sebelumnya.
Dan sebagaimana biasanya, impressum ini akan menjadi katalisator bagi brand management selanjutnya dalam konteks yang lebih luas.
Maksudnya bagaimana?
Sekian persen keyakinan pembaca anti-pariwisata (yang sebelumnya meragukan komitmen dari pemerintah dan swasta untuk mempercepat pengembangan Kawasan Pariwisata Danau Toba bagi pertumbuhan ekonomis rakyat setempat) akan bertambah. Seiring dengan gebrakan branding yang lain (semoga berjalan simultan dan serentak), keyakinan dari para pembaca testimolni semacam ini terutama warga setempat ini akan menyuburkan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.
Mengikut jejak pak Raja sebagai konsumen Garuda, berikutnya kita akan semakin tertarik mendengar testimonial lainnya terhadap berbagai bentuk pelayanan di destinasi wisata Danau Toba:
“Bangganya Jadi Peyicip Pertama Kopi Humbang Dalam Kemasan Semewah Starbucks” (Memangnya sudah ada, saya tidak tahu. Kalau belum ada, berarti ini blue ocean market. Pangsa pasar segar yang bisa disasar dan dimulai oleh para barrista coffee yang ingin membuka usaha sendiri)
“Bangganya Jadi Panortor Pertama Mengisi Konvensi Internasional di Hotel Bintang Lima Kawasan Danau Toba” (Saat ini belum dibangun. Tetapi, jika kawasan pariwisata Danau Toba nanti benar berhasil menjadi destinasi wisata kelas dunia, ini adalah keniscayaan).
“Bangganya Jadi General Manager Hotel Pribumi Pertama di Swiss Belhotel – Silangit” (Saat ini juga belum ada. Tapi akan ada. Idem dengan yang di atas) Dan akan ada untaian “bangganya”-“bangganya” yang lain.
Ini saatnya bagi setiap warga lokal yang ingin mencari opportunity di tengah pengembangan destinasi Danau Toba. Kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka selama ini, lalu mengidentifikasi ke sektor mana mereka bisa berkecimpung, berjuang, bersusah-payah, dan berprestasi di sana.
Hasil akhirnya, selain dapur tetap bisa mengepul, ialah kebanggaan-kebanggaan seperti di atas yang sulit ditukar nilainya dengan rupiah semata.
Impressum mesti sustainable
Tentu kebanggaan hanya bisa muncul jika kesan pertama atau primum impressum berlanjut dengan secunda impressum, tertium impressum, dan seterusnya.
Dalam konteks branding pariwisata Danau Toba, ini berarti komitmen untuk sustainability. Bukan apa, soalnya, setiap kesan pertama itu bisa disulap. Jika pengembangan KSPN Danau Toba mesti diletakkan dalam konteks sustainable and holistic ecotourism, maka gebrakan branding-nya juga mesti demikian.
Kopi Humbang, Kopi Sidikalang, Kopi Simalungun atau daerah lain dari kaldera Toba yang lain tidak akan singgah di lidah para penikmat kopi di resto sebuah hotel jika tidak mengikuti standar peracikan kopi yang seorang barrista coffee pun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mahir menguasainya.
Sulit dibayangkan bahwa EO sebuah konvensi berkelas internasional akan menandatangani kontrak dengan para penari tortor yang tidak terorganisir dengan baik.
Para hotelier, entah pribumi dari kawasan Danau Toba atau bukan, tidak akan dilirik oleh operator hotel kelas internasional jika tidak memiliki rekam jejak yang baik.
Yang bertahan hingga akhir, ialah mereka yang selalu menciptakan kesan kedua, ketiga dan ke-sejuta berikutnya … yang lebih “wah” daripada kesan pertama.