Baru saja saya buka Facebook dan menemukan bahwa ternyata saya sudah di-unfriend oleh seorang teman. Inisialnya EM. Sedikit history pertemanan kami: Saya yang terlebih dahulu mengajukan pertemanan dengan beliau dan diterima. Melihat bahwa profesi sebagai pemuka jemaat di sebuah denominasi pengikut Yesus di bilangan daerah Depok yang dia jalani, rasanya bisa jadi alasan untuk mengkonsumsi isi postingannya di timeline saya. Bagaimanapun, sebagai orang yang diikuti oleh banyak orang karena nasihat rohaninya, kemungkinan besar banyak nutrisi moralitas (atau … iman, mungkin?) yang bisa saya dapat dari tulisan-tulisannya.
Naasnya, begitulah kejadiannya. Beliau mem-posting suatu kejadian yang santer baru-baru ini dan mengundang simpati dan empati mendalam dari berbagai belahan dunia, yakni tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh sekelompok teroris di Perancis. Tapi, alih-alih ikut memberikan ungkapan simpati, doa-doa, penguatan atau solusi psikologis dan nasihat rohani bagi para follower dan temannya yang merasakan duka yang sama, malahan dia mencoba menyalahkan korban dengan dasar yang tidak relevan. Saya lalu komentari, tapi kemudian komentar saya dihapus, dan saya pun di un-friend dari friendlist-nya.
Mungkin memang begitulah hakikat pertemanan di Facebook, apalagi jika belum pernah bertemu muka. Padahal saya mengandalkan kesamaan kami sebagai penyandang marga yang sama dari sebuah sub-etnis Batak. Tapi ya memang sosilitas di Facebook memang sangat rentan dinodai oleh ego dan beberapa asumsi yang sebenarnya perlu direvisi kembali.
Sebenarnya, apa pentingnya buat saya?
Penting dan tidak penting.
Jika itu hanya menyangkut pribadi, jabatan atau expose lainnya tentang hal-ikhwal pribadinya lalu saya tiba-tiba masuk nyerocos dan mengotori komentar-komentar terdahulu yang tampaknya senang membebek dengan apa yang dia katakan, saya maklum. Namanya juga postingan di halamannya ialah propertinya (jangan lupa … properti Facebook juga). Wajar kalau dia bisa saja meng-hapus komentar, like, reply atau membatasi notifikasi apapun yang tidak diinginkannya.
Tetapi, ini berbeda.
Ini menyangkut tragedi kemanusiaan global, dan dia malah menyalahkan korban tragedi. Iya, tentang tragedi penembakan massal di Bataclan, Paris, beberapa waktu yang lalu.
Thread ini kemudian saya tinggalkan karena kemudian nge-lunjak dan hanya menjadi ajang pembodohan (atau hanya sekedar mencoba akrab dengan mengiyakan semua yang dikatakan si pemimpin agama seolah-olah setiap ucapannya ialah sabda penuh vitamin ).
Semestinya mereka tahu bahwa ini akan kedengaran sangat menyedihkan, apalagi jika sampai diketahui oleh para keluarga korban.
Sontak saya tidak setuju dan mencoba (baginya saya hanya sok akrab … mungkin) memberikan argumentasi yang barangkali baginya hanya berupa dissenting opinion tanpa ada niat baik. Padahal, saya hanya memberikan komentar realistis saja. Tanpa endorsement dari pihak manapun, termasuk tidak dari orang yang mungkin menjadi rivalnya untuk tujuan meng-counter pendapatnya dan menjatuhkan namanya. Lagipula, sekali lagi, saya tidak kenal dengan beliau dan beliau juga tidak kenal dengan saya. Maka, jika saya memberi komentar tanpa niat baik, berarti saya hanya sedang buang-buang waktu saja.
“Atau, jangan-jangan saya memang hanya buang-buang waktu?”
Pertanyaan ini kemudian memenuhi benak saya beberapa saat lamanya.
