Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence (Act II)

Setelah memiliki rancangan Act I (sekuens 1 dan sekuens 2), sekarang kita lanjutkan ke Act II, yakni terlebih dahulu mengulas Sekuens 3 dan 4 dari metode 8 sequence.


ACT II

Sekuens 3

Pada sekuens ini, karakter kita bersiap-siap untuk melakukan “perjalanan” atau usaha setelah mereka tersadar atas suatu hal. Dalam bagian kali ini, karakter kita akan berusaha sekuat tenaga untuk bertindak – sesuai pilihan (decision) yang diambilnya setelah sempat mengalami keraguan (doubt) di Act I.

Fokus di sekuens 3 adalah ditemukannya Tantangan Pertama (first obstacle) dan  menguatkan kesadaran karakter utama atas masalah yang dihadapi (raising the stakes), dia tidak bisa lagi lari dari kenyataan yang terjadi.

Sekuens 4

Pada sekuens ini, masing-masing karakter telah hampir berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Para tokoh seolah-olah hampir berhasil, dan semuanya terlihat benar-benar bahagia. Namun, cerita juga mempersiapkan konflik untuk maju ke sekuens berikutnya ke arah klimaks.

Fokus di sekuens 4 adalah munculnya titik kulminasi pertama (first culmination/midpoint), yang umumnya paralel dengan Resolusi  atas konflik di akhir cerita. Sebagai contoh, jika cerita yang kita tulis berupa tragedi dan hero/sang karakter utama meninggal,  maka di sekuens 4 inilah kita menguraikan titik terendah yang dialami si karakter utama. Sebaliknya, jika hero kita menang di akhir cerita/film yang sedang kita tulis, maka kita sebaiknya mengakhiri sekuens 4 ini dengan menggambarkan “kemenangan kecil” sebelum kemenangan final di akhir cerita.

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence (Act I)

Setelah memiliki sebuah premis dan konsep skenario, maka kita akan masuk pada teknikalitas penulisan skenario. Metode yang paling sering dilakukan adalah 8 sequence (8 sekuens).

Apa itu 8 sequence?

8 sequence ini bukan satu-satunya metode dalam mengembangkan sebuah ide menjadi skenario, tapi oleh para penulis naskah film terkenal, dianggap efektif dan mudah diajarkan dan dipahami terutama oleh para penulis pemula.

Perlu diingat bahwa kerangka 8 Sekuens ini bukanlah formula mutlak atau resep sempurna untuk membuat sebuah bangunan cerita. Karena setiap naskah itu adalah sebuah prototipe: baru, unik, dan dibuat khusus sesuai isi cerita/kisah yang ingin ditulis. Akan tetapi pengalaman para penulis skenario kenamaan (termasuk para penulis skenario film Hollywood) yang menggunakannya mengakui bahwa formula ini adalah titik berangkat yang baik. Ernest Prakasa, seorang produser sekaligus screenwriter Indonesia mengaku bahwa dia menggunakan metode ini untuk menggarap film-filmnya.

Sebenarnya 8 sequence adalah pengembangan dari pola 3 Acts Structure (drama 3 babak) dari Yunani Kuno, yang berupa awalan/perkenalanperjalanan/konflik, dan hasilnya seperti apa (akhir cerita). Khusus pada bagian perjalanan/konflik durasinya biasanya setengah dari durasi keseluruhan cerita, sehingga kerap dibagi lagi menjadi 2 bagian. Maka, sekarang kita memperoleh Babak 1, Babak 2A, Babak 2B dan Babak 3.

Lebih lanjut, metode 8 sequence adalah pemecahan dari keempat babak ini, dimana masing-masing babak dibagi menjadi 2 sekuens. Maka, pembagiannya:

  • Babak 1 menjadi Sekuens 1 dan Sekuens 2.
  • Babak 2A menjadi Sekuens 3 dan Sekuens 4.
  • Babak 2B menjadi Sekuens 5 dan Sekuens 6.
  • Babak 3 menjadi Sekuens 7 dan Sekuens 8.

Perjalanan kisah mulai dari sekuens 1 hingga sekuens 8 inilah yang kita kenal sebagai 8 sequence.

Penggunaan Metode 8 sequence

Tentu ini bukan satu-satunya cara. Kelima film box-office besutan Ernest Prakasa dibangun dengan metode ini. Sederhana tetapi sekaligus memberi banyak ruang untuk berkreasi dan mendramatisasi.

Sampai disini mungkin akan muncul pertanyaan: metodenya sama, apakah hasilnya akan sama? Tidak juga. Film-film mainstream di Hollywood umumnya menggunakan metode ini, tetapi kita bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa hasilnya tidak sama. Ini bisa dianalogikan seperti tengkorak manusia. Walaupun bangunan dasar tengkorak kita – manusia Homo Sapiens ini – sama,  tetapi toh wajah dan penampilan kita berbeda-beda. Maka, walaupun menggunakan metode penggarapan ceritanya sama, tetapi alur film tetap berbeda.

Meski tidak dalam artian ketat secara matematis, metode 8 Sekuens ini bisa menjadi alarm bagi penulis skenario untuk membagi durasi setiap bagian cerita secara proporsional. Kasarnya, misalnya, jika cerita yang hendak dibangun berdurasi 1 jam (60 menit), maka setiap sekuens berkisar 7-8 menit. Jadi kalau misalnya sudah memasuki menit ke-20 ternyata sekuensnya masih di Act 1 (sekuens 1 dan sekuens 2), maka kita harus segera periksa: Mungkin kita sudah melenceng terlalu jauh dari ide cerita yang kita bangun.

 


BABAK 1

Sekuens 1: Status quo dan inciting incident

Pada bagian status quo ini terjadi perkenalan karakter. Apakah semua karakter harus diperkenalkan sekaligus di awal? Tidak ada aturan baku seperti itu. Yang sering terjadi ialah pengenalan dilakukan dengan dicicil bahkan bisa juga tersebar di sekuens berikutnya. Pada intinya, sekuens ini bertujuan supaya audiens (pembaca naskah atau penonton film) mengenal karakter. Tujuan lebih lanjut ialah: dengan mengenal, audiens sampai pada tahap empati terhadap apapun yang dialami si karakter.  Peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” tepat menggambarkan tujuan ini.

Sekuens 1 ditutup dengan inciting incident (insiden pemicu).

Contoh insiden pemicu pada “Cek Toko Sebelah” (2016)  adalah  ketika Koh Afuk mulai sakit. Kalau dia tidak sakit, maka tidak ada urgensi baginya maupun anak-anaknya untuk mulai berfikir soal warisan. Ini juga menjadi pemicu buat Erwin untuk memikirkan ulang keputusan karirnya.

Pada “Susah Sinyal” (2017), insiden pemicu adalah ketika Oma (sang nenek) meninggal. Mental putrinya down, sehingga Ellen (karakter utama) harus putar otak untuk mengambil peran si nenek: kembali menjalin komunikasi yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya.

Pada “Black Panther” insiden pemicu adalah ketika museum dibobol, artefak Wakanda dicuri. Ini menjadi pemicu bagi warga Wakanda untuk melakukan sesuatu yang sangat berbeda: mereka meninggalkan zona nyaman mereka, membuka gerbang Wakanda sehingga bisa bertarung bersama dengan anggota tim lain Avengers.

(Silahkan kamu mencari contoh insiden pemicu ini di film lain yang sudah kamu tonton).

Singkatnya, Sekuens 1 ini membangun karakter utama, sekilas perjalanan hidupnya, serta status quo dan semesta kisahnya. Sekuens ini diakhiri dengan POINT OF ATTACK atau INCITING INCIDENT, meskipun bisa juga plot ini muncul pada menit-menit pertama film.

Sekuens 2: doubt (keraguan) dan decision (keputusan)

Ketika karakter dihadapkan dengan insiden pemicu ini, maka akan muncul keraguan: ia diharuskan untuk keluar dari kenyamanannya. Ia dihadapkan pada dua pilihan utama: tetap di zona sebelumnya dan tak melakukan apa-apa, atau memutuskan untuk melakukan sesuatu karena sudah jelas ada masalah di depan mata.

Pada “Black Panther” ini terlihat ketika para petinggi Wakanda setuju (decision) bahwa mereka harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, maka ceritanya tidak berjalan.

Pada “Susah Sinyal”, Ellen mulai benar-benar berfikir untuk mencari quality time, waktu berdua dengan putrinya. Sampai ia membatalkan untuk bertemu dengan klien penting dan mendelegasikan proyek itu kepada rekan kerja sekantornya.

Pada “Cek Toko Sebelah”, Erwin menjadi ragu apakah ia harus meninggalkan pekerjaannya di yang sudah di level atas manajemen perusahaan setelah ia mendengar penuturan bosnya yang menyesal karena ketika hidupnya tidak sempat membahagiakan orangtuanya. Cerita si bos sangat mengena dengannya karena saat itu Koh Afuk – ayahnya – sedang sekarat, kemungkinan tidak akan berumur panjang lagi.

 

Q & A: Benarkah Pemerintah (Perlu) menyewa Influencer?

Q: Apa sih itu influencer?

A: Wah, panjang ini. Kita mulai dengan penjelasan akademis dulu ya. Jadi, gini. Masyarakat itu kan ada yang aktif dan pasif. Orang yang aktif entah mencari pengetahuan, aktif sekolah dan aktifitas-aktifitas sosial. Orang dari golongan ini memiliki status sosial dan memiliki pengetahuan yang lebih besar dibandingkan yang pasif. Orang aktif ini biasanya ada si strata yang lebih bagus. Di era sebelum ada media sosial, mereka inilah yang disebut opinion leader, atau pemuka pendapat. Mereka ini adalah tempat orang bertanya. Mereka juga sering memberikan informasi dan nasihat. Akibatnya, orang ini dipercaya dan bisa sangat berpengaruh di lingkungannya hingga di luar lingkungannya juga.

Orang seperti ini sudah ada inheren dalam kehidupan sosial masyarakat kita sejak dulu.

Q: Contohnya?

A: Sebelum era digital lazim dikenal masyarakat yang polimorfik. Pada konteks ini, opinion leader aktif di berbagai hal, dianggap tahu berbagai hal. Dukun, datuk, kyai, ulama dan sejenisnya adalah contoh opinion leader. Tidak hanya di bidang agama, tetapi juga kerap di bidang keilmuan lainnya. Nah, ketika dunia berubah, sekarang terjadi spesialisasi, akhirnya opinion leader ini pun menjadi monomorfik, mengikuti karakter baru masyarakat juga. Maka, kalau ngomong kesehatan, tanya ke dokter, misalnya. Kemudian ketika muncul media digital atau media sosial ini, dimana masyarakat bisa aktif tidak hanya dunia fisik tapi juga dunia maya, maka konsep opinion leader ini naik ke dunia maya atau media social. Ini berkembang menjadi sebuah profesi. Inilah yang disebut sebagai influencer atau opinion leader dunia maya. Kalau saya punya follower 1 juta, maka berarti saya bisa mempengaruhi atau membagikan informasi ke jutaan orang. Berarti kan menjadi sebuah media sudah. Dia menjadi institusi yang dibutuhkan dalam konteks marketing dan opinionisasi.


Q: Perbedaan antara influencer dan intelektual itu apa sih? Posisi sosiologis mereka seperti apa sih?

A: Kalau kamu intelektual kemudian punya akun Youtube, halaman Facebook atau Twitter, sering share pengetahuan membuat orang lain dapat informasi dan pencerahan dari kamu, lama-lama kamu diikuti banyak orang, maka kamu adalah intelektual yang menjadi influencer. Tetapi kalau kamu adalah intelektual yang hanya di kamar atau di kampus, dan hanya di lingkungan terbatas itu, maka belum tentu jadi influencer. Jadi, bedanya: intelektual itu pengaruhnya hanya pada lingkungan akademis, sementara influencer adalah orang yang dengan kelebihan tertentu memberikan pengaruh ke banyak orang. Influencer ini bisa siapa saja, bisa akademisi (yang menempuh Pendidikan di bidang keilmuan tertentu), bisa juga sembarang orang yang memang punya authority untuk berbicara di bidang tertentu tanpa harus memiliki titel pendidikan formal untuk itu.


