Paraphrasing Stoicism

Do I need to embrace Stoicism?

As school of philosophy that thrived from approximately 300 BC to 200 AD (though similar philosophies and beliefs existed prior to and after that period), of course I had never gathered with others in the stoa, or porch.  Stoicism is still a weird creature to me.

As a matter of fact, I am just 36 years by now, 2022. Typing my laptop keyboard here, while sipping my Kapal Api coffee and lit my Magnum Hitam cigarette.

I am just stroked by the idea, the main goals of Stoicism: to attain freedom from passion and fear. It will be amazed when I can fully embrace the fact that “…the chief good is a rational life, and the chief evil is death. The wise man will wish to die when he is weary of life when he has lived his life and achieved his purposes; for there is no greater evil than death, nor any pain that can be compared with it.”

What do I (want to) believe?

First, I need to know the dichotomy between things I can control and those I can’t. I should focus on the things that are under my  control, and not worry about external forces.

So, virtue is the only good, everything else is “indifferent” (meaning it’s neither good nor bad), and no external thing or circumstance can ultimately affect my character. I just need to be indifferent to all non-essential elements in life, including pain.

The only evil is fear, this is the only thing that leads me to irrational behavior. I am supposed to be free from fear and not be bothered by things that are outside of my personal control, like whether or not I am going to die today, July 29th 2022 at 3.40 a.m.

I will study what I can control, and then focus on what happens in my life. Then I will take action towards the things I can control, and accept the rest.

I am not worried about life and death but trying to make my life have more meaning. I do everything for myself. I have no fear of death. I do not care what happens after I die. This way, I  believe that everything is in my control. That is why I decide to have many friends, and I do not care whether they will betray our friendship or keep the loyalty on hold.

I put my life into motion based on individual responsibilities. It’s up to me to determine what I can control and what I can’t and then to take action towards what is in my control. I recommend that individuals not believe in supernatural forces or divine beings. There is no true evil.

I will pursue wisdom, even though it’s subjective and oftentimes someone else prey on my ignorance.

I will pursue knowledge, though being self-sufficient and loving myself before others is at paramount importance.

Glorielis dan Profil Pelajar Pancasila

Baik pribadi Glorielis maupun profil Pelajar Pancasila sama-sama menjunjung tinggi sejumlah nilai kehidupan (values of life) yang dianggap penting untuk dimiliki seorang insan didik sehingga bisa menjalankan perannya sebagai subjek pendidikan dalam ” … ikut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara” (mengutip tujuan pendidikan dalam konstitusi negara kita).

Apa itu Profil Pelajar Pancasila?

Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Jadi ada enam nilai yang oleh oleh Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) disebut sebagai dimensi dalam Modul Ajar Kurikulum Merdeka (KM).

Profil Pelajar Pancasila adalah insan didik yang oleh Kemendikbud dimaksudkan untuk dihasilkan oleh seluruh satuan pendidikan sesuai dengan Visi Pendidikan Indonesia saat ini, yakni mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global“. Visi ini sendiri adalah langkah awal untuk berjalan sesuai Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (yang saat ini masih dalam bentuk draf dan masih banyak diperdebatkan), yakni membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.

(I sense too much of verbalism, right? Hebat sekali redaksi kalimatnya, tetapi jangan-jangan ini hanya verbalisme alias otak-atik kata-kata saja?)

Kurikulum Merdeka sendiri selama 3 tahun terakhir masif  disosialisasikan, dicoba untuk diimplementasikan oleh beberapa sekolah, sekaligus menuai banyak kritik termasuk resistensi dari berbagai pelaku pendidikan. Kritik ini secara umum mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan substansial antara KM dengan Kurikulum 2013 dan kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya penamaan lain dengan beberapa varian kecil perbedaan disana-sini. Diakui misalnya bahwa Profil Pelajar Pancasila yang dimaksudkan sebagai kekhasan KM dan menjadi pembeda signifikan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, dinilai banyak pihak justru tidak berbeda dengan Nilai Budi Pekerti yang terintegrasi dalam mata pelajaran di Kurikulum 2013, mirip dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Untuk memahami lebih lengkap tentang Profil Pelajar Pancasila, kamu bisa membaca banyak dokumen di situs kemdikbud.go.id

Apa itu Pribadi Glorielis?

Semua orang yang pernah dan sedang ambil bagian dalam proses pendidikan di seluruh sekolah di bawah naungan Yayasan Budi Mulia Lourdes diharapkan menjadi pribadi-pribadi Glorielis. Pribadi Glorielis adalah orang yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai  kebudimuliaan, yakni hikmat yang bersumber dari kisah dan keutamaan yang diwariskan oleh Bapa pendiri Kongregasi Bruder Budi Mulia yaitu Bruder Stephanus Modestus Glorieux. Nilai-nilai itu adalah: Kedisplinan, Kebersamaan, Toleransi, Rajin Belajar, Tanggung Jawab, Kerendahan Hati, Kesederhanaan, Cinta Kasih, Kreatif-Inisiatif-dan Inovatif, Kerja Keras, Keunggulan, Kemandirian, Religius, Hidup Bakti, Ketabahan dan Integritas.

