Tentang Tuhan pada Yuyun: Teologi Keju dan Nasi Aking

Teologi konon adalah ngomong (logos) tentang sang tuhan (teos). Sejak manusia merasakan ada Tuhan yang menakjubkan sekaligus menggetarkan mereka (fascinosum et tremendum) itu, sejak itu pula tak terhitung banyaknya omongan yang lalu diomongkan kembali, sebagian ditulis ulang, sebagian diulang-ulang saja oleh penulis yang berbeda. Entah dengan laklak ataupun papyrus Biblos, atau coretan di gua tua yang basah dan gelap bertemankan obor mengukir di batu yang keras. Terkumpul sepanjang sejarah peradaban manusia. Kemungkinan jumlah lembarnya lebih banyak dari total populasi jiwa yang pernah menghirup oksigen di jagat ini.

Demikianlah ia menjadi buku besar teologi. Di tangan para rabbi ia menjadi shibbolet bagi mereka yang pantas “duduk di bawah pohon ara” dan “mana yang akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala”. Para rahib dan arahat mencoba menjadikannya tuntutan bagi setiap pengikut yang konon ingin menemukan diri dalam pencerahan budhi (bodhi). Kitab itu juga diyakini bisa membimbing manusia menyadari kesatuan athman dan brahma. Belakangan ia dipeluk dan dijadikan bantal empuk yang nyaman sebagai bacaan sebelum tidur oleh para Kristen yang merasa diri mesti menjadi orang saleh. Tak kurang pula ia dijadikan tuntutan hidup bahkan sains oleh teman-teman Muslim yang merindukan turunnya hidayah pada setiap ibadah sholatnya.

Dan masih ada ribuan lagi golongan orang yang mencoba memposisikan diri terhadap Tuhan, si tremendum et fascinosum itu.

Kini tahun 2016 orang semakin kritis. Di zaman dimana pluralisme kini semakin diterima dan di-aku-i sebagai bagian dari gaya hidup, maka tidak mustahil bahwa seorang ateis, agnostik dan orang beragama bisa bercengkerama bersama. Entah itu ketika berbicara tentang sains, ngulik-ngulik remah-remah coretan tentang sejarah komunis yang kabur atau dikaburkan, atau bahkan tentang pantat biduan yang memang terlalu montok untuk tidak mendapat perhatian. Entah itu ketika menemukan diri sebagai bagian dari solidaritas besar dengan lilin di tangan dan memegang poster bertuliskan dukungan penuh cinta terhadap dik Yuyun, ataupun ketika saling beringas menunjukkan taringnya dalam debat dan dialog yang seakan tiada henti-hentinya selama ada secangkir kopi dan sekarung kuota internet.

When it is about child, evenmore children abuse, the whole world finally find theirselves as ONE

Satu post scriptum disematkan pada setiap buku dan tulisan teologi yang mencoba menjelaskan siapa itu Tuhan dan apa karakteristiknya:

Teologi itu buatan manusia, gambaran tentang Tuhan yang sejatinya adalah cerminan atau proyeksi manusia atas diri dan masyarakatnya. 


Saya tidak akan membahas tentang Yuyun, hukuman mati atau seumur hidup terhadap pelaku pemerkosaan atas Yuyun, KPAI, ataupun teori-teori tentang pemajuan-perlindungan-penegakan HAM yang setiap waktu siap untuk meramaikan lini masa setiap kali insiden ‘kecil’ di daerah terpencil yang mendekatkan setiap orang dengan Yuyun. Setiap tahun ada ribuan sarjana Hukum yang siap menjadi pengamat dan memberikan annotasi mereka terhadap kasus serupa, entah itu dalam dagelan pengacara-hakim-terdakwa, atau memang benar mengadili dan memberikan diri pada keadilan publik yang beradab.

Saya hanya tertegun saja ketika membaca kembali sebuah tulisan dari E. Nugroho. Belum pernah bertemu, tapi rasanya saya mesti berlari untuk bisa mencapai frekuensi yang sama dengan Pak Nugroho yang saya yakin jujur ketika menerangkan dirinya sebagai seorang “dokter pensiunan yang suka mengeritik tapi tidak berbuat apa-apa”. Berikut saduran dari saya.


Pakailah Sandal Kalau Ke Gereja

Tahun lalu saya membaca poster besar di gereja. Kalau tidak salah dari Seksi Lingkungan. Isinya: Pakailah sepatu kalau ke gereja. Jangan pakai sandal. Masak kamu tidak menghormati Tuhan. Gereja adalah rumah Tuhan. Begitu kira-kira. Ini bukan pertama kali saya mendengar kritik soal tata cara berbusana ini. Saya selalu menentang. Tidak pada tempatnya gereja, suatu institusi rohani (dulu saya berpendapat begitu), mengatur soal tata cara duniawi ini.

Lalu, terjadilah pembicaraan berikut:

+ : Masak kamu tidak menghargai rumah Tuhan, memakai sandal ke gereja.
– : Tuhan Yesus sendiri kemana2 selalu memakai sandal. Saya cuma meniru Yesus. Apakah dia tidak boleh masuk ke gereja ini ?

+ : Bedalah. Itu kan zaman dulu. Kalau sekarang, Yesus tentu memakai sepatu.
– : Kok tahu? Bagaimana bisa yakin bahwa Yesus akan menjelma sebagai orang Jakarta, dan bukan orang di hutan Mentawai yang tidak bersepatu dan hanya memakai cawat?

+ : Pokoknya anggap saja Yesus menjadi orang Jakarta.
– : Bagaimana kalau Yesus tidak punya uang untuk beli sepatu? Masih banyak orang Jakarta yang susah untuk beli sepatu, lho.

+ : Intinya begini. Kalau ke gereja, orang Kristen harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kalau kamu ke Jakarta, sesuaikan diri; pakailah pakaian Jakarta. Sesuaikan diri dengan mayoritas.
– : Kamu serius dengan pendapat itu?

+ : Tentu saja serius.
– : Kalau demikian, kalau kita diajak ke Papua yg umatnya masih pakai koteka, kita harus menyesuaikan diri dengan mereka ?

+ : Ah, ada2 saja. Mereka kan masih terbelakang.
– : Mungkin ada baiknya kita tidak menyombongkan diri?

+ : Pokoknya menurut saya, pakai sepatu itu pantas untuk Tuhan.
– : Pantas itu relatif. Santo Fransiskus Asisi membuang pakaian mewah dan sepatunya 800 tahun lalu, dan memakai pakaian rombeng dan sandal (mula-mula telanjang kaki). Juga waktu dia bertemu dengan paus. Gandhi juga membuang jas dan pakaian ala baratnya, memakai sehelai kain tenun India plus sandal. Presiden Vietnam, Ho Chi Min, hanya memakai sandal jepit ketika datang ke Istana Merdeka bertemu Soekarno. Mereka tidak dianggap menghina, malah dipuji-puji karena berani mewakili rakyat miskin.

+ : Susahlah, kalau berdebat begini. Yang jelas SAYA SUKA PAKAI SEPATU.
– : Tepat… Itulah jawabnya. “Saya suka”. Cuma mungkin kita perlu membiarkan orang lain dengan kesukaannya.
– : Ada tambahan: di Singapura (mungkin juga di tempat lain? ), banyak pria memakai sepatu, tapi bercelana pendek kalau ke gereja. Mana yang lebih pantas ya, bercelana pendek, atau memakai sandal?

Buat saya pribadi, semakin sedikit gereja mengurus tata cara duniawi, akan semakin sedikit kesalahan yg dilakukannya. Dan kalau kita ingin berpihak pada orang miskin seperti diminta Bapa Suci, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.


 

Lega rasanya menemukan tulisan dengan karakter yang bagi saya mestinya diminati, ditulis dan dibaca oleh semakin banyak orang Katolik, atau bahkan agnostik dan ateis sekalipun. Seperti menemukan oase di tengah gaharnya perang proxy dan hate speech baik yang tampil tegas maupun malu-malu, yang membuat orang jengah membaca koran atau menyebarkan berita sebab jerat hoax memang seperti lingkaran setan. (Hoax punya lingkaran yang bisa panjang, bisa pendek. Kerap bahkan si penebar hoax meyakini hoax yang dia tebarkan sendiri hanya karena si penutur kesekian kali menggayakan bahasanya secara berbeda dan meyakinkan. Tidak selalu jelas siapa korban dan siapa banditnya.)


 

Keju dan Nasi Aking

Menggambarkan seperti apa Tuhan itu ternyata tidak harus menimbulkan gaduh (yang kerap membuat orang beragama mendapat diskredit dari ateis maupun agnostik). Jika orang cukup berani menyebut bahwa BENAR cermin dari dirinya atau proyeksi masyarakat dan kelompoknya-lah yang membuatnya memahami Tuhan sebagai Maha Pemurah pemberi keju atau Maha Pemurah pencipta nasi aking. Kita tidak pernah akan benar-benar tahu apakah keju dan nasi aking itu memang diberikan oleh tuhan yang sama.

Rich and blessed
Poor and blessed

 

 

 

 

 

Karenanya, akan sangat fair jika masing-masing terbuka dengan kemungkinan bahwa tuhan yang mereka yakini dan percayai bisa saja saling tertukarkan, atau malah tidak ada.

Sama seperti diminta oleh Bapa Suci Paus, Rinpoche, presiden yang mulia, tukang bakso yang baik, ataupun sintua saleh di kampung saya, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Dimulai dari mencoba memahami bagaimana Tuhan bisa sama-sama hadir lewat nasi aking dan keju, baik dengan lagu-lagu hillsong dan irama qasidah maupun dengan teriak keras teologi pembebasan dan asap senapan Che Guavara.

Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.

True Self Manusia Nusantara

Berbagi Keprihatinan

Baru-baru ini, saya menikmati diskusi dengan teman-teman yang menyebut diri sebagai “kelompok yang perduli terhadap budaya nilai Indonesia”.

Group chatting-nya menggunakan aplikasi Telegram. Menurut sang admin, mengingat sejauh ini Telegram masih mengakomodasi lebih banyak members dibandingkan Whatsapp, akan semakin banyak manfaat yang bisa ditularkan jika semakin banyak orang yang bergabung.

Saya setuju dengan beliau.

Tak terbayang jika semua orang Indonesia ikut dalam perjuangan yang di-share dalam deskripsi group tersebut, yaitu

sumbangan pemikiran bagaimana mengembangkan budaya nilai itu di lingkungan kehidupan kita sehari-hari (di rumah, di kantor, di sekolah dan lain-lain).

Umumnya group chatting, termasuk group nostalgia hanya bertahan di minggu-minggu pertama sebelum kemudian sepi kembali karena memang tidak ada substansi yang benar-benar layak untuk di-share dan dibaca di sela-sela kesibukan atau curi-curi waktu supaya tidak ketahuan bos saat kerja (hehehe .. yang ini termasuk nilai yang tidak baik).

Tetapi group yang ini berbeda.

Segera terbaca buat saya bahwa bunyi tang ting tung yang masih bertahan hingga kurang lebih satu bulan ini menandakan bahwa para member merasakan keprihatinan yang sama. Bagi kami jelas, bahwa saat ini di Indonesia: Nilai-nilai mulai tergerus.