Q: Sumber pengaruh ini darimana?

A: Ada yang karena kemampuan pengetahuannya. Ada juga karena passion, art atau seni tersendiri yang bisa membuat konten yang menarik.

Q: Kenapa mereka kita sebut influencer, bukan entertainer? Bukankah basicly pengaruhnya datang dari menghibur?

A: Bisa saja. Karena kan entertainer kan tidak selalu ada di media sosial. Kamu menjadi penabuh kendang pada acara dangdutan ketika ada hajatan nikah orang, misalnya, kamu itu entertainer juga disitu. Fungsi sosialnya memang bisa sama. Maka, kekhasan influencer: ia muncul di media sosial.


Q: Seorang disebut influencer karena punya pengaruh ke banyak orang, sehingga output-nya adalah orang banyak mengikutinya. Artinya kalau misalnya Atta Halilinta, pengaruh apa yang diberikan ke orang lain sehinggga orang lain mengikuti?

A: Pertama, influencer di media social itu tidak mesti berarti orang harus mengikuti perilaku influencer. Yang penting orang mengikuti akunnya dulu, jadi follower atau subscriber dulu.


Q: Tetapi kan dalam landscape media digital sekarang, jumlah follower itu bisa direkayasa? Bagaimana cara memverifikasi atau memvalidasi kemampuan pengetahuan/influence dia?

A: Namanya influencer ini ikan yang dijual adalah kepercayaan/trust. Kalau dia ketauan ternyata subscriber-nya abal-abal, itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Rekayasa-rekayasa yang di luar kejujuran akan menghancurkan dirinya sendiri. Fakta sederhana sangat penting diketahui, terutama bagi orang yang mau masuk dan terjun ke dunia baru ini, yakni komunitas kreator konten  di media sosial.


(Terutama ini jelas terlihat di Youtube. Lihatlah kegelisahan seorang Izzy sampai dia membuat kritik tajam terhadap para Youtuber yang hanya perduli AdSense, tapi tak perduli dampak ke masyarakat)

Kalau dia ternyata ketahuan, maka dia akan dihabisi oleh para follower atau kompetitornya. Dibuka borok-boroknya. Hancur sudah. Fakta itu speaks louder than words. Karena jejak digital ada, maka termasuk rekayasa follower ini juga tercatat, sebaiknya jangan dilakukan.


Q: Perbedaan soal influencer sama buzzer itu apa sih?

A: Influencer ini selalu berbasis skill dan pengetahuan. Bisa juga kreatifitas atau penampilan yang menarik. Kadang-kadang mereka ini menempuh pendidikan formal untuk itu. Tetapi kalau buzzer, ini ikan dari kata buzz (mendengung). Intinya hanya untuk menyampaikan informasi yang sama secara terus-menerus, berulang-ulang. Di dunia buzzer, tidak penting identitas. Karena dasarnya adalah kemampuan untuk menebar, menyebar dan memunculkan kebenaran semu. Kita tahu bahwa di media sosial, mereka ini lebih sering menimbulkan kegaduhan. Maka, ketika kamu mengeluarkan sebuah pendapat, lalu kamu diserang ribuan buzzer, bisa saja kamu merasa seakan-akan kamu sudah hancur. Padahal belum tentu yang kamu suarakan itu salah. Media sosial ini sekarang sudah menjadi sebuah medan perang. Perang apa? Perang buzzer, perang proxy, cyber army battle. Perang yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi atau motif komersil lainnya.


Q: Buzzer ini ada pengaruhnya nggak sih pada kehidupan sosial?

A: Sayangnya, ada. Karena fenomena buzzing ini bisa menimbulkan kebenaran semu. Jadi sangat bisa berpengaruh pada kehidupan nyata.


Q: Tapi bukankah seharusnya kalau orang sudah lama bermain media sosial, mereka kan seharusnya sudah paham apa yang terjadi?

A: Faktanya: tidak selalu begitu. Kita lihat saja contoh konret, bagaimana hoax bisa mengubah lanskap media sosial di banyak negara, bahkan di negara maju: ada fenomena post-truth di Amerika Serikat, menangnya Brexit, dan lain-lain. Karena itu, ada fakta yang patut disyukuri: Indonesia cukup berhasil dalam melawan fenomena post-truth, hoax dan buzzer tadi.

Q: Indikator keberhasilannya apa?

A: Persisnya tidak bisa disampaikan semua disini. Antara lain, KPU waktu itu diundang negara Barat untuk presentasi dan ditanyai bagaimana caranya kok bisa menang melawan fenomena post-truth.


Q: Buzzer ini akan sangat diuntungkan ketika digital literacy ini sangat rendah di masyarakat, memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola dan mengolah informasi. Begitu ya?

A: Ini hal menarik juga, karena anehnya di negara-negara maju yang penduduknya dianggap lebih cerdas dan banyak membaca, dianggap lebih matang dari segi praktek berdemokarasi dan pendidikannya, tetapi akhirnya ketika identitas mereka diusik dari sisi keagamaan dan ras, kok malah ada kesimpulan entah sadar maupun tidak sadar “oh iya, kami memang tidak suka dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengan kami”


Q: Berarti kemampuan buzzer dan media digital dalam memecah-belah masyarakat ini overstated, dilebih-lebihkan? Karena memang faktanya masyarakat kita sudah terbelah.

A: Memang itu yang terjadi. Masyakat ini memang beragam. Riset Oxford mengatakan bahwa sebagian besar negara (at least tercatat 70 negara) ini ada buzzer. Buzzer ini ya untuk perang tadi. Ada yang dipakai oleh pemerintah, partai politik, perusahaan, politikus.


Q: Kalau Prof Henry sendiri risetnya bagaimana?

A: Data ICW yang menyebut 90 M itu untuk influencer, terutama 10 M dari Kemkominfo, itu banyak sekali salahnya. Karena kalau di Kemkominfo, dana itu digunakan bukan untuk membayar influencer, tetapi untuk pelatihan digital literacy di seluruh Indonesia untuk meniptakan anak-anak yang menguasai teknologi: bisa bikin konten, bisa bikin video, vlog dan lain-lain. Nah, memang yang melatih itu adalah para volunteer, yang memang adalah sudah influencer selama ini. Namun, mereka tidak diberi uang miliaran seperti diberitakan. Contohnya: ada aturan di adminsitrasi pemerintahan, seorang pembicara itu dibayar tidak lebih dari 3 juta dalam satu sesi bicara. Tetapi, lagi-lagi karena ini di media sosial, tempat berperang, maka orang yang datang dengan tafsir liar pun bisa menguasai panggung wacana publik.


Q: Jadi, persisnya kalau yang dari Kemkominfo itu, program yang disebut menyewa influencer ini bagaimana sih?

Memang ada. Yossie itu ketua relawan Cyber Kreasi. Tetapi sekali lagi, ini yayasan yang berisi relawan untuk melakukan digital literacy. Maka kalau mereka disebut menerima uang besar hingga miliaran, itu tidak benar. Kasihan dia. Dia jadinya bisa dapat nama jelek karena tafsir sembarangan dari pihak tertentu.


Q: Tetapi Prof, ini tetap tidak sepenuhnya memuaskan pertanyaan “Mengapa institusi negara atau pemerintah mau menghire influencer“?

A: Ini realita. Di era disrupsi ini, media utama konvensional kan mengalami penurunan fungsi. Artinya kalau tujuannya untuk menyebarkan informasi, pemerintah sadar dan mengakui memang perlu untuk menggunakan influencer, tetapi dengan catatan: hanya untuk keperluan yang sifatnya bukan menyangkut public policy. Jadi, program influencer ini ya urusannya untuk yang cocok dengan bidang influencer-nya juga. Misalnya untuk program-program pariwisata atau travel, bagaimana supaya orang jadinya semakin mengenal Mandalika, Labuan Bajo dan lain-lain. Influencer itu biasanya dimaksudkan untuk yang seperti itu.


Q: Sebagai seorang sosiolog, ada kesan bahwa semakin sering pemerintah menggunakan influencer ini mengindikasikan bahwa semakin berkurangnya public trust kepada pemerintah sehingga pemerintah merasa perlu untuk meng-outsource influencer swasta.

A: Kami yang di Kemkominfo itu ya kayak Humas. Humas itu manager, kerjanya ya me-manage, mengatur. Maka, bukan lalu pemerintah atau PNS yang bekerja di Kemkominfo jadi harus pegang mikrofon dan langsung ngomong bikin podcast atau bikin konten video. Pemerintah itu hanya me-manage strategi komunikasi. Dalam strategi itu bebas saja menggunakan talent-talent yang ada, termasuk ya influencer-influencer tadi, orang-orang dengan pengaruh yang datang dari sektor swasta itu.

Perihal public trust. Ini kan ada cara mengukurnya. Ada cara ilmiahnya, yaitu dengan polling. Lihatlah bagaimana hasil polling, seberapa besar kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan sekarang.


Q: Tetapi bukankah patut diduga kalau ternyata lembaga polling itu pemiliknya berafiliasi dengan pemerintah atau mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, hasil polling bisa diatur juga?

A: Wah, inilah uniknya netizen Indonesia. Apa-apa dipandang dari sudut politis. Tak semua itu bermuatan politik.

 

 

Kamu sendiri bagaimana? Setuju/tidak kalau pemerintah menggunakan jasa influencer?


Ini adalah transkripsi bebas Saya atas interview Zulfikar Amri dengan Prof Henry Subiakto (Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga sekaligus Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum) dengan penambahan dan penekanan dari Saya di beberapa tempat.

Dasar-dasar Etika Berinternet: Data Pribadi dan Konsen

Dear warga Boemi,

Budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari sangat perlu untuk tetap dipelajari, dikembangkan dan dievaluasi terus-menerus apakah kita sudah memahaminya atau belum. Secara khusus pada situasi pandemi sekarang ini dimana hampir seluruh aktifitas kita, termasuk pembelajaran, mengalami transisi dari tatap muka di luar jaringan (luring) ke situasi daring (dalam jaringan), maka sangat perlu sekali kita memahami etika berperilaku dan berbudi pekerti di dunia internet ini.

Untuk mulai masuk kesana, mari kita membahas dua hal mendasar dulu, yakni Data Pribadi dan Konsen (Persetujuan).

Data Pribadi

Data pribadi, secara umum, adalah satu atau sekumpulan informasi, dalam berbagai format, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang.

Penyebutan dan definisi data pribadi sendiri cukup bervariasi.
Dalam bahasa Inggris, setidaknya ada dua istilah yang kerap digunakan untuk menyebut data pribadi:

  1. PII (Personally Identifiable Information) lebih umum digunakan di Amerika Serikat.
  2. Personal Data ada didefinisikan dalam GDPR (General Data Protection Regulation) berlaku untuk warga dan negara Uni Eropa.

Di Indonesia sendiri, penyebutannya menggunakan istilah data pribadi kalau merujuk pada Rancangan UU Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP). Isi dari draf RUU PDP masih dapat berubah sewaktu-waktu, sampai setelah disahkan.

Apa saja yang termasuk data pribadi?

Kalau berdasarkan definisi personal data dari GDPR, data pribadi itu mengacu pada pengenal seperti nama, nomor identifikasi, data lokasi, pengenal online, atau satu atau lebih faktor yang spesifik untuk: fisik, fisiologis, identitas genetik, mental, ekonomi, budaya atau sosial dari orang tersebut.

 

Karena hidup kita makin dekat dan erat dengan dunia digital, maka contoh ini juga termasuk data pribadi yang harus dipertimbangkan untuk dijaga keamanannya!

Informasi aset teknologi: alamat internet protocol (IP Address) atau alamat email MEdia Acces Control (MAC Address) yang secara konsisten terhubung pada satu individu tertentu.

