Nusantara Mencari Ibu

“Nus, kok aku baca di timeline-nya temen2, nih pada ribut ngomongin soal Ibu? “, tanya Wongso.

“Ya iyalah. Yang mau dicari kan bukan sembarang Ibu, Wongso”, jawab Nusa sekenanya.

“Maksudnya?”, selidik Wongso.

“Dulu kita punya Ibu yang ramah bagi semua. Namanya Gaia. Tapi lalu anak-anaknya mau misah, mau cari Ibu-nya sendiri2. Ada yang milih London buat jadi Ibu. Ada lagi yang milih Moskwa, Washington, Sydney, Beijing, Seoul. Nah, dulu … waktu itu berhubung Ibu kita rambutnya pirang dan keringatnya masih bau bawang putih, namanya Batavia. Sekarang dibaptis jadi Jakarta. Ini kayaknya kita bakal dapet Ibu baru lagi”, jelas Nusa.

“Itu kok emak-emak namanya aneh-aneh. Kok bukan Endang, Markonah, Tumiyem, atau Tiurma gitu?”, tanya Wongso masih penasaran.

“Yo suka-suka kita donk. Termasuk Ibu kita yang sekarang. Denger-denger sih, Ibu kita yang sekarang, Bu Jakarta itu nggak ramah lagi, nggak ngemong lagi. Anaknya yang baik saja, si Ahok, dikurungnya. Entah salah apa dia. Makanya kita mau ganti Ibu ajalah”, timpal Nusa.

“Terus, nanti Ibu kita apa?”, susul Wongso.

Gue sih maunya Ibu RIS aja. Cuman nggak dibolehin sama Eyang Pancasila. Palingan gue ikut sama temen-temen lain aja: Palangkaraya”, ucap Nusa dengan mimik terharu biru, entah mengapa.

“Terus… Nanti Ibu baru kita si Palangkaraya itu ramah nggak?”, cecar Wongso.

“Ya tergantung. Kalau kita anak-anaknya baik, Ibu bakal ramah dan ngemong. Cuman kalau kita nakal berjamaah, ya paling kita digimbali terus dibalbali“, jelas Nusa sambil seruput kopi Khok Thong-nya yang baru saja diseduhnya.

Begitulah Diskusi singkat Nusa dan Bangsa (eh… Wongso) mencari Ibu baru.

Wizards stuck when being told to solve problems in Indonesia

Seperti dimuat di akun Facebook Saya.

Menabrak “Gunung Es”

Fenomena “Gunung Es” dalam konstelasi sosialitas masyarakat kita itu nyata.

Jika Anda pernah berlayar di lautan lalu melihat ada setumpuk tanah di permukaan dari kejauhan, kemungkinan besar ada bagian yang tak terlihat, yang jauh lebih raksasa dibanding yang Anda lihat. Jangan sekali-sekali mencoba menabrakkan perahu Anda kesana. Bisa fatal akibatnya.

Bagi yang kurang paham gunung es seperti apa, boleh kok bolak-balik lagi diktat Freud atau Freudiannya.

Kalau masih sulit juga, gampangnya, ya kayak api dalam sekam saja.

Jika Anda melihat tumpukan sekam, hangat dan mengeluarkan asap sepanjang waktu, kemungkinan besar di dalamnya ada nyala api yang sewaktu-waktu siap menunjukkan wujud aslinya jika sekam sudah dilalapnya habis: menjadi api yang merah membara.

Pelapor Kaesang yang – seperti diberitakan media antara lain Tribunnews – ternyata SUDAH ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Hate Speech (Ujaran Kebencian).

Beberapa teman gendek.

“Kalau sebelumnya sudah tau tersangka, mengapa tidak langsung diproses? Kok membiarkan berlarut-larut hingga kasusnya membawa-bawa nama Kaesang, anak Pak Jokowi? Kalau yang dilaporkannya adalah anak pak Joko Z, tukang bakso tetangga sebelah rumah, apakah polisi juga akan menguak status tersangkanya?”

Lalu teman-teman aparat juga depressed.

“Tidak segampang itu. Memasukkan semua tersangka pasal hate speech dengan menggunakan UU ITE yang masih belum lepas dari pasal-pasal karet itu, lalu langsung memprosesnya, bisa penuh tuh register kasus di pengadilan.”

Yo wis. Berarti kelemahannya di situ: Kita kekurangan para professional di bidang penegakan hukum. Tinggal tambah saja. Tugas Negara untuk mengakomodasi proses dan prosedur dari program percepatan penambahan petugas penegakan hukum.

“Tapi masalah juga belum selesai, Bang.”

“Lho, kok?”

Kemaren saja ada tersangka yang diputus hakim dengan tuntutan melebihi tuntutan jaksa, para advokat nggak bisa buat apa-apa tuh. Sampai ada teman lulusan Hukum yang mau datang ke kampus asalnya buat unjuk rasa ke dosen pembimbing, gara-gara teori hukum yang dia pelajari tiba-tiba seperti tidak ada gunanya sama sekali.

Kalau begitu, gimana caranya memberantas kegilaan berliuk-liuk sirkuler bagai gurita penuh tentakel ini?

Ya, harus langsung ke akarnya Bang. Jika mau mencari seberapa tinggi gunung es-nya, selamilah hingga ke palung laut yang paling dalam. Moga-moga ketemu kaki gunung es-nya sebelum kamu kehabisan oksigen.

Kalau mau memadamkan api dalam sekam, siram air sebanyak-banyaknya Bang. Pastikan sampai ke bagian paling bawah dari alas tumpukan jerami itu. Kalau cuman percikin air ke rongga yang kelihatan berasap, kena jemur matahari sebentar, nanti berasap lagi. Soalnya, bara apinya masih di sana.

Owh… mai goat.

“Maksud Lo, masyarakat kita pada dasarnya memang sakit?”

Udah ah. Udah hampir jam 4 pagi. Ntar lagi Subuh, banyak syaiton berkeliaran. Kudu banyakin baca mantra buat ngusirnya.

Tolerance is Heaven for Pluralistic Society

 


As posted on my Facebook.

Setujukah Anda jika Gajah Mada diklaim Muslim?

Viral “GAJ Ahmada” Hoax Sejarah

Belakangan ini cukup banyak repost dan viral sebuah tulisan dengan judul MELURUSKAN SEJARAH!! (dengan tanda seru) yang justru berisi sebuah distorsi luar biasa, bahkan (jika kita cermat membaca dan membandingkan dengan manuskrip dan bentuk lain peninggalan historis Nusantara), akan kelihatan bahwa tulisan tersebut tak lebih dari dongeng menyesatkan. Tulisan tersebut berisi sebuah narasi yang pada intinya ingin mengatakan bahwa Mahapatih Gajah Mada adalah seorang sosok Muslim luar biasa yang sebenarnya bernama Gaj Ahmada.

Tak kurang dari portal-islam.id (dengan fanpage beranggotakan 210 ribuan akun menjadi konsumen dari hoax viral) yang menyebarkan hasil “penelitian” Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta tersebut. Silahkan dilihat di laman bersangkutan, sebelum dihapus oleh admin portal tersebut.

