Christian paints his Christ

Rahib Christian Amore Sitohang

Berkepala cukur di tengah dengan tonsura tampak kentara, Christian Sitohang yang saat ini menjalani hidup sebagai eremit (pertapa) di sebuah lokasi pertapaan di daerah Sumatera Utara, menjadi sebuah pemandangan yang unik, sekaligus aneh bagi kebanyakan orang.

Hal yang tampak samar Saya alami juga ketika menemani Rahib teman sekelas Saya ini pada sebuah perhelatan apresiasi seni lukis dan ukir di aula Katedral Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Mungkin beliau tidak menyadari, tetapi Saya menyaksikan dan menikmati beberapa orang yang memandang penuh heran, setengah bingung, seperempat salut dan seperdelapan sinis dan beberapa lainnya dengan reaksi yang hanya mereka yang tau artinya. Rahib memang membagikan beberapa pergulatan dan refleksinya dalam beberapa kesempatan bercakap-cakap dengan Saya. Tetapi, tentu saja, hanya Rahib yang tahu persis bagaimana “rasa”-nya menjadi seorang pertapa di zaman sekarang, di tahun 2017, belasan abad setelah Santo Antonius pertama kali memperkenalkan corak hidup pertapa soliter di padang kering Mesir.

Menjalani petualangan hidup sebagai seorang eremit dengan laku tapa kontemplatif dengan tetap membuka diri bersosialisasi dengan masyarakat luar adalah suatu corak hidup yang secara visual saja membutuhkan konsistensi luar biasa, terutama menghadapi cibiran dari banyak orang, termasuk dari para teman sejawatnya, para pelaku Hidup Bakti atau biarawan dari ordo dan kongregasi Katolik yang dia jumpai dan kenali. Tentu saja, tidak terhitung pula yang mendukung.

Konsistensi itu tetap ada hingga saat ini. Setidaknya, Saya melihat sendiri. Sehari penuh bersama Rahib, bersantap pagi dan siang dengannya, bagi saya jelas bahwa teman Saya ini adalah seorang pria sehat dengan semangat dan spiritualitas yang menyala-nyala pula.

Saya sendiri cukup senang karena beliau merelakan diri berjuang dalam tarik menarik antara tren visualitas modern dunia dengan corak hidup pertapa yang dipilihnya. Sesekali ia membuka pesan di HP-nya. Banyak permintaan dari umat yang mengenalnya, minta didoakan. Saya sendiri tak perlu mengirim pesan elektronik ke beliau, kesempatan bertemu itu Saya sempatkan untuk minta langsung dengan beliau.

Bersama teman-teman lain yang mendukung tetapi juga kritis terhadap pemurnian motivasi diri Sang Rahib, Saya cukup gembira menemukan bahwa corak hidup ini adalah pilihan yang diambilnya sendiri. Cukup mudah tertawa dan senyum, jelas bagi Saya, Rahib bukan orang yang tidak bahagia.

Pada 6 Juni, Rahib menulis di akun media sosialnya:

Dunia memang butuh aktivis-aktivis. Ini tidak dapat disangkal. Tapi dunia juga butuh kontemplatif-kontemplatif sejati. Seorang aktivis biasanya bekerja dengan kekuatan sendiri. Namun seorang kontemplatif, bekerja dengan daya diri sendiri dan kekuatan ilahi karena persatuannya yang mendalam dan kuat dengan Allah. Seorang kontemplatif sejati bukanlah seorang yang pasif dan pengangguran seperti disalahmengerti banyak orang. Justru sebaliknya, dia seorang yang peduli sekali dengan keadaan sekitarnya. Jikalau seseorang sudah memiliki kepedulian, maka dengan sendirinya dia akan jauh lebih mudah terdorong untuk berbuat sesuatu. Kepedulian melahirkan aksi. Seorang kontemplatif juga seorang pekerja keras. Dia bersemangat dalam doa dan kurban rohani demi kesejahteraan dunia dan keselamatan jiwanya. Dia tidak pernah menganggur bahkan ketika dia larut dalam doa dan tapa bisu yang mendalam dan panjang, dia menjadi orang yang sangat berguna di mata Tuhan”

Senang membaca permenungannya sedalam itu.