Data pribadi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: bersifat umum dan bersifat sensitif.

Yang umum bisa dikategorikan dengan mengecek tingkat risiko bila data tersebut tersebar. Jika risikonya rendah, maka bisa kita kategorikan sebagai data pribadi bersifat umum.

Sebaliknya, data pribadi yang dikategorikan bersifat sensitif adalah data pribadi yang jika tersebar luas dapat membawa risiko yang tinggi pada keamanan, bahkan keselamatan orang tersebut.

Data pribadi yang bersifat umum atau sensitif bagi tiap orang bisa jadi berbeda-beda, dikarenakan banyak faktor yang menjadi bagian dari individu tersebut. Misalnya, seseorang yang memiliki rekam jejak medis sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bisa mendapatkan diskriminasi dan stigma dari masyarakat, jika informasinya tersebar luas.

RUU PDP sendiri membagi data pribadi berdasarkan 2 sifat, yakni umum dan spesifik.

Data Pribadi yang bersifat umum dalam RUU PDP adalah:
a. nama lengkap;
b. jenis kelamin;
c. kewarganegaraan;
d. agama; dan/atau
e. Data Pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang (dicontohkan dalam Bagian Penjelasan bahwa data pribadi di dalam poin (e) antara lain adalah nomor telepon seluler.)

Sedangkan, Data Pribadi yang bersifat spesifik dalam RUU PDP adalah:
a. data dan informasi kesehatan;
b. data biometrik;
c. data genetika;
d. kehidupan/orientasi seksual;
e. pandangan politik;
f. catatan kejahatan;
g. data anak;
h. data keuangan pribadi; dan/atau
i. data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks dunia digital, sebuah data, baik data pribadi atau bukan, dapat menyebar dengan cepat, dan pula biasanya saling terhubung, atau dapat dihubungkan karena jejak digital.

Kita harus bijak dan hati-hati dalam menjaga data pribadi kita.

Data pribadi kita adalah bagian dari tubuh kita:

Tubuh digital yang perlu dijaga!

Nah, selain membahas privasi dan data pribadi seseorang, kita juga perlu mengecek level nyaman dan aman kita secara berkala.

Kenapa penting memahami level nyaman dan aman?

Level Nyaman dan Aman

Level nyaman dan aman tiap orang berbeda.

Ada yang nyaman menjadi publik figur, ada yang tidak nyaman menjadi sorotan publik. Situasi ini akan mempengaruhi batas-batas privasi yang kita terapkan, termasuk ketika berbagi data pribadi.

Level nyaman juga mempengaruhi level aman saat memanfaatkan teknologi digital. Semakin nyaman memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan teknologi digital, biasanya semakin telanjang tubuh digital kita, dan semakin rentan keamanan digital kita.

Merasa nyaman dengan teknologi digital? Coba jawab 3 pertanyaan berikut:

  1. Apakah kamu menggunakan fingerprint / sidik jari di ponsel supaya bisa membukanya lebih cepat?
  2. Apakah kamu membuat password yang mudah dihapal, seperti tanggal lahir
  3. Apakah kamu menyimpan password di browser untuk memudahkan login ulang nantinya?

Jika jawabannya “YES” untuk pertanyaan-pertanyaan tadi, level keamanan digital kita menjadi berkurang.

Menggunakan fingerprint atau sidik jari untuk membuka ponsel pasti lebih aman, lebih cepat juga dibanding harus masukin password atau kode pin!

Merasa nyaman karena kemudahan teknologi membuka ponsel dengan sidik jari, juga aman karena tidak ada yang bisa meniru sidik jari kita? Tunggu dulu, jangan terlena! Sidik jari mungkin susah ditiru, karena dia termasuk data pribadi biometrik. Namun, … .. bayangkan jika sedang tidur atau tidak sadarkan diri … Sidik jari kita akan mudah diakses oleh orang untuk membuka si ponsel.

Atau, bayangkan bahwa data di ponsel tersebut bocor, dan jadinya ada orang yang memiliki akses data sidik jari kita? Sama dengan kenyamanan mudah menghapal password yang berupa tanggal lahir. Mudah dihapalkan bisa jadi mudah ditebak orang lain, lho.

Begitupun dengan kemudahan dan kenyamanan bisa login ulang langsung, karena passwordnya sudah diingat browser yang kita gunakan.

Ini berarti, jika seseorang punya akses ke perangkat digital yang kita gunakan, laptop atau ponsel, dan bisa mengakses browser kita, maka ada risiko orang tersebut bisa mengakses akun kita.

Selain itu, level nyaman dan aman seseorang juga berubah seiring berjalannya waktu dan kebutuhan kita yang berubah! Contoh, dulu karena masih SMP semua hal diposting di media sosial, sepertinya aman saja. Sekarang, baru posting selfie sudah mendapatkan berbagai komentar negatif. Atau dulu, belum berhijab, banyak dan nyaman saja mengunggah foto ke media sosial yang menunjukkan aurat seperti rambut atau saat mengenakan pakaian yang pendek dan terbuka.  Lalu, sekarang sudah berhijab, dan jejak digital di masa lalu yang belum berhijab itu ternyata dimanfaatkan untuk menyerang identitas sekarang yang sudah berhijab.

Situasi begini menunjukkan pentingnya memperhatikan level nyaman dan aman kita masing-masing dalam konteks privasi, data pribadi, dan keamanan digital. Selalu cek dan ricek secara berkala level nyaman dan aman kita selama menggunakan teknologi digital!

Consent dan Fries

Konsen adalah persetujuan untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas.

Sebelum kita melakukan aktivitas yang melibatkan orang lain, kita perlu tahu apakah pihak lain juga ingin melakukan aktivitas atau kegiatan yang sama dengan kita. Meminta dan memberikan konsen adalah tentang menetapkan batasan pribadi dan menghormati batasan orang lain.

Konsen juga berarti orang yang meminta dan orang yang memberikan persetujuan sama-sama aktif mencari tahu jika ada informasi terkait persetujuan tersebut yang belum jelas.

Semua pihak yang terlibat dalam suatu aktivitas tertentu, harusnya adalah pihak-pihak yang sudah menunjukkan persetujuannya. Konsen erat hubungannya dengan hal-hal terkait ketubuhan, seperti aktivitas seksual dan data pribadi.

Untuk aktivitas seksual, semua tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan adalah bentuk kekerasan seksual. Untuk data pribadi, tidak mengindahkan konsen adalah bentuk pelanggaran privasi.

Dalam konteks dunia digital di Indonesia, konsen diatur dalam UU ITE Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi:

“Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”


Bicara tentang konsen, ingat FRIES!

F – Freely Given atau diberikan secara bebas
R – Reversible atau dapat diubah
I – Informed atau diinformasikan
E – Enthusiastic atau diberikan dengan antusias
S – Specific atau spesifik

F – Freely Given atau diberikan secara bebas

Konsen adalah pernyataan persetujuan melalui kata-kata dan perilaku, di mana pilihan itu dibuat secara sadar, tanpa tekanan, manipulasi, atau di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol.

R – Reversible atau dapat diubah

Siapapun dapat berubah pikiran kapan saja tentang persetujuan yang disepakati, terutama bila ada situasi yang berubah dan menimbulkan rasa tidak nyaman dan aman pada satu atau banyak pihak yang terlibat dalam konsen tersebut. Unsur Reversible ini berarti kita bisa mengubah atau menghentikan persetujuan kapan saja, walaupun kita memang pernah melakukan aktivitas tersebut di masa lalu. Orang lain yang terlibat di dalam konsen tersebut harus menghormatinya.

I – Informed atau diinformasikan

Kita hanya bisa menyetujui suatu hal yang diketahui berdasarkan informasi yang diberikan. Baik yang meminta dan memberikan konsen harus memiliki informasi yang sama sebelum persetujuan disepakati, misalnya terkait tujuan dari konsen, risikonya apa, akan berlangsung berapa lama, mencakup apa saja, dan hal-hal lainnya.

Informed juga berarti konsen tidak dapat diberikan oleh mereka yang berusia anak, karena belum memiliki kemampuan untuk menilai suatu situasi secara menyeluruh dan rentan ditipu daya.

Penerapan unsur informed dalam dunia digital, misalnya terkait akses yang diminta sebuah aplikasi yang kita instal di ponsel.

Jika aplikasi tersebut mengatakan hanya akan merekam aktivitas kita saat menggunakan aplikasinya, tetapi nyatanya juga merekam aktivitas lain saat kita menggunakan ponsel secara umum, itu adalah tindakan tanpa konsen dan sudah melanggar privasi.

E – Enthusiastic atau diberikan dengan antusias

Konsen harus diberikan secara antusias oleh seseorang, dan bukan karena:
– diintimidasi atau diancam,
– dibujuk rayu atau dimanipulasi,
– diiming-imingi atau dijanjikan sesuatu,
– ataupun akhirnya memberikan konsen karena kita diharapkan untuk melakukan kegiatan tersebut, bukan karena kemauan sendiri.

Unsur antusias ini juga berarti tidak ada konsen atau persetujuan yang bisa diberikan dari orang yang sedang mabuk, pingsan atau tidak sadarkan diri.

S – Specific atau spesifik

Persetujuan diberikan dan mencakup hal yang spesifik.

Misalnya, ketika kita setuju seseorang mengambil foto kita, bukan berarti secara otomatis kita juga menyetujui kalau fotonya boleh disimpan oleh orang tersebut, atau otomatis fotonya boleh diunggah ke media sosial.

Harus ada persetujuan masing-masing untuk tiap tindakan tersebut. 5 unsur FRIES harus sama-sama terpenuhi, baik dari sisi yang meminta konsen ataupun yang dimintai konsennya.

Konsen atau persetujuan tidak disiratkan oleh hal-hal seperti perilaku di masa lalu, pakaian yang dikenakan, atau apa yang sedang kita lakukan. Persetujuan terhadap aktivitas apapun, termasuk aktivitas seksual, harus selalu dikomunikasikan dengan jelas. Tidak boleh ada misteri, asumsi, atau tanda tanya.

INGAT!

5 unsur FRIES harus sama-sama terpenuhi baik dari sisi yang meminta konsen ataupun yang dimintai konsennya. Konsen tidak dapat diberikan oleh anak. Diam bukan berarti memberikan persetujuan. Tiap orang punya keputusan penuh atas apa yang akan terjadi pada tubuhnya.

Pastikan ada konsen untuk semua aktivitas yang melibatkan diri dan orang lain!

 


(Sebagian besar konten ini bersumber dari Safe Net, dengan pengubahan seperlunya dari Saya)

Lirik “Ride” oleh 21 Pilots

I just wanna stay in the sun where I find
I know it’s hard sometimes
Pieces of peace in the sun’s peace of mind
I know it’s hard sometimes

Yeah, I think about the end just way too much
But it’s fun to fantasize
On my enemies who wouldn’t wish who I was
But it’s fun to fantasize

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Takin’ my time on my ride

“I’d die for you” that’s easy to say
We have a list of people that we would take
A bullet for them, a bullet for you
A bullet for everybody in this room
But I don’t seem to see many bullets coming through
See many bullets coming through
Metaphorically, I’m the man
But literally, I don’t know what I’d do
“I’d live for you” and that’s hard to do
Even harder to say, when you know it’s not true
Even harder to write, when you know that’s a lie
There were people back home who tried talking to you
But then you ignore them still
All these questions they’re for real, like
“Who would you live for?”
“Who would you die for?”
And “Would you ever kill?”

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Takin’ my time on my ride

I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much (Help me)

I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time
Takin’ my time on my ride
Whoa, oh, oh

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m takin’ my time on my-

I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)


Duo cowok keren tampil memukau. Lihat saja disini.

Lagu “Mauliate Ma” Cipt. Pengalaman Simamora: Sebuah Contoh Konkret Katekese Aktual

Katekese yang Aktual dan Inovatif

Pewartaan (kerygma) merupakan salah satu tiang utama Gereja dalam karya kerasulannya sebagai pengajar iman dan moral.

