Simon Vaz dan Frater Pra-TOR Keuskupan Agung Medan

Hari ini Jumat, 18 Oktober 2024.

Dua hari lagi, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Menggantikan Presiden Joko Widodo yang akan mengakhiri dua periode berturut-turut masa jabatannya. Yupz, benar. Anda, Saya dan ratusan juta penduduk Indonesia sebentar lagi akan memiliki presiden baru.

Berbagai macam dinamika perpolitikan yang malang-melintang di berbagai media massa terkait berbagai ketidakberesan Pemilu, bagaimanapun, akan segera menemukan titik ekuilibrium atau titik keseimbangannya. Entah apapun dan dimanapun posisi Anda saat ini dan masa-masa menjelang Pemilu yang lalu, ini adalah fakta yang akan kita alami bersama. Setidaknya untuk 5 tahun ke depan. Sebaiknya kita isi dengan rasa syukur dan optimisme.

Kita akan mengalami kepemimpinan dengan presiden baru, kabinet baru, dan kemungkinan-kemungkinan situasi baru akibat berbagai janji kampanye yang semoga bisa terlaksana, semata demi Indonesia yang semakin berkemajuan. Sebaiknya tetap kita bekerja sesuai panggilan kita dan berdoa sesuai cara yang kita yakini masing-masing supaya tujuan mulia ini tercapai.


Ini bulan ketiga Saya menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris di Rumah Pembinaan Pra-Tahun Orientasi Rohani Santo Yohannes Maria Vianney Keuskupan Agung Medan di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Biasa disingkat Pra-TOR KAM. Gedungnya bersebelahan dengan pastoran Paroki Santo Petrus dan Paulus Kabanjahe. Beberapa Keuskupan lain di Indonesia juga tampaknya sudah mulai mendirikan rumah pembinaan Pra-TOR untuk calon-calon imam di wilayah mereka. Murid-murid yang Saya ajari Bahasa Inggris ini berjumlah empat belas orang. Mereka angkatan keempat sejak Pra-TOR KAM dibuka (menurut keterangan dari Rektor).

Saya dan para para frater yang menjadi murid-murid Saya menyepakati untuk menamai diri mereka sebagai seorang Presoyan, akronim dari PreSpiritual Orientation Year. Kesepakatan serupa sudah berhasil pula Saya buat dengan kakak tingkat setahun di atas mereka, ketika kami berproses selama 1 bulan dalam Kursus Intensif ESP (English for Special Purpose) di Paroki Santo Yosep Jalan Bali Pematangsiantar bulan Juni – Juli 2024 yang lalu.

Dalam dinamika pembinaan bersama mereka, Saya menangkap nada yang sama dalam harapan mereka secara umum. Mereka ingin dengan lancar menjalani tahun pembinaan ini. Sebagai frater Pra-TOR, mereka berharap dapat dengan lancar mengikuti setiap proses formasi selanjutnya: tamat dari Pra-TOR, lanjut ke TOR (Tahun Orientasi Rohani), menamatkan gelar Sarjana Filsafat dari STFT, menyelesaikan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral), menyelesaikan tesis S-2 di kampus yang sama, ditahbis diakon, hingga akhirnya ditahbis menjadi seorang imam diosesan.

Jika ini terjadi, maka mereka akan mengambil peran dalam melanjutkan karya Simon Vaz, imam diosesan berkebangsaan Portugis yang mengawali berdirinya umat Katolik di Nusantara dengan membaptis orang-orang Moro di Halmahera Utara pada 1534. Simon Vaz kemudian dibunuh di Pulau Moratai setahun kemudian, dan menjadi martir pertama di Indonesia.

Sebagai seorang imam diosesan, nantinya – bersama dengan senior mereka termasuk Pak Rektor RD Yohannes Fransiskus Sihombing, Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet (berkebangsaan Vietnam), Parokus RD Sautma Toho Maruba Simanullang, Vikaris Parokial RD Lukman Pandiangan dan imam-imam diosesan lainnya di dalam dan luar Keuskupan Agung Medan – mereka akan diuji: mampukah mereka menunjukkan identitas dan spiritualitas seorang imam diosesan sebagai “akar tunggang Gereja Katolik (di) Indonesia“.


Lantas, apa hubungan imam diosesan Indonesia dan kepemimpinan Presiden baru Indonesia?

Bersama para imam biarawan yang jumlah lebih banyak (meskipun tetap kurang untuk melayani secara maksimal), para imam diosesan akan menjadi klerus yang mendampingi seluruh umat Katolik di Indonesia – yang prosentasinya cukup minor dalam demografi Indonesia. Artinya, segala kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) dari umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia di bawah kepemimpinan presiden yang baru ini akan menjadi kegembiraan dan harapan mereka juga.

Apa yang istimewa dengan imam diosesan ini? Megapa harus dibedakan dengan imam lainnya dari aneka tarekat dan biara? Sebagai pembantu Uskup, yang tanpa mereka Uskup disebut oleh RD Y. Gunawan seperti “macan ompong”, mereka cukup lama dibiarkan tidak dikenal secara baik oleh umat Katolik sendiri. Sematan julukan sebagai “imam kelas dua” (tweede klas priester) dalam periode yang cukup lama terutama oleh Gereja Zaman Kolonial dan identitas yang kerap dipeyorasi sebagai “imam sekular” adalah dua diantara sekian banyak fenomena yang harus mereka hadapi. Begitu sikap yang harus dimiliki para imam diosesan, pun dengan para frater calon imam diosesan ini.

Sampailah kita pada poin tunggal pembahasan pada tulisan singkat ini: bahwa irisan identitas antara umat dari agama Katolik dan menjadi warga negara Indonesia sebenarnya tak perlu dipersoalkan.

Mengapa demikian? Sebab sejatinya kedua identitas ini bersatu, tidak terpisah apalagi bertentangan. Bukan tanpa sebab, organisasi  berlabel Katolik setua PMKRI, misalnya, sejak awal mendaku akan memperjuangkan kemajuan Indonesia dengan semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Padahal, embrio PMKRI sudah ada bahkan sebelum Indonesia memproklamasikan diri.

Selanjutnya, bagaimana mereka – para imam diosesan ini – bisa betul secara meyakinkan hadir dan mendengar kegembiraan dan harapan dari umat Katolik Indonesia yang mereka gembalakan?

Inilah yang sejak awal mereka harus tanamkan: bahwa ada hal-hal yang secara keliru dianggap terpisah bahkan bertentangan oleh para penganut ideologi-ideologi sekularistik. Para imam diosesan harus secara meyakinkan memperlihatkan bahwa sebenarnya hal-hal itu satu.

Maka, para imam diosesan dan calon imam diosesan itu – dalam proses panjang formasi dan kehadiran bersama umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia, tahu mengapa sejak awal mereka memilih menjadi imam diosesan, pembantu Uskup, pegawai negeri-nya atau pamong praja-nya Uskup; dan bukan imam biarawan yang harus taat pertama-tama dengan petinggi tarekat dan biara mereka.

Ketua STF Driyarkara, RD Simon Petrus L Tjahjadi, dalam epilog buku yang ditulisnya “Mission Breaktrough – Narasi Kecil Imam Diosesan di Indonesia”  meringkas dengan baik bagaimana imam diosesan harus memperlihatkan secara meyakinkan kesatuan yang dimaksud. Saya sadur seperlunya:

Penghayatan hidup imamat seorang imam diosesan perlu memperlihatkan secara meyakinkan bersatunya:

  1. Cinta, kepercayaan dan pelayanan kepada Allah – dan – pelayanan dan kepercayaan kepada manusia
  2. Iman dan akal budi
  3. Karisma dan jabatan
  4. Individualitas dan komunitas
  5. Kepemilikan dan lepas-bebas
  6. Selibat dan seksualitas
  7. Religius dan sekuler
  8. Altar dan pasar
  9. Hidup doa dan kerasulan
  10. Agama dan kemanusiaan.

Demikianlah seorang calon imam diosesan perlu belajar dan memahami pasangan nilai-nilai ini. Nilai-nilai yang dulu diperlakukan dengan dikotomi ketat padahal adalah satu kesatuan, saling melengkapi.

Maka, jika ke depan para frater ini melanjutkan rangkaian pembinaan sebagai calon imam diosesan, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk membina diri hingga ditahbis menjadi seorang imam diosesan. Sebaiknya seorang frater Pra-TOR menjalani formasi setahun ini dengan rasa syukur dan optimisme.

Jika kelak mereka menjadi imam diosesan dan berkarya di Gereja Katolik Indonesia, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk tetap hadir bersama warga Indonesia, mendengarkan kegembiraan dan harapan bangsa Indonesia: Katolik dan non-Katolik. Baik pada pemerintahan Presiden Prabowo maupun presiden-presiden selanjutnya.