Mulai dari penggagalan penerusan kehidupan (entah itu aborsi, baby trafficking, kesadaran yang lemah tentang kesehatan pada masa kehamilan), pertumbuhan anak yang sarat dengan penolakan (entah itu bullying di lingkungan sekolah, kekerasan remaja, penyalahgunaan seks, seks pranikah, drugs abuse), hingga relasi yang mestinya tumbuh di tengah lingkungan keluarga.

Diskusi menghangat hingga berhari-hari ketika masing-masing mencoba memberikan argumentasi dan contoh narasi terhadap nilai-nilai apa yang tergerus itu. Kemudian menjadi semakin sempit ketika iseng-iseng mau menginventarisir nilai-nilai mana saja yang dimaksud, akhirnya mengerucut pada nilai-nilai asli manusia Indonesia.

Saya coba nyeletuk, sembari mengajak teman yang lain menarik diri dengan pertanyaan:

Memangnya siapa manusia Indonesia?

Nilai-nilai mana yang memang khas Indonesia, yang layak kita pelihara dan teruskan?

True Self

True Self adalah apa yang tertinggal pada insan Nusantara jika Self-Palsu-nya dilepas.

Setiap manusia yang dicipta, adalah manusia sejati yang sesuai dengan kehendak dan gambaran Pencipta-nya. Setiap manusia Indonesia, entah karena DNA-nya memang dari lelehur kala Nusantara atau dia memilih menjadi bagian dari Indonesia, adalah sesuai dengan kehendak dan gambaran pencipta-nya. Mula-mula ia adalah manusia sejati. Tapi lama-lama melalui pelabelan demi pelabelan, akhirnya citra diri sejati itu ditutupi oleh label-label. Pada akhirnya tidak kelihatan lagi citra diri manusia yang sejati dan hanya kelihatan label-labelnya.

Dialog apapun dalam konteks musyawarah menjadi sangat sulit dicapai ketika akhirnya citra diri pribadi yang sejati itu lalu direduksi sesuai “pendapatku”, “ajaran agamaku”, “lingkungan sosialku”, “lingkaran politisku”.

Diri yang dihasilkan dari reduksi semacam inilah yang disebut sebagai #Citra diri palsu.

Citra Diri Palsu

Maka, untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang #TrueSelf manusia Nusantara atau diri sejati dari insan Indonesia, mau tak mau, semua lapisan doktrinal mesti dibuang dahulu, termasuk ideologi agama dan keyakinan yang rentan multitafsir. Tidak hanya unsur SARA saja, sebab SARA hanya pakaian usang yang digunakan untuk menutupi kebusukan yang lebih besar lagi di dalamnya.

Apakah ini berarti menempatkan diri makhluk primitif seperti tayangan Meet The Natives dengan wanita berpayudara lepas tanpa penutup dan lelaki tegap dengan koteka penutup kemaluannya di Discovery Channel atau National Geographic?

Entahlah.

Tetapi menjadi manusia primitif yang tahu caranya mengetik karakter via Telegram dan tahu tata cara mengantri di fasilitas umum sepertinya lebih civilized dibandingkan para manusia modern yang suka menyebarkan hoax; atau wakil rakyat yang hobinya berkelahi, ber-dagelan seolah-olah benar mereka menyampaikan suara rakyat.

Tak dirumuskan secara gamblang tetapi masing-masing anggota group chat berbagi pengalaman tentang bagaimana nilai (atau persepsi terhadap nilai) semakin tercemar. Seakan-akan para anggota group yang kebanyakan berasal dari generasi baby boomers ini merasa prihatin dengan kami ‘generasi millenials’ Y dan ‘post millenial Z’ yang lebih muda, sebab kenyataan akhir-akhir ini menunjukkan masyarakat yang teralienasi dari dirinya sendiri: mencoba mencari segala yang ‘wah’ dan keren, termasuk jika itu harus meninggalkan kearifan nusantara, filosofi hidup dan nilai-nilai lokal (life values) yang ada.

Anggota group yang berasal dari beragam profesi dalam hidup harian mereka coba menawarkan apa yang mereka maksud sebagai nilai. Berikut beberapa inventarisnya:

  1. Kesopanan
  2. Keramahan
  3. Kesantunan
  4. Kekeluargaan
  5. Mau berbagi
  6. Takwa
  7. Hormat kepada bumi
  8. Hasangapon (dihormati, karena kharisma bukan karena materi atau status ekonomi semata)
  9. Nrimo (teman dari etnis Jawa menyebut bahwa terjemahan “pasrah” kurang tepat menjelaskan kata ini)
  10. Hormat kepada yang tua
  11. dan sebagainya …

Dan inventarisasi itu semakin panjang.

Masing-masing merasa bahwa itulah terjemahan dari nilai-nilai yang disebut Pancasila. Itulah butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang mestinya sekarang terus digalakkan lagi sosialisasinya, bukan terutama karena Zaskia Gotik yang setelah menyamakan pancasila dengan pantat bebek lalu didaulat jadi duta untuk sosialisasi nilai-nilai pancasila. Menciptakan manusia dengan nilai seperti litani itulah yang disasar oleh setiap regulasi dan perundangan di republik ini.

Tetapi lalu ada rasa jengah.

Kemudian terawang yang teramat dalam ke batin masing-masing sebelum mengetikkan huruf-huruf di gadget masing-masing untuk dikirimkan sebagai komentar dengan menekan tombol “enter”. Rasa segan yang teramat sangat ketika daftar yang hendak diinventarisir itu bersinggungan dengan doktrin agama, sebab ternyata tidak begitu saja kita mudah mengenakan Ockhams’ razor untuk membedah true self manusia Indonesia dari developed self dan contextual self Indonesia.

Tidak mudah berbicara tentang true self orang Indonesia sebagai orang Indonesia. Ketika kita mencoba melepas semua pelabelan demi pelabelan yang membentuk developed self, tidak begitu saja komunikasi bisa asertif dan straight at the point.

Yang bukan Mitos dari Teori Penciptaan

Terminologi Katolik nyaman dengan istilah “imago Dei” guna menterjemahkan #CitraDiriSejati.

Secara populer, imago dei (gambar, rupa Allah) mengacupada dua hal.

Pertama, aktualisasi diri Allah sendiri melalui manusia.

Kedua, perawatan Allah bagi umat manusia.

Tidak akan selesai perang tafsir teologis Kejadian 1 pada Kitab Suci dengan sains populer, tetapi kita akan cukup aman menyebut bahwa se-mitologis apapun kisah dalam penciptaan, itulah cara manusia zaman dahulu untuk membahasakan pengalaman dan refleksi mereka terhadap NILAI apa yang seharusnya ada pada mereka dan semestinya tetap ada pada generasi berikutnya. Artinya, tetap ada nilai yang bisa dipeluk sebagai kekayaan peradaban sekalipun benar bahwa teori penciptaan hanyalah teori, dan tidak pernah terjadi bahwa Allah mencipta manusia pertama di daerah Irak sekarang.

Menyebut manusia citra Allah adalah langkah paling berani, tanpa jatuh pada antroposentisme belaka, bahwa tataran NILAI paling tinggi itu bisa dicapai oleh manusia. Untuk itu, perlu kualitas khusus dari sifat manusia yang memungkinkan Allah untuk menjadi nyata pada manusia.

Implikasi moral dari doktrin imago Dei yang jelas dalam fakta bahwa jika manusia untuk mengasihi Allah, maka manusia harus mencintai manusia lainnya, karena masing-masing adalah ekspresi dari Allah.

Keluar dari konteks Katolik, menyebut manusia Indonesia sebagai manusia yang “ber-Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah langkah berani untuk mencari pada area mana saja manusia Indonesia sudah menghidupi kekayaan NILAI yang melampaui kepentingan kelompoknya saja.

Entah benar bahwa manusia Indonesia sekarang adalah keturunan dari para pelaut pemberani dari generasi perantau Proto-Melayu dan Deutro-Melayu atau malah sudah terlebih dahulu melihat jejak-jejak hangat bekas kaki dinosaurus yang cukup dekat rentangnya dengan hidup manusia dalam diri Homo Florensis, menyebut diri sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, tidak bisa tidak, berarti mengakui kulminasi nilai peradaban ada pada pengakuan diri sebagai citra Allah. Bahwa True Self manusia Indonesia ialah manusia yang sudah sedari awal berorientasi pada nilai, menghidupi nilai, bahkan rela mati demi nilai.

Nilai itu bisa diterjemahkan sebagai values of life, falsafah hidup atau bahkan tujuan hidup itu sendiri. Jika demikian, yang manakah nilai Indonesia itu?

Yaitu semua kearifan dan nilai yang terkandung pada setiap masyarakat Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua, mulai dari pemeluk agama resmi seperti Kristen hingga pelestari aliran kepercayaan seperti Parmalim, mulai dari penjual nasi aking di daerah Banten hingga pengembang properti hunian di Pantai Indah Kapuk. Ya, semua nilai yang baik itulah nilai sejati dari True Self manusia Nusantara.

Maka, nilai pertama yang mesti dimiliki setiap orang Indonesia adalah menerima diri sebagai bagian utuh dari kesatuan Indonesia. Berbela rasa terhadap yang lain, yang juga bagian utuh yang sama dari Indonesia. Itulah TrueSelf sejati dari manusia Indonesia: Berbelarasa karena bhinneka.

“Menghajar” Pendidik

Ada teman yang suka menyebut Indonesia, ada yang keukeuh dan bersikeras bahwa Nusantara punya kandungan makna lebih kaya. Pencarian identitas kebangsaan memang semestinya terus digalakkan. Dan cara yang paling ampuh untuk melakukannya ialah dengan pendidikan, termasuk mendidik siswa supaya berani melepas topeng-topeng dari Citra Diri Palsu dari para pendidiknya terdahulu.

Ini harus sejalan.

Pendidik mendidik siswanya, dan siswa “menghajar” pendidiknya.

Siswa yang sudah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana kemajuan zaman “menelan” mereka bulat-bulat hingga merenggut jatidiri mereka sebagai manusia Indonesia, layak untuk meng-konfrontasikan keprihatinan mereka terhadap nilai-nilai yang diajarkan para pendidik.

Umumnya pendidik yang mengerti substansi nilai akan merasa bersemangat, sementara guru yang ijazahnya pun diperoleh dengan membayar calo, mereka akan gamang dan linglung karena teori yang mereka copy-paste dari internet tidak membantu sama sekali menghadapi tuntutan semacam itu.

Tidak semua, tetapi kerap para pendidik terdahulu juga adalah bagian dari kepentingan yang lebih besar, yang rela memangsa Citra Diri Sejati bangsa Indonesia demi kepentingan mereka. Yang jelas, yang mereka bela itu bukan kepentingan Tuhan yang kita puja. Karena kalau Tuhan punya kepentingan, kita semua-lah, tidak hanya sebagian, yang mestinya jadi kepentingan-Nya.

 Selamat hari pendidikan!