(Tiang lainnya yakni diakonia/pelayanan, koinonia/persekutuan, liturgia/perayaan  dan marturia/kesaksian. Lebih lengkapnya silahkan teman-teman Katolik buka kembali diktat ajaran gereja, atau lebih mudah tinggal cari dengan mesin pencarian Google).

Sejauh ini, salah satu bentuk pewartaan yang paling umum adalah pertemuan katekese umat, baik di lingkungan maupun kelompok kategorial. Tapi di tengah situasi dan keterlibatan umat Katolik dalam pemutusan rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia maupun seluruh dunia, tentu pertemuan langsung di lingkungan maupun kategorial sangat sulit. Kita harus mematuhi protokeler kesehatan yang mengharuskan kita menjaga jarak dan menjauhi kerumunan.

Jika demikian, bagaimana caranya mengemas katekese supaya tetap aktual dan tetap sampai serta diterima oleh umat?

Ingat ya, jadi ada 2 kata kunci, yaitu: SAMPAI dan DITERIMA


Mengapa harus Ikut Berkatekese?

Oh iya. Tapi itu kan tugas para pelayan Gereja, entah pastor, suster, frater, bruder atau para penguruslah itu?

Tidak. Tugas pewartaan Injil bukanlah melulu tugas hierarki atau lembaga hidup bakti, melainkan tugas semua umat, berkat Sakramen Baptis dan Krisma. Jadi, jelas ya: tugas semua umat. Artinya, kalau kamu umat Katolik, berkatekese adalah tugasmu juga.

Duh, gitu ya? Iya. Begitu.

Umat terpanggil untuk menjadi katekis volunteer, yaitu kaum awam yang melibatkan diri secara aktif dan sukarela dalam karya-karya pewartaan Gereja, mewartakan Injil kepada semua orang.

Tapi kan tidak semua orang dibekali dengan pengetahuan tentang teologi pastoral atau bahan-bahan katekismus? Tidak perlu untuk menjadi ahli. Toh sejak sekolah minggu hingga besar sekarang, kurang lebih kita tahu ajaran Katolik itu seperti apa.

Tapi itu pun, jika ada keraguan tentang isi dari katekese yang akan mulai kamu rancang, selalu ada orang dan sumber terpercaya yang bisa ditanya. Ada katekis di paroki tempat kamu tinggal, tanyalah. Jika kamu kenal ada pastor atau awam yang cakap secara akademis soal teologi juga, tanyalah mereka.

Jika ternyata mereka susah menjawab atau selalu sibuk dengan alasan ini dan itu, tidak masalah. Saat ini hampir semua sumber ajaran resmi tersedia di internet. Kamu tinggal cek saja situs-situs resmi Gereja Katolik, entah yang global seperti Vatican Va, yang nasional seperti KWI, yang lokal seperti Paroki Jalan Bali Siantar. Jika tidak bertemu langsung dengan bahan yang ingin kamu cari, biasanya ada tautan untuk bertanya atau menunjukkan kontak yang bisa dihubungi dan ditanyai.

Oke? Jadi tidak sesusah dulu lagi mestinya, tidak sesulit ketika kita belum mengenal internet.


Caranya Berkatekese yang Aktual itu Bagaimana?

Sebelum mulai, ada baiknya sadari dulu beberapa kenyataan ini.

Pertama, sekarang umat ada dimana? Di rumah atau tempat kerja masing-masing. Bagaimana menjangkau mereka kalau hadir di gereja atau lingkungan pun mereka tak bisa hadir karena jumlah peserta dibatasi? Sejujurnya mereka tidak begitu jauh kok. Umum sekali kita tahu bahwa semuanya sudah menggunakan perangkat yang bisa terhubung dengan jaringan internet, entah smartphone atau komputer. Umumnya memiliki Whatsapp, Telegram, Facebook, Instagram dan Tikotok. Atau salah satu dari itu.

Jadi, caranya untuk terhubung dengan mereka adalah dengan membuat konten katekese dan mengabarkan kepada mereka.

Keduabagaimana mengantarkan konten katekese itu supaya sampai ke mereka? Ibarat permainan sepak bola, jemput bola. Tidak menunggu bola menghampirimu untuk melanjutkan permainan. Kabarkan ke mereka bahwa kamu punya sesuatu untuk disampaikan dan barangnya sudah jadi. Entah berupa tulisan di blog sederhana seperti yang sedang kamu baca ini. Entah berupa podcast di Instagram atau Google Podcast, atau video di Youtube dan Facebook.

Harus di semua platform itukah kita mengabari mereka? Tak perlu. Satu atau dua saja yang kamu sendiri gunakan.

Ketiga, bagaimana tipsnya supaya katekese itu diterima oleh mereka? Ini menarik. Ada jutaan tulisan dan video tiap hari. Bagaimana supaya konten yang kita buat menarik mereka sehingga mereka terdorong untuk mendengar lebih banyak dari kita, sementara saat ini setiap orang bisa saja mengepos dan mempublikasikan apapun? Buatlah katekese yang berangkat dari situasi aktual, relevan dan kena dengan pendengar/pembaca/penonton sesuai platform yang kamu pilih. Tapi tidak hanya bahannya yang aktual, melainkan cara penyampaiannya juga.

Tidak akan langsung banyak orang yang melirik kontenmu. Hal itu terjadi pada semua bidang, bukan? Selalu sulit pada tahap memulai. Tentu saja harus realistis. Sediakanlah waktu yang cukup tanpa harus mengganggu kegiatanmu yang utama. Jika kamu siswa sekolah atau mahasiswa yang sedang kuliah, jangan sampai mengganggu waktu belajarmu. Jika kamu sudah bekerja dan berkeluarga, jangan sampai mengganggu pekerjaan utama dan waktu dengan keluarga.

Tapi jika ternyata tugas pokokmu berkaitan dengan katekese entah sebagai umat maupun sebagai klerus dan anggota lembaga hidup bakti, maka tentu kamu harus bergerak lebih cepat lagi. Belajar dan belajar lagi.


Apakah Konten itu harus Bagus?

Menang di era digital menjadi suatu keharus­an bagi para pelaku bisnis digital saat ini. Kemunculan bisnis berbasis digital kian marak. Profit ialah tujuan utama setiap usaha, sehingga setiap bisnis harus memikirkan sustainability (keberlangsungan) usaha. Tetapi, yang sedang kita bahas saat ini tidak pertama-tama beriorentasi bisnis, bukan?

Karena jika itu orientasi dan motivasi awal, memang akan sangat mudah kecewa di tengah proses bahkan di awal perjalanan. “Wah, ternyata sangat susah. Harus beli ini-itu untuk perlengkapan dan peralatan multimedia-nya. Harus sewa digital marketer yang handal supaya kanal atau situsku cepat naik dan memperoleh trafik yang besar, dan lain sebagainya”.

Betul. Jika memang kamu meletakkan orientasi profit sebagai prioritas, sangat wajar kamu akan kecewa lalu tidak mau lagi melakukannya. Lalu kembalilah ke situasi awal, kamu berdalih: Biarlah itu tugas para pelayan Gereja, entah pastor, suster, frater, bruder atau para pengurus.

Tentu kita tidak ingin pesimis seperti itu, bukan?

Karena itu, mulailah dari hal sederhana yang bisa kamu lakukan. Mulai dari sesuatu yang aktual dan relevan denganmu. Mengutip ungkapan dari tokoh besar Mahatma Gandhi: “Kenyataan yang terbuka untukku, pasti juga terbuka untuk orang lain” 

Saya beri contoh sederhana berupa konten dari Youtube.

Jika kamu senang bernyanyi, kamu boleh ikut bernyanyi. Misalnya seperti dicontohkan oleh para bapak dan ibu yang tergabung di Paduan Suara Cantate Domine Paroki Jl. Sibolga ini.

Jika kamu senang menyanyi dan membuat tutorial, kamu boleh meniru yang dilakukan teman Saya, Sastro Sihotang dengan konten tutorial bagaimana menyanyikan sebuah lagu untuk paduan suara ini.

Intinya, ada banyak sekali hal yang bisa kita lakukan, sesuai dengan apa yang kamu bisa dan biasa lakukan, bahkan tanpa mengandalkan pihak lain. Hanya kamu sendiri. Tanpa menunggu besok dan besok, sebab besok tidak ada habisnya.

  • Pergulatanmu memadukan identitas Katolik dengan etnisitas dari mana kamu lahir dan tumbuh, lewat peristiwa sehari-hari
  • Bincang-bincang iman dan membahas persoal aktual dari perspektifmu sebagai seorang umat Katolik
  • Review terhadap fasilitas gereja di tempatmu
  • Permenungan singkatmu tentang ajaran sosial Gereja yang sangat luas dan padat itu
  • (dan sederet ide lainnya yang tak mungkin bisa kusebut satu persatu di tulisan sesingkat ini)

 


BONUS: Sebuah Contoh Konkret Katekese Aktual

Ada aspek lain yang bisa kita perdalam untuk memastikan konten katekese itu sampai dan diterima pemirsa, yaitu bahan dan penyampaian yang aktual.

Dalam sebuah lagu pop Batak berjudul “Mauliate Ma” (Terima Kasih) yang dinyanyikan Shety Simamora ini, tersisip contoh katekese yang kreatif.

Katekese kreatif? Maksudnya bagaimana?

Artinya, si penulis lagu yakni Pengalaman Simamora (ketika itu masih menggunakan nama biarawannya: Frater Krispinus Simamora, OFM Cap) berupaya mengkristalkan nilai-nilai Katolik dalam muatan seni budaya lokal (lagu pop dalam bahasa Batak). Tak perlu banyak. Cukup dengan cuplikan beberapa detik (lihat di menit 4:08 – 4:13) berupa tayangan dimana sebuah keluarga memulai acara makan bersama di rumah dengan membuat tanda salib. Sesederhana itu.

Bukankah secara singkat seluruh kesaksian iman itu bisa terlihat secara visual dalam tanda salib? Bukankah kalau kita berani membuat tanda salib ketika makan di tempat makan, itulah kesaksian yang hidup?

Itulah yang ditampilkan lagi dalam video lagu ini. Digabung dengan syairnya, orang akan menemukan korelasi antara sikap beriman dan berbudaya. Oh, ternyata orang Katolik itu tetap membuat tanda salib ketika makan bersama. Tentu saja ini akan menggugah umat Katolik lainnya yang tidak lagi membuat tanda salib ketika makan bersama di tengah keluarga. Atau, jangan-jangan, sekedar makan bersama pun tak pernah lagi?

Jika pemirsa sudah sampai pada pertanyaan reflektif begini, kupikir kita setuju bahwa konten katekese yang dibuat itu sudah sampai dan diterima pemirsa. Tujuan katekese sudah tercapai. Saatnya membuat yang lain lagi.

Berhubung lirik dan lagunya sederhana serta melodinya pun mudah diikuti, mungkin kamu pun ingin menyanyikannya. Ini lirik lengkapnya:

Ho do da amang
Ho do da inang
Patureture au, mamparrohahon au di ngolungkon

Balga ni basam
Na sai huhilala
Mambaen sonang au
Mambaen mekkel au
Dohot donganhi

Dang tarbalos au
Burju ni basam
Ai holan tangiang do
na tarpatupa au borumon

Mauliate ma amang di haburjuon mi
Mauliate ma inang
Di akka podami na sai huhilala

Sai anggiat ma nian
sude na denggan i nang dohot podami
anggiat gabe sulu di parngoluonhi
Ho do da amang
Ho do da inang
Patureture au, mamparrohahon au di ngolungkon

(Interlude)

Balga ni basam
Na sai huhilala
Mambaen sonang au
Mambaen mekkel au
Dohot donganhi

Dang tarbalos au
Burju ni basam
Ai holan tangiang do
na tarpatupa au borumon

Mauliate ma amang di haburjuon mi
Mauliate ma inang
Di akka podami na sai huhilala

Sai anggiat ma nian
sude na denggan i nang dohot podami
anggiat gabe sulu di parngoluonhi


Epilog

Intinya, bikin saja dulu kontennya. Hahaha.