Untuk memahami lebih lengkap tentang pribadi Glorielis, kamu bisa membaca silabus dan dokumen lain terkait Pendidikan Spiritualitas Budi Mulia.


Tulisan singkat ini tidak hendak mempertunjukkan pertarungan kumulatif nilai-nilai yang “sangat hebat” hingga bisa kedengaran bombastis ini pada pribadi Glorielis dan yang (ingin dicapai) oleh Profil Pelajar Pancasila. Karena jika hanya redaksi kuantitatif yang ingin kutunjukkan, mudah saja menuliskan skor layaknya pertandingan sepakbola:

[Pribadi Glorielis] 16 – 6 [Profil Pelajar Pancasila]

Alih-alih, Saya hendak berfokus pada bagaimana kita mengkomunikasikan nilai tersebut sehingga benar diamalkan oleh insan didik Budi Mulia secara khusus, dan oleh insan didik Indonesia secara umum. Kurang lebih, diskusi ini bisa kita mulai dengan pertanyaan pemantik, semisal: apa pentingnya nilai-nilai itu diajarkan?

Alasannya, jika kita perhatikan dengan cermat, keenam nilai Profil Pelajar Pancasila dan keenambelas nilai Pribadi Glorielis ini sebenarnya kurang lebih memaksudkan hal yang sama, yakni menjadikan manusia yang sedang menempuh pendidikan menjadi semakin manusia. Sesuai dengan visi pendidikan yang berlaku dimana-mana, yakni memanusiakan manusia.

Kita bisa juga menyitir argumen Seneca terhadap Lucillius ketika mereka terlibat perdebatan soal moralitas pada tahun 65 Masehi: sebenarnya, sekolah itu untuk apa sih? Seneca mengatakan “non scholae, sed vitae discimus” (we learn not  for school, but for life); sementara Lucillius mengatakan persis sebaliknya: “non vitae, sed scholae discimus” untuk mempertahankan argumen realistisnya soal pendikan yang seharusnya lebih praktikal dan bahwa literasi keilmuan sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan.

Kupikir, kita semua sepakat memihak Seneca ketimbang Lucillius dalam hal ini.

Tetapi, jika benar demikian, maka kita boleh mengekstrapolasi kesepakatan kita terhadap Seneca dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lebih membumi dan mengujinya pada konteks zaman ini, yakni konteks pendidikan formal di Indonesia sekarang. Pertanyaan itu misalnya:

  • Dengan seabrek mata pelajaran pada kurikulum, tugas kokurikuler, program intrakurikuler dan ekstrakurikuler, mulai dari TK, SD, SMP, SMA/K hingga Perguruan Tinggi, manusia seperti apa kita maksud ingin kita bentuk, yang kita sebut sebagai “manusia terdidik”?
  • Dalam konteks pendidikan sebagai industri, semakin jamak kita temui orang yang lulus Perguruan Tinggi bekerja tidak sesuai dengan jurusannya atau malah menganggur, tidak bekerja. Bukankah ini mengindikasikan ada ketidaksambungan antara apa yang kita anggap perlu diajarkan di kurikulum sekolah (supply) dan apa yang ternyata dibutuhkan masyarakat/pasar (demand)?
  • Entah sebagai alumnus Glorielis atau alumnus Pelajar Pancasila, benarkah keenambelas nilai atau keenam nilai yang kerap diglorifikasi tadi membantu insan didik untuk menjadi cerdas dan pada gilirannya memberi kontribusi pada masyarakat (society) menyitir Seneca? Atau malah sebenarnya kita tak memerlukan alokasi waktu secara khusus untuk mengajarkan dan membuat proyek untuk nilai-nilai itu, yang penting ajarkan saja kecakapan praktikal sesuai permintaan pasar menyitir Lucillius?
  • Masyarakat sekarang hidup di tengah paradoks kemajuan (ekstrimnya: sebagian orang sudah coba menjajal pola hidup Metaverse, Big Data, Artificial Intelligence; sementara bagi sebagian orang lagi, kebutuhan pokok seperti akses penerangan listrik saja belum ada). Absurditas menyertainya pula, sehingga idealisme pendidikan ternodai begitu saja sebab harus kompromi dengan realitas yang terjadi. Bukankah jamak kita dengar: Untuk sukses, tak penting jurusannya hebat atau orangnya cerdas, tetapi apakah punya “orang dalam”, koneksi dan warisan orangtua?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kupikir mengajak kita untuk masuk ke refleksi ulang apa sebenarnya tujuan pendidikan di Budi Mulia secara khusus dan tujuan pendidikan Indonesia secara umum.