Christian paints his Christ

Jiwa seni yang agaknya menurun dari almarhum sang ayah (semasa hidupnya menjadi arsitek sekaligus mendesain bangunan gereja), sudah terlihat sejak tahun 2001, tahun pertama beliau dan Saya menjadi siswa di sebuah SMA. Di tahun kedua, Saya masih mengingat benar beliau sudah belajar melukis menggunakan jarinya, mengolesi cat minyak pada kanvas, sementara Saya menggambar seekor burung pipit pun hingga hari ini tidak pernah lulus.

Berhubung Saya bukan seorang penikmat seni lukis, juga bukan apresiator yang baik, Saya hanya mengagumi saja ketelitian, kegigihan dan kecermatannya yang membuat seolah setiap karya kerajinan tangan dan lukisan yang dia hasilkan, seolah ada “roh”-nya. Seperti pada lukisan yang menggambarkan Si Jesus ini, si Manusia-Tuhan, yang disembah oleh miliran penduduk bumi ini.

 

Perpaduan gamble, lukisan, doa, refleksi, puisi dan terpenting pengendapan dari sebuah proses kontemplasi yg panjang.

Sesuai dengan arus teologi umum Kekristenan yang meyakini Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus sebagai perwujudan paling nyata dari kehadiran Tuhan dalam sejarah manusia, lukisan ini menunjukkan lagi dan lagi apa saja yang mengisi mahkota duri-Nya.

Alienasi, tidak adanya kasih dan compassion, struktur sosial yang mendehumanisasi, ketidakadilan, kemelekatan ekstrem yang tidak teratur pada materi, dan sifat-sifat destruktif lainnya yang bisa dan mungkin dimiliki oleh manusia dan ciptaan, ternyata hingga hari ini masih melukai kepala Yesus. Membuatnya masih berdarah dan berdarah lagi.

Konon, merenungkan misteri Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus saja bisa membantu orang Kristen untuk benar-benar mengalami pertobatan yang sejati, perubahan mendasar pada pola hidup ke arah yang lebih baik (metanoia).

Entahlah, bagi Saya, memandang lukisan ini seolah membawa Saya pada momen-momen reflektif ini. Begitu saja muncul di benak saya seperti kilatan-kilatan kilat.

Seperti Po pada Kungfu Panda yang berjuang berdamai dengan masa lalu yang dia tidak kenali hingga mencapai inner peace.

Seperti memahami misteri hidup luar biasa yang dialami seorang pelacur yang ditinggal suaminya dan terpaksa menghidupi anaknya dengan memperdagangkan tubuhnya.

Seperti menyaksikan pergulatan hidup dari jutaan keluarga yang terpisah dari orang yang mereka cintai karena perang, genosida, atau teroris yang gemar memenggal kepala.

Seperti menyaksikan kemunafikan para pemuka agama dan pemimpin publik yang menjual ayat-ayat suci dan memperoleh segepok pundi-pundi rezeki.

Seperti menonton kilas balik dari semua kegagalan, kemalasan, dan keengganan Saya untuk berjuang lebih keras lagi menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dewasa.

Seperti menyaksikan tangis dari anak-anak gelandangan yang tidak tahu harus pulang kemana karena orang tua mereka saban hari selalu menindas mereka.

Seperti merasakan benar rasanya menjadi seorang yang dikucilkan oleh teman-teman kerja, atau dicibir di lingkungan sosial.