25 Tahun STFT St. Yohanes Sinaksak – Transkrip Homili Mgr. Martinus Dogma Situmorang

S – T – F – T

Nama itu menjadi demikian karena kita berada di republik ini.

S-e-k-o-l-a-h   T-i-n-g-g-i.

Dulu kita sebut Seminari Agung. Tetapi sekarang: “Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi”. Bukankah nama itu memukau? Bukankah nama itu menunjukkan bahwa disini ada himpunan nilai dan bobot yang harus diperhitungkan oleh orang?

Tetapi tentu saja kita tahu bahwa STFT mesti ini  diperhitungkan orang bukan karena namanya, tetapi karena isinya. Karena realitas keberadaannya dalam keseharian kita.

STFT ini tidak menjadi pemukau dan penarik minat karena kompleksnya yang asri. Karena keindahannya, STFT ini memang dihargai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun sebagai aset dan bisa menjadi satu tujuan wisata di wilayah ini. Mudah-mudahan tidak terjadi. Sebab kalau begitu, terlalu banyak urusannya, dan STFT ini harus berubah menjadi nama lain.

Saya hanya mau menegaskan: Ada nama. Ada kompleks. Ada fasilitas. Tetapi terlebih lagi: ada isi. Disini dididik orang-orang yang dipanggil secara khusus untuk memberikan seutuhnya seluruh dirinya melayani Tuhan di tengah umat. Sebab itu perguruan ini sudah langsung menjadi “locus”, tempat, “site” yang luar biasa. STFT adalah kumpulan orang-orang yang merasa dirinya dipanggil Tuhan untuk memberi diri seutuhnya, seluruhnya dan dalam segala-galanya kepada Tuhan.

Pada pertemuan ini ada orang-orang yang sudah mempersembahkan diri mereka seutuhnya dalam kaul mereka, dalam tahbisan imamat mereka, yakni para dosen dan peneliti yang kita hormati dan cintai. Ada Hirarki Indonesia. Ada hari Minggu. Ada “25 tahun STFT”, tempat pendidikan mereka dan menyerahkan diri seutuhnya kepadaNya.

Tetapi demikian, toh dengan rendah hati, dengan tulus dan bersahaja, kita harus berani menyelami dalam di lubuk hati kita, untuk melihat apakah kita melaksanakan perintah utama, perintah satu-satunya, yang diuraikan dalam Kitab Keluaran tadi secara negatif (kemungkinan yang dimaksud adalah Keluaran 20:4-6)

Yaitu perintah untuk menerima, memperhatikan mereka yang termarginalisasi, yang terabaikan, mereka yang miskin, terasing dalam bentuk apapun. Untuk menjadi saudara dan tuan rumah kepada mereka yang merasa dirinya terlantar, tidak punya tempat.

Yang menurut Santo Paulus dihayati dengan sangat saksama dan sangat pribadi oleh jemaat di Tesalonika. Jemaat Tesalonika yang berada di tengah masyarakat dengan segala modernitasnya di zaman itu, tetapi hidup  umat menjadi pemberitaan Injil. Sehingga Paulus tidak usah bertanya kepada siapapun. Orang yang mengatakan bahwa jemaat itu bagus, hebat, dahsyat, dalam penampilannya di tengah masyarakat.

Karena apa? Karena mereka menghayati Perintah Utama. Perintah, yang dirumuskan oleh Yesus dengan sangat sederhana, menjawab orang-orang Farisi yang menganggap dirinya tokoh utama dan terdidik di tengah masyarakat yahudi, dan tentu saja, di seantero masyarakat manusia.

Jawaban yang Tuhan berikan kepada mereka yang datang dengan kepercayaan diri yang di atas rata-rata. Orang-orang yang mengharapkan akan mendapatkan “credit point” sesudah Yesus menaklukkan dengan telak para kaum Saduki tentang kebangkitan. Bahwa Allah itu adalah Allah yang hidup. Ada kebangkitan.

Tetapi untuk sampai kebangkitan yang hakiki, perintah satu-satunya: Cintailah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap tenagamu, dan cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri.

Dimana dan sejauhmana perintah ini memberi arah, memberi arti dan menentukan program, jadwal harian kita, dan tingkah laku kita? Sejauhmana (kita melaksanakan) perintah Cinta Kasih ini: mencintai Tuhan, mencintai, tetapi bukan saja mencintai, tetapi dengan seluruh diri. Total. Tidak ada sisa-sisanya. Tidak ada ruang kosong. Tidak ada waktu dimana cinta itu boleh absen.

Maka hendaknya seluruh diri kita, seluruh perayaan kita, seluruh evangelisasi kita, seluruh hirarki kita dengan segala urutannya, mestilah mendapat kepenuhan arti sekaligus mendapat energi batin. Kekuatan yang tak terkalahkan sampai kapanpun. Demikian juga STFT kita.

Tetapi, kenapa itu? Bagaimana Tuhan bisa menyampaikan kepada kita perintah yang kedengarannya, tampaknya, begitu indah, begitu sederhana:  Cintailah Tuhan Allahmu, cintailah sesama. Sederhana, tetapi total. Bagaimana bisa?

Saudara. Bisa, karena Tuhan melimpahkan. Bisa, karena seluruh diri kita sesungguhnya adalah buah cinta. Keberadaan kita adalah dalam genggaman cinta Tuhan yang abadi dan sempurna. Cinta itu yang terus menerus menghidupi dan memberi energi bagi kita. Kemampuan untuk menderita juga seperti umat di Tesalonika. Kemampuan juga untuk menerima orang asing. Sehingga kita tidak barangkali lagi terlalu gampang mengeluh tentang keadaan republik ini, keadaan hirarki, keadaan umat, keadaan ini dan itu. 

Tidak lagi mengeluh satu sama lain. Tetapi dengan energi kasih dan dicurahkan oleh Roh Tuhan itu, dengan kelimpahan yang melampaui segala perhitungan. Sebab itu sesungguhnya, tinggal setiap hari,  dari pagi sampai malam, dalam kemampuan kita yang paling indah: terbuka menerima kasih Tuhan. Membiarkan Dia menegur kita. Membiarkan Dia membimbing kita ke arah yang benar. Membiarkan dia mengatakan “go ahead”, lanjutkan!  Apapun keadaan kita. Apapun keadaan misi kita sebagai Gereja di Indonesia, di Sumatera.

Sebab sambil berbangga atas segala pencapaian yang dikerjakan oleh rahmat Tuhan, mungkin kita juga harus berkata: jangan-jangan ada yang tersia-siakan dari kelimpahan berkat ini.


Saya tutup dengan cerita pendek. Dengan semua uskup di Indonesia, kami menemui Paus. Akhir bulan lalu. Saya melakukan apa yang Saya rasa harus Saya lakukan. Tetapi, Saya dengan jujur mengatakan, “Tuhan, mengapa saya tidak lebih ramah kepada Monsigneur Hilarius ini?” Mengapa Saya mesti nampak begini, dan bukan seperti Yesus? Dan di Makam Rasul Paulus, Saya merasakannya. 

Ketika pulang ke Indonesia, Saya mendapat kecelakaan kecil, dalam arti Saya harus terlantar di perjalanan. Saya harus berhenti di Doha, Qatar, selama 14 jam. Sekiranya saya berhenti 14 jam di Medan, Saya akan bergembira. Tetapi di Doha tidak. Tidak ada hotel, tidak boleh kemana-mana, dan lain-lain. Saya berdoa puluhan kali Rosario.

Juga di pesawat, sesudah marah dengan pelayan check-in, karena barang yang sudah Saya bayar tidak boleh Saya tenteng. 

Ini sharing saja.

Biarpun saya berusaha berdamai dengan orang itu, berdamai dengan diri sendiri, berdoa puluhan kali Rosario, toh pertanyaan yang menggugah: itukah segalanya? Atau ada lebih yang boleh disikapi dan dilakukan, baik dalam peristiwa ini maupun dalam kehidupan sehari-hari?

Kasih Tuhan. Dengan menghidupi kasih Tuhan itulah kita bermisi.


Saudara-saudari terkasih! Semua fasilitas kita adalah pemberian Tuhan juga. Tetapi yakinlah bahwa kemampuan kita untuk menjangkau adalah kasih yang kita terima dari Tuhan, dan kasih yang kita hayati.

Sebab itu Yesus, Yesus, dan Yesus, yang adalah kehadiran dan pemberian diri allah yang sempurna, adalah guru kita, adalah sumber energi kita, adalah teman seperjalanan kita, adalah orang yang bermisi dengan kita, dan adalah orang yang ber-STFT dengan kita. Hingga 25 tahun hari ini.

Tetapi kita baru sampai di akhir zaman kalau Tuhan berkenan demikian. Amin

Mahasiswa Tingkat II STFT Sinaksak T.A. 2007-2008. (Saya ada di barisan paling belakang.)

Tulisan ini adalah hasil transkrip dengan gubahan seperlunya dari audio kiriman P. Benny Manurung, OFM Cap.

 

KAPOK. AKU TAK MAU DISUNAT LAGI!

Foto: Hipwee

 

Kupikir tak perlu lagi diterangkan apa itu sunat ya.

Apalagi kalau sampai ditanya “prosesnya bagaimana? bagian mana yang disunat? Setelah disunat, itu yang sudah terpotong benar diamankan secara saksama khan? Soalnya ngeri-ngeri sedap, saban hari ada yang bilang, ada yang jual sate kulup. Hoeeeks

Tak perlu kusebut namanya. Selain tak ingat betul detailnya, juga tak elok dituangkan dalam tulisan.

Tulisan Sumanto Al Qurtuby ini cukup mengena denganku, meski dalam konteks yang berbeda. Besar dalam ajaran Katolik, budaya Batak Toba, karena suatu “kecelakaan” kecil, aku juga jadi pelaku (atau malah korban ya?), ikut mengalami yang namanya sunat ini.

(Kecelakaan apa sih? Eh, kepo ya? Ceritain nggak nih. Eh, jangan dulu deh. Itu rahasia perusahaan soalnya)

Hahaha.

Pokoknya, adalah fakta bahwa di sebuah rumah sakit di Pematangsiantar, pada tahun 2001, terjadilah reduksi kulit pada bagian tubuhku yang letaknya antara perut dan lutut ini. (Caelah, istilahnya). Jadi, ini bukan hoax.

Cukup kompleks perasaanku ketika peristiwa itu terjadi. Selain memang tak lazim di komunitas tempatku tinggal dan dididik, juga tak banyak yang kutahu soal seluk-beluk persunatan ini dulu. Untunglah pengalaman sunat ini sudah dituliskan oleh Pak Prof Sumanto. Sudah apik sekali diuraikan oleh sang profesor. Maka kuposkan ulang saja tanpa perubahan berarti.

Intinya: bagi kalian yang sudah pernah disunat, jangan mau disunat untuk kedua kalinya.

Pokoknya jangan deh.


Sunat memiliki sejarah yang sangat panjang meskipun tidak sepanjang yang disunat. Sebagai antropolog budaya, Saya mempelajari aneka ragam praktik tradisi dan kebudayaan umat manusia dimana saja, termasuk masalah persunatan ini.

Dari catatan sejarah dan antropologi menunjukkan ada cukup banyak kelompok masyarakat – suku kecil maupun besar – yang mempraktekkan sunat. Jadi umat Yahudi Kuno (Israelites atau Yahudi Alkitab) bukanlah satu-satunya kelompok yang mempraktekkan sunat ini.

Dalam sejarahnya, sunat mempunyai bayak motif dan tujuan. Masing-masing orang atau kelompok (suku, agama dlsb) berlainan.

Ada yang melakukan sunat sebagai “tanda loyalitas” terhadap kelompok tertentu; Ada lagi sebagai “simbol identitas” kelompok untuk membedakan “minna” (in group) dan “minhum” (out group); Ada juga yang menjadikan sunat sebagai “medium penghukuman” atas orang/kelompok yang kalah dalam perang atau pertempuran. Jadi, kelompok yang kalah disunat. Kelompok yang lain lagi menjadikan sunat untuk alasan kesehatan, dan lain sebagainya.