(Seperti dimuat di Indonesiana Tempo)

 

Petojo Melintang, 2 Mei 2016

Kritisisme atas Kritik Christopher Hitchens terhadap Mother Teresa

Suffering is nothing by itself. But suffering shared with the passion of Christ is a wonderful gift, the most beautiful gift, a token of love.” ― Mother Teresa, In the Heart of the World: Thoughts, Stories and Prayers

Banyak Dikutip, Siapakah Teresa?

Bersama kutipan lainnya, kutipan ini banyak dibagikan, terutama oleh mereka yang kagum dengan apa yang dilakukan oleh Agnes Bonxha (Mother Teresa) pada kaum papa di Kalkutta beberapa dekade lalu. Para pengagum tersebut berasal dari berbagai belahan dunia, berbagai denominasi ajaran agama (termasuk Gereja Katolik, yang menjadi rumah religius Mother Teresa), terutama para penduduk Kalkutta.

Mari kita lihat sekilas apa yang dikatakan orang tentang dia. Tidak sulit mencarinya karena ulasan tentangnya memang begitu melimpah. Seperti di laman Wikipedia ini.

Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojaxhiu) lahir di Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih (bahasa Inggris: Missionaries of Charity; M.C.) di Kalkuta, India, pada tahun 1950.

Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Setelah kematiannya, ia mendapat gelar beata (blessed dalam bahasa Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata .

Pada 1970-an, ia menjadi terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.

Popularitas Teresa: Situasi sekarang

Bagi Gereja Katolik dan jutaan rakyat Kalkutta terutama, Mother Teresa itu benar melakukan kebaikan bagi manusia selama pelayanannya di Kalkutta. Menjadikannya seorang kudus dan sosok yang pantas diteladani adalah puncak dari kekaguman itu.

Bagi Hitchens, Zaenab, dan kritikus lain yang menyebut bahwa Mother Teresa melakukan malpraktek dan memanfaatkan karyanya sebagai ajang mencari popularias, Mother Teresa seharusnya tidak menjadi seorang kudus. Ia penuh kecurangan.

Kritisisme yang saya tawarkan adalah ajakan untuk menggali kembali sebanyak mungkin sumber-sumber valid dari kedua belah pihak, baik yang pro maupun kontra terhadap kebaikan Mother Teresa. Berkat bantuan akses internet, kini sumber-sumber informasi tentang realitas karya Mother Teresa di Kalkutta hingga wafatnya pada tahun 1997 bisa diakses sama mudahnya dengan memberikan kembali umpan balik, pandangan, opini dan komentar terhadapnya.

Tidak ada jaminan untuk bersikap objektif seratus persen, bahkan kendatipun fakta yang sama hadir di depan kita.

Mengomentari Mother Teresa sebagai seorang Katolik, rentan dicap sebagai kekaguman buta.

Mengomentari Mother Teresa sebagai orang luar, bukan penduduk Kalkutta, dan bukan sebagai Katolik, rentan masuk dalam kebingungan saking bersaingnya pages di internet, hampir sama porsinya, baik dari sisi pro maupun kontra terhadap validitas karya Mother Teresa.

Bahkan, Nobel Perdamaian yang diraih Mother Teresa pun bisa dibungkam sebagai sesuatu yang dicemari oleh nuansa politis.

Sebaliknya, mengomentari Mother Teresa sebagai seorang ateis, agnostik, muslim atau kaum agama lain yang anti-Kristen (entah golongan ini ada atau tidak, setidaknya ini semantik yang banyak digunakan), rentan dianggap sebagai argumentasi yang terdorong oleh kebencian belaka. Umum ditemui bahwa pendapat mereka ini ditengarai sebagai opinionisasi a lahaters“.

Meski demikian, karena argumentasi memang tidak harus (dan tidak akan bisa) menyenangkan siapapun, apapun posisi dan latar belakang kita dalam memandang sosok Mother Teresa, tidak berarti bahwa kita sebaiknya berhenti menggali kembali:

Benarkah Mother Teresa memang sebaik yang diberitakan oleh banyak media massa?

Sebaliknya,

Benarkah Mother Teresa memang securang dan semunafik seperti yang ditulis oleh Christopher Hitchens?

Teresa Is A Fraud?

Kritisisme yang menyoal kembali benar-tidaknya kiprah Mother Teresa bagi warga Kalkutta pada masa hidupnya mengalir deras. Bahkan sampai pada puluhan diskusi, tak terhitung banyaknya tulisan yang menyebut bahwa karya yang dilakukan oleh si Agnes Bonxha bukanlah sesuatu yang benar. Karenanya, ia tidak pantas menjadi mendapat gelar Mother Teresa, apalagi sampai menjadi Santa. Salah satu kritisisme yang paling terkenal datang dari seorang jurnalis dan polemicist, Christoper Hitchens.

Belakangan, menjelang kanonisasi Mother Teresa sebagai santa dalam Tradisi Gereja Katolik, kritisisme yang tendensius mendiskreditkan kiprah kemanusiaan Mother Teresa oleh Hitchens tersebut di-viral-kan kembali oleh banyak orang, baik dalam perbincangan di dunia nyata maupun diskusi di dunia maya, seperti yang saya alami dalam sebuah group Facebook.

Sebuah artikel yang ditulis Zaenab Akande, seorang penulis alumna University of Delaware di website Mic.com, disebarluaskan kembali secara masif. Tulisan itu berjudul: “Mother Teresa Not a Saint: New Study Suggests She Was a Fraud” (Mother Teresa Bukan Seorang Kudus: Studi Terbaru Menunjukkan Bahwa Dia Melakukan Kecurangan).

Berikut kutipan artikelnya secara utuh:

Anjezë Gonxhe Bojaxhiu, known worldwide as the Blessed Mother Teresa, is often said to be a pillar of peace. With a Nobel Prize under her belt and a legacy of charity, the results of a new study may seem shocking to some.

The study was a joint effort by Serge Larivée and Genevieve Chenard from the University of Montreal as well as Carole Sénéchal from the University of Ottawa. It delves into the effective PR strategy the Vatican constructed for her while disregarding questionable methods she used to conduct her work.

A television documentary released nineteen years earlier, in 1994, brought to light similar claims by journalist and writer Christopher Hitchens. The documentary was titled Hell’s Angel, as Hitchens’ following book release in 1995 was shrewdly named The Missionary Position: Mother Teresa in Theory and Practice. He is said to be one of the many resources utilized in the study. This brings forth the conundrum — if Mother Teresa wasn’t as good as she seemed while she was still alive, then why is she a saint in the public’s eye? Larivée and his fellow collaborators practically answer this question in the form of another, “What could be better than beatification followed by canonization of this model to revitalize the Church and inspire the faithful especially at a time when churches are empty and the Roman authority is in decline?”

Beatification is the third step towards canonization — in short, making Mother Teresa an official saint of the Catholic Church. The late Pope John Paul II beautified her in 2003. Two miracles must be attributed to her outside of the one that elevated her to beatification must occur in order for her to be recognized as a saint. A miracle called by the Vatican sped up Mother Teresa’s beatification, which is usually a five-year wait. A woman with abdominal pain gave credit to a blessed trinket for aiding in her recovery when doctors countered modern medicine did the trick. In London of 1968, Mother Teresa found camaraderie in the capable hands of Malcolm Muggeridge, a journalist who held the same Roman Catholic and conservative ideas as her. Let it be noted that Mother Teresa was anti-abortion, divorce, and contraception. It was in his name gave the booming start to Mother Teresa’s career in the limelight. His influence is so profound that it has been noted that without Muggeridge, there would be no Mother Teresa.

After analyzing over 200 documents about Mother Teresa, the researchers of the study came across jarring contrasts to her reputation, one including her policy on taking care of the poor and ill.

She once said, “There is something beautiful in seeing the poor accept their lot, to suffer it like Christ’s Passion. The world gains much from their suffering,” in response to criticism pushed on by Hitchens. With money bountiful from her charity efforts, Mother Teresa was equipped with resources to give the ill that came from across the world for healing. Instead, she allowed their health to decline, without medicine to hinder pain, proper food, and cleanliness. Yet hypocrisy dictated that when Mother Teresa needed medical care, she received it in a hospital.

Furthermore, Mother Teresa seemed to favor the darkly wealthy while offering nothing but prayer to the poor. The study points out how she accepted honors and grants from Haitian dictator Jean-Claude Duvalier, a man known for the severe mistreatment of his own people while living in a bubble of luxury. When asked to return donated money from the corrupt banker Charles Keating, she remained silent and she also accepted money from Robert Maxwell, later discovered as stolen money. She had millions of dollars transferred to secret accounts to which Larivée asked once again, “Given the parsimonious management of Mother Teresa’s works, one may ask where the millions of dollars for the poorest of the poor have gone?” When floods and chemical disaster hit her home of India, there were no financial relief efforts to be found.

The ideal situation would situate Mother Teresa in an arena where she can’t be touched — but that has not and should not be the case. Everyone wishes to remember her as an idol to look up to, rather than the reality that she was a flawed human being — arguably, a fraud.

Tulisan ini cukup provokatif, dan punya beberapa nilai pencerahan. Poin positif yang bisa diambil dari artikel ini ialah upaya kritisisme tanpa henti, seperti telah dimulai sejak Hitchens (yang reportasenya dijadikan dasar penulisan oleh Zaenab), sedemikian sehingga para pengagum Mother Teresa ini membuka mata akan adanya kemungkinan lain soal apa yang sesungguhnya dilakukan oleh Mother Teresa. Tulisan ini bersama puluhan halaman lain adalah upaya menulis ulang hasil repotase Hitchens. Karenanya, kritikus yang pantas diperhitungkan dalam kontribusinya mengenai validitas karya kemanusiaan Teresa tetap Christopher Hitchens.

Konkusi Hitchens yang cukup mencengangkan ialah bahwa menurutnya Agnes Bonxha melakukan malpraktek dalam pelayanannya di Kalkutta.

Selain itu, Agnes juga dituding sengaja menyalahgunakan dana donasi yang diperuntukkan bagi karyanya dengan malah menyimpan dana itu di sebuah rekening rahasia.

Kesucian Tidak Bisa Dimanipulasi Maupun Difabrikasi.

William Doino Jr, seorang penulis Inside Vatican, menulis sebuah kritik di First Things (afiliasi dari The Institute on Religion and Public Life, sebuah lembaga riset dan pendidikan inter-religius dan non-partisan) terhadap metodologi yang dilakukan oleh Christopher Hithens untuk menanggapi kembali viralitas tentang tuduhan eksploitasi oleh Agnes Bonxha. Tanpa menjadi apologetis fanatik, William menunjukkan beberapa hal mendasar yang juga perlu diketahui publik sehingga mereka bisa melihat kembali siapa itu Agnes Bonxha: Apakah benar seperti yang ditulis dan difilm-kan oleh Hitchens.

Untuk menyeimbangkan tulisan-tulisan Hitchens sebagaimana dikutip Zaenab, disini saya muat kembali artikel William Doino.

She was called a “messenger of the love of Christ,” awarded the Nobel Peace Prize, and beatified by the Holy See. But for most people, she is simply Mother Teresa, one of the most admired women of modern times.