Dalam kaitan tersebut kita harus dapat dengan jernih melihat bahwa sejarah bukanlah dongeng yang cukup hanya dibuktikan dengan argumen otak atik matuk alias dengan nalar cocoklogi berdasarkan kemauan sendiri atau tujuan-tujuan tendensius. Masyarakat Nusantara harus cerdas dalam menangkap informasi yang tidak jelas latar kesejarahannya dengan berbagai bukti yang melingkupinya.

Viral tulisan tersebut sangat dimungkinkan didasarkan pada buku berjudul Kesultanan Majapahit ditulis oleh Herman Sinung Janutama, lulusan UMY Yogyakarta yang menulis buku tersebut tanpa didasari keilmuan selain otak-atik gathuk alias cocoklogi. Jika nama GAJAH MADA dipaksakan menjadi bahasa Arab Gaj Ahmada, pertanyaannya adalah memangnya hal tersebut dapat ditemui ada dalam prasasti, naskah kuno Negarakertagama? Atau ada dalam kitab Pararaton, Kidung Sunda, Usana Jawa? Apakah ada satu saja yg menulis Kosa Kata Jawa “Gaj” dan “Ahmada” ? Lalu apa arti kosa kata “Gaj” ? Ia merupakan kosa kata Jawa atau Arab?. Lalu apa arti dari kata Ahmada? Adakah orang Arab memakai nama Ahmada?

Dalam buku yang cenderung awur-awuran itu, penulis secara tegas menyatakan bahwa Raden Wijaya adalah dzuriyah (keturunan) Nabi Muhammad SAW dan beragama lslam. Pertanyaanya sederhana: Apa dasarnya?

Tidakkah penulis itu tahu bahwa Sanggrama Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawarddhana itu saat mangkat jenazahnya dibakar dan abunya dicandikan di Simping dan Weleri? Adakah dzuriyah Rasulullah SAW yang muslim matinya dibakar?

Mari kita baca naskah-naskah Majapahit mulai Negara kretagama, Kutaramanawa Dharmasastra, Kidung Banawa Sekar, Kidung Ranggalawe, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Sudamala, Kakawin Sutasoma, dll, termasuk prasasti-prasasti. Adakah pengaruh bahasa Arab dalam naskah-naskah tersebut?

Tulisan Bodoh Yang Membodohkan Bangsa

Tulisan-tulisan bodoh yang tanpa dasar ilmu tentang sejarah bangsa, sepintas bisa dianggap sebagai tulisan picisan yg tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap sejarah mainstream bangsa lndonesia. Tapi jika tulisan “sampah” dalam keilmuan itu ditopang oleh organisasi besar dan institusi negara dan akademisi, bisa merubah eksistensi dan citra bangsa.

Jika Borobudur bikinan Nabi Sulaiman dan Majapahit didirikan orang Arab keturunan Nabi SAW, akan terdapat simpulan bahwa pribumi lndonesia itu kumpulan manusia primitif yang tidak memiliki peradaban dan kebudayaan. Bagaimana bangsa lndonesia disebut beradab jika membikin candi saja tidak becus, menunggu kedatangan Bani lsrael. Nah, jika Bani lsrael dapat membangun candi yg sangat megah di negeri seberang lautan, adakah situs bangunan candi seperti borobudur di lsrael?

Jika Majapahit didirikan oleh dzuriyah Rasul SAW, maka tentu terbukti bangsa ini primitif dan tolol sampai sampai untuk membangun sistem pemerintahan saja tidak mampu, dan harus menunggu kedatangan orang Arab yang lebih beradab dan memiliki iptek canggih.

Jika itu benar bahwa bangsa ini tolol primitif sehingga untuk membangun kerajaan saja musti menunggu kedatangan orang Arab, adakah data sejarah yg menunjuk bahwa di jazirah Arab pernah ada kerajaan nasional seluas Majapahit dengan administratif sangat canggih?

Prasasti di Gresik

Prasasti di makam Kyai Tumenggung Pusponegoro, Gresik, berangka tahun 1114 H/ 1719 M, yang dicatut dalam tulisan “Meluruskan Sejarah!!” tersebut. Disebutkan bahwa prasasti itu menunjuk Kyai Pusponegoro yang merupakan trah Majapahit tapi adalah seorang muslim yang hidup di jaman Mataram.

Bagaimana prasasti era Mataram lantas diklaim era Majapahit? Prasasti ini meski masih berbentuk Surya Majapahit yaitu logo negara Majapahit, tapi sudah mendapatkan penambahan. Menganggap prasasti ini sebagai data dan latar kesimpulan bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam tentu merupakan kesimpulan sekenanya dan cenderung mengada-ada.

Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram

Cocoklogi Tak Berbatas

Dasar logika “Otak-atik gathuk” sebenarnya bukan hal baru. Ia sudah digunakan misalnya dalam buku Serat Darmogandhul dan Suluk Gatoloco. Bedanya, di buku kolonial itu Bahasa Arab ditafsir menurut cocokologi bahasa Jawa, sementara dalam buku Kesultanan Majapahit bahasa Jawa ditafsir dengan bahasa Arab. Ini fenomena ilmu humor yang dapat memperkaya khazanah folklore lndonesia dan Arabia.

Kenapa ilmu cocokologi dengan nalar otak-atik gathtuk yang digunakan dalam buku Serat Darmogandhul dan Suluk Gatoloco serta Kesultanan Majapahit itu memperkaya khazanah folklore lndonesia dan Arabia? Karena logika umum dengan common sense tidak lagi digunakan, dimana logika semacam ini dapat dipandang sebagai logika alternatif khas Jawa yang muncul akibat tekanan kolonialisme Belanda yang secara sistematis membodohkan inlander.

Mari kita lihat contoh sewaktu penulis Serat Darmogandhul menafsir Al-Qur’an yang berbahasa Arab dengan nalar otak-atik manthuk bahasa Jawa:

  • “Dalikal” – Ono barang kang nyengkal.
  • “kitabula” – Kita buka.
  • “Laroibapi” – Pakaian kita kabeh.
  • “Huda” – Widi.
  • “Lilmutaqin” – Pel* kita den emutaken … ( dan seterusnya).

Begitulah tafsir cocokologi dengan nalar otak-atik gathuk yang dapat melenceng jauh maknanya dengan tafsir al-Qur’an mainstream yang disepakati. Artinya, ketika nalar otak-atik gathuk ala Salesmanship wal Gatoloco itu diterapkan dalam menafsir sejarah, kekeliruan fatal pasti terjadi karena dasar logika yang digunakan cenderung sak karepe dewe (semaunya sendiri).

Sekarang mari sejenak kita uji penafsiran nama Gajah Mada dengan ilmu cocokologi dengan nalar otak-atik gathuk yang menetapkan nama itu berasal dari kata Fatih Haji Ahmada yang berubah menjadi Patih Gaj Ahmada yang bermakna “Patih Haji Ahmada Sang Penakluk”

Sejak kapan nama Patih Gaj Ahmada digunakan? Dalam sumber prasasti, kronik, naskah kidung, atau dongeng lisan apa sekali pun nama superaneh itu digunakan?