Dulu (dalam batas tertentu sampai sekarang), di kampungku (juga di kampung-kampung Jawa pada umumnya), sunat dijadikan sebagai “lahan bisnis” untuk mengumpulkan sumbangan dari warga. Jadi, acara sunat dirayakan dengan membagi undangan ke warga kampung, teman, kenalan, atau sanak-saudara di luar kampung.

Yang mempunyai hajatan sunatan biasanya “menanggap” tape, salon/loudspeaker sehingga semua warga mendengar kalau ada yang punya hajatan sunatan. Kalau tuan rumah mampu, mereka juga menanggap wayang, layar tancap, ndangdut, campur sari, kuda lumping, jaran kepang, tayub, lengger, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan dan ketebalan kantong.

Warga atau yang diberi undangan akan datang menyumbang macam-macam. Yang perempuan biasanya menyumbang beras, ayam, telor (ayam, bebek), solong, kubis, mie dan kain/bahan untuk sarung. Semua sesuai kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu mereka menyumbang ayam jago. Kalau yang tidak mampu pakai “ayam kontet” alias cacingan atau “kandidat ayam/bebek” (telor atau endog maksude inyong).

Kelak, kalau giliran yang menyumbang itu punya hajatan, si empunya hajat gantian mengembalikan/menyumbang barang-barang persis seperti apa yang mereka bawa saat menyumbang itu. Kalau nyumbang-nya tidak sama, nanti akan menjadi bahan gunjingan. “Dulu saya nyumbang segini kok sekarang disumbang segitu, dasar wong semprul

Sementara itu, yang laki-laki biasanya nyumbang pakai uang yang ditaruh di dalam amlop. Ingat, meskipun ditaruh di amplop, yang punya hajat tahu “siapa menyumbang berapa” karena ada “tim khusus” bidang peramplopan yang menyelidiki dan mengecek sumbangan”.

Dulu, orang menyumbang memakai “salam tempel”, langsung diberikan ke yang punya hajat. Mereka tidak memakai sistem kotak atau tong seperti zaman sekarang. Mereka wajib tahu isi amplop itu karena kelak mereka juga wajib mengembalikan / menyumbang pada si pemberi amplop kalau mereka sedang punya hajat, baik mantenan maupun sunatan.

Yang anak-anak juga ikut nyumbang, meskipun nominalnya biasanya lebih kecil dibanding orang tua mereka.

Selain sebagai medium mengumpulkan kekayaan, sunat juga sebetulnya merupakan “teror psikologis” yang menakutkan. Anak-anak pada usia tertentu kalau belum disunat akan diledek atau di-bully. Masalahnya, sunat dulu merupakan “drama yang mencekam”.

Kok bisa? Sekarang banyak dokter sunat dengan peralatan dan obat yang super canggih sehingga membuat yang disunat bisa ketawa-ketiwi dan bisa sembuh cepat. Jadi, mau kombak-kambek sunat juga tidak masalah kalau mau.

Tapi dulu coy, stok yang ada cuma dukun sunat dengan pisau tajam mengkilat (bahkan sebelumnya mereka memakai irisan pohon bambu, namanya “welad”) untuk memotong si “kulup” yang menutupi kepala si “titit” alias penis. Obat pun ala kadarnya.

Sedangkan proses sunatnya di depan rumah yang punya hajat dan ditonton oleh semua warga. Si anak memakai kain jarik kemudian dipangku oleh ayah atau anggota keluarga dekat sambil duduk di kursi, lalu jarik-nya disingkap untuk menutupi matanya. Habis itu, semua urusan diserahkan ke dukun sunat. Sehabis dipotong kulit si kulup, darah pun mengucur deras. Yang disunat tentu saja seketika “nggembor” nangis. Betul-betul mencekam.

Karena proses sunat yang mencekam itu, maka dulu banyak anak yang menunda sunat sampai lumayan besar (maksudnya, anaknya yang besar sampai agak remaja) baru disunat, termasuk Saya.

Saya dulu disunat kelas 3 MTs (SMP) tapi tidak pakai dukun sunat melainkan dokter. Saya kira Saya anak pertama di kampung yang disunat oleh dokter, bukan di depan rumah tapi di tempat praktik pak dokter di kecamatan. Meski disunat dokter, peralatan juga belum cukup canggih waktu itu.

Sehabis disunat Saya merasakan satu jam tidak merasa sakit tapi setelah itu Saya nangis ngguling-ngguling. Panas sekali titit-ku. Karena tidak ada obat “pain killers”, beberapa orang (termasuk orang tuaku) membantu mengipasi si titit semaleman di kamar.

Lumayan menderita selama beberapa minggu. Karena itu Saya kapok disunat lagi, Lur.

Sumpeh suwer yakin cir gobang gocir. Cukup sekali saja seumur hidup…

 

Disadur seperlunya dari tulisan Sumanto Al Qurtuby di halaman Facebook-nya.

 

Komunitas Yahudi di Indonesia

Jejak komunitas Yahudi di Indonsia memang tampak samar. Selain tidak dikenali secara luas, kelompok ini seperti ada dan tiada.

Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia menimbulkan keengganan bagi komunitas ini untuk tampil di muka publik

Prof. Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel menulis: “Kehadiran orang Yahudi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1290. Mereka adalah saudagar dari Fustat, Mesir yang berdagang di Barus, Sumatera Utara”

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya perusahaan Belanda (VOC) pada tahun 1602. Perkembangan komunitas Yahudi di Indonesia semakin meningkat pada 1870. Saat itu, komunitas Yahudi Amsterdam mengirim seorang rabi ke Indonesia. Kemudian, pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa. Dia melaporkan, saat itu terdapat dua ribu orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.

Kaum Yahudi di Indonesia terbagi atas tiga golongan:

Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dulu dipekerjakan pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru dan dokter.

Kedua, Yahudi Baghdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor dan pemilik toko. Yahudi Bagdadi ini dikenal religius, bahkan ada yang ultra-ortodoks.

Ketiga, Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka berasal dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Beberapa diantaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Indonesia.

Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur.

Akan tetapi, nasionalisasi segala yang berbau asing oleh Presiden Sukarno di awal 1950-an memantik migrasi besar-besaran keturunan Yahudi dari Indonesia kembali ke tempat asal mereka setelah situasi aman, atau ke tempat lain. Ditambah lagi Penetapan Presiden tahun 1965 tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama resmi yang diakui (difasilitasi) pemerintah.

Tahun 2004, komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya Sinagoga “Ohel Yaakov” di kota Manado, Sulawesi Utara. Yang paling mencolok adalah dibangunnya sebuah menorah berukuran raksasa setinggi 19 meter, di sebuah puncak dataran tinggi di pinggiran kota Manado. Sinagoga (synagogue) adalah tempat beribadah orang Yahudi, sementara menorah adalah lambang suci yang dipakai dalam ritual ibadat Yahudi.

Di Jakarta Selatan (Batavia), ada tujuh kuburan berlambang bintang Daud dan berbahasa Ibrani di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, menjadi bukti kaum Yahudi pernah tinggal dan berbaur dengan warga kota Jakarta.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, mengatakan bahwa sebelum perang Arab-Israel tahun 1948 warga Yahudi hidup rukun dengan warga lainnya. Mereka bercampur-baur dengan warga muslim Jakarta. Apalagi, banyak Yahudi dari Timur Tengah yang juga masih bisa bahkan fasih berbahasa Arab, dan wajah mereka pun sangat mirip dengan bangsa Arab lainnya yang ada di Jakarta. Dalam kegiatan dagang, mereka tidak menyembunyikan identitas ke-Yahudi-annya.

Keberadaan komunitas Yahudi di Jakarta juga tergambar dari salah satu prajurit Belanda keturunan Yahudi bernama Leendert Miero (1755-1834). Selain menjadi prajurit, dia juga pernah menjadid tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi sekarang. Nama “Pondok Gede” (gedung/rumah yang sangat besar) sendiri merujuk pada kediaman Miero. Kini, bekas peninggalan rumah gedong milik Leendert Miero itu menjadi pusat perbelanjaan.

Sebuah artikel Selisip.Com mengisahkan Dorothy Marx, seorang pendeta dan teolog berdarah Yahudi. Dorothy dikeal luas di GKI, PGI, kampus UKI, ITB, UPI (dulu IKIP Malang), Universitas Kristen Maranatha, STT Bandung, STT Jakarta, SAAT Malang, Perkantas serta berbagai lembaga persekutuan di Bandung. Dorothy, yang lahir di Munchen (Jerman) pada 16 Februari 1923, pindah ke Inggris jelang Perang Dunia II. Ia pertama kali melayani Indonesia pada 1957 sbagai misionaris OMF (Overseas Missionary Fellowship) usai ia lulus dari Universitas Tubingen dan Lousiana Baptist University. Dorothy dikenal luas atas tulisan dan kontribusinya terhadap pendidikan para calon pendeta, terutama GKI.

Sekalipun komunitas Yahudi telah berjejak lama, dengan warisan seni dan budaya termasuk yang juga mereka bawa dan pelihara, namun Indonesia tetap tidak mengakui keberadaan negeri asal komunitas Yahudi itu, yakni Israel. Konflik antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah terutama dengan Palestina telah mewariskan sentimen negatif pada masyarakat Indonesia terhadap komunitas Yahudi.

Sentimen negatif terhadap Israel (termasuk komunitas Yahudi di Indonesia juga menerima imbasnya) diduga juga “dibakar” dengan kutipan dan interpretasi liar atas ayat-ayat Kitab Suci untuk tujuan tertentu. Padahal, Indonesia khususnya melalui ABRI sudah sejak lama menjalin hubungan dengan Israel, seperti pembelian pesawat A-4 Skyhawk, belum lagi kerjasama intelijen dalam memerangi terorisme. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kelompok simpatisan teroris di Indonesia gencar melancarkan propaganda anti-Israel dan anti-Yahudi karena mereka tahu gerakan mereka akan dibantai oleh teknologi maju dari Israel itu.

Tambahan lagi, sebagian masyarakat Indonesia terlanjur percaya dengan keberadaan Yahudi yang konon tidak bisa lepas dari gerakan Freemasonry, yakni gerakan diam-diam orang Yahudi untuk menguasai dunia.

 


Disadur dari berbagai sumber

 

 

 

Kritik Seni

Dear warga Boemi, pernahkah mendengar istilah kritik? Atau bahkan kamu sendiri melakukan kritik tanpa menyadarinya?

Pada tulisan ini kita akan mengulas arti kritik secara umum dan beranjak ke kritik seni beserta penjelasan ringkasnya.

Apa itu Kritik

Kritik adalah tanggapan yang umum diberikan oleh seseorang ketika mengapresiasi ide atau gagasan orang lain. Ketika diperkenalkan pada kritik seni, banyak orang mengaitkan kata ‘kritik’ dengan konotasi negatifnya. Kritik identik dengan ekspresi ketidaksetujuan seseorang atau sesuatu berdasarkan kesalahan atau kesalahan yang dirasakan.

Ini tidak sepenuhnya benar. Ditransliterasi dari istilah bahasa Inggris ‘criticism‘ tidak hanya berupa ketidaksetujuan atas pendapat seseorang (the expression of disapproval of someone or something based on perceived faults or mistakes), tetapi juga analisi dan penilaian atas manfaat dan kekurangan pada sebuah karya sastra maupun seni (the analysis and judgment of the merits and faults of a literary or artistic work).

Kritik tidak mengacu pada stereotip ketidaksetujuan semata. Kritik yang baik justru adalah tanggapan yang tidak hanya mencari kesalahan, tetapi juga memperlihatkan keunggulan dan menunjukan kemungkinan-kemungkinan yang diambil untuk memperbaiki kesalahan gagasan yang dikritik tersebut.