Sebagai seorang pengajar yang diberi kesempatan untuk terlibat dalam pembinaan mereka, Saya merasa ini tugas yang cukup menantang. Kalau begitu, Saya harus membaca lebih banyak lagi, mendengar lebih banyak, mengalami lebih banyak. Sepertinya memang harus belajar lebih lagi.

Tidak Ada Perempuan yang Kidal

Saat balita
tangan kanannya memegang barbie
tangan kirinya mengelus pipi yang memerah

Saat anak-anak
tangan kanannya memegang slime
tangan kirinya menarik rok hingga lutut

Saat remaja
tangan kanannya memegang smartphone
tangan kirinya sibuk menarik bajunya hingga longgar

Saat dewasa
tangan kanannya memegang secangkir kopi
tangan kirinya penuh sayatan

Saat menjadi ibu
tangan kanannya membersihkan popok
tangan kirinya meremas kertas perceraian

Haruskah perempuan terlahir tanpa tangan kiri agar tidak terluka?


Bedah Puisi oleh Penulisnya

Melalui akun Twitternya @tasuketeasqui, Tazkia Nur Hafizah menjelaskan latar belakang hingga maksud dari puisi yang ditulisnya.

Berikut selengkapnya penjelasan penulis dengan penyesuaian seperlunya dariku.


Latar Belakang

Institut Français d’Indonésie (IFI) memberikan kesempatan untuk masyarakat ikut kampanye internasional “16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan” dengan mengadakan lomba puisi pendek dengan tema #KitaUntukPerempuan

Sebagai apresiasi 30 puisi terbaik akan mengikuti kelas menulis puisi yang mana IFI bekerja sama dengan Kompas Institute. Setelah kelas berlangsung 5 puisi terbaik dipilih untuk kemudian dipampang di dinding gedung IFI yang terletak di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta

Photo: Akun Twitter @indiratendi

Alhamdulilah karya saya “Tidak Ada Perempuan yang Kidal” menjadi salah satu yang beruntung.


ISI

Saat balita, tangan kanannya memegang Barbie, tangan kirinya mengelus pipi yang memerah

‘Barbie’: Objek Barbie dipilih karena mencoba relevan dengan mainan apa yang kiranya masih dimainkan generasi Z dan Alpha.

‘pipi yang memerah’: Akibat tamparan dari keluarga/ lingkungan abusif


Saat anak-anak, tangan kanannya memegang slime, tangan kirinya menarik rok hingga lutut

‘slime’: Ini mainan yang masih digemari anak-anak Z dan Alpha

‘menarik rok: Kasus anak Sekolah Dasar yang menjadi korban pelecehan seksual oleh dari pedagang mainan di sekolahnya.


“Saat remaja,tangan kanannya memegang smartphone, tangan kirinya sibuk menarik baju hingga longgar”

‘smartphone’: Saya sering mendengar orang tua yang sedih karena remaja mereka sibuk dengan gawainya dan berusahalah untuk bonding kembali.

‘menarik baju’: Pubertas memberikan banyak perubahan pada suasana hati dan tubuh remaja. Tentu saja hal ini membuat remaja bingung dan tidak percaya diri dengan perubahan tersebut.


“Saat dewasa, tangan kanannya memegang secangkir kopi, tangan kirinya penuh sayatan

‘kopi’: Orang dewasa dihadapkan pada banyak hal yang kita harus kerjakan. Karena tidak bisa lari dari realita, setidaknya pahit kopi dapat menahan mata. Ajaibnya, tubuh yang terjaga itu memberi sugesti bahwa kita mumpuni untuk menuntaskan kewajiban. Kopi itu adalah mantra

‘sayatan’: Alasan orang melakukan cutting (dengan sengaja menyayat tangan sendiri dengan silet atau benda tajam lainnya) adalah untuk mengalihkan pikiran semrawut pada rasa perih yang ditimbulkan luka sayatan tersebut.


“Saat menjadi ibu, tangan kanannya membersihkan popok, tangan kirinya memegang kertas perceraian

Indonesia masuk ke dalam negara tingkat Fatherless yang tinggi. Dan masih ada sosok ayah yang tidak menyadari bahwa parenting adalah kerjasama dua pihak.


“Haruskah perempuan terlahir tanpa tangan kiri agar tidak terluka?”

Tangan kanan umumnya dianggap hal baik dan tangan kiri dianggap hal buruk. Di setiap fase kehidupan “tangan kanan” mengerjakan hal baik, sedangkan “tangan kiri” merespon hal-hal buruk


Saya ingin pada karya kali ini terasa dekat dengan keseharian dan tidak muluk memakai imajinasi berlebihan. Akhirnya saya berpikir ungkapan “lebay” apa yang bisa mendramatisir tangan kiri tersebut. Akhirnya saya memilih opsi “terlahir tanpa” agar terkesan no way out and hopeless.

Hakikatnya, kesan “no way out” dan “hopeless” tadi adalah bentuk sarkasme yang sebenarnya keluar dari orang yang sebenarnya masih berusaha namun tidak cukup dukungan dari orang lain.

Tentu saja kita kuat jika kita bersama, kan?

Maka dari itu untuk menambah sisi dramatis Saya menjadikan judul karya ini memakai kata “kidal” agar seakan kondisi “terlahir tanpa tangan kiri” benar-benar dapat terjadi jika setelah selesai membaca puisi ini pun banyak pembaca yang tidak ber-husnuzon pada makna karya ini.

Kesimpulan

Saya tidak pernah bermaksud mengolok-olok suatu kondisi dan menyudutkan siapapun di dalam puisi ini. Semoga dapat diambil kesimpulan yang lebih husnuzon karena Saya menyadari perspektif orang akan berbeda sehingga kesimpulan yang diambil dapat berbeda juga.

Penutup

Semoga semua umat manusia dapat saling menjaga satu sama lain terlepas dari cara orang melakukan “penjagaan” tersebut berbeda. Di sini Saya suka menjaga hati dan pikiran Saya tetap hidup dengan menulis. Semoga tulisan Saya bisa sedikit menghidupkan orang lain juga

Membabat Akar Permasalahan Desa bersama Wahyu Anggoro Hadi

Panggungharjo dan Wahyu Anggoro Hadi adalah dua nama yang beberapa tahun terakhir menjadi buah bibir ketika kita membahas desa di Indonesia.

Yang pertama adalah sebuah desa mandiri di bilangan Bantul, Yogyakarta dengan beragam program yang terbukti membangun warganya. Yang kedua adalah kepala desanya.

Tentu saja, tidak ada yang terjadi kebetulan. Apalagi sesuatu yang too good to be true, pasti akan segera mendatangkan kritisisme di kepala kita.

Ini wajar.

Sesuai hukum inersia (kelembaman/kemalasan): Sesuatu yang tidak bergerak (kecepatan = nol), akan tetap dalam keadaan diam sampai ada gaya yang menyebabkannya bergerak.

Sesuatu yang nyaman akan sulit sekali berubah, sekalipun “yang nyaman” itu termasuk desa yang tidak pernah mandiri, kepemimpinan lokal yang korup dan kental politik kroni, tidak ada inisiatif negara untuk benar mengurusi desa, dan permasalahan desa lainnya.

Situasi ini pasti tidak asing bagi kamu yang tinggal di desa. Maka dapat kita sebut sebagai zona “nyaman”, meskipun sebenarnya semua orang menggerutu tentang bagaimana mereka tidak merasakan manfaat yang mereka duga patut dapatkan dari negara lewat desa. Semua orang mengkritiknya tetapi tidak ada yang mau menempuh resiko untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, karena semua warga desa sama-sama merasa sama-sama “tidak nyaman” tetapi tidak ada yang mau mengubahnya, inilah justru zona nyaman sesungguhnya itu. Padahal, kalau mau maju, bukankah kita harus keluar dari zona nyaman (comfort zone) ini?

WAH!

Maka ketika kita mendengar kisah bagaimana pemerintah Desa Panggungharjo di bawah komando Kades Wahyudi Anggoro Hadi (WAH) berhasil

membebaskan pemeriksaan kehamilan dan biaya kelahiran,

menerapkan kebijakan satu rumah satu sarjana,

mewujudkan indeks hingga 73 persen warga bahagia dan menargetkan bisa mencapai 100 persen pada 2024,

sangat pantas kita menanyakan: bagaimana WAH melakukannya?

Pertanyaan ini kemudian mengajak kita untuk berfikir runtut dan kembali ke  realitas paling awal yang menjadi asal mula semua keruwetan di desa. Untuk bisa melakukan sesuatu yang kita duga sudah banyak orang mencoba melakukan tetapi tidak banyak yang berhasil atau malah tidak ada, pertanyaan yang harus dijawab sebelumnya: memangnya, apa saja permasalahan yang ada di desa?