Born as Agnes Bojaxhiu in Macedonia in 1910, Blessed Teresa came to public attention relatively late in life, but when she did, her impact was profound. In 1969, Malcolm Muggeridge hosted a BBC documentary on her, Something Beautiful for God, following it with his now-classic book of the same name. In it, he recounted the series of events that led a young Balkan girl to become a nun, found a new religious order, and become a heroic servant of the poor and dying”first in the streets of Calcutta, then all over the world. The documentary deeply moved people, and inspired a new generation of Christian activists; more than a few became Missionaries of Charity themselves.

As with all models of beauty in life, however, there are cynics who have tried to tar Mother Teresa. In the 1990s”after Muggeridge had died, but with Teresa still active”the late Christopher Hitchens launched an aggressive attack on Mother with a documentary and book aimed to inflame: Hell’s Angel and The Missionary Position. These polemics didn’t reflect the truth, but did manage to fool a number of people.

The remarkable thing about Hell’s Angelis that it purports to defend the poor against Mother Teresa’s supposed exploitation of them, while never actually interviewing any on screen. Not a single person cared for by the Missionaries speaks on camera. Was this because they had a far higher opinion of Blessed Teresa than Hitchens would permit in his film?

Avoiding the people at the heart of Teresa’s ministry, Hitchens posed for the camera and let roll a series of ad hominem attacks and unsubstantiated accusations, as uninformed as they were cruel. He called Muggeridge”one of the most acclaimed journalists of the twentieth century”an “old fraud and mountebank,” mocked his belief in the supernatural, and even referred to Mother Teresa as a “presumable virgin.”

She was denounced for meeting with unsavory politicians and businessmen, in order to assist the poor, but ironically, it is Hitchens who used the film to promote Jean-Bertrand Aristide, a notorious ex-priest whose was symbolized by corruption and abuse. Of Teresa’s travels abroad, Hitchens declared: “She may or may not comfort the afflicted, but she has certainly never been known to afflict the comfortable””but the documentary shows her doing exactly that, decrying abortion in front of affluent pro-choice audiences.

Hitchens expressed shock that Teresa encouraged victims to forgive those who harmed them, causing many to wonder whether he was aware of the basic tenets of Christianity.

The height of absurdity came when Hitchens assailed Mother Teresa for allegedly giving her heart to greater Albania, “a cause that was once smiled upon by Pope Pius IX and his friend Benito Mussolini.” It would have been hard for Pius IX to have been friends with Benito Mussolini, given that Pius died in 1878, and Mussolini was not born until 1883, but why should Hitchens be concerned about historical facts, when he was having such fun making them up?

Despite this effort to diminish Mother Teresa’s reputation, it stands as high as ever, fifteen years after her passing. Her order and affiliates continue to expand. By 2010, notes biographer Kathryn Spink there were over five thousand Missionary of Charity sisters, serving in 766 houses in 137 countries, and another 377 active brothers serving in sixty-eight houses in twenty-one countries. The Lay Missionaries of Charity, now twenty-five years old, are also growing, operating in fifty countries.

The expansion of her order speaks volumes about its integrity and effectiveness, but the support and admiration it has received has proven too much for some. On March 1, three Canadian academics”Serge Larivee, Genevieve Chenard, and Carole Senechal”released a report on Mother Teresa, renewing the criticism. A press release, darkly entitled “Mother Teresa: Anything but a Saint,” read:

In their article, Serge Larivee and his colleagues . . . cite a number of problems not taken into account by the Vatican in Mother Teresa’s beatification process, such as her “rather dubious way of caring for the sick, her questionable political contacts, her suspicious management of the enormous sums of money she received, and her overly dogmatic views regarding, in particular, abortion, contraception and divorce.”

That was not all. The researchers accused Mother Teresa of running facilities with inadequate medical care while receiving quality medical care herself, said she was more in love with poverty than helping the poor, and implied she was psychologically unstable because she suffered through bouts of doubt. For good measure, they attacked the miracle that the Church has attributed to her intervention.

After studying their report”twenty-seven pages in French”I sought out people who had known Mother Teresa, or been involved with her cause to inquire about its charges. Every single one of them told me that the Mother Teresa presented by the Canadian researchers was unrecognizable from the one they encountered, and to prove it, provided point by point rebuttals to their accusations.

Fr. Peter Gumpel, an official at the Congregation for the Causes of Saints, told me that far from overlooking criticism of Mother Teresa, the allegations were taken quite seriously, and answered:

There are mistakes made in even the most modern medical facilities, but whenever a correction was needed, Mother and the Missionaries showed themselves alert and open to constructive change and improvement. What many do not understand is the desperate conditions Mother Teresa constantly faced, and that her special charism was not to found or run hospitals”the Church has many who do that”but to rescue those who were given no chance of surviving, and otherwise would have died on the street.

But it is “absolutely false,” he stressed, to claim that she rejected or neglected available medical care for those still treatable, or good palliative care for the terminally ill. “Beware of anecdotal stories circulating from disgruntled people or those with an anti-Catholic agenda,” he warned.

Charges of financial impropriety are equally unfounded; in fact, Blessed Teresa helped raise, and spent, “enormous sums of money” on the poor, and she donated funds to the Holy See, which in turn distributed them to Catholic hospitals and other good works. Utterly bizarre was the researchers’ charge that the Vatican officials did not adequately consider her firm stands against abortion, contraception, and divorce:of course they did”and her orthodoxy was “one of the many assets in her favor.”

Commenting about the doubts Mother Teresa experienced, Gumpel asked, “Do not these researchers understand that periods of doubt, and even severe trials of faith, have affected some of the Church’s greatest saints”St. John of the Cross, Therese of Lisieux”and that persevering and overcoming them is considered one of the signs of sanctity?”

As for the miracle attributed to Blessed Teresa, “There are always skeptics who question every Vatican-approved miracle, and accuse the Church of manipulating the evidence, but the Congregation’s medical board has very vigorous examination procedures, and stands by its decisions.” Against the skeptics, no fewer than five doctors declared there was “ no medical explanation ” of the healing attributed to Mother Teresa.

Fr. Leo Maasburg, an Austrian priest who was Mother Teresa’s close personal friend and spiritual advisor and the author of a moving portrait of her, told me that the idea that Blessed Teresa loved poverty rather than poor people was “a diabolical twisting” of her actual beliefs, which were “to help the poor and suffering to the utmost.” Despite her travels (undertaken purely to spread her charitable activities), Blessed Teresa lived an extremely modest life in Calcutta, and Fr. Maasburg was emphatic that she never asked for special favors or medical care”a fact since confirmed by others close to her, including the physicians who treated her during her final illness.

Fr. Maasburg also stressed that Blessed Teresa was the first to acknowledge her imperfections, and would constantly teach those around her: “If someone criticizes you, first ask yourself, is it right? If he is right, apologize and change, and the issue is resolved. If he is not right, clarify and correct, but if that does not work, take up the unjust accusations with both hands and offer it to Jesus in union with his suffering, because he was slandered by all sides.”

The most powerful witness I spoke to was Susan Conroy, who worked with Mother Teresa in Calcutta”traveling there as a twenty-one-year-old volunteer in 1986. She knew Mother for the last decade of her life, and wrote Mother Teresa’s Lessons of Love and Secrets of Sanctity. She speaks about Blessed Teresa often. She read the report by the Canadian academics in its original French, and reacted with sadness, offering this first-hand testimonial in response:

When I read the criticisms of how the patients were cared for in the Home for the Dying, I kept thinking back to my personal experiences there . . . . I know how tenderly and carefully we tended to each of the destitute patients there”how we bathed them, and washed their beds, and fed them and gave them medicine. I know how the entire shelter was thoroughly and regularly cleaned from top to bottom, and each patient was bathed as often as necessary, even if it was multiple times a day

They were considered “untouchables” of society, and yet there we were touching and caring for them as if they were royalty. We truly felt honored to serve them as best we could. Mother Teresa had taught us to care for each one with all the humility, respect, tenderness and love with which we would touch and serve Jesus Christ Himself”reminding us that “whatsoever we do to the least of our brothers,” we do unto Him.

After hearing from these supporters, I requested interviews with the researchers, and finally obtained one with Dr. Chenard. Her answers to my series of questions were both astonishing and revealing: She confirmed for me that her academic team did not speak to a single patient, medical analyst, associate, or worker of Mother Teresa’s before writing their paper against her; nor did they examine how all her finances were spent; nor did they speak with anyone at the Vatican involved with her sainthood cause, or consult the Vatican’s medical board which certified the miracle attributed to Blessed Teresa.The researchers had not even traveled to Calcutta, whereas even Hitchens, misguided as he was, at least did that.

As it turned out, this “research paper” was nothing but a “review of literature,” a repacking of whatothers had already written, with the academics putting their own negative spin on it. In other words, an indictment based upon no original research, and the author most frequently cited? Christopher Hitchens. Yet these “findings” made international headlines, and were repeated by many without objection.

Sanctity cannot be fabricated, and true holiness often invites worldly ridicule, as Our Lord foretold. But Blessed Mother Teresa’s radiant witness will survive as long as truth and tenderness survive in the human heart”which, God willing, will be until the end of time

Kritisisme Belum Berakhir

Menangkap bulat-bulat gagasan Hitchens ataupun membela mati-matian kekudusan Mother Teresa adalah dua ekstrem yang sebaiknya tidak menjadi final standing position dari kita.

Akan selalu ada perang gagasan, perang media, dan perang viralitas berita tentang setiap sosok fenomenal, karena rating memang mendapatkan sumbangan terbesar dari propaganda, opinionisasi, analisis dan komentar terhadap suatu “public figure”, atau seorang “public property”.

Satu hal jelas, lepas dari pro-kontra benar tidaknya tuduhan malpraktek yang dilakukan oleh Mother Teresa, publik Kalkutta dengan bangga menyebut bahwa Agnes Bonxha atau Mother Teresa adalah bagian dari mereka.

Sebagai pengamat, pembaca, fans ataupun kritikus, ada baiknya kita mendekat ke sumber-sumber yang paling dekat dan paling mengenal sosok Agnes Bonxha atau Mother Teresa, si ibu tua renta, si gadis manis, dan si biarawati dengan raut wajah yang tegas sekaligus penuh welas ini.

Meneropong Missing Links Sejarah Batak*

Menjadi Orang Batak Masa Sekarang: Apa artinya?

Menjadi orang Batak pada masa kini, lalu bertemu dengan orang Batak lain dalam beragam jenis dan level pertemuan, berarti larut dalam romantika nostalgia dan kerinduan akan suasana rural-agraris yang stabil di masa lalu. Setidaknya hal itu berlaku bagi mereka yang lahir di tanah Batak (yang menyebut diri sebagai “berasal dari Bona Pasogit“) dan kini menjadi urban migran yang hidup sebagai penduduk diaspora di perkotaan modern.

Di tengah gempuran dan kemudahan di era digital yang penuh dengan kemudahan akses terhadap lalu lintas informasi, ada indikasi kuat bahwa generasi Bona Pasogit ini akan menghadapi ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang.