Jika memang pendidikan kita mau kita dasarkan pada gagasan-gagasan filosofis Ki Hajar Dewantara yang lebih mengedepankan transformasi nilai (value), sudah benar langkah Budi Mulia yang merasa perlu merumuskan nilai-nilai kebudimuliaan atau Kemendikbud merasa perlu memuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka yang diusungnya. Intinya, persoalan akhlak, karakter, budi pekerti dan terma lain yang sejenis masih perlu diajarkan, dan sekolah harus mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup untuk itu, sama seperti alokasi untuk mata-pelajaran lainnya.

Masalah konkret muncul: bagaimana kita mengukur implementasi nilai-nilai itu?

Bagaimana mengukur pengaruh karakter profil pelajar Pancasila itu pada anak didik? Bagaimana kita tahu bahwa lulusan Budi Mulia yang dicap “berhasil” atau “sukses” itu memang karena dia mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan; sebaliknya yang “gagal” itu karena dia tidak mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan?

Atau kalau mau lebih filosofis lagi, kita bisa mundur ke belakang dengan pertanyaan lebih mendasar: apa ukuran sukses? Lulusan sekolah yang kita sebut sukses itu sebenarnya apa?

Jangan-jangan sebaiknya kita mengalah saja dan mengikuti tren pendidikan berorientasi pada kecerdasan dan kreatifitas yang sejauh ini sudah terbukti sesuai keinginan pasar. Kita terima saja determinasi filosofi pendidikan Barat yang kerap kita anggap lebih mengedepankan transformasi pengetahuan (knowledge) tetapi nyatanya tanggap dan tangguh terhadap permintaan dunia dewasa ini.


UJILAH NILAI

Kini kita sampai pada permenungan yang lebih mendalam lagi. Upaya penanaman nilai-nilai (values) ini sejak Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Orde Baru dengan P4-nya, Kurikulum 2013 dengan Penanaman Budi Pekerti-nya, Yayasan Budi Mulia dengan Nilai Kebudimuliaan-nya, hingga Kurikulum Merdeka dengan proyek Pelajar Pancasila-nya semua mendaku sebagai sistem yang kelak akan menghasilkan manusia cerdas dan terdidik.

Tetapi, benarkah generasi terdidik hasil lulusan dari program penanaman nilai dengan nama yang hebat itu menjadikan Indonesia semakin berkemajuan?

Jangan-jangan kita terlalu lama berkutat dengan verbalisme nilai, sampai lupa bahwa masyarakat kita saat ini (hic et nunc) membutuhkan orang-orang cerdas dari sekolah untuk memberi kontribusi pengetahuan mereka.

Apa sebaiknya kita tinggalkan saja Seneca, kita ikuti nasehat Lucillius saja?

Jika ternyata kebutuhan akan pasokan ikan lele jelas di depan mata, ajarkan saja anak bisa baca tulis seadanya lalu didik untuk memelihara ikan lele sedari kecil, tak usah pusingkan anak dengan mengharuskannya menghafal rumus Fisika, Kimia, Matematika atau ikut bimbel supaya lulus UTBK? Sebab jika pun lulus dan tamat dari perguruan tinggi pilihannya toh dia akan kembali menganggur. Dia akan menghabiskan waktunya menonton video Youtube dengan kata kunci “bagaimana cara memelihara ikan lele”? 

Loh? Tapi kan anak harus kita ajarkan untuk beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Anak harus kita ajarkan untuk displin, berbakti, belajar keras, toleran, mandiri, religius, memiliki cinta kasih, tabah, kreatif, inovatif dan berintegritas?

Memangnya, menurutmu, seorang pengusaha lele tidak bisa memiliki semua nilai itu tanpa harus belajar di sekolah?

Nilai-nilai Kebudimuliaan

Sebagai pendidik, Anda bisa saja membangun visi dan misi pendidikan paling hebat yang pernah ada sepanjang sejarah kurikulum akademis – sesuatu yang semestinya bisa menawarkan nilai sangat berharga kepada orangtua dan insan didik – tapi jika Anda tidak mengkomunikasikan dan menunjukkan nilai itu dengan baik, Anda sebenarnya tidak mengatakan apapun.

Nilai

Semakin kesini, semakin sering kita mendengar orang-orang berbicara tentang nilai (value) atau keutamaan (virtue). Apa itu nilai?

Aksiologi, cabang filsafat yang membahas nilai (dari kata axios/nilai dan logos (pengetahuan) menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?) dan apa itu benar (what is right?)

Jika yang baik dan benar teridentifikasi, ia akan disebut bernilai, mempunyai nilai. Jika tidak, maka sebaliknya: tidak bernilai, tidak mempunyai nilai.