Bersama Wahyu Anggoro Hadi, mari kita lihat satu persatu akar permasalahan desa yang umum terjadi di Indonesia. Semoga sesudahnya kita memiliki semangat yang sama untuk membabatnya segera. Jika pun tidak, setidaknya kita memiliki pemahaman yang lebih baik sehingga ketika diberi kesempatan, kita bisa mewujudkan niat baik memandirikan bahkan mem-berdaulat-kan desa.

Butuh Waktu Lama untuk Lahirnya Kesadaran Kolektif

Kerap butuh waktu yang lama bahkan sangat lama untuk sampai pada kesadaran kolektif  bahwa desa yang kita tinggali itu memiliki keunikan. Keunikan yang bisa dimanfaatkan jika warga mau memberdayakan diri dan memanfaatkan keunikan yang ada. Sampai kesadaran kolektif ini ada, jadi masuk akal bahwa apapun upaya untuk memajukan desa selalu gagal, atau tidak maksimal.

Dalam pengalaman Wahyudi, pengalaman kesadaran kolektif itu ditemukannya muncul di Kampung Dolanan justru datang dalam situasi kebencanaan, yakni 2006.

Transformasi Sosial Lebih Cepat jika Lewat Jalur Kekuasaan

Bagaimanapun, kekuasaan punya otoritas untuk memaksa orang berubah.

Sehebat apapun kiai atau pendeta tidak bisa memaksa tetangganya untuk shalat atau beribadah di gereja.

Tetapi kalau pemerintah yang memaksa harus pakai masker selama masa pandemi COVID – kalau tidak pakai masker bisa dipentungi – warga akan memakainya.

Melawan Politik Uang Itu Sulit

Semua orang di media sosial akan mencitrakan diri sebagai pihak yang anti terhadap politik uang. Tetapi, kita tahu sendirilah bagaimana kenyataan di lapangan berbicara seperti apa.

Jadi, faktanya uang memang bisa dan terbukti sering berhasil memenangkan kontestasi pemilihan kepala desa.

Untuk melawan ini, setidaknya calon kepala desa harus memenuhi prasyarat ini:

  1. tidak punya track record buruk: sebab ketika seorang calon kepala desa masih berada di luar kekuasaan, membangun narasi jujur bahwa ia sudah pernah berhasil melakukan ini itu di tempatnya berkarya selama ini, akan sulit.
  2. memiliki visi-misi yang memberikan gambaran yang membangun imajinasi warga desa: sebab imajinasi warga desa umumnya sangat singkat, melulu soal perbaikan jalan, bantuan tunai langsung dan sejenisnya. Sulit bagi warga untuk menerima imajinasi bagaimana
    menjadikan desa itu sebagai ruang hidup yang layak, patut dan bermartabat bagi semua warga bangsa
  3. untuk melakukan perlawanan terhadap politik uang, maka upaya yang kita keluarkan itu harus setara dengan uang yang kita lawan. Maka harus dikuantifikasi. Jika satu kali blusukan untuk mensosialisasikan visi misi ke sekelompok warga itu kita anggap senilai Rp 500 ribu (tempat, kopi, cemilan dan lain-lain) maka untuk melawan uang sebanyak 10 juta, kita harus melakukan blusukan seperti itu sebanyak 20 puluh kali.

Reformasi Birokrasi Desa Harus Dibangun mulai Fondasi hingga Selesai

Wahyudi meniatkan ini sejak pertama kali menerima jabatan sebagai kepala desa. Ia undangkan bahwa ia ingin

mewujudkan pemerintahan desa yang bersih transparan dan bertanggungjawab dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat desa Panggungharjo yang demokratis, mandiri, sejahtera serta berkesadaran lingkungan.

Hal inilah yang dikerjakannya pada periode 5 tahun pertama, yakni menata kelola pemerintahan desa.

Prasyarat Kapasitas Pemerintah Desa

Kemudian menetapkan prasyarat bagi siapapun yang terpilih berikutnya haruslah memiliki kapasitas politik yang baik, lahir dari sebuah proses politik yang baik, setidaknya ikut menjaga proses politik sehingga
siapapun yang terpilih relatif punya prasyarat yang cukup untuk membangun desa.

Ini mencakup 5 kapasitas dasar:

  1. kapasitas regulasi (mengatur)
  2. kapasitas ekstraksi (mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa)
  3. kapasitas distributif (membagi sumberdaya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa)
  4. kapasitas responsif (peka atau tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat)
  5. kapasitas jaringan dan kerjasama (mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan pihak-pihak luar)

Ini berarti seorang kepala desa harus belajar cepat dan cepat belajar. Dan semua kapasitas itu harus dibingkai dengan keteladanan. Jika tidak, sehebat apapun seorang pemimpin desa programnya tidak akan berjalan jika perangkat desanya tidak bisa berjalan cepat seperti dirinya.

Satu orang tidak mungkin menyelesaikan semua hal, tapi 1 orang sangat cukup menjadi penggerak penyelesaian banyak hal jika ia menunjukkannya lewat teladan.

Ketika Wahyudi terpilih akhir 2012, hingga pertengahan tahun 2015 ia masih membersihkan sendiri toilet kamar mandi di kantor kepala desa. Dengan sendirinya ini merambat pada perangkat desa lainnya.

Ini tidak mudah. Sebab orang akan berkata: “Ayo, taruhan. Dia kuat sampai berapa lama”

Sejak 1979, Negara Tidak Pernah Mengurusi Desa

Situasi ini terjadi karena sejak lama kultur birokrasi pemerintah kita memang lamban, korup dan bias kepentingan elit desa.

Ini bukan murni kesalahan perangkat desa. Ada persoalan mendasar yang menyebabkan  itu terjadi.

Sejak UU Nomor 5 Tahun 1979 desa tidak pernah diurusi oleh negara. Ada proses negara-isasi oleh Orde Baru, kemudian proses liberalisasi pada zaman Reformasi.  Ini yang menjadikan entitas politik yang ada di desa itu memang sengaja dilemahkan.

Contoh konkret: sebelum tahun 2014 kira-kira berapa tahun sekali perangkat desa dilatih oleh Pemerintah Kabupaten? Hampir tidak pernah.

Begitulah berlangsung hingga 20-an tahun. Tidak pernah diurus.

Tidak Ada Jenjang Karir dalam Sistem Pemerintahan Desa

Ketika seseorang masuk sebagai seorang Kaur (Kepala Urusan), maka sampai ia lumutan akan terus menjadi Kaur. Ini susah ditingkatkan.

Birokrasi ini yang harus direformasi. Tetapi yang perlu dipahami ialah reformasi yang dimaksud tidak persis seperti tingkatan karir seperti kita bekerja di perusahaan, tetapi memperluas dimensi pelayanan publik.

Hal yang paling substantif itu adalah merubah pola relasi antara warga desa dengan pemerintah Desa karena selama ini relasinya itu relasi administratif. Hampir tidak ada alasan lain bagi warga desa dan pemerintah desa di luar urusan KTP, mau menikah dan mengurus sertifikat tanah.

Maka, relasi harus diperluas menjadi dimensi pelayanan publik. Tidak hanya administrasi publik, tetapi juga pelayanan barang dan jasa publik.

Misalnya, ketika ada seorang anak yang putus sekolah, ini harusnya menjadi urusan negara. Ketika ada ibu hamil, maka akses layanan kesehatan adalah urusannya negara. Sebagai entitas negara terakhir, maka Desa-lah yang harus melakukannya.

Dengan situasi ini, maka mendirikan BumDes menjadi pilihan logis. Ini upaya rasional untuk berdamai dengan mindset bahwa layanan publik adalah semata layanan instansi publik alias administrasi publik. Sebab untuk menampung pelayanan barang dan jasa publik, perlu tata kelembagaan desa yang bisa mewadahinya, tidak mungkin semuanya dibebankan kepada perangkat desa.


 

 

Belajar Memandirikan Desa bersama Wahyudi Anggoro Hadi

Desa Mandiri

Apa itu desa mandiri?

Menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (dikenal sebagai UU Desa), Desa Mandiri adalah desa yang mempunyai ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar yang mencukupi, infrastruktur yang memadai, aksesibilitas/transportasi yang tidak sulit, pelayanan umum yang bagus, serta penyelenggaraan pemerintahan yang sudah sangat baik.

Ada kata “mencukupi”, “memadai”, “tidak sulit”, “bagus” dan “sangat baik”. Predikat-predikat teoretis yang harus diterjemahkan kembali pada situasi konkret desa tertentu.

Kementerian Desa RI saat ini mengkuantifisir kemandirian itu dengan nilai IPD (Indeks Pembangunan Desa). Disebutkan bahwa Desa Mandiri adalah desa yang memiliki nilai IPD lebih dari 75.

Lantas, bagaimana kita menilai apakah sebuah desa sudah berkategori “mandiri” atau belum?

Ada dua indeks yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pembangunan desa sesuai amanat UU Desa pasal 74 tentang Kebutuhan Pembangunan Desa dan pasal 78 tentang Tujuan Pembangunan Desa.

