Pergi Kau, Bajingan!!!

Asal kau tau saja,
Sedetikpun tak pernah kau kuanggap.
Congormu lantang membahana
Syairmu memuakkan,
Pantunmu basi
Lirikmu miring berliuk tak berarah.
Memuakkan setiap jiwa yang punya rasa.

Pena berontak sejak pertama kau genggam.
Hendak menekuk diri
Bermuram durja
Tak sudi kau pakai menggores kata-kata
Cuma ia tak berdaya,
sebab nasibnya kau gantung
seperti bidak-bidak lain di papan caturmu.

Asal kau tau saja …
Rupa siapa di comberan,
Tuduhmu pada rekan sejawatmu
Padahal coreng-moreng di mata,
di hidung,
di mulutmu yang busuk
tercium hingga ubun-ubun kota

Kau rayu rakyatmu dengan candu surga,
Pekat membakar rindu katamu
Seakan rakyatmu pernah singgah di mimpi tidurmu
“Ayo, curahkan semuanya.
Tumpahkan sesak di dadamu
Biar lepas semua salibmu
Keluhkan samsaramu,
Tebalkan taqwa dengan iqra-mu,
yang menjerat lehermu tak kunjung menggapai nirwana”,
sejurus sebelum kau berambus,
membersihkan debu alun-alun dari kasut mahal itu.

Asal kau tau saja
darahku menggelegak sejak saat itu,
melihatmu tersenyum melihat langkah caturmu

Pikirmu,
Amarahku tak bergema,
suaraku tak dianggap massa
kau bungkam sejak sedia kala.

Tapi,

asal kau tau saja,
bila nanti saatnya tiba,
tak sudi aku meniru polesan kata-katamu,
menendangmu dari pertiwiku:

Sikat gigimu bersih
Ikhlaskan kuman bebas dari rongga mulutmu
Kenakan baju terbaikmu,
Ikat pinggangmu
Sisir rambutmu
Ketatkan sarungmu

Wahai, politisi busuk.
Pergi kau, bajingan!!!

 

Bintaro, 9 Nopember 2017

Sebuah Tanggal di Almanak


Karya: Mim Yudiarto

Selamat ulang tahun
Bukan lagi kata yang tepat untuk diucapkan
Lebih tepat jika aku berujar
Selamat mengendarai mimpi
Bersama wangi melati
Bunga yang menemanimu saat sunyi
Membungkam warna sekam ketika kau merindukan pulang

Selamat ulang tahun
Hanya aku ucapkan
Ketika bulan masih merayakan kelahiran
Remah remah langit yang terbungkus kegelapan

Do’aku adalah do’a para bintang
Meletakkanmu di sudut angkasa
Melihat semua derita anak-anak bumi
Sebagai gelisahmu juga

Do’aku adalah do’a sepotong rembulan
Membiaskan cahaya matamu
Ke pojok remang anak-anak kepahitan
Sebagai resahmu juga

Do’aku adalah do’a matahari
Menghangatkan bukan menghanguskan
Dingin dan sepi yang mematikan
Beku dan kelu yang menguburkan

 

Jakarta, 22 September 2017

Sajen dan Sosok

Darah bagi Sembahan yang selalu haus

Sesajian berderet sejak purba
Berkerubung mereka disana
Tumpah berjejal di pelataran Gaia
Konon, Sosok itu lapar. 

Sesajian tidak saja kembang aneka rupa,
Tak juga sebatas puja-puji mantra beraroma dupa.
Pedang berdarah penghunus nyawa kaum nestapa buta aksara, yang tak mau tunduk menyembahnya, juga tertancap megah disana.
Konon, Sosok itu haus dipuja.

Sesajian terus berdatangan,
Sejak purba hingga zaman yang tak lagi bisa terbilang angka,
Gaia kini tua renta tersedot habis semua tubuhnya,
Pun tak kunjung cukup memuaskannya.
Konon, Sosok tak terpuaskan juga.