Atau seperti Pak Ahok yang harus berjuang melewati hari dan malam di balik jeruji besi, padahal baru saja membaktikan diri untuk memperbaiki ibukota negeri ini. Harus berpisah dari isteri dan anak-anaknya karena persekusi politik nan keji dari sekelompok atau pemegang kuasa yang tak tertandingi bahkan oleh rezim sekarang ini.

Seperti melihat konflik antara kakak-beradik, “na marhahamaranggi, na gabe olo marsitallikan alani tano sattopak tadingtadingan ni natorasna naung monding.”

Atau seperti melihat anak kecil dari keluarga yang sangat miskin di kontrakan sempit, basah dan pengap di kota ini, yang hanya bisa gigit jari ketika istirahat sekolah menyaksikan teman-temannya menikmati lelehan es krim yang manis.

Atau jutaan anak yang menderita busung lapar di Afrika dan Bangladesh, yang tidak bisa apa-apa kendatipun setiap Minggu orangtua mereka selalu dikotbahi oleh sang pendeta bahwa “Allah itu Baik”

Atau seperti anak muda yang saban hari mengurung diri di kamar dan melihat apa saja yang terjadi di zaman ini, yang galau di tengah gempuran modernitas yang tak mampu diterimanya. Ketergantungan pada obat-obatan, perilaku seksual yang menyiksa diri dan mitranya, pedofilia, necrofilia, perdagangan keindahan tubuh, perdagangan orang, kekerasan massal, bully yang masif, atau perilaku masokis lainnya.

Dan … jutaan “luka” yang lainnya yang masih manusia ciptakan hingga saat ini.

 

Begitulah.  Semua itu menjadi duri yang masih melukai kepala Yesus hingga hari ini.

Entah penyembah Yesus, atau Tuhan dengan ribuan nama lain, entah agnostik dan ateis, lukisan ini seolah berkata:

“Ayolah. Berhentilah menjadi duri. Kasihan Yesus. Kepalanya berdarah terus”.

Oh iya. Rahib, terima kasih atas telah melukis sebagus ini. Semoga teman-teman Muslim yang juga membaca tulisan ini, memandang lukisan Rahib, juga terbantu mengalami “metanoia” sejati dalam Ramadhan yang suci ini. Toh, Tuhan kami ini adalah nabi kalian juga.


All photos are used by the courtesy of Rahib Christian Amore Sitohang. Please do not reproduce without his prior consent.

Lirik “Tangiang ni Dainang”

Tangiang ni dainang i na parorot tondikhi.
Manang di dia pe au, manang di dia pe au.
Tongtong sai diramoti.

Nang sipata salah au, tartutuk au dilangkahi.
Diboan ho di tangiangmu, diboan ho di tangiangmu.
Inanghu naburju.

(Reff): Hu dai natonggi dipargoluonon.
Upa ni lojami, humonghop gellengmon.

Mauliate ma inang, disude pambaenanmi.
Penggeng sari matua, penggeng saor matua.
Paihut ihut hami.

Nang sipata salah au, tartutuk au dilangkahi.
Diboan ho di tangiangmu, diboan ho di tangiangmu.
Inanghu naburju.

(back to Reff)

 


Disesuaikan seperlunya dari LirikLaguBatak.Com

Lirik “Dekke Jahir”

Di naro simatuakku
mandulo boru nai.
Diboan do deke jahir na sai.
Mekkel suping ma attong da.
inang ni dakdanak i.
Mida dekke binoan ni inantai.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

Ai dohot do dongan sahuta
jala longang mida i.
Mida dekke binoan ni inanta i.
Ai rohakku pe tarhirim
jala longang mida i.
Dekke jahir binoan ni inanta i.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

 


Unpopular fact:

Di banyak media dan sumber berita, disebut bahwa lagu Batak Dekke Jahir (Dengke Jahir) adalah lagu lawas ciptaan Yan Sinambela, salah satu personil group komponis Guru Nahum Situmorang. 

Misalnya, di salah satu kanal Youtube dengan tangkapan layar ini.