  1. Indeks Pembangunan Desa (IPD): ukuran yang disusun untuk menilai tingkat perkembangan atau kemajuan desa pada suatu waktu.
  2. Indeks Desa Membangun (IDM): indeks komposit yang dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu indeks ketahanan sosial, indeks ketahanan ekonomi, dan indeks ketahanan ekologi/lingkungan

Panggungharjo: Contoh Desa Mandiri

Nama Panggungharjo, sebuah desa di bilangan Bantul, Yogyakarta menjadi santer beberapa tahun terakhir ketika berbicara tentang desa mandiri di Indonesia.

Betapa tidak. Pemerintah Desa (Pemdes) Panggungharjo di bawah komando Kades Wahyudi Anggoro Hadi berhasil membebaskan pemeriksaan kehamilan dan biaya kelahiran serta menerapkan kebijakan satu rumah satu sarjana. Survei terakhir menunjukkan bahwa 73 persen warga bahagia dan ditargetkan bisa mencapai 100 persen pada 2024.

                                                            Sumber: panggungharjo.desa.id

Beragam program desa di Panggungharjo, dibiayai dari kombinasi antara PAD dan donasi warga. Ada sebelas lembaga yang dikelola pemdes, sekaligus dua kolam talenta. Berdasar rencana pembangunan jangka menengah, target Pemdes pada tahun 2024, bisa menyejahterakan warga 100 persen.

Dengan target tersebut, Wahyudi dan perangkat desa menetapkan empat indikator kesejahteraan.

  1. Setiap keluarga memiliki tabungan
  2. Setiap keluarga memiliki jaminan hari tua
  3. Setiap keluarga memiliki jaminan kesehatan
  4. Indeks kebahagiaan yang meningkat.

Sejak 2013, Wahyudi menjalankan program satu rumah satu sarjana. Pemdes membiayai satu anak dari setiap kepala keluarga untuk bisa bersekolah hingga menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 150 anak yang dibiayai pendidikan hingga sarjana.

Selengkapnya mengenal kemajuan Desa Panggungharjo, berikut ini excerpt dari wawancara bersama Wahyudi Anggoro Hadi, Kepala Desa Panggungharjo Kabupaten Bantul Yogyakarta.

BASKOM PENGAMAN SOSIAL

Pemerintah Pusat dan Daerah memang sudah menyediakan program perlindungan sosial, tetapi dengan persoalan berat yang belum teratasi: data dan sistem yang digunakan sangat bermasalah. Ada banyak warga desa yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara tetapi tidak mendapatkannya. Mereka tereksklusi, tidak masuk dalam data penerima manfaat perlindungan sosial itu.

Dengan demikian, desa sebagai entitas negara terakhir akhirnya memiliki tugas untuk menyediakan jaring pengaman sosial terakhir ini. Bahkan bukan hanya jaring, tetapi baskom. Karena “jaring” masih bisa bocor, tetapi baskom tidak boleh.

Pemdes Panggungharjo kemudian mendirikan sebuah lembaga desa sebagai wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat, yakni BPJPS (Badan Pelaksana Jaringan Pengaman Sosial). BPJPS kemudian mengakomodasi dan mengkonsolidasi peran swasta dan masyarakat lain yang berkememampuan ekonomi menengah keatas.

Layanan kesehatan gratis yang dimaksud misalnya layanan kesehatan untuk ibu hamil yang berbiaya 1 paket (7 kali pemeriksaan kehamilan, 1 kali persalinan normal, 2 kali pemeriksaan nifas dan 5 kali imunisasi untuk anak) sebesar Rp 3 juta-an: hanya dibayarkan 50% dari desa; sementara 50% sisanya dari penyedia layanan kesehatan yakni Rumah Sakit sebagai program CSR mereka.

Datakrasi

Data reigns.

Demokrasi minggir dulu.

Pemerintahan desa benar menggunakan data, memilah data yang valid, tidak hanya tinggal di atas kertas; memverifikasinya dan menjadikannya bahan pengambilan kebijakan. Sebab, hakikatnya data yang valid dan terverifikasi menggambarkan situasi konkret.

Ini misalnya terlihat dalam program “Satu Rumah Satu Sarjana”, dimana BPJPS membayarkan premis asuransi pendidikan anak, sebagian dengan bantuan tunai. Anak penerima manfaat ini:

  • berasal dari keluarga dengan aset kecil
  • rata-rata pendidikan anggotanya hanya sampai sekolah menengah
  • pekerjaan orangtuanya hanya dari sektor informal, dan
  • diperkirakan status ekonominya dalam sepuluh tahun ke depan tidak akan berubah kecuali dapat lotre.

Pemdes berkolaborasi (networking, channeling) alias “memohon kerjasama” dengan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta, sehingga sejumlah anak bisa mendapatkan beasiswa untuk berkuliah disana.

Mekanisme MonEv (Monitoring dan Evaluasi) dilakukan dalam pertemuan bulanan yang menghadirkan para orangtua anak penerima manfaat bantuan pendidikan itu. Reciprocity (timbal-balik) yang muncul secara alamiah berupa keterlibatan dari penerima manfaat dalam program-progam desa menjadi keniscayaan.

Ini sekaligus menjawab kekhawatiran publik terhadap kegamangan yang sering terjadi usai suksesi politik dalam konteks pemilihan pemimpin lokal seperti kepala desa: Bagaimana nanti nasib program-program hebat ini kalau Kepala Desa berganti- sebab biasanya di Indonesia ini, ganti pemimpin, ganti kebijakan?

Sangat benar. Sebagus apapun kepemimpinan akan gagal jika tidak menyiapkan 2 (dua) hal, yakni sistem pengunci dan kaderisasi pemimpin.

Untuk itulah, kesebelas (11) lembaga desa yang dibentuk di Panggungharjo ini sekaligus menjadi talent pool (kolam talenta) untuk menciptakan kader-kader baru serta menjalankan sistem pengunci sehingga transformasi sosial tidak berhenti karena suksesi kepemimpinan.

Menurut laman panggungharjo.desa.id, BUMDes Panggung Lestari setidaknya memiliki 8 (delapan) lini usaha berupa:

(1) Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) sejak 2013;

(2) Pengolahan jelantah (minyak goreng bekas) sejak 2016;

(3) Pengolahan minyak nyamplung (tamanu oil) sejak 2017;

(4) Unit usaha agro (penjualan pupuk dan sayuran organik);

(5) Swadesa (kios penjualan kerajinan dari PKK);

(6) Kampoeng Mataraman (kuliner khas Jawa dan wisata desa) sejak 2017;

(7) Inovasi desa (Lembaga inovasi dan konsultasi desa) sejak 2020;

(8) pasardesa.id (pasar online desa yang menghubungkan semua pedagang kelontong desa penjual makanan jadi dari warga) sejak 2020.

Seluruhnya berangkat dari semangat datakrasi ini.

Satu fakta yang patut dicatat supaya desa lain tidak melulu berpatokan pada situasi Panggungharjo ini adalah demografi yang cukup melimpah. Pasalnya, ada sejumlah 28.000 ribu warga yang tinggal di desa ini. Maka, untuk desa lain dengan jumlah warga yang jauh lebih sedikit tentu tidak pas jika meniru sepenuhnya metode yang terjadi di Panggungharjo.

Mengurus dan Mengatur

Wahyudi menyebut bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya tidak pertama-tama berangkat dari kebaikan hati atau kesolehan, melainkan keniscayaan dan keharusan yang sebenarnya wajib dilakukan oleh negara. Beberapa program desa Panggungharjo yang sudah mulai mendapat pengakuan luas mengingatkan kita kembali akan dua fungsi sebenarnya dari negara, yakni mengurus, dan (lalu) mengatur.

Yang sering terjadi ialah negara hanya mengatur, tetapi lupa mengurus. Dilarang membuang sampah, tetapi tidak menyediakan tempat sampah dan tidak menyediakan sistem pengelolaan sampah.

Komitmen dan integritasnya akan cita-cita mulia memandirikan desa ini terbukti ketika ia 2 (dua) kali menolak ketika ditawari menjadi wakil bupati karena ia menjunjung tinggi sumpah yang diucapkannya ketika menjadi kepala desa: Sumpah itu diucapkan atas nama Tuhan, maka harus diselesaikan.


Sumber: Radio Idola Semarang 16 Nopember 2021

Every Fitness Lesson Learned after More Than 20 Years in The Gym

  1. If you’re not horny, you die earlier.

  2. Drink occasional red wine to reduce the risk of heart disease.

  3. Eat as much fruit as you want. Nearly impossible to evereat.

  4. Cardio is like day trading for quick profits (burn calories). Lifting weight is like investing for passive income (boosts metabolism).