Jika demikian, warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa dan bisa dikembangkan untuk mempertautkan Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’ (‘Baby Boomers’ X, ‘Millenials’ Y dan ‘i-Generation’ Z) terkini yang terancam punah dari akarnya? Bagaimana generasi Bona Pasogit bisa mengikuti bangsa-bangsa lain yang maju, mengepakkan sayap (wings) tanpa harus tercerabut dari akarnya (root)?

Filosofi “berakar dan bersayap” hendaknya dipeluk oleh setiap anak muda, yang cinta dengan budayanya, tetapi tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman.

Generasi Yang Belum ‘Siuman’

Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal.

Seluruh tanah Batak di masa itu dan sebelumnya adalah terra incognitadunia yang belum terjamah kemajuan Barat. Bagi kacamata Barat berikut teropong dokumentasi yang menggunakan perspektif itu, masyarakat yang menghuni wilayah itu masih benar-benar splendid isolation.

Menggunakan teropong sekarang, orang-orang Batak yang merasakan urgensi ketersambungan root dengan wings,  bangkit dari status masyarakat yang masih pingsan dan belum siuman adalah konsekuensi logis. Strategi taktis yang harus ditempuh pertama-tama yakni mesti secara sadar mengakui bahwa pada waktu itu tidak ada seorang pun Batak yang sadar bahwa sukunya telah ‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu.” (Dr. A. B. Sinaga, 2007).

Notasi tahun sejak 1824 dan sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi ‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah jadi referensi ‘babon’ bagi kita bahwa Burton dan Ward, misionaris Inggris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA).

Tetapi dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog) tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak.

Pada tahun 1862 di Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi “Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian pada 7 Nopember 1863, dia sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka.”

Sejarah Ditulis oleh Kaum Pemenang

Semua catatan yang ditulis pada masa sekitar Traktat London dan sesudahnya bisa dikatakan sebagai catatan mazhab the big man history, yakni sejarah di sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi (1835), perang Sisingamangaraja (1890 – dan seterusnya), perlawanan rakyat Sunggal di Sumatera Timur, dan sebagainya. Hal yang tidak asing sebetulnya, jika kita melihat fenomen sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain bahwa sejarah yang kita terima saat ini adalah sejarah yang ditulis oleh kaum pemenang.

Tidak kurang dari seorang Malcolm X yang melihat ini sebagai ketimpangan sejarah yang mesti dibereskan oleh semua pihak dan menjadi tugas global.

The big man history seperti di atas itulah yang kita warisi kini dan kita kerap kita jadikan referensi pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat ini.

Beberapa pertanyaan besar muncul:

Mengapa catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the ordinary people) tentang Batak tidak berkembang luas?

Apa yang terjadi pada tahun-tahun sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? (Perlu dicatat bahwa inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya meramu di wilayah splendid isolation.

Bagaimana situasi masyarakat pada periode antara sistem barter sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam bermata-pencaharian dengan situasi pertanian dan perkebunan ((sosio-eko-geografis)?

Bagaimana sejarah sosial di sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di daerah pantai timur?

Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Brandan di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC?

Situasi sosio-ekogeografi apa yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal tanah warga?

Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang kita nikmati saat ini?

Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah era 1850-an, seperti Junghunn, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya, van Bemmelen, dan seterusnya? Apa kontribusi riset mereka terhadap masyarakat yang menjadi objek penelitiannya?

Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Jika tidak segera sembuh dari status ‘pingsan–nya, generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para pahlawan, the big  man history, yang tetap membawa serta muatan permusuhan abadi antara pemenang dan pecundang.

Awal dari siuman adalah ketika orang Batak bersatu, menggunakan segala pengetahuan dan dilandasi dengan keluhuran niat, lalu ‘menguliti’ warisan dokumentasi menggunakan pisau bedah Occam hingga lapisan-lapisan paling tipisnya sehingga kelihatan transparan.

Mana warisan yang sesungguhnya dari nenek moyang Batak yang pantas kita lestarikan? Mana warisan pengetahuan yang kita bantu sebarkan dengan kebanggaan semu karena disebut sebagai orang yang tahu sejarah Batak, padahal itu hanya warisan yang ditulis dengan penuh ketimpangan metodologis untuk ‘kepentingan orang lain’?

 

Seperti halnya Malcolm X membantu merekatkan warga kulit Hitam Amerika dengan mendekatkan mereka kembali pada tradisi asli nenek moyang Afrika mereka, upaya bersama orang Batak untuk memahami nilai asli tradisi nenek moyang Batak-nya adalah dengan mendekatkan kembali orang Batak pada pengenalan akan nenek moyangnya, yang tentu saja sebagian besar tidak tercatat dalam dokumentasi mazhab the big man history. Setelah itu, barulah wacana pelestarian warisan nenek moyang sebagai turunan mereka mendapat makna dan energinya.


Sosio-geografi yang Folklore-sentris

Bagaimana gambaran sosio-geografis tanah Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870?

Boleh dikatakan bahwa segala narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti, itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.”

Mengapa demikian? Sebab jika dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300. Si Raja Batak sendiri, yang diyakini sebagai manusia Batak pertama diperkirakan baru muncul pada tahun 1260.

Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara folklore dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.

Hermeneutika: Mulai Menggunakan Teropong

Hanya orang yang tertidurlah yang bisa bangun. Tentu saja, harus ada orang lain, yang siuman duluan, membangunkannya.

Detil kisah fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi (hermeneutik).

Generasi Batak terkini dengan bangga menyebut diri sebagai manusia rasional dan modern. Mereka menuntut ilmu di sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan capaian akademis tertinggi. Platform komunikasi digital yang menjadi menu harian juga menumbuhkan keniscyaan baru bahwa manusia digital ini bukan lagi generasi yang dengan mudahnya dicekoki folklore apalagi doktrin yang tidak mendapat validasi dari hukum-hukum positif.

Mereka tahu bahwa hingga kini, bahkan teori kreasionis a la Kitab Suci bukan lagi tandingan, setidaknya tidak lagi mumpuni menandingi serangan klaim ilmiah dari teori Big Bang atau String Theory. Maka, jika suatu waktu mereka membolak-balik turiturian yang menceritakan bagaimana Boru Deak Parujar membentuk adonan dari tanah liat dan menciptakan portibi, mereka sudah menikmatinya sebagai myth.

Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang tertutup isolasi rapat karena keadaan alam rimba belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis, bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.

Imajinasi kita pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomis. Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung, karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun 1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.

Meet The Natives

Narasi kisah ‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti, semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.

Bagaimana mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan (huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu, tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah, melainkan benar-benar sebagai folklore, cerita rakyat yang mengandung moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini dan masa depan.


(*Diubah seperlunya dari kiriman Nikolas Simanjuntak, aktivis ICMICA (Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs) dan Staf Ahli DPR RI sejak 2002)

 

Konglomerasi Retail Shopping: Masih Itu-itu Juga!!!

Keberadaan toko modern kerap ditengarai secara analogis sebagai buah simalaka bagi pemerintah. Di satu sisi toko modern sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern. Di sisi lain, toko modern menjadi pesaing bagi keberadaan pasar tradisonal, meskipun  keduanya memiliki pangsa pasar atau konsumen berbeda.

Benarkah pernyataan ini?

Sebagaian pengamat menilai bahwa situasi nyata seperti ungkapan di atas tidak ada. Ini dibuat-buat. Pernyataan ini adalah korban iklan, korban promosi, dan korban sesat pikir. Bagaimana  mungkin rakyat yang harus dibela dikonfrontasikan dalam dilemma dengan toko korporasi kapitalistik?. Faktanya yang terjadi justru adalah:

Masyarakat memilih pasar modern berjejaring adalah dikarenakan adanya struktur kesempatan yang dibuka bebas oleh pihak otoritas yaitu pemerintah daerah. 

Toko-toko milik korporasi kapitalistik ini dibuka di lokasi strategis. Tidak sedikit berdiri di atas tanah kas desa, tidak sedikit yang memvandal regulasi dengan kongkalikong dengan pihak tertentu mulai dari proses perizinan sampai proses penyamaran dengan nama toko modern yang  berbau lokal. Ironi yang terjadi dis ini ialah: Semua daerah punya aturan/regulasi perlindungan pasar rakyat tetapi faktanya tak ada atau hanya sedikit yang ditegakkan.

Mengapa ini bisa terjadi?

Selain karena law enforcemenet yang benar-benar low, hal ini juga disebabkan musuh utama yang menyebabkan bangsa Indonesia bisa dijajah hingga sekian lama, yakni mentalitas senang dijajah. Mentalitas seperti ini menjarah pikiran dan dan memenjara nurani.

Sekuensi langsung dari fakta ini ialah seruan langsung untuk menyadari dan mengindentifikasi siapa dan apa saja yang menjadi barisan perampas sumber kesejahteraan rakyat.

Siapa (saja) pemilik toko modern berjejaring itu?

Indofood Group dkk.

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya minimarket di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Menyusul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan beberapa tahun saja minimarket telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri. Daya tarik semu akibat konstruksi media/sosial.

PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan minimarket Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari Sabang sampai Merauke.

Selain Alfamart dan Indomaret masih banyak pemain minimarket lain. Sebut saja Circle K, Starmart, Yomart, AMPM, dan beberapa nama lainnya (termasuk pemain lokal). Namun, yang tampak di mata warga adalah adu kuat antara Alfamart dan Indomaret.

 

versus

Semua orang tahu, kedua merek minimarket ini super-agresif mengesploitasi pasar dari kota, perumahan, sampai perkampungan sunyi. Saking ketatnya bersaing, mereka seperti tak peduli dengan kedekatan lokasi tokonya dengan pasar tradisional, kelontong, warung tetangga.

Di beberapa tempat ada satu gerai Indomaret diapit dua Alfamart juga banyak tempat berada dekat pasar rakyat. Sama sekali mereka tiada peduli keberadaan warung dan pasar rakyat. Bisnis yang tidak menguntungkan daerah ini, seperti membabi buta merampas sumber kesejahteraan rakyat dengan makin terpingirnya pasar rakyat (warung tradisional).

Jumlah gerainya kini tak bisa diketahui secara pasti karena mereka bekerja seperti siluman juga. Tetapi pastilah jumlahnya ribuan baik yang dimiliki perusahaan pembuat maupun yang jaringan (waralaba).

Hingga Maret 2014 saja, Indomaret berhasil mengoperasikan 9.096 outlet yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Sebanyak 60 persen dimiliki perusahaan dan sisanya dikelola pemilik usaha waralaba.

Lebih dari sembilan ribu outlet Indomaret tersebut telah berdiri di pulau Jawa, Bali, Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok. Masing-masing toko menyediakan lebih dari 4.800 jenis makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, hingga akhir periode yang sama, gerai Alfamart di seluruh Indonesia tercatat sudah mencapai 8.557 unit. Rencananya, PT Sumber Alfaria Trijaya menargetkan penambahan 1.000 outlet lagi.

Publik yang masih meluangkan waktu untuk berkaca semestinya bisa melihat beratnya perjaungan yang dihadapai oleh pemilik warung atau toko tradisional. Bahwa pasar rakyat masih ada yang bertahan hingga saat ini, ini adalah hasil kerja keras dan empot-empotan sendiri sementara pemerintah abai terhadap kehidupan masyarakat kecil.