Jawabnya:

Nama “Gaj Ahmada” untuk kali pertama digunakan oleh Herman Sinung Janutama dalam buku “Kesultanan Majapahit”.

Sebelum itu, belum pernah ada satu manusia pun yang menulis dan menafsirkan tokoh “Rakryan Mahpatih Amangkubhumi Pu Gajah Mada” dengan nama “Patih Gaj Ahmada”.

Gajah Mada yang patungnya dirias untuk memberi kesan seakan ia adalah ulama Muslim, tepat dengan nama pelintirannya Gaj Ahmada

Pertanyaan penting yang bisa kita jawab bersama ialah: Setujukah Anda jika Gajah Mada diklaim Muslim? Jika tidak setuju, bantu teman-teman yang lain untuk ikut menyuarakan versi yang benar.


Dikompilasi dan disunting seperlunya dari halaman LESBUMI

Satire bagi Para Pemelintir Sejarah (part. 2)

Sebagai pelengkap pelajaran satire bagi para pemelintir Sejarah sebelumnya, masih berbicara tentang “pelurusan” sejarah  a la “oneng” dari teman-teman kita dari tetangga sebelah, simak lagi satire kedua berikut ini.


 

Hari-hari ini, semakin kental dan kencang dibandingkan periode sebelumnya, kita semakin dididik untuk berdamai dengan kenyataan bahwa menjaga diri supaya tetap waras dengan segala macam kebisingan (noise) dan tidak jemu untuk menyuarakan yang benar (voice), ternyata butuh konsistensi tinggi. Tidak mudah.

Sesekali kita butuh untuk serius, membaca begitu banyak manuskrip, melatih diri untuk melakukan diskresi yang benar, tenggelam dalam dinamika dialektika yang bahkan tidak pernah terpahami sepenuhnya hingga ini.

Di lain waktu, kita butuh untuk berjenaka saja. Raut wajah serius dan dahi berkerut adalah (mungkin) bahan bakar yang justru ditunggu-tunggu dan diharapkan oleh siapapun yang ingin memelintir sejarah. Judulnya sih “meluruskan sejarah”, entah sejarah mana yang hendak diluruskan oleh Herman Sinung dan teman-temannya itu.

Tidak mudah menjadi tetap sadar dan tegar di tengah wacana lelucon yang diperlakukan serius itu, yakni bahwa Patih Gajah Mada adalah seorang muslim, nama sebenarnya GAJ Ahmada, singkatan dari Ghufron Awaluddin Jamal Ahmada. Jika Anda ingin menanggapinya secara jenaka, maafkan kali ini harus reaktif, bersama teman saya Made Tertiana sang guru yoga, Anda boleh melakukan argumentasi jenaka seperti pada gambar ini, tentu tidak serius:

 

Satire in picture – Please stop stupify yourselves.

 

Ketika Anda merasa bahwa kewarasan Anda kembali pulih setelah tersenyum dengan jenaka di atas, ajaklah teman-teman untuk menyadari kelucuan historis yang diciptakan oleh teman-teman dari tetangga sebelah itu. Mulai dengan mengajarkan mereka hal-hal sederhana seperti menerangkan koin di bawah ini dengan penjelasan yang sederhana pula.

Jika Anda masih waras dan jujur, tidak sulit untuk menyadari bahwa koin ini tidak bergambarkan wayang Arab atau tulisan Arab.

 


Semoga, selain Anda, semakin banyak teman-teman Anda yang ikut tetap waras. Bersama Saya, Anda dan teman-teman Anda tentu saja setuju untuk #MenolakBodohDanTolol.

Satire bagi Para Pemelintir Sejarah (part. 1)

 

Al Fatih GAJ (Ghufron Awaluddin Jamal) Ahmada alias Patih Gajah Mada adalah panglima perang dari Sultan Hajj Zam al Farouq (Hayam Wuruk) yang pernah mengucapkan Sumpah Al Favva (Palapa) di negeri Majd al Wahid (Majapahit). Ternyata kekhalifahan sudah ada di Indonesia sejak jaman dulu.

Pendiri kerajaan Majapahit yaitu Raden Wijaya sebenarnya juga seorang muslim yang bernama Sayyid Wijaya. Begitu juga Ken Arok pendiri kerajaan Singhasari sebenarnya juga adalah muslim yang bernama Ken Arrokhman. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja Syailendra juga sebenarnya seorang muslim yang bernama Syaikh al Handra. Tunggul Ametung sebenarnya juga adalah leluhur sekaligus tokoh sejarah pelopor FPI purba yang nama aslinya adalah Dzun Ghul al Fentung.

Jadi jika ada yang bilang bahwa Śrī Kṛtarājasa Jayawarddhana (gelar bagi Raden Wijaya setelah bertahta) pendiri Kerajaan Majapahit adalah Narārya Sanggrāmawijaya (versi prasasti Kudadu), Dyah Wijaya (sumbernya Nāgarakṛtāgama) atau Rahadyan Wijaya (sumbernya Pararaton) itu semuanya sebenarnya adalah hoax, konspirasi dan rekayasa yang dibuat oleh sejarawan kafir untuk menghapuskan jejak Islam di Indonesia.

Donald Duck dan Mickey Mouse pun sebenarnya adalah nama rekayasa yang setelah dicuri kemudian diakui oleh dunia Barat serta diubah dari nama aslinya yang adalah Dzun al Dagh dan Mikhya Mahussa. Pencipta aslinyapun sebenarnya bukan Walt Disney tapi Wal Disniyyah yang sudah ada sejak abad hula-hula.

Bahkan Presiden Amerika yang sekarangpun Donald Trump ternyata aslinya masih keturunan Arab, namanya Dzun al Tharam. Satu lagi rahasia besar yang terungkap, Jokowi yang jadi pujaan umat kecebong itu sebenarnya adalah keturunan aseng, nama aslinya Cho Ko Wei, paham?

Makanya lain kali kalo belajar sejarah itu sehari penuh, jangan bolos. Jangan lupa makan micin yang banyak sambil minum Equil sampe mabok, biar pinter kayak eike.

Salam Ogah Waras


Sumber: Dito Kartiko

Tolong dibaca judulnya kembali, bahwa ini adalah satire. Siapa tahu ada yang mau gunakan ini sebagai bahan taqqiyah baru, setidaknya lebih cerdaslah sedikit.

Wassalam.

Nasihat kepada Orang Tua (versi Jawa)

Bila kita tua,

Ketika usia kita diatas sweet duck (60 tahun ke atas), biasanya  kita akan menghadapi dan mengalami banyak kemunduran. Kemunduran-kemunduran yang bisa dikenal dengan sebagai B-12. Bukan vitamin B-12 anti beri-beri, tetapi pil pahit yang bisa manis jika kita legowo menerima dan meng-aku-i.

BOTAK

Rambut kita akan memutih. Perlahan-lahan rontok atas bawah.

BOGANG atau Ompong

Gigi kita akan semakin banyak yang palsu. Kita akan mencari makanan yang lembek.