  5. Peanut butter is not a high-protein snack.

  6. Eggs are superfood, not a “food to avoid”

  7. Exercise is a documented depressant. Exercise more.

  8. News, both online and printed, are documented depressant. Stop watching the news.

  9. Prayer decreases stress, anxiety and depression

  10. Breakfast is not the most important meal of the day

  11. Most people eat due to B.T.S. (boredom, thirst, stress) – not hunger

  12. 99% can overcome lousy genetics due to epigenetics (your habits alter the way your genes work)

  13. Higher cholesterol is associated with  longer lifespan.

  14. Take regular saunas to reduce all-cause mortality by 40%

  15. Skipping workouts because you’re “tired” is the reason you’re tired.

  16. Do 11+ minute of cold showers/week to minimize stress and build “mind control”

  17. Protein is the most satiating macronutrient. Eat protein to avoid overeating.

  18. Eat 1g of protein per lb of target bodyweight for optimal satiety, muscle growth and fat loss.

  19. Favourite protein sources are steak, chicken, burgers, salmon, greek yogurt and whey protein

  20. Muscle confusion is not a real thing

  21. 8 hours of sleep is a performance-enhancing drug

  22. Minimize seed oils (hidden inflammation booster in nearly all foods)

  23. Lack of sleep increases your hunger hormones during the day, making it harder to lose fat.

  24. Get 15 min of sun upon waking to set your circadian rhytm and get good sleep.

  25. Take magnesium glycinate, theanine, and inositol to minimize stress and sleep like a baby.

  26. All you need is 1.5 hours/week to work out. If you can’t manage this, you’re simply an unproductive human.

  27. To avoid post-dinner snacking, brush your teeth. Watch your cravings vanish.

  28. Eat slower to allow time for the satiety hormone (leptin) to release in your body. This tells your body when you’re full.

  29. Avoid fake meat at all costs.

  30. More muscle means higher metabolism.

  31. Higher body fat means higher risk of cancer.

  32. You don’t need motivation.

  33. It would be best if you had proper default actions.

  34. Remove junk food from your house. If it’s in the place, you can eat it.

  35. Marriage is not a license to grow man boobs.

  36. 120 years ago, we walked 23.5 kilometres steps per day. Now we walk 3.5k steps/day. Walk more.

  37. You can eat foods like pizza, ice cream, and burgers and still lose fat if you eat clean 80% of the time.

  38. Drink black coffee to suppress your appetite.

  39. Most Starbucks “coffee” is really a sugar shake. Avoid.

  40. Most people know they need to work out and eat right. But they lack consistent implementation. This is need to focus on default actions. This is where you are different from most people.

Teks Ibadat Keluarga untuk Pemilihan Pangulu Nagori – [Sebuah Tawaran]

Doa ini dilaksanakan untuk pemilihan presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan sampai kepala desa. Sebelum berangkat ke Tempat Pemungutan Suara, anggota keluarga berdoa bersama di rumah pada pagi hari atau sehari sebelum pemilihan. Pemimpin (P) dan anggota keluarga (U) mempersiapkan batin dan keperluan untuk ibadat. Di tempat berdoa, selain sebuah salib yang diapit dua lilin bernyala, tanda atau simbol lain dapat ditata menurut perlunya. Doa diawali dengan nyanyian berikut atau nyanyian lain yang senada.

Teks Ibadat yang dikutip dari Aneka Doa dalam Keluarga (Komisi Liturgi Keuskupan Agung Medan, 2019) ini diubahsuaikan dengan konteks Pemilihan Pangulu Nagori Sihemun Baru, Simalungun.

 

1. NYANYIAN PEMBUKA

“Aku S’lalu Bergembira”

Aku s’lalu bergembira
melaksanakan tugasku
Waktu suka waktu duka
tetap aku kerjakannya

Aku dipanggil Tuhanku
aku dipilih Tuhanku
Untuk bawa kabar ria
bagi orang papa

Aku ingat sabda Tuhan
mengatakan kepadaku
Kamulah garam dunia
kamulah terang dunia

Aku dipanggil Tuhanku
aku dipilih Tuhanku
Untuk bawa kabar ria
bagi sekalian orang

Mari kita satu padu
di dalam Kristus selalu
Saling tolong saling bantu
iman kita tetap teguh

Puji Tuhan Aleluia
Puji Tuhan Aleluia
Tuhan raja Maha Agung
Bapa kita yang di surga

 

2. TANDA SALIB

3. SALAM

P: Semoga Tuhan beserta kita

U: Sekarang dan selama-lamanya

4. PENGANTAR

P: Saudara-saudara terkasih dalam iman,

Salah satu kegiatan penting dalam masyarakat adalah pemilihan umum. Sebagai bagian utuh dari masyarakat, keluarga kita juga terlibat di dalamnya. Karena itu hak pilih yang telah kita miliki wajib digunakan sesuai dengan suara hati. Hari ini (besok) kita akan memilih pangulu nagori Sihemun Baru, desa tempat tinggal kita yang kita cintai ini.

Dengan demikian keluarga kita dipanggil ikut serta dalam menentukan siapa pemimpin yang akan datang. Semoga kita masing-masing mampu menentukan pilihan secara tepat untuk kebaikan masyarakat.

5. MENGUNDANG KEHADIRAN ROH KUDUS

(Hening sejenak)

P: Keluarga kita senantiasa membutuhkan bimbingan Roh Kudus agar kita tetap hidup sesuai kehendak Allah dengan mengikuti teladan Yesus Putra-Nya

U: Ya Roh Kudus, hadirlah di tengah keluarga kami, serta bimbinglah kami masing-masing dan bersama di tengah kehidupan ini.

6. BACAAN KITAB SUCI (SIRAKH 10:1-8)

P:Marilah membuka hati akan Sabda Allah

U: Bersabdalah ya Tuhan, hambaMu mendengarkan.

P: Bacaan dari Kitab Putra Sirakh

“Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah teratur.

Seperti penguasa bangsa demikian pun para pegawainya, dan seperti pemerintah kota demikian pula semua penduduknya.

Raja yang tidak terdidik membinasakan rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan para pembesarnya.

Di dalam tangan Tuhan terletak kuasa atas bumi, dan pada waktunya Ia mengangkat orang yang serasi atasnya.

Di dalam tangan Tuhanlah terletak kemujuran seorang manusia, dan kepada para pejabat dikaruniakan oleh-Nya martabatnya.

Hendaklah engkau tidak pernah menaruh benci kepada sesamamu apapun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu.

Kecongkakan dibenci oleh Tuhan maupun oleh manusia, dan bagi kedua-duanya kelaliman adalah salah.

Pemerintahan beralih dari bangsa yang satu kepada bangsa yang lain akibat kelaliman, kekerasan dan uang.”

P: Demikianlah Sabda Tuhan

U: Syukur kepada Allah

(Hening sejenak)

7. RENUNGAN

Saudara-saudari yang terkasih, Putra Sirakh dalam kitabnya tadi memberi gagasan permenungan tentang pemberian diri untuk kebaikan umum.

Seorang pemimpin atau penguasa yang arif bijaksana memimpin dan

memerintah warganya dengan teratur, penuh rasa tanggung jawab. Semuanya itu dilaksanakan dengan pengorbanan diri yang tanpa pamrih dan dengan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya.

Dari situ dapat diperoleh pesan bagi kita yang akan memilih pangulu nagori Sihemun Baru ini. Kita bertugas menentukan pilihan secara cermat dan teliti sesuai dengan suara hati. Kita semua tahu bahwa pemimpin yang bijak dan arif akan memajukan dan mengayomi rakyatnya. Ada kalanya suara hati itu disebut juga sebagai suara Tuhan. Untuk mendengarnya, kita membutuhkan suasana yang tenang dan kadang waktu yang lama.

Dengan mendengarkan suara hati sambil memberi ruang bagi Allah yang berbicara, kita akan menentukan pilihan yang tepat, bukan berdasarkan suka atau tidak suka, melainkan yang kita pilih diyakini akan mampu memberi diri untuk kebaikan umum.

Hal ini sebenarnya tampak dalam visi dan misinya yang dijabarkan dalam program-program konkret. Doa bersama ini kiranya menolong kita sekeluarga sampai pada pilihan yang sebenarnya.

(Hening sejenak)

8. DOA PERMOHONAN

P: Marilah kita memuji Allah yang menghantar bangsa kita dapat menyelenggarakan pesta demokrasi ini, seraya berseru kepadaNya:

U: Terpujilah Engkau ya Allah, Pembawa keadilan dan kedamaian.

P: Semoga seluruh proses pemilu saat ini dapat berjalan dengan lancar, aman dan damai.

U: Terpujilah Engkau ya Allah, Pembawa keadilan dan kedamaian.

P: Semoga semua masyarakat dengan rasa tanggung jawab memberi hak suara untuk memilih pemimpin yang arif dan bijaksana.

U: Terpujilah Engkau ya Allah, Pembawa keadilan dan kedamaian.

