Sungguhpun hasilku menangkap kalimat malam ini Dihalangi oleh barisan kata tidak Aku tetap maju dengan tegak Aku bukan pecundang yang bisa diusir pulang dengan gampang Aku adalah bagian dari kawanan yang sedang berburu Bukan pilu bukan rindu namun tumpahan kata dari udara beku
Perburuan yang melelahkan di lereng Ungaran Nafas sedikit tersedak karena dingin cukup menyentak Kalimat yang menyeruak adalah namamu yang akhirnya terkuak Aku eja terbata-bata karena lidahku selalu tersangkut kata cinta Aku berterimakasih meski gelap mulai meraba-raba
Ketika senyap mulai tersundut serabut kabut Pencarianku tak akan lagi luput Aku yakini itu dengan menulis namamu dengan paku Di meja panjang yang terbuat dari jati berusia sepuluh windu
Mimpi semalam jadikah wujud Saat bergegas bangun dengan binar di wajah Ah, manalah mungkin
Rupa asa samar bayang Kusam Dekil Terlindas roda kehidupan yang bersyarat Pun sisa hari esok terbenam dalam timbunan angan
Tangan tangan kecil bertubuh lekat debu jalanan Sanggupkah menggali tumpukkan realita Di waktu yang sebentar dan tak berdasar Atau mengais harap yang tercecer dari peliknya hidup
Biar luka darah tapak bernanah Manalah mungkin terwujud Biar terik matahari kuras peluh Manalah mungkin tergenggam
Molo martumba ho ito
di tonga ni alaman
boan ma salendang
asa dengan mangerbang erbang
Molo masihol ho ingot
ma au di parjalangan
asa di boto ho ito
holan tu ho do angan angan
Molo marsoban ho unang
buat tiang ni sopo
sega sega doi ito
muruk natua tua
Unang dirippu ho au na
lupa na mariboto
daong masa songoni ito
masihol do au tu ho
Unang sai marsak ho
diarsak di angan angan
unang sai tangis ho ito
ala ala pikiran
Ho do ale da hasian
holan ho do di pikiran
Pos ma roham ito pos maroham
huingot dope ho
Pos ma roham ito pos maroham
malungun do au tu ho
“Nus, kok aku baca di timeline-nya temen2, nih pada ribut ngomongin soal Ibu? “, tanya Wongso.
“Ya iyalah. Yang mau dicari kan bukan sembarang Ibu, Wongso”, jawab Nusa sekenanya.
“Maksudnya?”, selidik Wongso.
“Dulu kita punya Ibu yang ramah bagi semua. Namanya Gaia. Tapi lalu anak-anaknya mau misah, mau cari Ibu-nya sendiri2. Ada yang milih London buat jadi Ibu. Ada lagi yang milih Moskwa, Washington, Sydney, Beijing, Seoul. Nah, dulu … waktu itu berhubung Ibu kita rambutnya pirang dan keringatnya masih bau bawang putih, namanya Batavia. Sekarang dibaptis jadi Jakarta. Ini kayaknya kita bakal dapet Ibu baru lagi”, jelas Nusa.
“Itu kokemak-emak namanya aneh-aneh. Kok bukan Endang, Markonah, Tumiyem, atau Tiurma gitu?”, tanya Wongso masih penasaran.
“Yo suka-suka kita donk. Termasuk Ibu kita yang sekarang. Denger-denger sih, Ibu kita yang sekarang, Bu Jakarta itu nggak ramah lagi, nggakngemong lagi. Anaknya yang baik saja, si Ahok, dikurungnya. Entah salah apa dia. Makanya kita mau ganti Ibu ajalah”, timpal Nusa.
“Terus, nanti Ibu kita apa?”, susul Wongso.
“Gue sih maunya Ibu RIS aja. Cumannggakdibolehin sama Eyang Pancasila. Palingan gue ikut sama temen-temen lain aja: Palangkaraya”, ucap Nusa dengan mimik terharu biru, entah mengapa.