Lebih jauh, kita – Saya dan Anda – sebenarnya bisa membahas apakah nilai itu independen (memiliki makna pada dirinya sendiri) atau bergantung pada manusia sebagai pelaku, insan yang mencari, menemukan dan mengevaluasi nilai. Namun, secara ringkas kita bisa mengartikan nilai sebagai produk/hasil penciptaan atau penemuan akal manusia setelah melalui proses analisis atas kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral.

Sumber Nilai Kebudimuliaan

Sejatinya, nama “Budi Mulia” sendiri (budi yang mulia) sudah sangat dekat artinya dengan istilah budi pekerti, sehingga patut diduga mendengar namanya saja, orang sudah akan diarahkan untuk memikirkan sesuatu yang luhur, mulia, indah, sopan dan atribut baik lainnya. Budi pekerti adalah nilai yang akan mendasari seluruh perilaku kita. Maka, pikiran dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Jika pikirannya baik, maka perbuatan yang akan dihasilkan pun niscaya akan baik pula. Jika pikirannya buruk, perbuatannya pun akan buruk.

Tetapi dalam kenyataan dan pembicaraan yang Saya alami dengan orang-orang terutama dengan anak didik dan rekan guru,  arti mendalam dari budi pekerti lebih sering hanya menjadi definisi mati dalam literatur-literatur sekolah, padahal sejatinya nilai budi pekerti ini dimaksudkan untuk dihidupi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik di ranah individu, sekolah, masyarakat, dan bernegara.

Nilai kebudimuliaan adalah hikmat yang bersumber dari kisah dan keutamaan yag diwariskan oleh Bapa pendiri Kongregasi Bruder Budi Mulia yaitu Bruder Stephanus Modestus Glorieux. Perjalanan sepanjang hidupnya yang menginspirasi terlebih hidup membiara sendiri diyakini bersumber dari imannya akan Yesus Kristus.

Maka, seperti Glorieux sendiri menjadi orang Kristen yang menimba spiritualitasnya dari Yesus Kristus, seorang insan Budi Mulia juga pertama-tama mengikuti teladan Yesus. Sebab Yesus adalah Guru Utama dari Teladan Budi Mulia, yakni Bapa Stephanus Modestus Glorieux.

Siapa yang seharusnya Menghidupi Nilai Kebudimuliaan?

Siapa saja mereka? Tentu, siapa saja yang mau. Terutama mereka yang sedang dan sudah pernah menjadi siswa, guru dan pegawai di sekolah di bawah naungan Yayasan Budi Mulia Lourdes.

Mereka adalah setiap insan Budi Mulia. Saya menawarkan julukan untuk mereka, yakni seorang Glorielis (dari nama Glorieux, mengikuti toponimi penduduk dan karakter orang Bordeaux yang dijuluki Bordealis). Setiap Glorielis seharusnya menghidupi nilai-nilai kebudimuliaan ini.

Istilah lain yang kerap digunakan (bahkan sudah kadung menjadi bagian dari kultur kebudimuliaan secara khusus di lingkungan SMA Budi Mulia Pematangsiantar Jalan Melanton Siregar 160) yakni: seorang Boemian atau warga Boemi. Boemi sendiri kemungkinan adalah akronim versi ejaan van Ophuijsen dari Budi Mulia (Boedi Moelia). Tetapi istilah warga Boemi atau Boemian(s) ini dapat saja dikenakan kepada siapa saja yang pernah dan sedang mengenyam pendidikan di Budi Mulia, lepas dari apakah dia mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan atau tidak.

Apa saja Nilai Kebudimuliaan itu?

Menurut Silabus Pendidikan Spiritualitas Budi Mulia (Silabus PSBM) yang dihasilkan dalam Workshop Kebudimuliaan di SMP Budi Mulia Mangga Besar pada 26-28 April 2021, nilai-nilai kebudimuliaan adalah:

  1. Kedisplinan
  2. Kebersamaan
  3. Toleransi
  4. Rajin Belajar
  5. Tanggung Jawab
  6. Kerendahan Hati
  7. Kesederhanaan
  8. Cinta Kasih
  9. Kreatif, Inisiatif dan Inovatif
  10. Kerja Keras
  11. Keunggulan
  12. Kemandirian
  13. Religius
  14. Hidup Bakti
  15. Ketabahan
  16. Integritas

Cara Mengukur: Glorielis-kah Aku?

Sebagaimana jika orang mau mengukur dirinya sendiri apakah dia Kristen atau tidak patokannya adalah kesesuaian pada teladan perkataan dan perbuatan Yesus Kristus, maka seorang siswa, guru dan pegawai di sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Budi Mulia Lourdes bisa mengukur dirinya sendiri apakah dia sudah cukup Glorielis (insan Budi Mulia) atau belum dengan bertanya:

Sudah displinkah aku? Jika belum, maka aku belum Glorielis.

