Sada turi – turian i
Na sian Ompui
Tu pinomparna i
Di tonga ni harangan i
Tombak na uli i
Mangolu tondi i
*
Hau na margota i
Gota na hushus i
Tonggo na uli i
Ilu ni si boru i
Boru ni raja i
Gabe pulungan i
Reff
Ujui longang do bangso i
Marnida hau namargota i
Ujui gabe do bangso i
Sahat sude akka sahala i
Mulakma hita tu bona i
Manat dohot di akka tona i
Haminjon
Lirik lagu yang baru rilis kurang dari sebulan lalu oleh Bram Records ini berkisah tentang haminjon.
Apa itu “haminjon”?
Haminjon (Batak Toba) adalah kemenyan atau Olibanum, aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum.
Jika kamu seorang Katolik dan kerap mengikuti ibadah Misa (perayaan Ekaristi), tentu kamu tahu bahwa setiap kali ada sesi mendupai oleh sang imam maupun misdinarnya, bahan dasar yang digunakan adalah kemenyan.
Jika kamu orang Madura, khususnya yang berada di Desa Morbatoh, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, kamu tentu tahu bahwa sejak jaman nenek moyang hingga kini ada tradisi Bakar Kemenyan dalam waktu-waktu tertentu.
Bahkan lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan yang dihadiahkan bersama dengan emas dan mur oleh tiga orang Majus (Parsi) atau ” tiga raja dari Timur” untuk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Maria, yakni Yeshua (ישוע), adalah kemenyan yang dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Konon, selanjutnya Barus semakin ramai disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan Kamper (kapur barus).
Tiga deskripsi di atas baru nukilan kecil dari teks lengkap perihal luasnya penggunaan kemenyan dalam ritual-ritual suku-suku awal Nusantara hingga keyakinan dan agama di Indonesia modern ini. Mulai dari Sumatera, Jawa hingga Madura bukti-bukti terlihat jelas karena bahkan masih bisa kita temukan praktek penggunaannya hingga sekarang. Tak pula sebatas untuk ritual ibadah tetapi juga untuk kepentingan praktis sehari-hari, misalnya sebagai campuran tembakau untuk rokok.
Kristal kemenyan ini diolah dan diperoleh dari pohon jenis Boswellia dalam keluarga tumbuh-tumbuhan Burseraceae, Boswellia sacra (disebut juga Boswellia carteri, Boswellia thurifera, Boswellia bhaw-dajiana), Boswellia frereana dan Boswellia serrata (kemenyan India).
Terdapat 7 (tujuh) jenis kemenyan yang menghasilkan getah tetapi hanya 4 jenis yang secara umum lebih dikenal dan bernilai ekonomis yaitu Kemenyan Sumatra (Styrax benzoin), kemenyan bulu (Styrax paralleloneurus), Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) dan Kemenyan Siam (Styrax tokinensis).
Melihat latar belakang Bram Tobing, komposer lagu ini serta lirik dan tampilan video musiknya, yang dimaksud dengan haminjon adalah Kemenyan Toba.
Mari kita bedah apa sih yang mau digambarkan lagu ini.
Bedah Lirik “Haminjon”
Kalau kita terjemahkan lepas, lirik lagu Haminjon dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Sada turi – turian i (ada sebuah cerita)
Na sian Ompui (yang dituturkan oleh Leluhur)
Tu pinomparna i (kepada anak cucunya)
Di tonga ni harangan i (di tengah hutan)
Tombak na uli i (hutan yang indah)
Mangolu tondi i (hiduplah Roh)
*
Hau na margota i (disitu ada kayu yang bergetah)
Gota na hushus i (getahnya harum mewangi)
Tonggo na uli i (untuk pengiring doa yang indah pula)
Ilu ni si boru i (asalnya dari airmata seorang gadis)
Boru ni raja i (ia adalah putri raja)
Gabe pulungan i (dan air mata itu menjadi obat penawar)
Reff
Ujui longang do bangso i (kala itu orang-orang disitu heran)
Marnida hau namargota i (demi melihat kayu yang bergetah itu)
Ujui gabe do bangso i (saat itu semua warga disitu damai sejahtera)
Sahat sude akka sahala i (sebagai berkat dari para Leluhur)
Mulakma hita tu bona i (maka marilah kita pulang ke Sumber)
Manat dohot di akka tona i (sembari tetap berpegang pada Nasihat)
Terasa bahwa lirik Haminjon hendak menyampaikan sebuah pesan (value) tradisi dan kepercayaan yang dianggap luhur oleh warga setempat.
Tradisi apa itu?
Marhaminjon di Sijamapolang
Dalam tulisan yang menjadi tugas akhirnya di Universitas Sumatera Utara, Imanuel Silaban mencoba mengelaborasi latarbelakang, realitas dan nilai berkebun kemenyan (marhaminjon).
Marhaminjon menjadi mata pencaharian yang paling banyak dilakoni masyarakat Bonandolok. Selain tidak memerlukan modal yang banyak, menanam dan panen kemenyan dapat memberikan hasil yang menjanjikan dibandingkan dengan bercocok tanam tanaman muda dalam periode waktu yang lama. Disamping itu, harga kemenyan saat ini dipasaran semakin lama semakin meningkat. Tentu ini menjadi alasan lain lagi mengapa masih ada petani yang betah mansigi (menyadap) pohon kemenyan alih-alih mengalihfungsikan lahannya untuk tanaman budidaya lain atau menjualnya untuk dijadikan rumah atau industri.