BINGUNG

Kemampuan otak kita akan mulai menurun. Pikun, bahkan kadang sampai lupa dengan pasangan kita sendiri.

BLERENG

Penglihatan kita mulai kabur. Rabun akan membuat kita menerima bahwa kita tidak lagi bisa melihat dan mengerti sebanyak dan secepat kita muda.

BUDEG

Pendengaran kita jadi terganggu. Kita tidak bisa mendengar teman, suami/isteri bahkan anak sendiri jika mereka berbicara pelan. Jika mereka berbicara kencang dengan maksud supaya kita mendengar, kita akan mendengar nadanya seperti mau berantam. Menyakitkan.

BUNGKUK

Kita akan berjalan atau duduk tidak setegap saat masih jadi komandan, karena pengeroposan tulang.

BAWEL/BISU

Kita akan semakin cerewet dan rewel dalam segala hal. Kita juga akan semakin senang berbicara sendiri. “Bawelnya minta ampun. Itu lagi itu, itu lagi yg diomongin”, kata anak kita yang paling bungsu atau cucu kita di depan telinga kita sendiri.

Sebagian teman kita ada yang semakin pendiam, malas bicara, pelit ketawa, kemauannya susah ditebak.

BAU
Kulit kita akan mulai kendor. Mandi pun kerap jadi tidak bersih, pada bagian tertentu bisa berakibat bau. Anak, istri/suami, cucu kita suka memperhatikan hal ini. Kadang mereka ingin mengeluh, tetapi tidak jadi mereka sampaikan, takut kita tersinggung.

BESER

Kita akan sering buang air kecil, kadang tidak kuat menahan jadinya ngompol. Atau sebaliknya “buntu” tidak bisa kencing karena prostatnya bermasalah.

BEBELEN/Sembelit

Kita akan susah pup (buang air besar). Akibatnya kentut kita akan berbau busuk. Sistem pencernaan kita tidak seoptimal dulu karena otot-otot memang mulai kendor.

BUYUTEN

Kita akan gampang gemetaran, entah kena Parkinson atau karena khwatir tidak jelas, sebab dopamin dalam otak akan semakin berkurang.

BOKEK

Kita akan berkurang penghasilan. Jika pun ada dana pensiun, tidak lagi sebesar dulu. Kadang ini jadi beban pikiran. Kita tidak mau merepotkan anak. Kita mengharap anak-anak mengerti. Kadang mereka tidak menangkap maksud kita, kita diabaikan, akhirnya kita menjadi galau galau/gedek.


Selagi sempat, ayuk kita mempersiapkan diri semaksimal mungkin  melawan B-12 ini hingga kita tidak mampu lagi. Ayuk kita …

Bersepeda-ria

Berwisata-ria

Ber-Facebook atau ber-WA-ria

Ber kumpul-ria

Bernyanyi-ria.

Jangan diam terus. Sebab jika diam terus, khawatir nanti jadi B-13, tambah B-nya satu, bego. Akhirnya, jangan peduli B-12. Seperti cucu kita yang “gahool” itu, kita juga sebaiknya “jangan lupa bahagia”.

Begitulah.

Nasihat kepada Orang Tua (versi Batak)

Bila kita tua,

Kalau anak-anak sudah berkeluarga dan meninggalkan kita, giliran kita untuk kembali memikirkan diri kita sendiri.

Bila kita tua,

Luangkanlah waktu bersama pasangan kita karena salah seorang dari kita akan pergi terlbih dahulu dan yang masih hidup hanya mampu menyimpan dan mengenang kenangan. Pastikan kenangan itu adalah kenangan yang indah, bukan yang buruk.

Bila kita tua,

Akan tiba masanya mau berjalan ke pintu saja susah. Sementara masih mampu, jalan-jalanlah ke beberapa tempat untuk mengingatkan kita tentang kebesaran Sang Pencipta, mengagumi keindahan ciptaan-Nya.

Bila kita tua,

Jangan menyusahkan diri memikirkan anak-anak secara berlebihan. Mereka akan mampu berusaha sendiri. Memanjakan anak dengan menyediakan apa saja yang mereka minta itu beda tipis dengan ungkapan Batak “holong na mamboan hasesega” (sayang yang merusak).

Bila kita tua,

Luangkan waktu bersama rekan-rekan lama karena peluang untuk bersama mereka akan berkurang dari waktu ke waktu.

Bila kita tua,

Terimalah penyakit apa adanya. Semua sama, kaya atau miskin, akan melalui proses yang sama: lahir, bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, sakit dan meninggal. Jika mungkin, seperti Santo Fransiskus, terimalah juga penyakit tua yang kita derita seakan-akan penyakit itu adalah Saudara kita juga, sama seperti Saudara Maut.

Bila kita tua,

Kita akan menyadari bahwa akan lebih baik jika seandainya di masa muda kita menghabiskan waktu lebih banyak dengan kawan yang seperti cermin. Kita gembira dia gembira, kita sedih dia juga ikut bersedih. Jangan mencari kawan yang seperti duit logam, depan lain belakang lain. Seperti ungkapan yang kita kerap dengar dari para sesepuh: Ai dongan mekkel do godang, dongan tangis so ada.

Bila kita tua,

Kita akan menyadari bahwa romantisnya kita sebagai pasangan adalah teladan yang jauh lebih efektif dibandingkan ribuan nasihat yang kita paksakan kepada mereka dengan wajah marah dan raut muka serius. Percayalah, anak-anak lebih suka melihat orangtua bermesraan di depan mereka dibandingkan menonton drama Korea penuh gimmick a la manusia plastik itu.

Bila kita tua,

Anak-anak kita akan tetap menaruh hormat kepada kita. Mereka tidak lupa patik atau uhum yang mengajarkan mereka bahwa “natua-tua i do Debata na Mangolu”, entah mereka pernah mendengar turiturian Debata Idup atau tidak. Jadilah meniru karakter “Debata” seperti yang mereka harapkan.

Muslim dan Kristen, “Ambil dan Bacalah”

Ateis, Agnostik dan Teis Dikaruniai Akal

Kalau kamu punya waktu untuk browsinng di internet, cobalah iseng mengetik keywords:

 Dawkins’ Scale,

Nietszche,

religious people less intelligent,

Mudah-mudahan kamu akan memperoleh sekilas gambaran betapa wacana religiositas mempengaruhi keterbukaan kaum beragama terhadap ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah yang terbaru secara jujur.

Harapan dari tulisan singkat Saya ini semoga bisa bermuara pada penyadaran sederhana.

Apa itu?

Yakni kesadaran bahwa sebagai satu spesies homo sapiens sesuai evolusi Charles Darwins (either you accept Darwinism or not) dan taksonomi Carolus Linnaeus, situasi dianugerahkannnya akal budi kepada semua manusia itu berlaku umum, entah kamu termasuk kaum (yang menyebut diri) beragama, agnostik (para peragu kritis akan benar-tidaknya eksistensi Tuhan) dan ateis (teman-teman yang tidak meyakini adanya Tuhan berangkat dari lack of evidence) sesuai nomenklatur Dawkins’ Scale.