“Terus… Nanti Ibu baru kita si Palangkaraya itu ramah nggak?”, cecar Wongso.
“Ya tergantung. Kalau kita anak-anaknya baik, Ibu bakal ramah dan ngemong. Cuman kalau kita nakal berjamaah, ya paling kita digimbali terus dibalbali“, jelas Nusa sambil seruput kopi Khok Thong-nya yang baru saja diseduhnya.
Begitulah Diskusi singkat Nusa dan Bangsa (eh… Wongso) mencari Ibu baru.
Fenomena “Gunung Es” dalam konstelasi sosialitas masyarakat kita itu nyata.
Jika Anda pernah berlayar di lautan lalu melihat ada setumpuk tanah di permukaan dari kejauhan, kemungkinan besar ada bagian yang tak terlihat, yang jauh lebih raksasa dibanding yang Anda lihat. Jangan sekali-sekali mencoba menabrakkan perahu Anda kesana. Bisa fatal akibatnya.
Bagi yang kurang paham gunung es seperti apa, boleh kok bolak-balik lagi diktat Freud atau Freudiannya.
Kalau masih sulit juga, gampangnya, ya kayak api dalam sekam saja.
Jika Anda melihat tumpukan sekam, hangat dan mengeluarkan asap sepanjang waktu, kemungkinan besar di dalamnya ada nyala api yang sewaktu-waktu siap menunjukkan wujud aslinya jika sekam sudah dilalapnya habis: menjadi api yang merah membara.
“Kalau sebelumnya sudah tau tersangka, mengapa tidak langsung diproses? Kok membiarkan berlarut-larut hingga kasusnya membawa-bawa nama Kaesang, anak Pak Jokowi? Kalau yang dilaporkannya adalah anak pak Joko Z, tukang bakso tetangga sebelah rumah, apakah polisi juga akan menguak status tersangkanya?”
Lalu teman-teman aparat juga depressed.
“Tidak segampang itu. Memasukkan semua tersangka pasal hate speech dengan menggunakan UU ITE yang masih belum lepas dari pasal-pasal karet itu, lalu langsung memprosesnya, bisa penuh tuh register kasus di pengadilan.”
Yo wis. Berarti kelemahannya di situ: Kita kekurangan para professional di bidang penegakan hukum. Tinggal tambah saja. Tugas Negara untuk mengakomodasi proses dan prosedur dari program percepatan penambahan petugas penegakan hukum.
“Tapi masalah juga belum selesai, Bang.”
“Lho, kok?”
Kemaren saja ada tersangka yang diputus hakim dengan tuntutan melebihi tuntutan jaksa, para advokat nggak bisa buat apa-apa tuh. Sampai ada teman lulusan Hukum yang mau datang ke kampus asalnya buat unjuk rasa ke dosen pembimbing, gara-gara teori hukum yang dia pelajari tiba-tiba seperti tidak ada gunanya sama sekali.
Ya, harus langsung ke akarnya Bang. Jika mau mencari seberapa tinggi gunung es-nya, selamilah hingga ke palung laut yang paling dalam. Moga-mogaketemu kaki gunung es-nya sebelum kamu kehabisan oksigen.
Kalau mau memadamkan api dalam sekam, siram air sebanyak-banyaknya Bang. Pastikan sampai ke bagian paling bawah dari alas tumpukan jerami itu. Kalau cuman percikin air ke rongga yang kelihatan berasap, kena jemur matahari sebentar, nanti berasap lagi. Soalnya, bara apinya masih di sana.
Owh… mai goat.
“Maksud Lo, masyarakat kita pada dasarnya memang sakit?”
Udah ah. Udah hampir jam 4 pagi. Ntar lagi Subuh, banyak syaiton berkeliaran. Kudubanyakin baca mantra buat ngusirnya.