Tapi, coba dengarkan lagu Cotton Field ini.

Sama nada dan motif lagunya? Ya. Karena memang lagu yang sama.

Maka, kalaupun dinyanyikan ulang dengan bahasa berbeda, sangat arif jika tidak ada klaim bahwa Dekke Jahir adalah ciptaan Yan Sinambela. Menulis lirik baru atas lagu yang sudah ada? Barangkali iya. Dalam hal itu, unsur “mencipta” dilakukan Yan Sinambela. Padahal, sebuah lagu itu mencakup musik dan lirik. Tak hanya lirik. Kembali ke awal lagi: Tidak benar lagu tersebut ciptaan Yan Sinambela.

Saya tak lantas menyebut ini tindakan plagiarisme atau pembajakan sebab tidak punya cukup informasi apakah Yan Sinambela sudah meminta izin dan mendapat izin dari Creedence Clearwater Revival, pemilik asli lagu tersebut, atau pewarisnya.

Lagu itu sudah sangat lawas sehingga tak perlu izin untuk remake atau menculik nada dan motifnya tanpa mention penulis asli lagu? Tunggu dulu. Hak cipta dan royalti berlaku 70 tahun.

Jika benar pembajakan, ini menyedihkan. Sebab pembajakan itu menghilangkan motivasi dan kreatifitas pencipta. Padahal, motivasi dan kreatifitas adalah dua aset paling berharga yang dimiliki seorang seniman. Selain waktu, tentu saja.

Menghilangkan dua aset berharga itu berarti nyata-nyata menodai “proses berkesenian”, menyitir kata seorang seniman dari Jogja, Rimanda Sinaga.

“Cinta untuk Mama” by Kenny

Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta

Reff:
Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk mama

Apa yang kuberikan untuk mama
Untuk mama tersayang
Tak kumiliki sesuatu berharga
Untuk mama tercinta

(back to Reff)

Walau tak dapat selalu ku ungkapkan
Kata cintaku ‘tuk mama
Namun dengarlah hatiku berkata
Sungguh kusayang padamu mama

(back to Reff)

 


Sumber: KapanLagi.Com

“Mother How Are You Today” paraphrased by Shir El Band

Mother, how are you today?
Here is a note from your Dear Son
With me everything is OK.
Mother, how are you today?

Mother, don’t worry, I’m fine.
Promise to see you this summer.
This time there will be no delay.
Mother, how are you today?

(Reff:)

I found the girl of my dreams.
Next time you will get to know her.
Many things happened while I was away.
Mother, how are you today?

Mother, how are you today?
Here is a note from your Dear Son
With me everything is OK.
Mother, how are you today?


Lirik aslinya seperti ditulis oleh Maywood bisa dilihat di Metrolyrics.com.

Lirik “Bunda” by Melly Goeslaw

Ku Buka Album Biru
Penuh Debu Dan Usang
Ku Pandangi Semua Gambar Diri
Kecil Bersih Belum Ternoda

Pikirkupun Melayang
Dahulu Penuh Kasih
Teringat Semua Cerita Orang
Tentang Riwayatku

Reff#

Kata Mereka Diriku Slalu Dimanja
Kata Mereka Diriku Slalu Ditimang
Nada Nada Yang Indah
Slalu Terurai Darinya
Tangisan Nakal Dari Bibirku
Takkan Jadi Deritanya

Tangan Halus Dan Suci
T’lah Mengangkat Diri Ini
Jiwa Raga Dan Seluruh Hidup
Rela Dia Berikan

(back to Reff#)

Oh Bunda Ada Dan Tiada Dirimu
Kan Slalu Ada Di Dalam Hatiku …

Oppung Napabalgahon Ahu

Oppung,

Boha kabarmu saonari?

Sahat tu sadari on dang hea lupa opung tu au. Goarhu pe sai tong do diingot ho, dang hea age sahali pe ho pilit manjou goarhi.