Masyarakat Bonan Dolok memiliki kepercayaan terhadap mitos pohon kemenyan. Konon pohon yang menjadi penghasil getah kemenyan dulunya adalah Boru Nangniaga, seorang wanita cantik yang tinggal bersama orang tuanya.
Dulu keluarga ini hidup serba kekurangan sehingga harus berhutang kepada orang berduit. Tidak mampu melunasi hutangnya, sang ayah pun berencana menjodohkan putrinya kepada putra orang berduit itu. Sang putri tidak mau menuruti permintaan ayahnya karena dia tidak suka pada lelaki tersebut. Kemudian dia melarikan diri ke hutan untuk menghindar. Disana dia menangis tersedu-sedu karena merasa kesepian dan menyesali sikap ayahnya kepadanya.
Tiba-tiba sang putri berubah menjadi pohon, dan air matanya berubah menjadi kepingan-kepingan berupa kristal yang baunya khas dan wangi. Keluarganya mencari wanita cantik tersebut kehutan, namun yang mereka dapati bukan lagi sosok manusia ataupun wanita, melainkan sebatang pohon yang mengeluarkan getah harum. Itulah haminjon.
Uniknya, banyak pula warga Bonandolok menyebutkan bahwa getah pohon yang menjadi haminjon itu sesungguhnya berasal dari air susu wanita cantik tersebut. Akan tetapi karena menyebutkan susu dari payudara (Bahasa Batak Toba: tarus) di lingkungan masyarakat sekitar maupun disekitar hutan kemenyan dianggap tabu, maka masyarakat setempat sendiri memperhalus bahasa tersebut, alih-alih menyebut air susu, menjadi air mata.
Kini terjawab sudah tradisi yang melatarbelakangi lirik “Haminjon”. Lantas, pesan apa yang hendak disampaikan lewat lagu tersebut?
Menurutku, pesannya jelas: Berilah kesempatan kepada anakmu untuk menentukan jodohnya sendiri.
Jika mau diekstrapolasi, pesannya bisa meluas. Yakni supaya setiap orangtua memberikan kesempatan kepada anak yang sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, entah dalam hal jodoh, karir, ideologi dan lain-lain. Ini saatnya generasi senior untuk mendidik dan memberikan pengertian kepada junior, bukan malah memaksa.
Cukuplah Siti Nurbaya yang mengalami pahitnya dunia akibat tunduk pada tradisi harus menghormati orangtua yang keputusannya tidak boleh dibantah. Cukuplah perempuan-perempuan mengalami derita akibat dipaksa menikahi pemuda sebagai tebusan untuk hutang, seolah-olah mereka adalah komoditas yang dapat dijadaikan nilai tukar layaknya uang.
Dengan demikian, “Haminjon” menambah perbendaharan kita untuk lagu yang mengusung kritik sosial terhadap perjodohan yang dipaksakan. Sebelumnya sudah ada “Cukup Siti Nurbaya” yang dinyanyikan dengan berani oleh Ari Lasso kala masih di Dewa 19.
Catatan Kritis:
Ada apa dengan huruf “i”?
Mengapa banyak sekali huruf i pada setiap akhir frasa di lirik “Haminjon”?
Benar bahwa “i” (Toba) berarti “itu“, it (English, kata ganti orang ketiga) dan karenanya komposer bisa berargumen bahwa banjirnya penggunaan kata “i” tujuannya jelas: untuk menyampaikan kepada pendengar bahwa latarbelakang tradisi lisan yang mau dikritisi itu spesifik, yakni Boru Nangniaga dalam folklore masyarakat Batak. Oke. Tapi apakah memang tidak ada metode lain untuk mencapai tujuan yang sama?
Kupikir masih ada sekian alternatif untuk menjadikan nilai dan filosofi tadi tetap tersampaikan sembari tetap menjunjung tinggi keindahan sastra dalam lagu. Olah kata dan diksi adalah pekerjaan seorang penulis lagu juga. Tentu selain repotnya mengerjakan musikalitas, merancang video klip, termasuk tektokan soal publisitas dan hal lainnya. Ini masukan saja.
Dari segi genre yang dipilih, “Haminjon” menambah daftar lagu bernuansa rock dengan lirik tradisional. Usungan subgenre metal rock a la band AC DC dan Metallica terasa sejak awal lagu. Petikan gitarnya sangar, dengan sedikit bantuan edit vokal seperti efek helium di penggalan vokal yang gahar membuatnya terdengar seperti lagu “Siksik Sibatu Manikkam” oleh Donald Black (saat mengisi mikrophone Djamrud setelah sempat ditinggal Krisyanto).
Perpindahan tonal dari musik intro ke vokal sangat kreatif, mirip dengan yang dilakukan Vicky Sianipar untuk lagu “Sinanggar Tullo”
Belum lagi dentuman double beat pada drum yang mengingatkanmu pada “Pangeran Cinta”, jika kamu adalah seorang Baladewa.
Singkatnya, “Haminjon” menjadi satu lagi lagu yang patut kamu masukkan di playlist Youtube atau Spotify-mu.
Catatan Akhir
Satu hal positif jelas terlihat:
Semakin banyak generasi muda melihat potensi melimpah dari tradisi lokal untuk dikemas ulang sehingga mengena dengan selera pasar kekinian.
Ini, tentu saja, menambah daftar pemusik dengan visi yang kurang lebih sama, sebut saja Rimanda Sinaga dengan “Pos Ma Roham da Inang” atau Plato Ginting dengan “Mejuah-juah Pal”