Pemerintahan yang membiarkan rakyat digilas pasar modern adalah pemerintah yang zalim – kebodohan yang teramat besar.   Silahkan menyimpulkan sendiri, apakah ini saat yang tepat untuk menabuh genderang perang melawan toko modern berjejaring atau tidak.

Kehadiran toko modern berjejaring adalah bentuk perampokan terselubung, massif, cerdas, dan professional maka perlu kita identifikasi bagaimana dosa-dosa sosialnya.

Setidaknya ada tujuh dosa besar yang dilakukan secara sengaja oleh pelaku pasar modern berjejaring nasional dan internasional.

1. Karakter monopolistik dan dominatif

“Bahwa sesungguhnya dominasi adalah penjajahan, dan penjajahan harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. 

Setiap dominasi adalah penindasan, membuat jutaan orang menderita. Liarnya pebisnis toko modern menggerus ekonomi rakyat. Dominasi pasar oleh swalayan yang merugikan pedagang kecil dan lokal selama ini sudah sangat parah. Kerakusan pebisnis swalayan ini mengakali regulasi dengan menghalalkan segala cara. Mulai dari melanggar jarak dengan pasar traditional, saham atas nama hingga memalsukan nama toko. Silahkan amati di kota masing-masing mana saja swalayan tanpa nama.

2. Vandalisme terhadap regulasi. 

Penipuan dan kelicikan sangat akrab dengan usaha bisnis toko modern ini. Pengusaha licik dan pemerintahan yang cenderung kompromistik dengan para pemilik modal. Walaupun berbagai peraturan daerah serta regulasi lainnya telah diterbitkan untuk melindungi pasar tradisional, kita masih bisa melihat langsung bagaimana liberalisasi pasar waralaba masih dan akan terus menyuburkan praktik eksploitatif di daerah.

3. Suap dan korupsi. 

Di kota kecil tempat saya menghabiskan sebagian besar masa akademis, ada plesetan yang tenar untuk UUD. Seyogiaya, Undang-undang Dasar, tetapi sudah menjadi rahasia umum (yang semestinya ditangisi, bukan malah ditertawakan) bahwa di lapangan itu berarti “Ujung-ujungnya Duit”. Publik masih belum sepenuhnya yakin dengan law enforcement. Maka secanggih apapun regulasinya, publik merasa bahwa itu hanya wacana tanpa kerja nyata.

Paket ironi menjadi lengkap tatkala ada beberapa LSM yang masih menyisakan idealismenya melaporkan praktik suap, tetapi harus berhadan dengan KUHP. KUHP plesetan ini ialah “Kasih Uang, Habis Perkara”. Itupun kalau LSM-nya masih berupaya bersih menolak disuap untuk bungkam suara.

Itulah kekacauan moral dalam praktik koruptif penyuapan dalam pendirian gerai swalayan modern-berjejaring ini. Prinsip dasar “kebaikan publik” (bonum commune) dan keadaban publik (public governance) diperkosa.

Harus dilawan kalau begitu, ya?

Tentu saja. Tetapi tentu saja amunisi untuk melawan mereka harus diperhitungkan terlebih dahulu sehingga perjuangan tidak sia-sia dan berhenti di tengah jalan. Upaya paling konkret yang bisa kita lakukan adalah berbagi cerita alias story telling. Bagi Bagilah kisah di daerah Anda, kemukakanlah kegelisahan dan keprihatanan Anda terhadap kenyataan semakin tergerusnya pangsa pasar tradisional. Pelan tapi pasti, kesadaran publik akan terbentuk. Jika kesadaran ini sudah menjadi kesadaran bersama, tanpa harus meniru para religiopreneurs yang berdagang dakwah atau para demonstran bayaran, kita bisa secara jujur mengajak publik untuk merebut kembali nurani mereka yang sudah tercemar selama ini.

Dengan nurani yang sudah kembali bersih, kita akan lebih mudah duduk bersama dan berbicara dari hati ke hati untuk membicarakan mise penting berikutnya.

4. Bisnis tanpa etika 

Secara khusus penegakan etika bisnis juga harus dilakukan. Ini menyangkut tiga ranah “bottom line”, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial, yang secara sederhana menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggungjawab pada ketiga aspek tersebut. Aspek ekonomi sudah disorot dalam butir-butir di atas. Aspek-aspek lainnya juga sudah harus diindahkan segera dengan, antara lain, sebanyak mungkin memanfaatkan bahan yang dapat didaur ulang dalam kemasan atau wadah dari toko.

5. Maling trotoar jalan

Menjual kenyamanan untuk parker dengan mencuri area jalanan adalah bisnis tanpa sopan santun. Saksikan betapa banyak TMB menghancurkan bahu jalan seenaknya, untuk parkiran, untuk kelancaran kendaraan barang masuk. Seluruh tanah di negara ini seperti milik moyangnya saja sehingga sangat berani Kurang ajar. Hal lain, hotel juga sama-sama maling pedestrian side.

6. Menunda pembayaran gaji karyawan

Sesekali ajaklah teman yang bekerja sebagai SPG, SPB, kasir, terapis di salon kecantikan yang juga menjual produk kosmetik ngopi di warung dan dengarkanlah kisah mereka yang berjuang supaya gaji tidak terlambat dibayar perusahaan. Mereka punya segudang alasan rasional untuk tidak memberikan hak pegawai dan suplier secepat mungkin, sehingga memenuhi kaidah “diberikan haknya sebelum keringatnya kering”.

Faktanya ialah:

Kerja lagi. Aku masih belum melihatmu berkeringat. Sebelum keringatmu kering kembali, gaji bulan ini akan kami bayarkan terlambat”. 

Ini juga merupakan bentuk perampokan besar dengan capital flight: Setiap penundaan pembayaran gaji untuk para pegawai (bukan manajemen apalagi pemilik franchise) Alfamart, Indomaret, Circle K, 7 Eleven, Jhonny Andrean Salon, Ramayana, Hero, Guardian artinya tanpa sadar orang kecil turut memodali kapitalis raksasa dan menutup mata terhadap sesamanya orang kecil.

7. Rampok berkedok ramah lingkungan

Atas nama regulasi dari pusat seenaknya sendiri membebani pembeli dengan harus membayar kantong kresek 200 rupiah per kresek. Tanpa transparansi alokasi dana yang terkumpul dari kantong kresek tersebut, maka regulasi ini pantas di-bully sebagai “logika kacau berdalih ramah lingkungan”.

Kapitalis selalu lebih licik daripada penjaga keamanan dan sebagian besar pembuat peraturan. Kita tak mungkin berdamai dengan rampok yang menguras isi rumah Kita. Ajakan ramah lingkungan ditipu pasar modern. Akal sehat memaksa kita untuk semakin lantang bersuara bahwa:

Kita tidak akan pernah berdamai dengan rampok yang menghabisi isi rumah kita.

Hari ini, rampok itu bernama toko modern berjejaring.

Pelan-pelan mereka mencoba “baju baru” dalam kemasan toko berjejaring beraplikasi daring alias bisnis e-commerce. (Tulisan khusus tentang ini akan segera saya publish)

Setiap hari kita menyaksikan bagaimana mereka mengeruk uang rakyat. Kali ini dengan menjual kresek atas nama ramah lingkungan dan aturan pusat. Besok dengan strategi lain lagi.

Sembari kita menghitung sisa-sisa recehan yang masih tersisa untuk belanja buat susu si bayi atau beras untuk ditanak esok hari, para doktor, marketing, profesor dan pengacara yang dibayar mahal oleh para kapitalis pemilik toko modern berjejaring ini sedang menikmati suasana santai di kafe atau ruang tertutup ditemani sampanye atau karaoke a la arisan ibu-ibu PNS.

Sesekali mereka nimbrung dengan mencet layar HP, diskusi di whatsapp dan menertawakan kebodohan tetangga kita, yakni sopir taxi yang harus kehilangan rezeki sehari demi berdemo melawan kapitalis lain lagi.

(Berangkat dari artikel Kompasiana yang ditulis oleh David Efendi)

PDSKJI Akhirnya Mengalah

Akhirnya pak Menkominfo berhasil mencatatkan satu portofolio baru dalam CV-nya, yakni sebagai great opinionator (penggiring opini). Betapa tidak. Berawal dari reaksi beliau terhadap stiker LINE, kini isu LGBT menjadi viral kembali. Tiba-tiba saja, bermunculan penulis dan pengamat, yang entah dari mana, tiba-tiba menemukan kepercayaan diri yang begitu besar sehingga merasa punya otoritas untuk menyatakan bahwa memilih mendukung LGBT termasuk sesat, mesti ditolak dan tidak pancasilais. Sebagian kecil memilih untuk berupaya netral, meskipun tidak ada parameter pasti untuk menyebut suatu persektif tulisan itu benar-benar netral, termasuk tulisan saya sebelumnya:-)

Beberapa hal menurut hemat saya perlu dicatat dalam diskursus yang masih terus berjalan ini.

Pertama, tidak ada sikap netral. Meskipun para moderat akan berupaya menggunakan jargon yang seolah-olah memberikan jalan tengah, tetapi pertarungan opini dan penegakan HAM para LGBT akhirnya bermuara pada bipolaritas: Menolak atau Mendukung.

Kedua, para penolak keberadaan LGBT sejatinya juga mempunyai kepentingan lain yang “menurut mereka” adalah demi membela nilai tertinggi dalam kemanusiaan, yakni meneruskan generasi. Mereka memvalidasi penolakan dengan argumen bahwa regenerasi manusia hanya bisa berlangsung secara alamiah antara pria dan wanita, kendatipun interseksi-interseksi seks dan gender pun belum final hingga saat ini. Bahasa sederhananya: Perbedaan pria dan wanita merupakan wacana dan subjek penelitian yang masih terbuka bagi banyak kemungkinan.

Ketiga, para pendukung LGBT bisa terdiri dari beberapa komposisi kepentingan. Barangkali karena mereka sendiri adalah manusia LGBT.  Ini yang paling umum menurut para penolak LGBT (sayangnya, kebanyakan dari mereka hanya berangkat dari asumsi semata). Lebih kerap adalah bahwa para pendukung LGBT (baca: yang berpandangan bahwa LGBT juga mesti diberi panggung sosial yang sama dengan kaum hetero) benar-benar tidak bisa menerima bahwa hak seseorang mesti dikekang hanya karena mereka terlahir dengan keadaan tertentu.

Keempat, penting dicatat bahwa setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, para LGBT dan yang pro terhadap keberadaan dan hak-hak mereka untuk mengekspresikan diri secara setara dengan kaum hetero masih harus menempuh jalan panjang.

Tertanggal 19 Februari 2016, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mengeluarkan surat yang isinya menegaskan bahwa panggung LGBT masih tidak berubah. Manusia LGBT mesti menunggu beberapa tahun atau dekade lagi sehingga mereka bisa hidup sebagai orang Indonesia secara sah, tanpa ditengarai sebagai paham yang tidak pancasilais.

Surat itu menyebutkan bahwa homoseksual dan biseksual dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan. Sama dengan “maniak-maniak” lain, termasuk gangguan kejiwaan ekstrim seperti orang yang merasa mendapat bisikan ilahi untuk menunaikan tugas suci memusnahkan atau membunuh manusia lainnya.