Sebagai golongan teis paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah Republik Indonesia, layak rasanya jika teman-teman Muslim dan Kristen merenungkan dan mengevaluasi kembali sejauhmana pencerapan kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi.

Tidak perlu rumit-rumit, pakai saja empat indikator utama literasi dalam mengukurnya, yakni reading, writing, listening and speaking. Jadi, alih-alih berbalik menyerang (seringkali tanpa sadar kita bumbui dengan berbagai logical fallacies yang sulit kita hilangkan) rekan ateis yang kerap melakukan bully seakan-akan fakta keberagamaan kita berbanding lurus dengan tingkat ignoransi, jadilah well-prepared “membela” rasionalitas dari iman yang dimiliki dengan memperkaya diri dengan segala pengetahuan dan sikap terbuka yang perlu untuk itu.

Teman Muslim, Warnailah Dunia dengan Menulis

Kemarin, pada hari ke-17 Ramadhan, pada malam Nuzulul Qur’an seorang teman online Saya di aplikasi Line mengirim pesan terusan dari M. Anwar Djaelani, penulis buku “Warnai Dunia dengan Menulis” kepada Saya. Berikut isi pesannya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam (tulis-baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS [96]: 1-5).

Modal Sukses

Di negeri ini, di tiap 17 Ramadhan, umat Islam banyak yang mengadakan Peringatan Nuzulul Qur’an. Di acara ini, hampir pasti lima ayat Al-Qur’an yang kali pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw dan yang terjemahnya menjadi paragraf pembuka tulisan ini akan dibacakan. Akibatnya, nyaris tak ada umat Islam yang tak tahu perintah ini: Iqra’ (Bacalah).

Acara itu secara umum diniati untuk menjadi media agar kita lebih mencintai Al-Qur’an (dalam makna, lebih bersemangat untuk mengamalkan semua ajaran di dalamnya). Dalam kaitan ini, mestinya kita harus lebih mencermati perintah membaca dan menulis. Jika itu yang kita kerjakan, sungguh kita akan punya gambaran bahwa di depan Islam, aktivitas membaca dan menulis mendapat nilai yang sangat tinggi dan akan menjadi katalisator tegaknya sebuah peradaban mulia.

Di ayat pertama sangat jelas meminta kita untuk membaca. Apa yang harus dibaca? Semua ayat Allah, baik yang tertulis ataupun yang tak tertulis. Ayat yang tertulis adalah Al-Qur’an. Ayat tak tertulis adalah alam semesta dan seisinya yang merupakan ciptaan Allah.

Di antara ayat-ayat itu, sangat banyak yang harus dijelaskan lebih lanjut. Misal, kita diminta ‘menerangkan’ bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung-gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan?” (baca QS [88]: 17).

Jika demikian, apakah Al-Qur’an tak sempurna seperti yang digambarkan antara lain di QS [2]: 2? Sama sekali tidak! Lewat ayat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam itu Allah justru memberi sarana kepada manusia agar memanfaatkan akal yang dipunyainya. “Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS [55]: 33).

Kekuatan apa? Kekuatan akal! Maka, di Al-Qur’an banyak ayat yang berupa rangsangan Allah agar kita terus memikirkan ciptaan-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS [3]:190).

Di titik ini, agar pembacaan kita atas ayat-ayat Allah lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh kaum yang lebih luas, maka perlulah kesemuanya ditulis. Di sinilah makna penting ayat ke-4 dari QS Al ‘Alaq, bahwa Allah yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (tulis-baca).

Aktivitas membaca dan menulis itu saling terkait.


Pertama, kita diminta untuk membaca.

Terkait ini, tentu diperlukan bahan bacaan. Bagi Muslim, bacaan utama adalah Al-Qur’an (bahkan, Al-Qur’an menurut bahasa maknanya adalah bacaan atau yang dibaca). Setelah itu, Al-Qur’an (plus ayat Allah yang tak tertulis) perlu dijelaskan oleh “kaum yang berakal”. Di titik ini, kita memerlukan penulis dari kalangan ulama dan cendekiawan Muslim, yang bisa menyediakan bahan bacaan yang baik.

Kedua, untuk membuat tulisan yang baik, penulis butuh ilmu atau wawasan. Untuk itu, penulis harus banyak membaca. Bukankah –kita tahu- bahwa tulisan yang baik itu hanya akan lahir dari pembaca yang tekun?

Tampak, bahwa aktivitas membaca dan menulis seperti dua sisi mata uang yang satu dan lainnya tak boleh tiada.

Keduanya harus ada, karena saling bergantung.

Terkait hasil beraktivitas membaca dan menulis, tercatat bahwa sejarah umat Islam di tujuh abad pertamanya adalah rangkaian kisah gemilang sebuah peradaban. Kala itu, ilmu –yang diperoleh lewat membaca dan menulis- berkembang pesat. Ilmu menopang penemuan berbagai teknologi yang membuat hidup manusia lebih nyaman. Tak hanya itu –dan bahkan ini yang paling penting- ilmu ketika itu bisa membuat manusia lebih mengenal siapa Tuhannya.

Bangun, Bangkit!

Sekarang, kita tengok sebuah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pertama, di antara cita-cita dari pendiri negeri ini adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Usaha itu, tak dapat tidak, harus dilakukan lewat peningkatan aktivitas membaca dan menulis. Masalahnya, sudah seperti itukah kita?

Lihatlah, di segi minat baca! Ternyata, menurut UNESCO, pada 2012 indeks minat membaca masyarakat Indonesia 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang hanya seorang yang punya minat baca (www.linggapos.com 28/09/2013).

Lalu, bagaimana dengan minat menulis? Kita pakai logika saja. Aktifitas membaca diperlukan untuk menjadi modal menulis. Maka, bisa dipastikan, bahwa minat menulis kita akan lebih rendah jika dibandingkan dengan minat membaca. Asumsinya, bagaimana mungkin seseorang akan suka menulis jika dia tidak senang membaca?

Kini, tak usah meratap, tapi – sebaliknya – mari bangkit!

Pertama, kepada para Ulama, jadilah seperti Nabi SAW yang sangat menomorsatukan akivitas membaca dan menulis. Apa yang terjadi pasca-Perang Badar cukup memberi pelajaran kepada kita. Kala itu, atas tawanan perang dari pihak musuh yang ingin bebas, Nabi Saw hanya memberikan syarat ‘sederhana’ yaitu si tawanan memberikan pelajaran baca-tulis terlebih dulu kepada umat Islam. Lihat, Nabi Saw tak meminta tebusan harta tapi sebuah ‘modal sukses’ yaitu kecakapan membaca dan menulis. Dalam konteks ini, duhai ulama, gairahkan umat Islam untuk gemar membaca dan menulis.

Kedua, kepada pemerintah. Amanah yang kamu pikul cukup berat. Sudahkah kamu menyediakan strategi yang bagus sedemikian rupa membaca dan menulis (sebagai bagian paling pokok dari usaha “Mencerdaskan kehidupan bangsa”) dapat menjadi keseharian dari semua murid / mahasiswa dan warga pada umumnya?