Sudah jujurkah aku? Jika belum, maka aku belum penuh menjadi insan Budi Mulia.

Sudah mandirikah aku? Jika belum, maka aku belum Glorielis.

Sudahkah aku rajin belajar? Jika belum, maka aku belum sah menjadi “anak BM”.

Sudahkah aku bertanggungjawab?  Jika belum, maka aku belum pantas disebut anak Budi Mulia.

Sudahkah aku unggul? Jika belum, maka aku belum pantas disebut warga Boemi teladan.

(dan seterusnya …)


Mengkomunikasikan Nilai Kebudimuliaan

Nilai-nilai kebudimuliaan haruslah diketahui esensinya. Setelah diketahui, dihidupi. Jika sudah dihidupi, maka orang yang datang dan melihat akan menjadi saksi atasnya. Begitulah proses komunikasi nilai kebudimuliaan terjadi.

Sampai hari ini, sekolah TK, SD, SMP hingga SMA Budi Mulia masih mendapat kepercayaan di hati banyak orang karena proses pendidikan yang berusaha terus mengamalkan nilai-nilai itu, membuatnya bagian dari hidupnya pendidikan di Budi Mulia.

Dengan premis ini, sekali lengah dan lalai dengan nilai itu atau membuatnya hanya jargon semata dan jatuh pada verbalisme belaka, keadaan bisa berbalik. Pastinya: ke arah yang lebih buruk. Sesuatu yang kita semua pastinya tidak kehendaki.

Dengan demikian, nilai-nilai kebudimuliaan bukanlah nilai-nilai yang hanya tersimpan dalam literatur dan dihapal saja, namun juga perlu diimplementasikan dalam aspek akademis dan non-akademis. Inilah pilihan nilai yang diambil oleh segenap Glorielis dalam perannya ikut serta dalam visi utama pendidikan sesuai amanat konstitusi negara ini, yakni mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Mengapa Joel Masih Merindukan Dea?

 

Sebenarnya tulisan ini lebih tepat diberi judul "Mengapa Kita Merindukan Seseorang". Ini ubahsuai bahasa yang paling dekat dengan judul asli dari sumbernya. Hanya saja, kuperhatikan keseringan menggunakan kata "kita", orang bosan karena merasa digurui, dikotbahi, atau istilah gaulnya "patronized". Jadi, kupilih judul parafrase menggunakan kata ganti orang ketiga dengan nama samaran, yakni 'Joel'.

Seperti kalian semua pembaca pada umumnya, Joel juga pernah berada pada posisi dimana dia harus berpisah dengan seseorang yang dekat dengannya.

Perpisahan ini bisa terjadi karena memang sudah menjadi konsekuensi dari lingkaran kehidupan dan kematian. Tetapi bisa juga karena putusnya hubungan dengan pacar, suami/isteri (breakup atau cerai). Atau terpisah dari seorang teman dekat alias bestie karena orangnya harus berangkat ke luar negeri melanjutkan kuliah atau demi karir yang lebih baik.

Yang menjadi masalah adalah: selama ini Joel terlalu melekat dengan Dea. Sehingga ketika perpisahan terjadi, Joel merasa sangat terluka. Sering juga dibumbui dengan perasaan nostalgia dan kesedihan.

Malam ini, Joel kembali membolak-balik buku filsafat. Ia teringat kembali ternyata ada beberapa sudut pandang filsafat yang bisa membantunya menghadapi pengalaman yang kurang menyenangkan ini.

Renungkanlah ketidakpermanenan hidup.

Dipikir-pikir karo ngopi item lan ngudud, ternyata cukup banyak orang (atau malah semua) yang melakukan hal konyol, yakni: Merindukan sesuatu yang tetap di semesta yang secara kodrati memang tidak permanen ini.

Ini tampak sangat jelas dalam hal kemelekatan dengan orang lain.

Ketika sesuatu terasa menyenangkan, Joel ingin tetap berada pada situasi itu selama mungkin. Maka ketika Joel melekat dengan Dea, atau Joice mantannya yang kedua, tentu saja dia tidak ingin ikatan ini berakhir begitu saja secepat ini.

Nyatanya, semuanya datang dan pergi silih berganti, begitu juga dengan manusia dan orang di sekitar Joel.

Justru ketidaktetapan alias impermanensi inilah yang membuat kehidupan jadi masuk akal, menjadi mungkin. Lho kok?

Bayangkan kalau kehadiran mereka permanen; itu berarti mereka akan selalu ada disini dan tidak akan pernah berhenti ada disini. Mereka lahir dan tak pernah mati.  Apa akibatnya? Mereka akan menjadi makhluk yang statis, tidak berubah dan sepenuhnya bisa ditebak. Lantas, apa menariknya mereka jadinya?