Sesajian harus terus ada.
Harus tetap berlimpah ruah di singgasananya.
Gaia renta membuat manungsa iba.
Dihunusnya pedang angkara, dihunjamkannya ke raga Saudaranya.
Sebab, Sesajian tak boleh tiada.
Begitu titah Sosok

Bangsa mulai bermufakat,
“Mari kita eratkan tangan. Jika kita tidak lebih dulu membantai negeri tetangga, anak-anak kita akan jadi sesajian berikutnya”.
Kitab Suci pun ditulis,
Tafsir disusun, ditimbang dan ditimbun di lumbung penguasa,
Jika kelak zaman bertanya, “untuk apa?”, kita tunjukkan saja: “Begitu perintah sang Sosok”
Sesajian pun akhirnya tetap tersedia.
Sebab sampai hari ini, Sosok masih meraja di segala penjuru dunia.

 

Bintaro/8-11-17

Apa Aku Mesti Menuntunmu?

    Cinta akan datang saat kau kembali berlayar

Karya: Mim Yudiarto

Kau katakan tak pergi kemana-mana
Itu karena pintu kau kunci dengan kalimat tak mau
Kau katakan tak melihat apa-apa
Itu karena jendela kau tutup dengan kalimat tak mengapa

Kau bilang ingin mengintip turunnya bianglala
Tapi kau malah sibuk memalingkan muka
Kau bilang mau mencuri biji mata purnama
Tapi kau lupa bulan ada di mana

Apa aku perlu ingatkan tentang sebuah perjalanan
Selalu dimulai dengan langkah kaki
Bukan kira-kira di hati

Apa aku harus tuliskan
Ke arah mana sungai menuju
Muara laut tempat air bertemu

Apa aku mesti sampaikan
Bahagia itu tak mungkin datang bertamu
Jika kau tak berniat untuk berburu

Pergilah ke arah barat
Di sana ada kiblat
Larilah ke arah timur
Di sana kau ditunggu matahari yang sedang berjemur
Berjalanlah ke arah utara
Di sana indah siap menyembuhkan lelah
Berpalinglah ke selatan
Di sana salju meramu inginmu

 

Semarang, 8 Nopember 2017

Merindu Putik Bunga Lain


Karya: Rizky Fahlevi

saat rindu menyapa
haruskah membisik
pada putik yang tertinggal
atau kubiar angin menghembusku

mawar putih nan dingin
tetesan rindu kutitipkan
pada embun yang menyapa
yang hanya singgah sejenak lalu hilang

setidaknya rindu ini pernah berharap
agar membawa sakinah
walau kini hanya sekejap
engkau hilang tanpa sayapku
Padangsidimpuan, 8 Nov 2017

Bagai Angsa


Karya: Bhoex Kensi

Seperti angsa yang ingin, terbang.
Menari anggun bersama, alam.
Berteman indah sisi kehijauan, rindang.
Menampilkan cantik yang, mengagumkan.
Tersentuh hati begitu, luluh.
Menghayati sekitar ketinggian, itu.

Enggan rasanya menjauh, pergi.
Dari suasana yang, mempesona ini.
Hati menahan untuk tetap, diam.
Tidak ingin melangkah, berpindah.

Jika aku adalah angsa yang, berdiri.
Aku kian rapati bulu-bulu, lebarku.
Ingin terus merasakan pesona, indah.
Akan aku kepakkan sayapku, kelak.
Disaat aku ingin terbang untuk, hinggap.

Kebebasan alam yang megah, tercipta.
Untuk aku cinta sampai hari, tua.
Tiada harus aku berduka, lalu kecewa.
Dalam mencintai dan menyayangi, alam disini.
Karena aku lebih akan merasa, puas.
Akan terlepasnya aku dari garis, zona amanku.

 

Wonosobo, 8 November 2017

Menangkap Kalimat

Jati tertua

Karya: Mim Yudiarto

Sungguhpun hasilku menangkap kalimat malam ini
Dihalangi oleh barisan kata tidak
Aku tetap maju dengan tegak
Aku bukan pecundang yang bisa diusir pulang dengan gampang
Aku adalah bagian dari kawanan yang sedang berburu
Bukan pilu bukan rindu namun tumpahan kata dari udara beku

Perburuan yang melelahkan di lereng Ungaran
Nafas sedikit tersedak karena dingin cukup menyentak
Kalimat yang menyeruak adalah namamu yang akhirnya terkuak
Aku eja terbata-bata karena lidahku selalu tersangkut kata cinta
Aku berterimakasih meski gelap mulai meraba-raba