Surat yang sama menyebutkan bahwa transeksualisme dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Gangguan Kejiwaan. Artinya, jika mau jujur, para transeksual ini mesti mendapat terapi kejiwaan. Jika berlanjut pada ranah hukum, sedikit egalisasi dari pemerintah, maka bisnis rumah sakit jiwa akan menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Mengapa? Karena jika kaum transeksual ingin diakui sebagai orang tanpa gangguan kejiwaan, maka mereka mesti berbondong-bondong mencari terapi. Mungkin dengan sertifikat juga.

Pembaca bisa memaknai catatan-catatan ini secara denotatif ataupun kiasan satir, saya yakin bahwa kita akan sampai pada kesimpulan yang sama: yakni bahwa kita mesti lebih banyak menemukan pencerahan lagi.
Pencerahan tentang apa arti manusia.
Pemahaman lebih lagi tentang sumbangsih dan mudarat suatu paham atau ideologi terhadap kemanusiaan.
Pengertian yang lebih lagi (mungkin sampai pada tingkatan yang melampaui kalkulasi untung rugi atau banyak-sedikitnya anggota dari sebuah kelompok) tentang apa arti menjadi manusia hetero di tengah sesama yang bukan hanya hetero, tetapi juga LGBT (bahkan LGBTIQ).

Saya yakin bahwa pengurus pusat PDSKJI tentu sudah memikirkan pertimbangan-pertimbangan ini sebelum mengeluarkan surat pernyataan yang bagi banyak orang langsung jelas terbaca sebagai suatu langkah mundur. Mengingat bahwa beberapa tahun sebelumnya LGBT sudah dinyatakan bahwa

Penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Depkes RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).

Para spesialis kejiwaan tentu bisa memberi argumentasi bahwa ODMK dan ODGK adalah dua hal yang sangat berbeda, masing-masing penjelasan medis mereka. Bagi publik, yang terbaca ialah:

Lihat noh. Dokter spesialis jiwa aja bilang kalo LGBT itu orang sakit jiwa. Ya pantes diterapi, disembuhkan dulu donk sebelum diterima sebagai manusia normal

Saya setuju, bahwa surat ini adalah langkah mundur.

🙁

Tetapi apakah para dokter spesialis yang terwakilkan suaranya di PP PDSKJI ini kekurangan riset?
Atau jangan-jangan mereka justru semakin piawai dengan mempelajari riset tambahan penting lainnya?

Saya cenderung memilih yang kedua.

Mengingat bahwa mayoritas warga Indonesia masih merasa bahwa LGBT adalah penyimpangan, abnormal, merupakan penyakit atau kelainan seksual, mesti disembuhkan, dan atribut serta beragam stereotipe lainnya, maka mengikuti Black Theory, mereka memilih untuk “sedikit” mengorbankan integritas dan intelektualitas mereka dengan memilih langkah mundur ini.

“Hampir semua warga Indonesia belum bisa menerima LGBT ini. Maka, supaya kita tetap populer, ada baiknya kita juga memilih langkah yang populis”, barangkali  seperti itu penggalan percakapan yang melatari lahirnya surat ini.

Saya tidak tahu persis apakah mereka punya rencana atau kebijakan lain yang akan merevisi pandangan dalam surat yang sekarang ini, tetapi bagi saya suara mereka saat ini kedengaran seperti kompromi para anggota dewan yang memilih mendukung revisi UU KPK – barangkali lebih nyaman bagi mayoritas pandangan para wakil rakyat ini, meskipun dalam hati mereka pun tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang mereka suarakan saat itu.
(Bagian ini agak nyerempet, tapi mudah-mudahan bisa menjadi analogi yang cukup membantu).

Syukurlah, riak-riak kecil terus bermunculan sepanjang sejarah peradaban manusia. Ya. Yakni redefinisi2 struktur sosial yang kerap dianggap menentang arus hanya karena membawa definisi lain tentang apa arti menjadi manusia. Pada setiap zaman, golongan ini dan yang berada pada golongan ini kerap kurang bergema suaranya, hanya karena pada zamannya pandangan mereka dinilai tidak populis.

Sama seperti, ketika saya dan teman2 mengatakan bahwa LGBT mesti diberi panggung sosial yang setara dan sama legalnya dengan kaum hetero, saat ini pandangan semacam itu pasti tidak populis.

Menindas #LGBT dengan Dalih Tidak Normal: Bukti Lain Inferioritas Kaum Mayoritas?

Tulisan ini saya tujukan buat sesama teman yang heteroseksual,

Saya penasaran dengan diskusi terbatas antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan perwakilan stasiun televisi mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) seperti ditulis oleh Om Brill. Mungkin ada yang bisa menuliskan detail dokumentasinya. Apakah diskusi terbatas yang katanya Melarang Tayangan Yang Mengkampanyekan LGBT ini akan membuka pintu untuk melahirkan peraturan baru dengan implikasi hukum yang baru untuk memuaskan nafsu kita sebagai mayoritas heteroseksual untuk menindas saudara-saudara kita kaum LGBT?

Tetapi lebih penasaran lagi ketika seorang pengamat membuat analisis dukungan pelarangan kampanye LGBT  berangkat dari paham mayoritas yang memaksakan gagasan mereka bahwa LGBT adalah kelainan.

Tanpa tenggelam dalam diksi dan semantik, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi nukilan sejarah yang sudah pernah terdokumentasikan dengan baik, tetapi lantas kita lupakan begitu saja. Mengapa dilupakan? Banyak sebabnya. Selain karena memang kita kerap lupa akan banyak hal secara tidak sengaja, lebih kerap lagi ialah kita memilih untuk tidak mengingatnya karena rentan mengusik kenyamanan kita.

Klik saja link dokumentasi Kompas.com ini. Dokumentasi tahun 2008 itu menyebut bahwa homoseksual bukan kelainan seksual.

Runut lagi ke belakang, ini sama dengan kebijakan dari The American Psychiatric Association (APA) yang mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental Pada tahun 1973, dan dengan demikian posisi sebelumnya (tahun 1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental klinis dihapuskan.

Langkah yang progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association dan juga oleh The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama. Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas telah dihapus dari daftar gangguan jiwa.

Membaca ini semua, kita sepertinya kehabisan amunisi karena bahkan di Indonesia sendiri kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai gangguan jiwa, lalu kita yang tidak nyaman dengan kehadiran kaum LGBT ini mencoba mempertahankan kenyamanan kita dengan menyebut mereka sebagai “tidak normal”. Akan ada seribu satu argumentasi untuk membela posisi kita kaum heteroseksual sebagai mayoritas bahwa kita mengakui HAM bagi LGBT, hanya saja bagi kita itu “tidak normal”.

Jujur atau tidak jujur mengakui, yang sekarang terjadi adalah:

Kita yang mayoritas heteroseksual merasakan bahwa mereka yang LGBT boleh ada, tetapi tidak boleh menunjukkan dirinya di depan umum.

Kita yang mayoritas heteroseksual merasakan bahwa mereka yang LGBT bukan penderita gangguan jiwa, tetapi tetap saja tidak boleh mempertontonkan ekpresi jiwa mereka di depan umum.

Kita yang mayoritas heteroseksual dan mulai moderat menyebut mereka yang LGBT adalah saudara kita juga, mempunyai HAM yang sama, tetapi tetap dengan kategori TIDAK NORMAL.

Litani ini bisa kita perpanjang lagi.

Buat saya ini jelas merupakan indikasi bahwa kita sebagai mayoritas heteroseksual merasa inferior karena begitu kuatnya kita menggenggam media dan arus informasi serta tempat dan waktu di bumi ini, mereka yang LGBT kok tetap ngeyel ya? Mereka kok tetap ada ya?

Ketika Magnis Suseno menyebut bahwa orientasi seksual tidak ditentukan seseorang tapi alami, kita seperti diingatkan untuk berdamai dengan kenyataan bahwa homoseksualitas adalah variasi dari alam semesta, dengan persentasi 5-10 persen dari jumlah penduduk yang pernah ada. Tidak mudah memang berdamai untuk situasi yang berbeda dengan yang selama ini kita alami dan ketahui. Terutama kita yang mengambil posisi di 90-95 % lainnya ini.

Mungkin sampai saat ini kita juga akan mengambil posisi yang sama dengan para pengkritik Surat terbuka Reza Aslan dan Hasan Minhaj dari situs Religion Dispatches ini.

Reza Aslan, seorang ahli agama dan komedian bersama Hasan Minhaj, wartawan Daily Show (keduanya Muslim Amerika) pada 7 Juli 2015, bersama-sama menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015.

Berikut ini bagian-bagian yang menurut saya penting diperhatikan.

“Kini perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak dapat merangkul perubahan ini. Kalian dapat merasa tidak ada masalah jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian. Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi, diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan kepada kalian.

Sebagai Muslim, kita adalah orang yang telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif. Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali kita sebagai Muslim. Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan kemunafikan.

Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau mengomel kepada kalian. Ingat juga bagaimana para pemimpin politik terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap biasa-biasa saja dengan semua itu?

Kalian boleh berpikir bahwa hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam sendiri.

Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam. Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.

Karena itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA. Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik. Sebagai minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin hidup kita bebas.

Hal terpenting yang kalian harus pikirkan sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan hanya bagi kalangan heteroseksual!”

Saya sependapat dengan Mas Ioanes Rahmat dalam blognya yang juga mengupas surat terbuka yang sama, bahwa terutama dengan melihat baris terakhir surat terbuka tersebut [“Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang], seperti yang bisa diprediksi sebelumnya, akan ada banyak kaum religius (terutama yang mengatasnamakan pandangan agama muslim dan Kristen yang mayoritas di republik ini) yang akan mengecam mereka.

Sebagian besar, Anda dan saya, masuk dalam arus besar ini. Dan jika Anda tidak ingin menjadi menjadi penindas kaum LGBT atas dasar inferioritas kaum mayoritas, sebaiknya kita mulai memberi panggung yang seadil-adilnya buat mereka.

Ilustrasi

Mangadar Situmorang: Sustainable and Holistic Ecotourism Is What The Authority Should Put As The Grand Design of Lake Toba

Mangadar Situmorang

Mangadar Situmorang

News Wire

News are widespread on the plan issued by Coordinating Maritime Affairs Minister Rizal Ramli when he is cited to upbeat the management of Lake Toba by a single agency.

“By focusing on the development pattern, there are sufficient funds available to build the necessary facilities,” said Rizal Ramli after attending a limited cabinet meeting on planned development of Lake Toba tourist destination at the Presidential Office in Jakarta on Tuesday, Feb. 2.

With budget allocated set at 21 thrillion rupiahs, this will be the most heavily targeted megaproject by all stakeholders.

Urgencies

The following steps that needs to be carried out by the government is cleaning fish waste in Lake Toba. At least 246 tons of fish fodder is scattered into the lake each month, while 20 percent of it is not eaten and so pollute the lake ecosystem. This is one among other challenges that needs to be brought in order to make a stable environmental support for the big plan itself.