Perlahan, Joel menyadari, sebagai manusia, Joel sering tidak tertarik pada apapun yang tidak berubah. Yang menariknya justru adalah ketidakpastian, dan dalam konteks relationship dengan seorang yang lain, mereka menjalin ikatan dalam semesta yang sepenuhnya di luar kendali ini, termasuk Joel dan si mantan. Maka, kodrat perubahan berarti manusia berubah; minat mereka berubah, pilihan-pilihan hidup mereka berubah, berpindah tempat tinggal, menua, sakit lalu mati.

Inilah pengorbanan yang kupikir tak hanya Joel dan si mantan, tapi semua orang harus persembahkan di gelanggang entropi kehidupan ini. Inilah alasan untuk sepenuhnya menikmati waktu bersama dengan orang yang Joel cintai selama mereka hidup dan berada di sekitarnya, tetapi dengan kesadaran dan penerimaan bahwa, suatu hari nanti, perubahan yang tidak terelakkan ini akan mencabut mereka dari hidupnya.

Tidak selalu mudah dalam pelaksanaanya, tetapi kutipan terkenal dari seorang pertapa Buddhis Thich Nhat Hanh meninggalkan renungan yang mendalam di hati Joel:

Jika aku tidak kosong, maka aku akan menjadi sebuah bongkahan materi padat saja. Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa berpikir bahkan. Menjadi kosong berarti menjadi hidup, menarik napas ke dalam dan menghembuskan napas keluar. Aku tidak bisa hidup kalau aku tidak kosong dan mengosongkan diri. Maka aku seharusnya tidak mengeluh soal impermanensi, sebab tanpa impermanensi, tidak ada apapun yang bisa menjadi apapun.

Lepaskanlah Kemelekatan

Joel sudah terlanjur hidup. Terlempar dalam “nasib” yang tak ingin dan tak bisa ditentangnya. Satu hal disadarinya: kehidupan tidak menjanjikan apapun supaya Joel menjalaninya.

Semesta ini telah memberikan pada Joel, itu yang dia punya sekarang ini. Joel tidak terikat kepada apapun selain dari apa yang datang padanya.

Kedua keniscayaan ini mungkin kedengaran kejam, tapi memang demikian faktanya. Tak ada janji dan jaminan bahwa Joel akan menjalani perkawinan yang stabil atau berada pada lingkaran sosial yang luas. Memang benar, kerap masyarakat membuatnya percaya bahwa Joel pantas memiliki banyak hal indah dan besar dalam hidupnya yang singkat ini, termasuk bahwa Joel berhak dicintai secara loyal dan konsisten oleh beberapa orang tertentu, tetapi realitas berkata: TIDAK.

Maka, ketika Joel merindukan Dea, yang sebenarnya terjadi ialah: Joel tidak puas dengan kenyataan Dea tidak lagi hadir dalam hidupnya.

Setelah putus pacaran, Joel terkadang merasa bahwa dia punya hak untuk tetap bersama dengan Dea, dan bahwa benar tidak adanya Dea sungguh mengganggu Joel.

Tetapi dalam rancangan besar semesta ini: sebenarnya Joel tidak memiliki siapapun – kebetulan saja untuk sementara waktu Joel punya giliran untuk bersama dengan Dea. Atau dengan Joice, sebelumnya.

Ada yang bertahan dan setia mendampinginya sampai hari ini, tetapi kebanyakan hanya numpang lewat.

Menyitir kata Epictetus, sang filsuf Stoa yang terkenal itu, seharusnya Joel menganggap hidup itu seperti pesta jamuan makan saja. Menikmati apa yang tersedia, sekaligus menerima kenyataan bahwa ada juga yang sambil lalu. Seperti Joel, kamu juga boleh bertanya:

Ada nggak yang ditawarkan padamu? Ulurkan tangan, ambil bagianmu sekadarnya. Kamu dilewatkan, tidak diladeni? Biarin aja, nggosah dihentikan.

Tidak perlu meluapkan keinginan untuk menikmatinya, tapi tunggu sampai datang sendiri padamu.

Lakukanlah hal ini, terapkan prinsip ini ketika kamu bersikap dan berlaku pada anak-anak, kepada seorang istri, atas postingan orang-orang, terhadap orang-orang kaya, maka seperti Joel, kamu akan menjadi tamu yang pantas dan layak ikut dalam perjamuan para dewa.

Cintailah tanpa harus berada dekat secara fisik

Mencintai seseorang berarti membuat mereka bebas; dan benar-benar bebas tak hanya merasa bebas.

Ketika Dea meninggalkan Joel atau karena alasan apapun terpisah darinya, alih-alih mengiba supaya Dea kembali, Joel bisa mencintainya tanpa menjadi egois.