Mari bangkit, songsong peradaban mulia dengan menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai keseharian kita. Hanya dengan cara demikian, peringatan Nuzulul Qu’an yang kita selenggarakan tiap tahun tak sia-sia.

Teman Kristen, Ambil dan Bacalah!

Entah kamu Katolik atau pengikut salah satu dari ribuan denominasi Protestantisme, sebagai orang yang gemar membaca dan mengikuti perkembangan sejarah literatur Gereja, nama Aurelius Agustinus dari Hippo tentu bukan nama yang asing lagi.

Khusus untuk Gereja Katolik, penulis dari zaman Gereja sebelum abad Pertengahan ini, Santo Agustinus dari Hippo (Afrika Utara) ini dinobatkan sebagai salah satu dari beberapa Pujangga Gereja dengan buah-buah pemikiran yang masih relevan dan karenanya menjadi referensi dari berbagai dokumen doktrinal Gereja hingga hari ini.

Salah satu anjuran Santo Agustinus yang banyak dijadikan inspirational quote adalah “tolle et lege” (Lat., artinya: ambillah dan bacalah). Seorang teman blogger menyuguhkan review singkatnya sebagai parafrase yang cukup apik terhadap anjuran tersebut. Berikut isi review-nya.

 (Tanya teman atau gunakan Google Translate, Tradukka atau tools penterjemah lain jika kamu kesulitan memahami teks berbahasa Inggris)

“But when a deep consideration had from the secret bottom of my soul drawn together and heaped up all my misery in the sight of my heart; there arose a mighty storm, bringing a mighty shower of tears. Which that I might pour forth wholly, in its natural expressions, I rose from Alypius: solitude was suggested to me as fitter for the business of weeping; so I retired so far that even his presence could not be a burden to me. Thus was it then with me, and he perceived something of it; for something I suppose I had spoken, wherein the tones of my voice appeared choked with weeping, and so had risen up.

He then remained where we were sitting, most extremely astonished. I cast myself down I know not how, under a certain fig-tree, giving full vent to my tears; and the floods of mine eyes gushed out an acceptable sacrifice to Thee. And, not indeed in these words, yet to this purpose, spake I much unto Thee: and Thou, O Lord, how long? how long, Lord, wilt Thou be angry, for ever? Remember not our former iniquities, for I felt that I was held by them. I sent up these sorrowful words: How long, how long, “tomorrow, and tomorrow?” Why not now? why not is there this hour an end to my uncleanness?

So was I speaking and weeping in the most bitter contrition of my heart, when, lo! I heard from a neighbouring house a voice, as of boy or girl, I know not, chanting, and oft repeating. ‘Take up and read; Take up and read.’ [’Tolle, lege! Tolle, lege!’] Instantly, my countenance altered, I began to think most intently whether children were wont in any kind of play to sing such words: nor could I remember ever to have heard the like. So checking the torrent of my tears, I arose; interpreting it to be no other than a command from God to open the book, and read the first chapter I should find.

Eagerly then I returned to the place where Alypius was sitting; for there had I laid the volume of the Apostle when I arose thence. I seized, opened, and in silence read that section on which my eyes first fell: ‘Not in rioting and drunkenness, not in chambering and wantonness, not in strife and envying; but put ye on the Lord Jesus Christ, and make not provision for the flesh, in concupiscence.’ [Romans 13:14-15] No further would I read; nor needed I: for instantly at the end of this sentence, by a light as it were of serenity infused into my heart, all the darkness of doubt vanished away.”

Jika ingin membaca secara penuh karya Agustinus yang memuat quote tadi, silahkan mencari di perpustakaan yang ada, entah offline atau online. Berikut ini detail dari referensi yang Saya maksud:

Aurelius Augustine, The Confessions of St. Augustine, translated by Edward Pusey. Vol. VII, Part 1. The Harvard Classics. New York: P.F. Collier & Son, 1909–14.

Fides et Ratio (Iman dan Akal Budi)

Mencari titik temu (interseksi) antara iman (yang doktrin dan penjelasannya pertama-tama tidak harus melalui standar metode ilmiah) dan ratio (akal budi) adalah tugas bagi setiap akademisi, pemuka jemaat (pastor, pendeta, bijbelvrouw, katekis, penceramah, kyai, ustadz dan ustazah) termasuk seluruh umat beragama. Sekali lagi, secara khusus, seruan ini dialamatkan kepada teman-teman Muslim dan Kristen, golongan teis Indonesia paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah.

Kamu bisa mulai dengan memperbanyak frekuensi membaca dua jenis buku sekaligus.

Satu, Kitab Sucimu dan ribuan tafsir-tafsirnya.

Dua, buku ilmiah yang berbicara tentang topik terkait di perikop atau ayat yang sedang kamu perdalam.

Mudah-mudahan, dengan konsisten melakukan rutinitas membaca dengan cara itu, perlahan kamu bisa berdamai dengan realitas keberagaman sumber literasi terhadap topik atau bahasan yang ingin kamu perdalam.

Contoh sederhana, jika selama ini kamu hanya tahu tradisi pengetahuan tentang sosok Tuhan monoteistik yang kau puja, kamu akan segera menemukan bahwa nama dari Tuhan yang kamu puja hanyalah salah satu dari ribuan (nama) Tuhan yang dipuja umat manusia sepanjang sejarah manusia. Ternyata, ada banyak sekali (nama) Tuhan dan tradisi yang menyertainya. Tradisi yang kamu lakukan hingga hari ini hanyalah salah satu diantaranya.

Atau, jika kamu merasa bahwa terlalu konyol jika masih mempercayai bahwa setiap manusia tercipta secara literer dari tanah, padahal kamu tahu bahwa kamu sendiri adalah hasil dari senggama antara Ayahmu dan Ibumu, tidak ada salahnya kamu membaca teks Kitab Suci yang kau miliki. Lalu mulailah membandingkannya dengan literatur ilmiah terkait. Ada banyak sekali sumber yang bisa dibaca.

Membaca secara konsisten dan berdamai dengan situasi (bahwa menemukan interseksi yang dimaksud ternyata tidak mudah) ilmu keagamaan dan kemajuan sains teraktual yang tidak serta-merta sejalan, memang bukan hal yang mudah dan nyaman. Tapi, seperti kita pada awalnya susah payah memadukan huruf-demi huruf dan akhirnya kita bisa mengeja nama kita sendiri dengan benar, toh akhirnya kita berhasil melewati situasi itu. Tidak ada salahnya, kita kembali “belajar membaca”.

Saya sendiri masih berusaha membaca dengan metode membaca semacam itu. Kegelisahan intelektual ini sedikit bisa saya redam setelah membaca ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II yang langsung mengusung judul “Iman dan Akal Budi”.  Jika tertarik, kamu bisa juga mencoba hal serupa.