P: Semoga para pemilih dapat menentukan pilihan yang terbaik demi kemajuan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan desa kami.

U: Terpujilah Engkau ya Allah, Pembawa keadilan dan kedamaian.

P: Semoga para calon yang tidak terpilih dapat menerima hasil pemilihan ini dengan besar hati, dan tetap berpartisipasi menciptakan kedamaian.

U: Terpujilah Engkau ya Allah, Pembawa keadilan dan kedamaian.

P: Ya Allah, semoga karena bimbinganMu, pemimpin yang akan terpilih menghayati jabatannya sebagai pelayanan dan bukan sebagai kekuasaan. Semoga sebagai warga yang baik kami mampu berkerjasama dengannya dalam upaya mewujudkan masyarakat. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin.

9. BAPA KAMI

P: Marilah bersama-sama mengucapkan doa yang diajarkan Kristus kepada kita U:

Bapa kami yang ada di Surga,
Dimuliakanlah namaMu,
Datanglah kerajaanMu,
Jadilah kehendakMu
di atas bumi seperti di dalam surga.

Berilah kami rezeki pada hari ini
dan ampunilah kesalahan kami,
seperti kami pun mengampuni
yang bersalah kepada kami;
dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan,
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.

10. MENGENANG KELUARGA KUDUS

P: Ya Tuhan, kami bersyukur kepadaMu atas teladan yang ditunjukkan Bunda Maria bagi kami.

U: Semoga keluarga kami senantiasa menaati kehendakMu seperti Bunda Maria.

P: Ya Tuhan, kami bersyukur pula atas kesetiaan Santo Yosef menjaga Keluarga Kudus Nazaret

U: Semoga kami pun setia untuk menjaga kesatuan keluarga kami.

(Selanjutnya keluarga dapat mendaraskan doa Salam Maria atau Rosario)

11. INTENSI GEREJA

(Bila intensi tertentu disediakan oleh Keuskupan atau Paroki maka intensi tersebut didoakan oleh anggota keluarga)

12. PENUTUP

P: Marilah kita memohon berkat Allah, agar kita mampu menjadi saksi Kristus dalam hidup sehari-hari.

(Semua hening sejenak)

P: Semoga Tuhan beserta kita

U: Sekarang dan selama-lamanya.

P: Semoga kitia selalu dibimbing dan diberkati oleh Allah yang Mahakuasa.

P + U: Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Amin.

NYANYIAN PENUTUP

“Tingkatkan Karya serta Karsa”

Reff:

Tingkatkan karya serta karsa
Membangun dunia
Walaupun rintangan menghadang di jalan
Majulah terus kita ‘kan menang
Jangan bimbang

  1. Laksanakan karya nyata
    Jangan hanya berbicara
    Jangan pula pura-pura
  2. Walau penuh pengurbanan
    Namun penuh pengharapan
    Jangan kita putus asa
  3. Keluarga bahagia
    pangkal masyarakat jaya
    Itu tugas para warga

Sumber: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Medan, Aneka Doa dalam Keluarga (Pematangsiantar: Pusat Pembinaan Umat Keuskupan Agung Medan, 2019), halaman 181-185.

 

25 Tahun STFT St. Yohanes Sinaksak – Transkrip Homili Mgr. Martinus Dogma Situmorang

S – T – F – T

Nama itu menjadi demikian karena kita berada di republik ini.

S-e-k-o-l-a-h   T-i-n-g-g-i.

Dulu kita sebut Seminari Agung. Tetapi sekarang: “Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi”. Bukankah nama itu memukau? Bukankah nama itu menunjukkan bahwa disini ada himpunan nilai dan bobot yang harus diperhitungkan oleh orang?

Tetapi tentu saja kita tahu bahwa STFT mesti ini  diperhitungkan orang bukan karena namanya, tetapi karena isinya. Karena realitas keberadaannya dalam keseharian kita.

STFT ini tidak menjadi pemukau dan penarik minat karena kompleksnya yang asri. Karena keindahannya, STFT ini memang dihargai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun sebagai aset dan bisa menjadi satu tujuan wisata di wilayah ini. Mudah-mudahan tidak terjadi. Sebab kalau begitu, terlalu banyak urusannya, dan STFT ini harus berubah menjadi nama lain.

Saya hanya mau menegaskan: Ada nama. Ada kompleks. Ada fasilitas. Tetapi terlebih lagi: ada isi. Disini dididik orang-orang yang dipanggil secara khusus untuk memberikan seutuhnya seluruh dirinya melayani Tuhan di tengah umat. Sebab itu perguruan ini sudah langsung menjadi “locus”, tempat, “site” yang luar biasa. STFT adalah kumpulan orang-orang yang merasa dirinya dipanggil Tuhan untuk memberi diri seutuhnya, seluruhnya dan dalam segala-galanya kepada Tuhan.

Pada pertemuan ini ada orang-orang yang sudah mempersembahkan diri mereka seutuhnya dalam kaul mereka, dalam tahbisan imamat mereka, yakni para dosen dan peneliti yang kita hormati dan cintai. Ada Hirarki Indonesia. Ada hari Minggu. Ada “25 tahun STFT”, tempat pendidikan mereka dan menyerahkan diri seutuhnya kepadaNya.

Tetapi demikian, toh dengan rendah hati, dengan tulus dan bersahaja, kita harus berani menyelami dalam di lubuk hati kita, untuk melihat apakah kita melaksanakan perintah utama, perintah satu-satunya, yang diuraikan dalam Kitab Keluaran tadi secara negatif (kemungkinan yang dimaksud adalah Keluaran 20:4-6)

Yaitu perintah untuk menerima, memperhatikan mereka yang termarginalisasi, yang terabaikan, mereka yang miskin, terasing dalam bentuk apapun. Untuk menjadi saudara dan tuan rumah kepada mereka yang merasa dirinya terlantar, tidak punya tempat.

Yang menurut Santo Paulus dihayati dengan sangat saksama dan sangat pribadi oleh jemaat di Tesalonika. Jemaat Tesalonika yang berada di tengah masyarakat dengan segala modernitasnya di zaman itu, tetapi hidup  umat menjadi pemberitaan Injil. Sehingga Paulus tidak usah bertanya kepada siapapun. Orang yang mengatakan bahwa jemaat itu bagus, hebat, dahsyat, dalam penampilannya di tengah masyarakat.

Karena apa? Karena mereka menghayati Perintah Utama. Perintah, yang dirumuskan oleh Yesus dengan sangat sederhana, menjawab orang-orang Farisi yang menganggap dirinya tokoh utama dan terdidik di tengah masyarakat yahudi, dan tentu saja, di seantero masyarakat manusia.

Jawaban yang Tuhan berikan kepada mereka yang datang dengan kepercayaan diri yang di atas rata-rata. Orang-orang yang mengharapkan akan mendapatkan “credit point” sesudah Yesus menaklukkan dengan telak para kaum Saduki tentang kebangkitan. Bahwa Allah itu adalah Allah yang hidup. Ada kebangkitan.

Tetapi untuk sampai kebangkitan yang hakiki, perintah satu-satunya: Cintailah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap tenagamu, dan cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri.

Dimana dan sejauhmana perintah ini memberi arah, memberi arti dan menentukan program, jadwal harian kita, dan tingkah laku kita? Sejauhmana (kita melaksanakan) perintah Cinta Kasih ini: mencintai Tuhan, mencintai, tetapi bukan saja mencintai, tetapi dengan seluruh diri. Total. Tidak ada sisa-sisanya. Tidak ada ruang kosong. Tidak ada waktu dimana cinta itu boleh absen.

Maka hendaknya seluruh diri kita, seluruh perayaan kita, seluruh evangelisasi kita, seluruh hirarki kita dengan segala urutannya, mestilah mendapat kepenuhan arti sekaligus mendapat energi batin. Kekuatan yang tak terkalahkan sampai kapanpun. Demikian juga STFT kita.

Tetapi, kenapa itu? Bagaimana Tuhan bisa menyampaikan kepada kita perintah yang kedengarannya, tampaknya, begitu indah, begitu sederhana:  Cintailah Tuhan Allahmu, cintailah sesama. Sederhana, tetapi total. Bagaimana bisa?

Saudara. Bisa, karena Tuhan melimpahkan. Bisa, karena seluruh diri kita sesungguhnya adalah buah cinta. Keberadaan kita adalah dalam genggaman cinta Tuhan yang abadi dan sempurna. Cinta itu yang terus menerus menghidupi dan memberi energi bagi kita. Kemampuan untuk menderita juga seperti umat di Tesalonika. Kemampuan juga untuk menerima orang asing. Sehingga kita tidak barangkali lagi terlalu gampang mengeluh tentang keadaan republik ini, keadaan hirarki, keadaan umat, keadaan ini dan itu. 