Benar. Saya introspeksi diri. Belum tentu apa yang saya katakan benar.
Jika pun benar, belum tentu menyenangkan baginya, apalagi jika komentar itu terdengar seperti teguran padanya di tengah-tengah keramaian. (Mungkin lebih baik jika sebelumnya pendapat itu saya sampaikan lewat messaging dan bukan commenting … tapi, sekaligus saya merasa bahwa mereka yang membebek tadi pun adalah alamat dari komentar saya).
Ini postingannya …
Saat ini hampir seluruh media massa di dunia memberitakan kehebohan peristiwa teror ISIS di Paris Prancis, pada Jumat 13 November 2015 yang menewaskan sekitar 153 orang dan melukai 350 orang lainnya, Peristiwa teror ISIS tersebut dilakukan oleh hampir 20 orang teroris , dimana 8 orang diantaranya tewas dengan meledakkan diri mereka sendiri dengan bom setelah menembak mati ratusan orang dengan senjata AK 47. Peristiwa teror ISIS tersebut kini dikenal dengan nama ” Friday the 13th of November 2015 “. Istilah Friday the 13th sendiri adalah istilah yang sering dipakai di dunia sihir sebagai istilah yang menerangkan kejadian bahwa setiap tanggal 13 yang jatuh tepat pada hari jumat di suatu bulan tertentu, akan terjadi peristiwa yang menumbalkan manusia utk Iblis melalui peristiwa tertentu. Peristiwa teror ISIS di kota Paris 13 November 2015 itu sendiiri terjadi di sebuah gedung konser musik di kota Paris Prancis, dan terjadi saat penonton sedang menonton konser musik.
Namun yang tidak diceritakan dan tidak diungkapkan ke publik adalah konser musik apakah yang sedang berlangsung saat teroris ISIS itu membunuh para penonton konser tersebut
Konser yang diadakan di gedung tempat terjadinya pembunuhan teroris ISIS tersebut adalah KONSER DEATH METAL, dan Tepat sesaat atau beberapa menit sebelum para teroris ISIS menembakkan senjata AK47 nya kepada para penonton, para penonton konser tersebut sedang bersama sama dengan grup musik yang menyanyikannya yang bernama EAGLE OF DEATH ( ELANG KEMATIAN ). Dan lagu yang mereka nyanyikan bersama sama adalah lagu yang berjudul. ” KISS THE DEVIL” yang liriknya adalah sebagai berikut ;
“Siapa yang akan mencintai Iblis?
Siapa yang akan menyanyikan lagunya?
Siapa yang akan mencintai Iblis dan lagunya?
Aku akan mencintai Iblis
Aku akan menyanyikan lagunya
Aku akan mencintai Iblis dan lagunya
Siapa yang akan mencintai Iblis?
Siapa yang akan mencium lidahnya?
Siapa yang akan mencium Iblis di lidahnya?
Aku akan mencintai Iblis
Aku akan mencium lidahnya
Aku akan mencium Iblis di lidahnya “
Dan berdasarkan sebuah foto Para penonton tersebut menyanyikannya sambil mengangkat simbol simbol pemuja iblis seperti simbol 3 jari dan simbol illuminati
Dan tepat beberapa saat atau beberapa menit setelah mereka para penonton tersebut bernyanyi para teroris ISIS langsung menembak mati mereka dan langsung mengirim mereka bertemu dengan Iblis pujaan mereka, yang mereka puja puji dengan nyanyian mereka.
“Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya” (Ams 18:21).
Saya mengernyitkan dahi. Wow! Apakah para pemimpin religius sudah kehilangan kreatifitas untuk menciptakan gimmick marketing lainnya? Seakut itukah?
Hey!
Siapa yang mau ditembaki dengan rentetan besi panas usai merayakan kemanusiaan dengan menonton konser musik dan bergembira-ria dengan teman-teman?