Kalau Joel mencintai Dea karena sesuatu yang Dea bisa dan biasa lakukan untuknya, meskipun sekedar tindakan kecil seperti hadir menemaninya dan ngobrol bersama, kemungkinan Joel merindukannya sebagian karena fungsi dan kegunaan Dea untuk hidup Joel. Dulu Dea memang membuat Joel merasa senang, memasakkan makanan, mendengarkan keluhan dan curhat, membuatnya terhibur. Dan sekarang, setelah semua itu tidak ada, Joel kecewa.

Pada momen ini, patutlah Joel bertanya: apa yang terbaik untuk Dea? Bagaimana kalau ternyata dengan kepergian Dea, justru itu yang terbaik untuknya? Mungkin saja, misalnya, dia pergi ke pulau lain, ke negara lain, justru untuk mengejar mimpi dan mewujudkan ambisinya?

Maka, fokus Joel adalah apa yang baik untuk Dea daripada apa yang baik untuk Joel. Lebih sering terjadi, kemungkinan Dea lebih baik sekarang setelah mereka  berpisah, dan tentu saja ini alasan yang tepat untuk turut merasa bahagia.

Bagaimana kalau sebaliknya, Dea sekarang juga tidak bahagia? Tidak apa-apa. Joel masih bisa mengharap dan berdoa yang terbaik untuk Dea, sekalipun tetap mereka tidak bersama dan tidak mendapatkan apapun darinya.

Dengan cara ini, sepertinya Joel bakal bisa mengubah hasrat yang menyakitkan untuk tetap bersama Dea, menjadi apa yang Buddha sebut sebagai kebaikan penuh cinta (loving kindness): sebuah harapan tanpa syarat agar semua makhluk berbahagia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata.

Fokus pada Saat Ini

Cara terbaik dan paling praktis ketika mengalami galau akibat merindukan seseorang adalah mengalihkan perhatian ke masa sekarang.

Kalau saja Joel berfokus pada tugas rumah atau pekerjaan kantor, atau benar-benar terlibat dalam percakapan dengan orang lain, perhatiannya tidak akan lagi tertuju pada Dea yang selalu dirindukannya itu.

Seperti kata oppung-nya Stoik, Marcus Aurelius ini:

Ingatlah, masa lalu dan masa depan tidak punya kuasa atasmu.

Hanya masa kini-dan bahkan inipun bisa diminimalisir. Tandai batasannya.

Jika pikiran Joel tergoda dan terus mencoba untuk mengklaim bahwa tak bisa tenang selain mengingat masa lalu dan berangan-angan akan masa depan, maka Joel sepatutnya merasa malu.


Ketika Joel menghabiskan banyak waktu dan energi dengan merindukan Dea, maka Joel sebenarnya sedang memberikan kendali kuasa atas perasaannya saat ini pada ingatan masa lalu, secara sukarela.

Tidak ada yang salah dengan kenangan, tetapi keinginan untuk memiliki lagi apa yang sudah pergi seharusnya tidak mendikte apa yang Joel lakukan hari ini.

Bila Joel tidak bisa melepas dan terus mengharap atas sesuatu yang sudah tidak ada, maka momen sekarang yang Joel rasakan akan kelabu, tak hidup, dan kerap penuh keputusasaan. Mengapa begitu? Sederhana saja. Ketika Joel membuka pintu supaya masa lalu kembali, yang tentu saja tidak akan pernah terjadi, maka Joel sedang menutup pintu bagi masa sekarang.

Ini tentu saja membuat banyak kesempatan hilang. Kesempatan yang jelas-jelas ada sekarang.

Padahal, jika Joel merindukan Dea, dan sungguh mencintai Dea, dan cinta itu timbal-balik; bukankah Dea juga menginginkan yang terbaik untuk Joel, yaitu hidup dengan bahagia di masa sekarang?

Lagu-lagu Porseni Boemi 2022: Lirik, Akor dan Video

1. Solo Putra: Cover Lagu “Lirih” Ari Lasso

Intro : E F#m E D# E F#m E B

F#m D#      E    F#m  D#              E   A
kesunyian ini lirih kubernyanyi
C#m D#                  B      A                   E
lagu indah untukmu aku bernyanyi
F#m             D#    E            F#m               E
engkaulah cintaku cinta dalam hidupku
C#m D#                   B A                   E
bersama rembulan aku menangis
G#                  A   Am                     E     B
mengenangmu segala tentangmu oooh
C#m                   B          A        F#m     B
ku memanggilmu dalam hati lirih
E F#m         D#      E        F#m       D#    E A
engkaulah hidupku hidup dan matiku
C#m D# G#m B                    E A G#
tanpa dirimu    aku menangis