Tidak lagi mengeluh satu sama lain. Tetapi dengan energi kasih dan dicurahkan oleh Roh Tuhan itu, dengan kelimpahan yang melampaui segala perhitungan. Sebab itu sesungguhnya, tinggal setiap hari,  dari pagi sampai malam, dalam kemampuan kita yang paling indah: terbuka menerima kasih Tuhan. Membiarkan Dia menegur kita. Membiarkan Dia membimbing kita ke arah yang benar. Membiarkan dia mengatakan “go ahead”, lanjutkan!  Apapun keadaan kita. Apapun keadaan misi kita sebagai Gereja di Indonesia, di Sumatera.

Sebab sambil berbangga atas segala pencapaian yang dikerjakan oleh rahmat Tuhan, mungkin kita juga harus berkata: jangan-jangan ada yang tersia-siakan dari kelimpahan berkat ini.


Saya tutup dengan cerita pendek. Dengan semua uskup di Indonesia, kami menemui Paus. Akhir bulan lalu. Saya melakukan apa yang Saya rasa harus Saya lakukan. Tetapi, Saya dengan jujur mengatakan, “Tuhan, mengapa saya tidak lebih ramah kepada Monsigneur Hilarius ini?” Mengapa Saya mesti nampak begini, dan bukan seperti Yesus? Dan di Makam Rasul Paulus, Saya merasakannya. 

Ketika pulang ke Indonesia, Saya mendapat kecelakaan kecil, dalam arti Saya harus terlantar di perjalanan. Saya harus berhenti di Doha, Qatar, selama 14 jam. Sekiranya saya berhenti 14 jam di Medan, Saya akan bergembira. Tetapi di Doha tidak. Tidak ada hotel, tidak boleh kemana-mana, dan lain-lain. Saya berdoa puluhan kali Rosario.

Juga di pesawat, sesudah marah dengan pelayan check-in, karena barang yang sudah Saya bayar tidak boleh Saya tenteng. 

Ini sharing saja.

Biarpun saya berusaha berdamai dengan orang itu, berdamai dengan diri sendiri, berdoa puluhan kali Rosario, toh pertanyaan yang menggugah: itukah segalanya? Atau ada lebih yang boleh disikapi dan dilakukan, baik dalam peristiwa ini maupun dalam kehidupan sehari-hari?

Kasih Tuhan. Dengan menghidupi kasih Tuhan itulah kita bermisi.


Saudara-saudari terkasih! Semua fasilitas kita adalah pemberian Tuhan juga. Tetapi yakinlah bahwa kemampuan kita untuk menjangkau adalah kasih yang kita terima dari Tuhan, dan kasih yang kita hayati.

Sebab itu Yesus, Yesus, dan Yesus, yang adalah kehadiran dan pemberian diri allah yang sempurna, adalah guru kita, adalah sumber energi kita, adalah teman seperjalanan kita, adalah orang yang bermisi dengan kita, dan adalah orang yang ber-STFT dengan kita. Hingga 25 tahun hari ini.

Tetapi kita baru sampai di akhir zaman kalau Tuhan berkenan demikian. Amin

Mahasiswa Tingkat II STFT Sinaksak T.A. 2007-2008. (Saya ada di barisan paling belakang.)

Tulisan ini adalah hasil transkrip dengan gubahan seperlunya dari audio kiriman P. Benny Manurung, OFM Cap.

 

KAPOK. AKU TAK MAU DISUNAT LAGI!

Foto: Hipwee

 

Kupikir tak perlu lagi diterangkan apa itu sunat ya.

Apalagi kalau sampai ditanya “prosesnya bagaimana? bagian mana yang disunat? Setelah disunat, itu yang sudah terpotong benar diamankan secara saksama khan? Soalnya ngeri-ngeri sedap, saban hari ada yang bilang, ada yang jual sate kulup. Hoeeeks

Tak perlu kusebut namanya. Selain tak ingat betul detailnya, juga tak elok dituangkan dalam tulisan.

Tulisan Sumanto Al Qurtuby ini cukup mengena denganku, meski dalam konteks yang berbeda. Besar dalam ajaran Katolik, budaya Batak Toba, karena suatu “kecelakaan” kecil, aku juga jadi pelaku (atau malah korban ya?), ikut mengalami yang namanya sunat ini.

(Kecelakaan apa sih? Eh, kepo ya? Ceritain nggak nih. Eh, jangan dulu deh. Itu rahasia perusahaan soalnya)

Hahaha.

Pokoknya, adalah fakta bahwa di sebuah rumah sakit di Pematangsiantar, pada tahun 2001, terjadilah reduksi kulit pada bagian tubuhku yang letaknya antara perut dan lutut ini. (Caelah, istilahnya). Jadi, ini bukan hoax.

Cukup kompleks perasaanku ketika peristiwa itu terjadi. Selain memang tak lazim di komunitas tempatku tinggal dan dididik, juga tak banyak yang kutahu soal seluk-beluk persunatan ini dulu. Untunglah pengalaman sunat ini sudah dituliskan oleh Pak Prof Sumanto. Sudah apik sekali diuraikan oleh sang profesor. Maka kuposkan ulang saja tanpa perubahan berarti.

Intinya: bagi kalian yang sudah pernah disunat, jangan mau disunat untuk kedua kalinya.

Pokoknya jangan deh.


Sunat memiliki sejarah yang sangat panjang meskipun tidak sepanjang yang disunat. Sebagai antropolog budaya, Saya mempelajari aneka ragam praktik tradisi dan kebudayaan umat manusia dimana saja, termasuk masalah persunatan ini.

Dari catatan sejarah dan antropologi menunjukkan ada cukup banyak kelompok masyarakat – suku kecil maupun besar – yang mempraktekkan sunat. Jadi umat Yahudi Kuno (Israelites atau Yahudi Alkitab) bukanlah satu-satunya kelompok yang mempraktekkan sunat ini.

Dalam sejarahnya, sunat mempunyai bayak motif dan tujuan. Masing-masing orang atau kelompok (suku, agama dlsb) berlainan.

Ada yang melakukan sunat sebagai “tanda loyalitas” terhadap kelompok tertentu; Ada lagi sebagai “simbol identitas” kelompok untuk membedakan “minna” (in group) dan “minhum” (out group); Ada juga yang menjadikan sunat sebagai “medium penghukuman” atas orang/kelompok yang kalah dalam perang atau pertempuran. Jadi, kelompok yang kalah disunat. Kelompok yang lain lagi menjadikan sunat untuk alasan kesehatan, dan lain sebagainya.

Dulu (dalam batas tertentu sampai sekarang), di kampungku (juga di kampung-kampung Jawa pada umumnya), sunat dijadikan sebagai “lahan bisnis” untuk mengumpulkan sumbangan dari warga. Jadi, acara sunat dirayakan dengan membagi undangan ke warga kampung, teman, kenalan, atau sanak-saudara di luar kampung.

Yang mempunyai hajatan sunatan biasanya “menanggap” tape, salon/loudspeaker sehingga semua warga mendengar kalau ada yang punya hajatan sunatan. Kalau tuan rumah mampu, mereka juga menanggap wayang, layar tancap, ndangdut, campur sari, kuda lumping, jaran kepang, tayub, lengger, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan dan ketebalan kantong.

Warga atau yang diberi undangan akan datang menyumbang macam-macam. Yang perempuan biasanya menyumbang beras, ayam, telor (ayam, bebek), solong, kubis, mie dan kain/bahan untuk sarung. Semua sesuai kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu mereka menyumbang ayam jago. Kalau yang tidak mampu pakai “ayam kontet” alias cacingan atau “kandidat ayam/bebek” (telor atau endog maksude inyong).

Kelak, kalau giliran yang menyumbang itu punya hajatan, si empunya hajat gantian mengembalikan/menyumbang barang-barang persis seperti apa yang mereka bawa saat menyumbang itu. Kalau nyumbang-nya tidak sama, nanti akan menjadi bahan gunjingan. “Dulu saya nyumbang segini kok sekarang disumbang segitu, dasar wong semprul

Sementara itu, yang laki-laki biasanya nyumbang pakai uang yang ditaruh di dalam amlop. Ingat, meskipun ditaruh di amplop, yang punya hajat tahu “siapa menyumbang berapa” karena ada “tim khusus” bidang peramplopan yang menyelidiki dan mengecek sumbangan”.

Dulu, orang menyumbang memakai “salam tempel”, langsung diberikan ke yang punya hajat. Mereka tidak memakai sistem kotak atau tong seperti zaman sekarang. Mereka wajib tahu isi amplop itu karena kelak mereka juga wajib mengembalikan / menyumbang pada si pemberi amplop kalau mereka sedang punya hajat, baik mantenan maupun sunatan.

Yang anak-anak juga ikut nyumbang, meskipun nominalnya biasanya lebih kecil dibanding orang tua mereka.

Selain sebagai medium mengumpulkan kekayaan, sunat juga sebetulnya merupakan “teror psikologis” yang menakutkan. Anak-anak pada usia tertentu kalau belum disunat akan diledek atau di-bully. Masalahnya, sunat dulu merupakan “drama yang mencekam”.