The government also has set up a scheme so that seven regions around Lake Toba would benefit from the positive impacts of development in the region.
Lake Toba is one of the top 10 prioritized tourist destinations, namely Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Thousand Islands, Lake Toba, Wakatobi, Tanjung Lesung, Morotai, and Tanjung Kelayang. Directly order from the president, this agenda should not be delayed for the common good of the people (bonum commune) especially for the local people.

Sustainable and Holistic Ecotourism: An offer from the very local people.
It is interesting to notice that this design has attracted so many attentions.

Put that in bipolar perspective and you will see that views are coming from both the very local people and other stakeholders that – probably are not really understand what happens in the regions surrounding Lake Toba – but still want to contribute in that project in any kind of approach.
Put that in unpolarized perspective and you will find so many insights and criticism, both destructive and constructive ideas.

Mangadar Situmorang, a consistent environmental activist and scholar, who currently is the rector of Catholic University of Parahyangan Bandung, recently wrote some enlightening and brief notions about the issue in Kompas, the biggest newspaper in the country, dated February 10th, 2016.

You can simply have the printed version in Kompasprint.com.

As I read his brief notions, his ideas are very simple yet the most decent ones.
With social justice as the purpose of the country with 250 million people, so does the development of Lake Toba for about 600.000 people living in its surroundings.
To Mangadar, it is so clear that there are three main keys that becomes the raisons d’etre of the formation of Lake Toba Authority Board (Badan Otorita Danau Toba or simply abbreviated as BODT).

First, coordination. Through this body the whole dimension of the tourism industry can be synergized into an integrated package.

Second, acceleration. Through this body the previous and current slow and very bureaucratic work patterns is now attempted to accelerate both in coordinative and istructive method.

Third, execution. With this sole authority, compromises that have long endured and bottlenecked any good governmental decision-making, will be overcome. In short, BODT intended to immediately execute the constitutional mandate Nawacita, brand promises of presidential politics agenda that the entire people of this country has yet to look for its realizations.

21 trillion rupiahs is a big money.

And if you are reading the newspaper or simply hear the chitchats and media blow up, either you are well-minded businessmen or just an ordinary people that really takes this mega-project as a common concern, I just want to encourage you not to forget the main purpose of Lake Toba development.

Mangadar has shoot the idea so clear.

He continued by saying as follows.

It is undeniable that all those three principles would be the framework of the BODT, by which the board itself will go hands in hands with the people to create sustainable ecotourism. It means that tourism sites in ​​Lake Toba will be a destination that will last forever. This megaproject is not merely a collection of short-term projects and sectors. Procurements and construction of infrastructure, such as roads, bridges, docks, or other physical facilities and the spatial arrangement, may be done in a relatively short time (e.g. up to 10 or 15 years); but the conservation of natural and historical values ​​and cultural community must continue because the real events and the economic benefits to be gained it all starts on the conservation of nature, history, and culture of the local community.

Therefore, the government established BODT decision should be read as a double unseparatable mission: conservation and harnessing. BODT has to honor all the wealth of nature, culture, tradition, and community, and at the same time use it as a source of revenue and sustainable community development. Both missions have to be taken simultaneously, mutually. Refererring to the main purpose of any kind of development, i.e. the common good (bonum commune), this will complete the perfect package, making it a holistic and sustainable ecotourism.

It can not be another way.

As seen in Quora

Tell me: “Why don’t you worship Aah and the other thousand deities?”

Aah is the ancient Egyptian god of the moon. His names translate into the Egyptian word of the moon. Alternative spellings of his name include Iah, Aa, Ah, Aos, Yah, Aah Tehuti or Aah Te-huti that may also mean “collar”, “defender” or “to embrace”. He is associated with other lunar deities including Thoth and Khonsu who may have eclipsed his popularity. He is sometimes believed to be the adult form of the child moon god Khonsu who eventually assimilated his functions. He is also believed to be the student of the god of wisdom, Thoth who likewise absorbed some of his functions. However, despite his waning following over the course of Egyptian history, Aah remains to be a fixture in Egyptian amulets and hieroglyphs.

He is often represented as a man with a tight fitting garment wearing a crown made of a sun disk with a crescent moon on top of it. Sometimes, he is seen wearing the Atef crown topped by moon resting on a full, long, tripartite wig. He may also be seen carrying a long staff.

His existence was further proven when he was mentioned in the Book of the Dead saying, “I am the moon-god Aah, the dweller among the gods”.

Aah is credited for having created the original Egyptian calendar. The said calendar is divided into 12 months with 30 days every month. In one of the myths, Nut, the sky and Geb, the earth were siblings, who were locked in what seemed like an eternal embrace. Their almost unbreakable bond irked their father, the sun god Ra, who abhorred their incestuous relationship. He cursed them that will never bear children on any day of the year when they continued their relationship despite his disapproval. Nut and Geb sought refuge in Thoth, the god of wisdom and knowledge. Thoth devised a plan to gamble with the creator of the calendar, Aah. The wager was that Aah would give Thoth five days of his moonlight if he won. Thoth won and the five days became the extra five days of the year. Nut was able to bear children on each day because it was not covered by the curse of Ra. She gave birth to Osiris, Isis, Set, Nephthys and Horus the elder on each day. These days were believed to be inserted in the month of July making all of them July babies.

As cited from EgyptianGods.Org

Kita Masih Sangat Freudian

Saya baru saja menilik postingan di Facebook dan Twitter. Biasanya jam paling ramai untuk melihat apakah postingan kita direspon atau tidak adalah ya pada jam pulang kerja seperti ini. Kita pun rela terlambat pulang ke rumah bertemu dengan keluarga hanya untuk mengecek apakah si penulis posting membalas respon kita juga dengan pertanyaan atau malah tanda tanya dan tanda seru yang tidak tahu persis maksudnya apa. Barangkali sambil menunggu lewatnya jam macet, secara khusus bagi langganan jalur macet di kota-kota besar. (Iya. Termasuk Jakarta, tentu saja).

🙁

Dan begitulah aktivitas “berkomunikasi” di dunia maya terjadi di dunia maya saban hari. Ada sedikit gejolak rasa setiap kali muncul angka dalam lingkaran merah di notifikasi Facebook kita. Ada gelombang halus yang begitu saja mengalir setiap kali notifikasi biru muncul di akun Twitter kita. Begitu juga pada akun G+ atau ribuan sosial media lain, termasuk Kompasiana ini, yang masih mampu kita kelola dan masih didukung oleh kuatnya RAM dan spesifikasi setiap gadget yang kita gunakan.

Dan umumnya setiap komentator akan memberi kontribusinya masing-masing. Ada yang mendukung: “Mantap, gan”. Ada yang memancing respon berikutnya: “Saya awam dalam hal ini. Mungkin bawah ane bisa kasih pencerahan” Ada yang “ikut nyimak” saja. Ada yang sekedar meninggalkan jejak dengan emoticon yang hanya dia dan tuhannya yang tahu apa maksudnya. Dan hasilnya luar biasa. Kita betah berlama-lama di sana. Kita pun semakin semangat mengkonfirmasi setiap permintaan pertemanan di akun Facebook. Ada rasa riak senang kecil yang berbuih menculik perhatian kita setiap kali ada akun twitter yang mem-follow kita.

Meski seiring dengan hal itu pula ada resiko yang mengintai. Misalnya suatu kali kita membuat posting yang yang tidak berkenan di hati salah seorang dari mereka, terutama jika mereka menanggapinya dari isu SARA, meski kita tak punya tendensi ke arah itu: Mereka bisa bersekongkol di balik layar dan ramai-ramai me-rudal atau me-report akun kita. Jadilah kita harus menanggapi pemberitahuan untuk memverifikasi akun kita kembali ke otoritas yang bersangkutan.

Kerap kali suatu posting bertahan berhari-hari, baik itu di akun pribadi, di sebuah fanpage Facebook ataupun di group. Atau sebuah hashtag bisa menjadi trend di Twitter. Lepas dari fenomen “pasukan nasi bungkus” yang rela dibayar hanya untuk mem-viralkan suatu issue meski mereka bisa saja sadar bahwa sebenarnya itu bertentangan dengan akal sehat mereka, mesti diakui bahwa tema politik dan agama adalah interest tertinggi yang bisa mencetak tread yang panjangnya melebihi jalan tol Sumatera (yang kita harapkan akan terwujud secepatnya).

Kalau mau lebih ajaib lagi, buatlah postingan yang berpotensi disalahtanggapi dan dipelintir ke isu kesukuan, bisa dijamin bahwa postingan kita akan siap-siap panen komentar. Panjangnya tread bisa mengimbangi daftar kasus korupsi yang sudah dan masih belum tuntas di republik ini. (Banyak pengguna sosial media bahkan mendapatkan uang dengan cara ini).

🙂

Sengaja saya menganalogikan panjangnya tread dengan tol Sumatera dengan litani kasus korupsi. Hemat saya, yang kedua cenderung lebih panjang.

Itu yang terjadi di banyak perbincangan dunia maya sejauh saya ikuti.

Hal menarik yang bisa kita amati dari setiap perdebatan antar akun (baik akun terverifikasi maupun akun kloningan) adalah terkonfirmasinya sifat Freudian kita. Bukan pada Id-Ego-Superego yang hingga kini tak henti diperbicangkan. Tapi terutama pada pernyataan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.

Semua mafhum bahwa yang dimaksud dengan seksualitas bukan sekedar kelamin, tetapi semua aspek yang membuat seorang Mars itu benar-benar laki-laki dan bahwa seorang Venus benar-benar perempuan. (Saya masih belum menemukan representasi yang tepat untuk teman-teman kita yang transgender).

Inilah kita.

Baik di kehidupan nyata maupun di dunia maya: Kita sangat seksual. Pola pandang kita pun sangat seksual. Dan itu menular pada pola komentar kita, sikap kita merespon suatu issue, postingan, atau trending issue di berbagai media sosial.

Negatifkah?

Apakah itu menjadi pertanda bahwa pola pikir kita masih taraf ABG yang terkaget-kaget sekaligus mengeksplorasi seksualitas dirinya?

Apakah setiap pandangan dan tulisan kita terhadap suatu kebijakan pemerintah, misalnya, juga terpengaruh oleh sikap Freudian kita?

Benarkah bahwa keheranan kita terhadap sikap ignorance yang diperlihatkan oleh para komentator imut (untuk tidak mengatakan bebal, bodoh dan rasis) pada setiap tread mirip dengan pengalaman seorang remaja SMP ketika pertama kali menemukan bahwa ketiaknya punya rambut atau seorang remaja putri yang bingung mengapa dadanya harus lebih membusung dibanding teman sebayanya yang laki-laki?

Mungkinkah cara kita mempersepsi lahirnya perundangan baru dari dewan legislatif kita yang terhormat mengikuti pola pemahaman seksualitas kita?

Sederhananya: Iya (menurut saya).

Sebelum tulisan ini dipelintir menjadi konten yang memprovokasi ke persoalan gender dan equalitas pria-wanita-transgender, saya ingin ulangi kembali: Kita masih sangat Freudian.

Itu saja.

Wassalam.

Donald Haromunthe,
A Boy Growing To Be A Man.