Dalam bidang keilmuan, kritik adalah tanggapan evaluatif untuk menilai dan mengoreksi suatu gagasan yang dapat terjadi di segala bidang kehidupan manusia. Orang yang melakukan kritik disebut kritikus (dalam bahasa Inggris ‘critic‘).

Kritik Seni

Membuat kritik seni berarti mempelajari kekurangan dan kelebihan dari suatu karya seni dengan memberikan alasan berdasarkan berbagai analisa dan pengkajian. Kelebihan dan kekurangan itu dipergunakan dalam bermacam hal, terutama sebagai bahan untuk mengetahui kualitas dari sebuah karya.

Kritik dimulai dari hasil pengamatan sekilas atas sebuah karya seni (apersepsi) yang memunculkan kebutuhan untuk memahami (apresiasi), kemudian beranjak pada kebutuhan analisa lebih lanjut bahkan mendapatkan kesenangan dari kegiatan berdiskusi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan karya seni tersebut. Maka, setiap orang bisa melakukan apersepsi. Setiap orang juga bisa melakukan apresiasi pada kadar tertentu. Akan tetapi, tidak setiap orang bisa menghasilkan kritik seni karena untuk itu ia akan membutuhkan pengetahuan dan kecakapan analisa pada bidang seni yang bersangkutan.

Seiring dengan perkembangan pemikiran seni dan kebutuhan publik terhadap dunia seni, kegiatan kritik kemudian berkembang dan mengisi berbagai fungsi sosial lainnya.

Esensi Kritik Seni

Kritik seni merespon, menafsirkan makna, dan membuat penilaian kritis tentang karya seni tertentu. Kritik seni membantu pemirsa memahami, menafsirkan, dan menilai karya seni. Biasanya Kritikus cenderung lebih fokus pada seni modern dan kontemporer dari budaya yang dekat dengan budaya mereka sendiri. Sementara Sejarawan seni cenderung mempelajari karya yang dibuat dalam budaya yang lebih jauh dalam ruang dan waktu.

Kritik karya seni (baik seni rupa maupun seni musik) tidak hanya meningkatkan kualitas apresiasi dan pemahan terhadap sebuah karya, tapi dipergunakan juga sebagai standar tersendiri untuk meningkatkan kualitas hasil berkarya. Tanggapan yang disampaikan oleh seorang kritikus ternama akan sangat mempengaruhi persepsi apresiator terhadap kualitas sebuah karya seni hingga dapat mempengaruhi penilaian harga dari karya tersebut.

Fungsi Kritik Seni

Pertama, menjembatani persepsi dan apresiasi artistik dan estetik karya seni antara pencipta (seniman, artis), karya, dan penikmat seni. Komunikasi antara karya yang disajikan kepada penikmat (publik) seni membuahkan interaksi timbal-balik yang berkelanjutan diantara kedua pihak.

Kedua, menjadi dua mata panah yang saling dibutuhkan, baik oleh seniman maupun penikmat. Seniman membutuhkan mata panah tajam untuk mendeteksi kelemahan, mengupas kedalaman, serta membangun kekurangan. Seniman memerlukan umpan-balik guna merefleksi komunikasi-ekspresifnya, sehingga nilai dan apresiasi tergambar dalam realita harapan idealismenya.

Publik seni (masyarakat penikmat) dalam proses apresiasinya terhadap karya seni membutuhkan tali penghubung guna memberikan bantuan pemahaman terhadap realita artistik dan estetik dalam karya seni. Proses apresiasi menjadi semakin terjalin lekat, manakala kritik memberikan media komunikasi persepsi yang memadai. Kritik dengan gaya bahasa lisan maupun tulisan yang berupaya mengupas, menganalisis serta menciptakan sudut interpretasi karya seni, diharapkan memudahkan bagi seniman dan penikmat untuk berkomunikasi melalui karya seni.

Jenis Kritik Seni

Oleh karena itu, kritik karya seni memiliki perbedaan jenis berdasarkan dari tujuan kritik (Feldman, 1967) yaitu:

  1. Kritik Populer (popular criticism)
    Kritik populer adalah jenis kritik seni yang ditujukan untuk konsumsi masyarakat pada umumnya. Tanggapan yang disampaikan melalui kritik jenis ini bersifat pengenalan karya secara umum. Dalam tulisan kritik populer, biasanya dipergunakan bahasa dan istilah-istilah sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
  2. Kritik Jurnalis (journalistic criticism)
    Kritik jurnalis adalah jenis kritik seni yang hasil tanggapan atau penilaiannya disampaikan secara terbuka kepada publik melaui media massa khususnya surat kabar. Kritik ini hampir sama dengan kritik populer, tetapi ulasannya lebih dalam dan tajam. Kritik jurnalistik sangat cepat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kualitas dari sebuah karya seni, karena sifat dari media massa dalam mengkomunikasikan hasil tanggapannya.
  3. Kritik Keilmuan (scholarly criticism)
    Kritik keilmuan merupakan jenis kritik yang bersifat akademis dan memerlukan wawasan, pengetahuan, kemampuan dan kepekaan yang tinggi untuk menanggapi sebuah karya seni. Kritik jenis ini umumnya disampaikan oleh seorang kritikus yang sudah teruji kepakarannya dalam bidang seni pada umumnya. Kritik yang disampaikan mengikuti kaidah-kaidah atau metodologi kritik secara akademis. Hasil tanggapan melalui kritik keilmuan seringkali dijadikan referansi bagi para penulis karya ilmiah lain atau kolektor, kurator, galeri dan institusi seni yang lainnya.
  4. Kritik Kependidikan (pedagogical criticism)
    Kritik kependidikan merupakan kegiatan kritik yang bertujuan mengangkat atau meningkatkan kepekaan artistik serta estetika pelajar seni. Jenis kritik ini umumnya digunakan di lembaga-lembaga pendidikan seni terutama untuk meningkatkan kualitas karya seni yang dihasilkan peserta didiknya. Kritik jenis kependidikan biasanya digunakan oleh pengajar bidang ilmu seni dalam mata pelajaran pendidikan seni.

Pemahaman terhadap keempat tipe kritik seni dapat menentukan pola pikir kita saat melakukan kritik seni. Setiap jenis mempunyai berbagai cara dan metode yang berbeda dari sudut pandang, sasaran, dan materi yang tidak sama.

Bentuk Kritik Seni

Selain berdasarkan tujuan, kritik seni memilik berbagai bentuk yang berbeda berdasarkan perbedaan pendekatan dan metode yang digunakan. Selain jenis kritik yang disampaikan oleh Feldman, berdasarkan landasan yang digunakan, dikenal juga beberapa bentuk kritik yaitu: kritik formalistik, kritik ekspresivistik dan instrumentalistik. Berikut adalah pemaparannya.

  1. Kritik Formalistik
    Melalui pendekatan formalistik, kajian kritik ditujukan utamanya terhadap karya seni sebagai konfigurasi aspek-aspek formalnya, aspek bentuk atau unsur-unsur pembentukannya. Pada sebuah karya lukisan misalnya, maka sasaran kritik lebih tertuju kepada kualitas penyusunan (komposisi) unsur-unsur visual seperti warna, garis, tekstur, dan sebagainya yang terdapat dalam karya tersebut. Kritik formalistik berkaitan juga dengan kualitas teknik dan bahan yang digunakan dalam berkarya seni.
  2. Kritik Ekspresivistik
    Pendekatan ekspresivistik dalam kritik seni, kritikus kemungkinan akan menilai dan menanggapi kualitas gagasan dan perasaan atau ekspresi yang ingin dikomunikasikan oleh seniman melalui sebuah karya seni. Kegiatan kritik ekspresivistik umumnya menanggapi kesesuaian atau keterkaitan antara judul, tema, isi dan visualisasi objek-objek yang ditampilkan dalam sebuah karya.
  3. Kritik Instrumentalistik
    Melalui pendekatan instrumentalistik sebuah karya seni dikritisi berdasarkan kemampuannya dalam upaya mencapai tujuan, moral, religius, politik atau psikologi. Pendekatan kritik ini tidak terlalu mempersoalkan kualitas formal dari sebuah karya seni tetapi lebih melihat aspek konteksnya baik saat ini maupun masa lalu. Sebuah lukisan misalnya, dikritisi tidak saja berdasarkan kualitas teknis penciptaan lukisannya saja tetapi keterkaitan antara objek, isi, tema dan tujuan serta pesan moral yang ingin disampaikan pelukisnya atau interpretasi pengamatnya terhadap konteks ketika karya tersebut dihadirkan, bukan hanya secara formalistik seperti yang telah dijelaskan diatas.

Tahapan Kritik Seni

Mengelompokan kritik seni beradasarkan tahapannya akan mempermudah proses menulis kritik. Dengan menggunakan tahapan-tahapan yang teratur kita akan lebih jeli untuk mempertimbangkan berbagai kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya seni. Berdasarkan beberapa uraian tentang pendekatan dalam kritik seni, dapat dirumuskan tahapan-tahapan kritik secara umum sebagai berikut:

A. Deskripsi
Deskripsi adalah tahapan dalam kritik untuk memperhatikan, menemukan berbagai unsur terkecil seni, mencatat dan mendeskripsikan segala sesuatu yang dilihat apa adanya tanpa berusaha melakukan analisis atau mengambil kesimpulan terlebih dahulu. Untuk dapat mendeskripsikan dengan baik, seorang kritikus harus mengetahui istilah-istilah teknis yang umum digunakan dalam dunia seni rupa. Tanpa pengetahuan tersebut, maka kritikus akan kesulitan untuk mendeskripsikan fenomena menarik yang terdapat pada karya yang dilihatnya. Deskripsi harus menjawab pertanyaan ‘apa yang kita lihat?’ (hasil dari tindakan apersepsi).

Berikut contoh unsur dan prinsip yang dapat diikuti ketika melakukan analisis formal terhadap karya seni. Berbagai elemen yang merupakan deskripsi meliputi:

  • Bentuk seni adalah lukisan, patung atau salah satu media seni lain.
  • Medium apa yang digunakan, misal cat, batu, dll, dan teknik (alat yang digunakan).
  • Ukuran dan skala pekerjaan (hubungan dengan orang, bingkai atau konteks skala lain).
  • Elemen atau bentuk umum dalam komposisi, termasuk pembangunan struktur atau lukisan; identifikasi benda.
  • Deskripsi poros apakah vertikal, diagonal, horizontal, dan seterusnya.
  • Deskripsi garis, termasuk kontur seperti lembut, planar, bergerigi, dan seterusnya.
  • Deskripsi tentang bagaimana garis menggambarkan bentuk dan ruang (volume); membedakan antara garis objek dan garis komposisi. Misalnya: tebal, tipis, bervariasi, tidak beraturan, terputus-putus, tidak jelas, dan seterusnya
  • Hubungan antara bentuk, misalnya, besar dan kecil, tumpang tindih, dan seterusnya.
  • Deskripsi skema warna dan warna; palet.
  • Tekstur permukaan atau komentar lain tentang pelaksanaan pekerjaan.
  • Konteks objek: lokasi asli dan tanggal pembuatan.

B. Analisis formal
Analisis formal adalah tahapan dalam kritik karya seni untuk menelusuri sebuah karya seni berdasarkan struktur formal atau unsur-unsur pembentuknya.

Pada tahap ini seorang kritikus harus memahami unsur-unsur dan prinsip-prinsip seni serta ilmu penataan komposisi unsur dalam sebuah karya seni. Analisis formal berarti menentukan apa unsur dan prinsip yang digunakan dan memutuskan mengapa seniman menggunakan berbagai fitur tersebut untuk menyampaikan gagasannya.

Analisis ini menjawab pertanyaan, “Bagaimana seniman melakukannya?”

Setelah melakukan apersepsi dan apresiasi atas sebuah karya seni rupa, misalnya patung, kritikus harus mampu menjawab: “Bagaimana si perupa menghasilkan patung sebagus ini?”