“Presta ….!!! Rina …!, nunga ilean hamu babinta mangan?”

“Molo mulak hamu sian sikkola annon, dapothon au tu kopi dah. Ia hunsi di ginjang ni jendela hubaen”, inna Oppung tu hami nadua molo naing berangkat hami tu sikkola. Marborat ni lakka do attong iba. “Holan na mangula torus”, inna roha ma di bagasan.

Dua ma hami dipagodang-godang oppung on. Apalagi au mulak pe tu huta so adong do pe huantusi manang aha. Molo kakakku si Rina nian nunga jumolo marseragam putih merah ibana andorang so dialap Oppung hami sian Jakarta, asa gabe Oppung ma naparmudumudu hami gatti ni natoras naung jumolo marujung manadikkon hami ianakkonna.

“Gogo baen na manggula i. Asa adong hepeng lao parsibajum Natal dohot Taon Baru da, Era”, ninna Oppung Boru mandok hami nadua. (Somalna manjou “Eda” do Oppung Boru tu pahoppuna boru, alai ala di Humbang do turiturian on, gabe “Era” do inna”)

Burju ni Oppung on tarida do. Dang hea hami hatinggalan sian akka dongan mangodang nami dibaen.  Molo juppa Ari Minggu lao ma hami marsikkola Minggu dohot kakak. Sipata molo ringgas rohana, olo do ditaruhon Oppung Doli on hami. Alai molo adong do dongan dakdanak mardalan sian Maranthi sahat tu Sibuntuon, ima iananni gareja HKBP i, rap ma attong hami mardalan dohot akka dongan i huhut marnonang. Molo adong harumotting manang lau-lau, pittor marsigulut do attong hami mambuatsa. Molo niingot, seru hian ma attong. Mulak annon sian parMingguan, marmeam ma nian ulaon muse.

Olo do nian sipata sogo roha. Tikki tabo-tabona martali goyang manang marsitabunibunian iba dohot akka dongan, olo do dijou Oppung Boru on.

“Presta ….! Rina….! Lului jo babitta. Nunga lao ra tu porlak ni jolma an”, inna Oppung ma attong. Ikkon lao do attong iba hatop, so boi dang.

Jei, boi dohonon dang pola hea hami dipamanja Oppung songon akka dongan satorbangnami. Sai dipasingot do asa binoto lungun. Molo sala pe hami, dilibas Oppung do pakke lili. Molo songon na jorgang pe pangalaho manang panghataionniba, torus di dipasingot.

“Molo mulak sikkola, loppa gadong da”, inna Oppung on ma dah tu au di sada tikki i. Kalas 1 SD dope au tikki i. Dang dope binoto mangula. Molo kakak attong nunga lao tu saba mandongani Oppung mangula.

Goarna pe dakdanak. Uju i, “godang dongan marmeam, ima nian ulaon”, inna roha do.

Ia molo Oppung Doli so hea on mangalipat, nang pe mura muruk. Molo muruk ibana, pittor tarida ma attong suhi-suhi ni bohina i. Marlipat ma attong pardompakanna i. Ima na so tarhalupahon au sian Oppung Doli on. So hea ibana mangalinsing hami, sian na menek sahat tu naung gabe anakboru.

Sai sehat ma jala ganjang ma umurmu da Oppung. Atik pe so adong dope na boi tarbahen manang aha, tamba ni tangianghi.

Agak maol do dapot poto ni Oppung Doli dohot Oppung Boru on. Holan on ma na dapot.

 

Pitu taon ma dung nitadikkon huta, dang dope hea mulak. Sihol ni roha i nian, tung i nama balgana. Molo martelepon tu huta, lalap ma holan na manukkun andigan rencana parbogason ni iba i. E tahe. Boha ma bahenon mangalusi.

Oppung, sehat ma hamu disi da, Oppung.

 


Pinature sian guratgurat ni si Presta Simamora