Untuk mengetahui isi lengkap dari Ensiklik Fides et Ratio yang ditulis oleh (Alm.) Paus Paulus Yohannes II yang kini sudah dibeatifikasi menjadi Santo Yohannes Paulus II, silahkan klik disini:

Ensiklik Fides et Ratio by Vatican.Va


Kamu bisa memulainya sekarang. Selain kamu punya Alkitab, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang membahas tema terkait. Selain kamu punya Alquran, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang berbicara tentang topik sejenis. Tidak harus mulai dengan tulisan yang sulit seperti Confessiones-nya Agustinus, atau puisi-puisi sofistik Jalaluddin Rumi, atau Kitab Kuning-nya Islam Nusantara. Kamu bisa mulai dengan memanfaatkan akses internet yang kamu miliki.

Kamu bisa mulai dengan membaca lebih banyak informasi dari sumber terpercaya. Jika kamu selama ini lebih banyak menikmati sumber bacaan yang sifatnya satu arah (dari tokoh atau media tertentu yang begitu mempengaruhi kamu sampai tidak ngeh bahwa mereka juga adalah manusia yang tidak mustahil menyertakan unsur subjektifitas dalam penyampaian informasi atau ilmu, sekalipun mereka menyebut atau meminjam otoritas dari agama tertentu atau Tuhan sekalipun), saatnya kamu memperbanyak frekuensi untuk membuka diri pada diskusi dengan anggota yang beragam latar belakang keagamaan.

Jika kamu cukup konsisten dengan sikap ilmiah dan rasional yang sejatinya sudah kamu miliki, berdiskusi dengan anggota dari masing-masing Dawkins’ scale yang berbeda, kelak bukan lagi masalah buatmu. Kamu tidak perlu lagi bertegang urat leher dengan rekan diskusi yang kelihatan seolah menyerang doktrin atau akidah yang selama ini kau pegang teguh mati-matian. Malahan, kamu akan belajar lebih banyak.

Konon, Tuhan menitipkan ilmu dan pengetahuan dimana-mana, termasuk pengetahuan dan pengenalan tentang Diri-Nya sendiri. Wallahualam.

So, whenever you can afford any book, “tolle et lege”, ambil dan bacalah.

 

Lirik “Molo Huingot”

Molo huingot,
molo huingot ma sude akka naung salpu i
Molo sai hurimangi di rohakki
Olo menetek ilu sian mata
Dang tarhatahon be tahe
Ai nungga salpu be sude lungun nai tahe

Molo huingot,
Molo huingot ma muse si dongan magodang i
Dongan saparmeaman na uju i
Nunga ro di dia saonari
Dongan saparmeaman i rap dakdanak uju i
Tikki di huta i

Saonari nungga dao au di parjalangan
Huta hatubuan nungga leleng dung hutinggalhon
Alai rohakki tung naso lupa do
Di angka parsorion dohot dongan na uju i
O …  ale alogo
Pasahat jolo tonakkon
Tu sasude dongan magodang nunga di dia saonari

Ai tung so boi be marpungu
Songon tikki naung salpu i
Tuhanta i ma na manggomgom hita on sude
Tuhan ta i ma na manggomgom hita on sude

(Sumber: JustSomeLyrics.com)


Sesuai koreksi dari pencipta asli, Bapak Parihutan Manik, lirik aslinya adalah sebagai berikut:

“Molo huingot”

  1. Molo huingot, molo huingot do sude angka naung salpu i.
    Molo sai hurimangi di rohangki.
    Olo manetek ilu sian mata.
    Sohaulahan be hape, ai nunga salpu sasude lungun na i tahe.
  2. Molo huingot, molo huingot ma muse sudena donganki.
    Dongan saparmeaman nauju i.
    Nunga tung didia saonari, dongan saparmeaman i manang marmahan uju i tingki di huta i.

Reff:

Saonari, nunga dao au di parjalangan.
Huta hatubuan, nunga leleng dung hutinggalhon.
Alai rohangki tung na solupa do, di angka parsorion dohot dongan nauju i.
Ooo ale alogo, pasahat jolo tonangkon.
Tu sasude dongan magodang manang didia pe nuaeng.
Ai tung soboi pe marpungu, songon tingki naung salpu.
Tuhanta i ma na manggomgom hita on sude.

Insta-Famous

Insta-Famous

Apa itu Insta-Famous?

Insta-famous atau Selebgram bukanlah aktor, aktris, musikus(i), atau anak dari tokoh partai politik atau penguasa di pemerintahan. Mereka adalah remaja pengguna Instagram yang menangkap peluang untuk menjadi “famous” (terkenal), punya tempat tersendiri (fame) di hati para follower-nya.

Selain dari akun-akun Instagram yang nyerempet-nyerempet ke pertunjukan keindahan atau kejelekan tubuh dan aksi visual ekstrem (yang entah mengapa masih menjadi pemeringkat atas di antara akun-akun yang ada), akun-akun Insta-famous ini menyadari bahwa selain TV, Radio atau Suratkabar, media sosial terutama Instagram telah menyediakan panggung baru bagi mereka. Panggung yang selama ini hanya bisa dimiliki oleh para artis atau selebritis papan atas yang didapatkan dengan susah payah dan dedikasi bertahun-tahun.

Bahkan jebolan kontes seperti Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indonesia, atau comic lulusan Stand Up Comedy saja belum tentu sampai di panggung serupa dan memperoleh fans loyal. Ratusan alumni dari tiga kontes TV terbesar tadi, coba saja cek sendiri, berapa persen yang hari ini masih mendapat tawaran untuk nongol di layar TV.

Tanyalah @dijjah_yelloww yang entah mendapat ilham dari mana, foto dan video singkatnya telah berhasil menjadikannya salah satu akun “dari tak dikenal menjadi tenar” di hati 182 ribu lebih pengguna Instagram Indonesia. Lebih dari separuh jumlah follower di akun Ahmad Dhani, bos Republic Cinta Management yang dulu musiknya mengisi masa-masa SMP dan SMA saya, tetapi kini harus berjuang menanggung konsekuensi dari lirik lagunya ” … Atas nama cinta saja, jangan bawa nama Tuhan …“. Akun dari sebuah band musik indie  barangkali memerlukan kampanye konsisten bertahun-tahun untuk mendapatkan jumlah follower serupa.

Camera dan Aplikasi Instagram – Dua Sejoli Tak Terpisahkan

Lantas apa yang didapat dari banyaknya jumlah follower itu? Jika Anda orang advertising (periklanan) atau setidaknya memahami prinsip dasar marketing, Anda akan segera tau bahwa jumlah follower itu berbanding lurus dengan kesempatan untuk mendapatkan tawaran iklan, endorsement, jual-beli akun, kampanye politik, brand campaign,  dan sejenisnya. Pundi-pundi uang pun mengalir sederas jumlah pesanan ke akun mereka.

Penting dicatat, kesempatan loh ya. Sebab kesempatan dan hoki (luck atau keberuntungan) adalah resep dasar dari kesuksesan menurut ukuran yang berlaku umum. Praktisnya, jika Anda punya teman yang mempunyai puluhan ribu pengikut di media sosial, dengan segmentasi yang baik, meminjam akun tersebut untuk memasarkan produk terbaru usaha Anda jauh lebih efektif dan hemat dibandingkan mencetak selebaran yang hanya akan dibuang di jalan raya begitu orang melihatnya sekejap, menimbulkan sampah di sepanjang jalan pula.