Setelah melakukan apersepsi dan apresiasi atas sebuah karya seni musik, misalnya lagu pop, kritikus yang baik harus mampu menjawab: “Bagaimana si pencipta lagu menghasilkan lagu seindah ini?”

Untuk seni rupa, misalnya, elemen analisis formal meliputi:

  • Penentuan materi pelajaran melalui penentuan elemen ikonografi, misalnya peristiwa historis, alegori, mitologi.
  • Pemilihan fitur atau karakteristik yang paling khas baik garis, bentuk, warna, tekstur.
  • Analisis prinsip-prinsip seni rupa dan desain atau komposisi, misalnya, seimbang, jomplang
  • Kesatuan, irama, keselarasan.
  • Pembahasan tentang bagaimana elemen atau sistem struktural berkontribusi terhadap tampilan gambar atau fungsi.
  • Analisis penggunaan cahaya dan peran warna, misalnya, kontras, bayangan, dingin, hangat, warna sebagai simbol.
  • Perlakuan terhadap ruang, baik yang nyata maupun yang ilusi (termasuk penggunaan perspektif), misalnya, kompak, dalam, dangkal, naturalistik, acak.
  • Penggambaran gerakan dan bagaimana bentuk yang dihasilkan.
  • Efek medium tertentu yang digunakan
  • Persepsi seniman terhadap keseimbangan, proporsi dan skala (hubungan setiap bagian komposisi secara keseluruhan dan satu sama lain) dan emosi atau ekspresi yang dihasilkan.
  • Reaksi terhadap objek atau monumen

Untuk dapat melakukan analisis formal, kita harus mengerti mengenai unsur-unsur dari karya seni dan mengupasnya hingga pada bagian terkecil dengan detail yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

C. Interpretasi
Interpretasi adalah penafsiran makna atau isi sebuah karya seni meliputi tema yang digarap, simbol yang dihadirkan dan tanda-tanda lain yang dimunculkan. Penafsiran ini sangat terbuka sifatnya, dipengaruhi sudut pandang dan wawasan kritikusnya. Semakin luas wawasan seorang kritikus biasanya semakin kaya interpretasi karya yang dikritisinya.

Interpretasi harus dapat menjawab pertanyaan, ‘Mengapa seniman menciptakannya dan apa artinya’

Beberapa elemen yang merupakan interpretasi meliputi:

  • Ide utama: keseluruhan arti dari karya.
  • Pernyataan Interpretasi: dapatkah kita mengungkapkan apa yang kita pikirkan /tafsirkan tentang karya seni itu dalam satu kalimat?
  • Bukti: bukti apa yang ada di dalam dan di luar karya seni itu, untuk mendukung penafsiran kita.

Mengapa perlu interpretasi?

Karya seni memiliki “ketidakjelasan” dan dibutuhkan interpretasi. Interpretasi adalah argumen persuasif. Interpretasi tertentu lebih baik dari yang lain.

Ingatlah prinsip interpretasi berikut ketika kamu menulis kritik seni:

  1. Penafsiran seni yang baik lebih banyak menceritakan tentang karya seni itu sendiri daripada penafsirnya sendiri.
  2. Perasaan adalah panduan untuk interpretasi.
  3. Ada interpretasi yang berbeda, bersaing, dan kontradiktif terhadap karya seni yang sama.
  4. Interpretasi sering didasarkan pada pandangan dunia.
  5. Interpretasi tidak terlalu benar, tapi kurang lebih masuk akal, meyakinkan, mencerahkan, dan informatif.
  6. Interpretasi dapat dinilai berdasarkan koherensi, korespondensi, dan inklusivitas.
  7. Sebuah karya seni belum tentu tentang apa yang seniman inginkan.
  8. Seorang kritikus seharusnya tidak menjadi juru bicara seniman.
  9. Interpretasi harus menyajikan bagian terbaik karya, bukan bagian terlemahnya
  10. Objek penafsiran adalah karya seni, bukan seniman.
  11. Semua karya seni adalh bagian tentang dunia di mana ia muncul.
  12. Semua karya seni adalah bagian dari karya seni lainnya.
  13. Tidak ada penafsiran yang lengkap tentang arti sebuah karya seni.
  14. Makna sebuah karya seni mungkin berbeda dari kepentingan pemirsa.
  15. Interpretasi pada akhirnya adalah usaha komunal, dan masyarakat pada akhirnya mungkin akan mengoreksinya lagi.
  16. Interpretasi yang baik akan mengundang kita untuk melihat diri kita dan melanjutkan interpretasi menurut pendapat kita sendiri.

D. Evaluasi atau penilaian
Evaluasi merupakan tahapan yang menjadi ciri utama dari kritik karya seni jika dibandingkan dengan apresiasi. Evaluasi atau penilaian adalah tahapan dalam kritik untuk menentukan kualitas suatu karya seni dan biasanya akan dibandingkan dengan karya lain yang sejenis. Perbandingan dilakukan terhadap berbagai aspek yang terkait dengan karya tersebut baik aspek formal maupun aspek konteks.

Menilai sebuah karya berarti memberi penilaian dalam kaitannya dengan karya lain dan tentu saja mempertimbangkan aspek yang sangat penting dari seni visual maupun audio, yakni orisinalitasnya.

Berikut ini pertanyaan yang menjadi elemen penilaian.

  1. Apakah itu karya seni yang bagus?
  2. Kriteria: Kriteria apa yang menurut kita paling sesuai untuk menilai karya seni ini?
  3. Bukti: Bukti apa yang ada di dalam dan di luar karya seni yang berkaitan dengan setiap kriteria?
  4. Penilaian: Berdasarkan kriteria dan buktinya, apa penilaian kita tentang kualitas karya seni tersebut?

Mengevalusi atau menilai secara kritis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mengkaitkan sebanyak-banyaknya karya yang dinilai dengan karya yang sejenis
  2. Menetapkan tujuan atau fungsi karya yang ditelaah
  3. Menetapkan sejauh mana karya yang ditetapkan “menyimpang” dari yang telah ada sebelumnya.
  4. Menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan segi pandang tertentu yang melatarbelakanginya.

Syarat bagi Kritikus Seni

Untuk dapat melakukan seluruh tahapan kritik seni, maka seorang kritikus seni harus memenuhi syarat ini, yakni berpikir kritis.

Sebetulnya kritik sudah sejak lama dilakukan oleh kita sebagai manusia. Dalam keseharian, kita secara sengaja atau tidak sengaja sering melontarkan kata, kalimat atau bahasa yang bersifat memberikan tanggapan, komentar, penilaian terhadap suatu karya apapun. Hal ini wajar karena manusia memiliki empat kemampuan sebagai kapasitas mental, yaitu :

  1. Kemampuan absortif, yaitu kemampuan mengamati
  2. Kemampuan retentif, adalah kemampuan mengingat dan mereproduksi
  3. Kemampuan reasoning, merupakan kemampuan menganalisis dan mempertimbangkan
  4. Kemampuan kreatif, kemampuan berimajinasi, menafsirkan, dan mengemukakan gagasan.

Keempat kapasitas mental ini harus digunakan ketika membuat kritik seni, terutama kapasitas reasoning dan kreatif.

Pisau Analisa Kritik Seni

Untuk dapat menghasilkan kritik seni, kritikus harus memiliki pengetahuan dan kecakapan dasar yang perlu pada bidang karya seni yang akan dikritisi. Tajam atau tumpulnya pisau analisa akan menentukan baik-buruknya kritik seni yang dihasilkan. Dari mana kritikus memperoleh pengetahuan dan kecakapan dasar tersebut?

Landasan keilmuan (dan pengetahuan) yang relevan akan membantu kritikus dalam mengupas persoalan kekaryaan seni. Misalnya sejarah seni rupa, Ilmu sejarah akan memberikan jalan wawasan tentang waktu dan ruang kekaryaan seni rupa. Dengan mempelajari perkembangan seni rupa di setiap pelosok dunia, maka luas bahan sebagai dasar pemikiran dan acuan arah bandingan menjadi lebih terbuka. Selain sejarah seni rupa, wawasan teori seni juga penting dimiliki oleh kritikus.

Teori seni meliputi ilmu seni, filsafat seni, unsur seni, antropologi seni, sosiologi seni, tinjauan seni modern dan kontemporer, dan lain-lain. Keilmuan akan memberi pijakan dan memperkokoh konstruksi kritik yang obyektif. Sehingga mata pisau kritik semakin akurat, dan memberi pula wawasan kepada publik seni dengan keyakinan yang kuat.

Seorang kritikus seni rupa tidak selalu harus seorang perupa, namun ilmu kesenirupaan harus dimilikinya. Pengalaman dan pergaulan dalam mengamati, menyelidiki, dan membandingkan proses berkarya seni rupa sebagai syarat yang tidak bisa dilepaskan dari seorang kritikus seni rupa.

Seorang kritikus seni musik tidak selalu harus seorang pemusik, namun ilmu seni musik harus dimilikinya. Pengalaman dan pergaulan dalam mengamati, menyelidiki dan membandingkan proses berkarya seni musik adalah syarat yang tidak bisa dilepaskan dari seorang kritikus seni musik.

Demikian juga untuk bidang seni lain yang lebih kompleks dan modern, seperti teater, film, tari.

Untuk mempertajam pisau analisa, seorang kritikus dapat mengemukakan hasil pandangan retrospektif. Memandang secara retrospektif berarti mengamati perkembangan seni masa lalu (mulai dari zaman prasejarah ) hingga fenomena seni masa kini akan memberi warna yang serasi bagi karya kritik seni.

Selain itu, upaya menyelidiki dan membandingkan kekayaan seni antara berbagai karya seni sejenis akan sangat membantu memperluas dan memperkaya khazanah kritik. Tidak hanya memahami seputar karya seninya, kritikus juga sebaiknya memahami pikiran, perasaan seniman penciptanya. Itulah sebabnya, biografi dan kehidupan seniman tidak lepas dari pengamatan kritikus bahkan kerap hadir menjadi bagian utuh dalam kritik seni yang dihasilkan, baik lisan maupun tulisan.

Metode yang digunakan akan berbeda satu sama lain sesuai dengan kebutuhan jenis kritik dan jenis karya seni itu sendiri.

Kesimpulan

Intinya, metode kritik adalah serangkaian prosedur (tata cara, etika) yang disesuaikan dengan tipe kritiknya. Misalnya, metoda kritik jurnalistik menggunakan tata cara jurnalis. Kritik akademik menggunakan tata cara akademis yang dikembangkannya.

Kritik seni menanggapi karya seni untuk menggemakan kelebihan dan kekurangan suatu karya seni pada publik. Pemahaman terhadap keempat tipe kritik seni dapat menentukan pola pikir kita dalam melakukan kritik seni. Begitu juga dengan pendekatan kritik seni yang dapat menggunakan berbagai metode dan pisau analisis yang berbeda. Perbedaan mazhab/aliran seni juga akan mempengaruhi cara melakukan kritik yang harus kita lakukan.

Sebenarnya yang sering kita temui dan amat dibutuhkan oleh masyarakat umum (yang kemungkinan besar tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap bidang seni yang dinikmatinya) adalah kritik populer. Keadaan masyarakat yang semakin skeptis terhadap karya seni kontemporer perlu direspon dengan berbagai kritik seni yang dapat menjembatani seniman dan masyarakat umum sehingga proses berkesenian terus berlanjut dan pada gilirannya kesenian tetap memberikan sumbangsih pada peradaban masyarakat. Dengan demikian, selain kritik seni sendiri adalah karya. Melakukan kritik seni juga dapat disebut berkarya.

Mengingat pentingnya kritik seni, maka kamu sebagai warga Boemi tidak perlu ragu untuk mulai belajar membuatnya. Karya kritik seni yang dihasilkan awalnya mungkin tidak sempurna, tetapi seiring latihan yang berkelanjutan dan kemauan untuk terus mengasah pisau analitikmu, hasilnya akan semakin baik.

 


(Dikumpulkan dan diolah dari berbagai sumber)