Ketika senyap mulai tersundut serabut kabut
Pencarianku tak akan lagi luput
Aku yakini itu dengan menulis namamu dengan paku
Di meja panjang yang terbuat dari jati berusia sepuluh windu

Ungaran, 7 Nopember 2017

Buddas


Karya: Suhendi

Mimpi semalam jadikah wujud
Saat bergegas bangun dengan binar di wajah
Ah, manalah mungkin

Rupa asa samar bayang
Kusam
Dekil
Terlindas roda kehidupan yang bersyarat
Pun sisa hari esok terbenam dalam timbunan angan

Tangan tangan kecil bertubuh lekat debu jalanan
Sanggupkah menggali tumpukkan realita
Di waktu yang sebentar dan tak berdasar
Atau mengais harap yang tercecer dari peliknya hidup

Biar luka darah tapak bernanah
Manalah mungkin terwujud
Biar terik matahari kuras peluh
Manalah mungkin tergenggam

 

Cikarang, 2017

Budaya Selimut Doa

Ilustrasi: Indonesia Berdoa

Karya: Sugianto


Di negeri yang indah ini
Pertama kali kuteriakkan tangisku
Berlari untuk kupijakkan kakiku
Lalu kupandangi sekelilingku memuji keelokanmu

Aku bangga terlahir di negeri ini
Kokoh berdiri dengan segala perbedaan
Suku, Ras, Budaya dan Bahasa
Bersatu dalam cengkaraman Garuda

Di hamparan tanahmu yang luas
Terlihat jelas aneka ragam budaya
Yang tak tergerus panasnya musim
Dan terjaga dari abrasi yang mengikis

Sekian banyak budaya
Menjadi jati diri bangsa ini
Hendaknya kita bersatu dan lestarikan
Ini bangsa kita, milik kita, dan hidup kita

Enyahlah tangan-tangan kotor
Bisukan mantera asing
Negeri ini terbungkus do’a
Terang di ujung lentera.

Nusantara Mencari Ibu

“Nus, kok aku baca di timeline-nya temen2, nih pada ribut ngomongin soal Ibu? “, tanya Wongso.

“Ya iyalah. Yang mau dicari kan bukan sembarang Ibu, Wongso”, jawab Nusa sekenanya.

“Maksudnya?”, selidik Wongso.

“Dulu kita punya Ibu yang ramah bagi semua. Namanya Gaia. Tapi lalu anak-anaknya mau misah, mau cari Ibu-nya sendiri2. Ada yang milih London buat jadi Ibu. Ada lagi yang milih Moskwa, Washington, Sydney, Beijing, Seoul. Nah, dulu … waktu itu berhubung Ibu kita rambutnya pirang dan keringatnya masih bau bawang putih, namanya Batavia. Sekarang dibaptis jadi Jakarta. Ini kayaknya kita bakal dapet Ibu baru lagi”, jelas Nusa.

“Itu kok emak-emak namanya aneh-aneh. Kok bukan Endang, Markonah, Tumiyem, atau Tiurma gitu?”, tanya Wongso masih penasaran.

“Yo suka-suka kita donk. Termasuk Ibu kita yang sekarang. Denger-denger sih, Ibu kita yang sekarang, Bu Jakarta itu nggak ramah lagi, nggak ngemong lagi. Anaknya yang baik saja, si Ahok, dikurungnya. Entah salah apa dia. Makanya kita mau ganti Ibu ajalah”, timpal Nusa.

“Terus, nanti Ibu kita apa?”, susul Wongso.

Gue sih maunya Ibu RIS aja. Cuman nggak dibolehin sama Eyang Pancasila. Palingan gue ikut sama temen-temen lain aja: Palangkaraya”, ucap Nusa dengan mimik terharu biru, entah mengapa.

“Terus… Nanti Ibu baru kita si Palangkaraya itu ramah nggak?”, cecar Wongso.

“Ya tergantung. Kalau kita anak-anaknya baik, Ibu bakal ramah dan ngemong. Cuman kalau kita nakal berjamaah, ya paling kita digimbali terus dibalbali“, jelas Nusa sambil seruput kopi Khok Thong-nya yang baru saja diseduhnya.

Begitulah Diskusi singkat Nusa dan Bangsa (eh… Wongso) mencari Ibu baru.

Wizards stuck when being told to solve problems in Indonesia

Seperti dimuat di akun Facebook Saya.