Kok bisa? Sekarang banyak dokter sunat dengan peralatan dan obat yang super canggih sehingga membuat yang disunat bisa ketawa-ketiwi dan bisa sembuh cepat. Jadi, mau kombak-kambek sunat juga tidak masalah kalau mau.

Tapi dulu coy, stok yang ada cuma dukun sunat dengan pisau tajam mengkilat (bahkan sebelumnya mereka memakai irisan pohon bambu, namanya “welad”) untuk memotong si “kulup” yang menutupi kepala si “titit” alias penis. Obat pun ala kadarnya.

Sedangkan proses sunatnya di depan rumah yang punya hajat dan ditonton oleh semua warga. Si anak memakai kain jarik kemudian dipangku oleh ayah atau anggota keluarga dekat sambil duduk di kursi, lalu jarik-nya disingkap untuk menutupi matanya. Habis itu, semua urusan diserahkan ke dukun sunat. Sehabis dipotong kulit si kulup, darah pun mengucur deras. Yang disunat tentu saja seketika “nggembor” nangis. Betul-betul mencekam.

Karena proses sunat yang mencekam itu, maka dulu banyak anak yang menunda sunat sampai lumayan besar (maksudnya, anaknya yang besar sampai agak remaja) baru disunat, termasuk Saya.

Saya dulu disunat kelas 3 MTs (SMP) tapi tidak pakai dukun sunat melainkan dokter. Saya kira Saya anak pertama di kampung yang disunat oleh dokter, bukan di depan rumah tapi di tempat praktik pak dokter di kecamatan. Meski disunat dokter, peralatan juga belum cukup canggih waktu itu.

Sehabis disunat Saya merasakan satu jam tidak merasa sakit tapi setelah itu Saya nangis ngguling-ngguling. Panas sekali titit-ku. Karena tidak ada obat “pain killers”, beberapa orang (termasuk orang tuaku) membantu mengipasi si titit semaleman di kamar.

Lumayan menderita selama beberapa minggu. Karena itu Saya kapok disunat lagi, Lur.

Sumpeh suwer yakin cir gobang gocir. Cukup sekali saja seumur hidup…

 

Disadur seperlunya dari tulisan Sumanto Al Qurtuby di halaman Facebook-nya.

 

Komunitas Yahudi di Indonesia

Jejak komunitas Yahudi di Indonsia memang tampak samar. Selain tidak dikenali secara luas, kelompok ini seperti ada dan tiada.

Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia menimbulkan keengganan bagi komunitas ini untuk tampil di muka publik

Prof. Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel menulis: “Kehadiran orang Yahudi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1290. Mereka adalah saudagar dari Fustat, Mesir yang berdagang di Barus, Sumatera Utara”

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya perusahaan Belanda (VOC) pada tahun 1602. Perkembangan komunitas Yahudi di Indonesia semakin meningkat pada 1870. Saat itu, komunitas Yahudi Amsterdam mengirim seorang rabi ke Indonesia. Kemudian, pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa. Dia melaporkan, saat itu terdapat dua ribu orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.

Kaum Yahudi di Indonesia terbagi atas tiga golongan:

Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dulu dipekerjakan pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru dan dokter.

Kedua, Yahudi Baghdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara Timur Tengah lainnya. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor dan pemilik toko. Yahudi Bagdadi ini dikenal religius, bahkan ada yang ultra-ortodoks.

Ketiga, Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka berasal dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Beberapa diantaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Indonesia.

Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur.

Akan tetapi, nasionalisasi segala yang berbau asing oleh Presiden Sukarno di awal 1950-an memantik migrasi besar-besaran keturunan Yahudi dari Indonesia kembali ke tempat asal mereka setelah situasi aman, atau ke tempat lain. Ditambah lagi Penetapan Presiden tahun 1965 tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama resmi yang diakui (difasilitasi) pemerintah.

Tahun 2004, komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya Sinagoga “Ohel Yaakov” di kota Manado, Sulawesi Utara. Yang paling mencolok adalah dibangunnya sebuah menorah berukuran raksasa setinggi 19 meter, di sebuah puncak dataran tinggi di pinggiran kota Manado. Sinagoga (synagogue) adalah tempat beribadah orang Yahudi, sementara menorah adalah lambang suci yang dipakai dalam ritual ibadat Yahudi.

Di Jakarta Selatan (Batavia), ada tujuh kuburan berlambang bintang Daud dan berbahasa Ibrani di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Petamburan, menjadi bukti kaum Yahudi pernah tinggal dan berbaur dengan warga kota Jakarta.

Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, mengatakan bahwa sebelum perang Arab-Israel tahun 1948 warga Yahudi hidup rukun dengan warga lainnya. Mereka bercampur-baur dengan warga muslim Jakarta. Apalagi, banyak Yahudi dari Timur Tengah yang juga masih bisa bahkan fasih berbahasa Arab, dan wajah mereka pun sangat mirip dengan bangsa Arab lainnya yang ada di Jakarta. Dalam kegiatan dagang, mereka tidak menyembunyikan identitas ke-Yahudi-annya.

Keberadaan komunitas Yahudi di Jakarta juga tergambar dari salah satu prajurit Belanda keturunan Yahudi bernama Leendert Miero (1755-1834). Selain menjadi prajurit, dia juga pernah menjadid tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi sekarang. Nama “Pondok Gede” (gedung/rumah yang sangat besar) sendiri merujuk pada kediaman Miero. Kini, bekas peninggalan rumah gedong milik Leendert Miero itu menjadi pusat perbelanjaan.

Sebuah artikel Selisip.Com mengisahkan Dorothy Marx, seorang pendeta dan teolog berdarah Yahudi. Dorothy dikeal luas di GKI, PGI, kampus UKI, ITB, UPI (dulu IKIP Malang), Universitas Kristen Maranatha, STT Bandung, STT Jakarta, SAAT Malang, Perkantas serta berbagai lembaga persekutuan di Bandung. Dorothy, yang lahir di Munchen (Jerman) pada 16 Februari 1923, pindah ke Inggris jelang Perang Dunia II. Ia pertama kali melayani Indonesia pada 1957 sbagai misionaris OMF (Overseas Missionary Fellowship) usai ia lulus dari Universitas Tubingen dan Lousiana Baptist University. Dorothy dikenal luas atas tulisan dan kontribusinya terhadap pendidikan para calon pendeta, terutama GKI.

Sekalipun komunitas Yahudi telah berjejak lama, dengan warisan seni dan budaya termasuk yang juga mereka bawa dan pelihara, namun Indonesia tetap tidak mengakui keberadaan negeri asal komunitas Yahudi itu, yakni Israel. Konflik antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah terutama dengan Palestina telah mewariskan sentimen negatif pada masyarakat Indonesia terhadap komunitas Yahudi.

Sentimen negatif terhadap Israel (termasuk komunitas Yahudi di Indonesia juga menerima imbasnya) diduga juga “dibakar” dengan kutipan dan interpretasi liar atas ayat-ayat Kitab Suci untuk tujuan tertentu. Padahal, Indonesia khususnya melalui ABRI sudah sejak lama menjalin hubungan dengan Israel, seperti pembelian pesawat A-4 Skyhawk, belum lagi kerjasama intelijen dalam memerangi terorisme. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kelompok simpatisan teroris di Indonesia gencar melancarkan propaganda anti-Israel dan anti-Yahudi karena mereka tahu gerakan mereka akan dibantai oleh teknologi maju dari Israel itu.

Tambahan lagi, sebagian masyarakat Indonesia terlanjur percaya dengan keberadaan Yahudi yang konon tidak bisa lepas dari gerakan Freemasonry, yakni gerakan diam-diam orang Yahudi untuk menguasai dunia.

 


Disadur dari berbagai sumber

 

 

 

Lirik “Bisuk Ma ho amang” Cipt. Martogi Sitohang & Nelson Hutasoit

O amang, o inang borhat ma au tu na dao
Mangalului ngolu-ngolu, ngolu siapari i
Mangalului ngolu-ngolu, ngolu siapari i

Lehon poda mi tu au di na lao paborhatton au
Asa tukkot di na landit jala sulu di na golap
Asa tukkot di na landit jala sulu di na golap

Asa ijuk di para-para jala hotang di parlabian
Asa bisuk ma ho amang dung sahat di pangarantoan
Ingot ma hami on na paimahon baritam
Unang lea hami amang, di ujung ni ngolu on

I do hata ni damang i di nalao paborhaton au

Hape nuaaeng pe amang, mangaranapi rohakki
Soa da na hubaen dope na boi palasson rohami

Martangiang au tu Tuhan i sai ganjang ma umur mi
Paima ro au amang lao mangubati arsakmi
Malengleng ate-atekki marningot holong mi tu au