Bagaimana bisa seorang pemimpin religius secara tidak langsung mengajak para teman dan jemaat untuk menyalahkan korban, bukannya melihat masalah secara menyeluruh malah mengambil celah untuk memvalidasi bahwa apa yang dialami para korban adalah murni akibat dari keinginan mereka sendiri.
Komentar dari orang sekelilingnya pun akhirnya menjadi kedengaran menjijikkan.
Seorang komentator berinisial KR merespon:
Berarti kali ini ISIS berlaku benar ya ito?
SS menimpali: Segala sesuatunya mendatangkan kebaikan … Semoga org Prancis bisa lebih berkaca dr kejadian ini …
Kemudian empat orang lainnya: IU, LS, JM, JC pun men-share postingan dari orang yang si EM yang “semestinya lebih arif” tersebut.
Thread ini kemudian saya tinggalkan karena kemudian nge-lunjak dan hanya menjadi ajang pembodohan (atau hanya sekedar mencoba akrab dengan mengiyakan semua yang dikatakan si pemimpin agama seolah-olah setiap ucapannya ialah sabda penuh vitamin rohani).
Orang sederhana saja yang tidak pernah mengenyam pendidikan teologi pasti akan punya sedikit kebijaksanaan untuk menge-rem dan menahan diri memberi ulasan atas suatu tragedi kemanusiaan, terlebih pembunuhan massal yang mengerikan ini. Orang kecil akan merujuk pada filosofi sederhana dari Dalai Lama bahwa “Kalau tidak bisa membantu orang lain, setidaknya jangan menyakitinya”.
Dan komentar saya pun, barangkali tidak akurat, adalah ekspresi keheranan saya atas keanehan ini. Keanehan saya atas repetisi tragedi kemanusiaan oleh ulah para teroris belum selesai, tapi si kawan ini malah menambah keherenan saya menjadi lebih lagi. Belum lagi komentar senada yang seolah meng-aminkan pendapat si kawan ini. Sehingga bahasa yang saya gunakan pun, mungkin mencerminkan ketidaksetujuan yang spontan dan tidak diplomatis.
Komentar saya yang sudah dihapus di utasan beliau kira-kira begini:
Komentar artistiknya cacat, bang E.M.
Saya tidak tahu apakah Abang pernah suka atau tidak dengan musik metal. Tapi menjadi aneh ketika ekspresi seni ditanggapi seperti itu. Musik adalah ekspresi seni, ungkapan dan perayaan atas kemanusiaan. Pun dengan lirik lagu Kiss of Devil (Ciuman Setan) yang dinyanyikan oleh Eagle of Death.
Menyanyikan lirik Kiss of Devil tidak serta merta menjadi affirmasi bahwa yang menyanyikannya memang ingin mati atau menjemput maut.
Kita ambil contoh yang dekat-dekat saja.
Lirik Lonteku oleh Iwan Fals, misalnya. Orang yang mengetahui pesan perjuangan yang ingin disampaikan oleh Iwan Fals lewat lirik lagunya tahu bahwa mereka tidak sedang membicarakan bisnis lendir atau urusan syahwat.
Pun, kita mesti belajar dari konteks dan appetite satir a la Perancis.
Men-judge tanpa mengerti latar belakang kultur setempat bahkan menyalahkan korban will be unfair, even annoying.
N.B. Oh iya. Pembaca barangkali akan berkomentar dalam hati: “Ini khan masalah pribadi. Sebaiknya dikomunikasikan berdua saja. Tidak perlu dengan menulis halaman dan paragraf panjang-panjang begini”. Komentar saya: Benar. Tapi tetap sangat perlu dishare supaya semakin banyak kita sadar bahwa paradigma sempit yang kita gunakan, begitu menjadi viral, akan segera terendus dan menunjukkan niat tidak baik kita yang sebenarnya.
Saya hanya berharap: Semoga beliau tidak sedang jualan agama!!!