Insta-famous = Instant fame?

Smartphone, Creativity, Leisure Time, Extreme Selfie Mood adalah paduan sempurna bahan mentah bagi para wannabe-insta-famous ini.  Sempurna karena para penggila Instagram ini memiliki atau bisa mengusahakan keempatnya. Dengan bermodalkan kocek 700 ribu mereka sudah bisa membawa pulang sebuah Evercross baru yang sudah berteknologi android. Dengan beragam trik dan tips yang bisa mereka browsing dari Google dan Youtube, mereka bisa belajar menjepret foto atau merekam video berdurasi singkat yang bakal menarik mata orang. Dengan kesibukan mereka yang tergolong lebih ringan dibanding angkatan pekerja (umumnya mereka adalah para pelajar sekolah lanjutan atau sedang kuliah). Soal mood untuk ber-selfie-ria, rasanya tak perlu ditanya lagi. Bahkan saat berbuka puasa pun, durasi waktu untuk berswafoto lebih besar ketimbang silaturahmi yang umum dimengerti orang

Orangtua atau kaum dewasa yang masuk Generasi X (baby boomer) dan Y (millenial) awal barangkali adalah kaum yang paling jengkel dengan begitu banyaknya adegan selfie dan sesi fotografi tanpa henti yang dilakukan oleh kaum muda sekarang dengan konsistensi tanpa henti. Remaja usia belasan dan dua puluhan tahun yang lebih khawatir kalau foto terakhir acara makan bersama mereka tidak diposting di Instagram ketimbang tugas sekolah atau kuliah yang tidak sempat mereka kerjakan.

Jika demikian, benarkah nasihat lama “Instant Result isn’t the same as you play in ‘normal’ way” tidak berlaku lagi? Apakah “hasil tidak pernah menghianati proses” tidak relevan lagi? Singkatnya, apakah Insta-famous (selebgram) sama dengan Instant-famous (mendadak terkenal, tetapi cepat pula dilupakan)?

Tidak.

Insta-famous pada hemat Saya ada dua jenis.

Pertama, Insta-famous sejati. Mereka adalah pengguna Instagram yang justru melewati proses, meski tanpa dahi berkerut dan argumentasi panjang dan tumpukan kertas kerja di tong sampah. Ingat.

Mereka bukanlah aktor dan selebritis yang saban hari wajahnya nongol di layar televisi. Tanpa promosi yang konsisten baik secara online maupun dengan WoM (word of mouth), semenarik apapun postingan mereka tidak akan dilirik atau dikenal orang jika mereka tidak bergerak mencari follower. Mereka juga bukan anak konglomerat atau penguasa yang dengan uang dan pengaruh yang mereka miliki bisa saja “membeli” sejumah follower.

Mereka berlatih menjepret wajah yang fotogenik. Mereka mencoba berbagai sensasi gaya dalam berpose (sampai ada yang bela-belain berfoto di tepi jurang atau di depan mulut buaya yang menganga menunggu mangsa, oh mai goat). Tidak sedikit yang melatih kepekaan mata mereka terhadap estetika dari visualitas benda-benda di sekitar mereka, entah asli entah dengan editan, melalui proses yang juga tidak semudah dan secepat membalikkan telapak tangan.

Mereka juga ramah dan tidak pelit untuk singgah di akun sesama mereka.  Mereka belajar caranya memilih angle foto dan lighting yang benar. (Yang terakhir ini saya baru tahu sedikit-sedikit setelah ngopi bareng dengan @adi.belek, @elleanor,dan @thebridestory).

Pengguna akun dengan konsistensi seperti ini memang layak mendapatkan puluhan ribu follower setia, fans yang loyal. Mereka menjelma menjadi leader-leader baru. Lewat tulisan, foto dan video mereka menjadi influencer yang ampuh, penyampai nilai (value) dan opinionator yang suaranya (voice) pantas didengarkan.

Insta-famous “Parhuta-huta”

Ada lagi insta-famous jenis yang kedua. Saya menyebutnya Insta-famous “parhuta-huta” (kampungan). Golongan ini umumnya pemilik akun instagram yang memperoleh ribuan follower dalam sehari tetapi esoknya bisa di-unfollow oleh ribuan orang juga. Betapa tidak. Mereka ini menggunakan dan menghalalkan segala cara “hanya” demi meraup angka follower. Tentu saja dengan harapan mendapatkan kesempatan seperti di atas. Norak, kampungan, tidak punya etika dan etiket.

Akun-akun ini, selain menyerempet dengan visualitas seksualitas yang melampai norma yang berlaku umum, tidak segan pula mengedit tulisan, foto atau video dari figur publik dengan sengaja memelintir maksud asli dari tulisan, foto atau video tersebut. Tak jarang mereka mengadu domba para pengunjung Instagram yang iseng melihat apa yang baru. Selain gosip terhadap kaum celebrity, diskriminasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) adalah favorit mereka. Mereka tahu benar bagaimana caranya menyulut kebencian tetapi tidak meredam amarah. Mereka sangat mengerti bagaimana caranya melebih-lebihkan kekurangan dari seorang figur publik, kadang bahkan teman dekat atau keluarga sendiri.

Memang tidak sedikit di antara mereka yang berhasil dari jerat kontrol sosial dari masyarakat pengguna media sosial Instagram yang meskipun tanpa rambu-rambu yang jelas tetapi toh tetap ada, “mengadili seseorang berdasarkan perilakunya”, akhirnya juga meraup rupiah dari sana.

Pengguna akun jenis ini sebenarnya tidak layak mendapatkan puluhan ribu follower. Tak heran, para follower mereka juga lama-kelamaan sadar bahwa mereka mencari display picture yang menarik, bukan disgusting picture yang membuat mereka muak.  Pada titik ini, perlahan tidak ada lagi yang mengikuti dan mengkonsumsi konten yang mereka suguhkan. Sebab sesungguhnya mereka bukanlah leader-leader, melainkan para oportunis rakus yang dengan licik mengeksploitasi para follower mereka secara pikologis. Mereka bukan influencer yang baik, mungkin masih opinionator yang didengarkan untuk sementara waktu, tetapi akan ditinggalkan orang, cepat atau lambat, karena hanya mengejar traffic, dan menimbulkan kebisingan (noise) saja.

Sick people post sick content on their Instagtam

Tak heran, tetapi tidak sedikit pula yang karena serakahnya, tetap nekat menggunakan cara kampungan (semacam black hat SEO untuk kalau di promosi website), mengunggah konten yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan kesusilaan, akhirnya harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Mereka memang masih famous (terkenal), tetapi tidak dengan cara seperti yang mereka inginkan.

So, tidak perlu khawatir. Entah di Instagram atau media sosial lainnya, entah di dunia maya atau dunia nyata, stay calm saja: Hasil tidak pernah menghianati proses.


Oh iya. Bagi para pembaca yang juga wannabe-insta-famous seperti saya, tidak kalah pentingnya, tidak perlu malu untuk follow Instagram saya di @donaldharomunthe. Kalau mood saya lagi baik, yang sudah follow akan saya follow back. Hahaha.