A   Am
mengenangmu
E      B
segala tentangmu oooh …
C#m                  B          G#m      A
ku memanggilmu dalam hatiku

Interlude: E F#m E D# B

A                   E
aku bernyanyi

G#                  A   Am                     E     B
mengenangmu segala tentangmu oooh
C#m                   B          A        F#m     B
ku memanggilmu dalam hati lirih

C#m                   B          A        F#m     B
ku memanggilmu dalam hati lirih

(unattended)
kukenang dirimu

E F#m D# E


2. Trio Campuran: Cover Lagu “Lelaki dan Rembulan” Franky Sahilatua & Jane

Intro: Bm Em Bm Em C Bm D

Verse 1

G                       D          G
Rembulan di malam hari
Bm       Em
Lelaki diam seribu kata
Bm                D
Hanya memandang
G D                   G
Hatinya luka… hatinya luka

Verse 2

G              D          G
Udara terasa berat
Bm                  Em
Karena asmara sesakkan dada
Bm         D
Ketika cinta
G D                          G
Terbentur dinding… terbentur dinding

Reff:
Em                     Bm
Bukalah pintu hatimu
C                      G
Yang s’lalu membeku
Bm                 Em
Agar ku lihat lagi
C       G          D
Rembulan di wajahmu
C             D        G
Jangan sembunyikan
C         G D      G
Hatimu padaku

G    Em           C          G
Lelaki… dan rembulan
Bm                    G
Bersatu di malam
D       C        G
Angin sepoi-sepoi

Interlude: Em C G C G C D

Verse 1

G                       D          G
Rembulan di malam hari
Bm       Em
Lelaki diam seribu kata
Bm                D
Hanya memandang
G D                   G
Hatinya luka… hatinya luka

Verse 2

G              D          G
Udara terasa berat
Bm                  Em
Karena asmara sesakkan dada
Bm         D
Ketika cinta
G D                          G
Terbentur dinding… terbentur dinding

Reff:
Em                     Bm
Bukalah pintu hatimu
C                      G
Yang s’lalu membeku
Bm                 Em
Agar ku lihat lagi
C       G          D
Rembulan di wajahmu
C             D        G
Jangan sembunyikan
C         G D      G
Hatimu padaku

G    Em           C          G
Lelaki… dan rembulan
Bm                    G
Bersatu di malam
D       C        G
Angin sepoi-sepoi

 

D       C        G
Angin sepoi-sepoi (4x, fade out)


3. Band akustik: Cover Lagu “Pelangi dan Matahari” – BIP

[intro] A D F#m E D 2x

                  A
padang hijau
F#m
di balik gunung yang tinggi
Bm
berhiaskan pelangi
A
setelah hujan pergi

                    A
ku terdampar
F#m
di tempat seindah ini
Bm
seperti hati sedang
A
sedang jatuh cinta

[chorus]
A
ku bahagia
D
merasakannya
F#m                E
andaikan aku bisa di sini slamanya
D
tuk menikmatinya

                       A
sungai mengalir
F#m
sebebas aku berfikir
Bm
hembusan angin dingin
A
membawa aku berlari

                  A
mensyukuri
F#m
semua yang telah kau beri
Bm
hati yang rapuh ini
A
kau kuatkan lagi
[chorus]
A
ku bahagia
D
merasakannya
F#m                E
andaikan aku bisa di sini slamanya
D
tuk menikmatinya

               A
ku bahagia
D
merasakannya
F#m                E
andaikan aku bisa di sini slamanya
D
tuk menikmatinya

[Interlude]

F#m D 4x     A D F#m E D

A
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
D
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
F#m                                                    E
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
D
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..

A
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
D
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
F#m                                                    E
di sini s’lamanya.. di sini s’lamanya ..
[chorus]

             A
ku bahagia
D
merasakannya
F#m                E
andaikan aku bisa di sini slamanya
D
tuk menikmatinya

A
ku bahagia
D
lepas semua
F#m                E
andaikan aku bisa di sini slamanya
D
tuk menikmatinya

A
di sini selamanya.. di sini selamanya..
D
di sini selamanya.. di sini selamanya..
F#m                                E
di sini selamanya.. di sini selamanya..
D
di sini selamanya.. di sini selamanya..

A
di sini selamanya.. di sini selamanya..
D
di sini selamanya.. di sini selamanya..
F#m                                E
di sini selamanya.. di sini selamanya..
D
di sini selamanya.. di sini selamanya..
A
di sini….


4. Solo Putri: Cover Lagu “Tetap dalam Jiwa” Isyana Sarasvati

Intro : F C Em Am
 F
tak pernah terbayang
    C                Em        Am
akan jadi seperti ini pada akhirnya
 F
semua waktu yang pernah
   C
kita lewati bersamanya
  Em            Am
telah hilang dan sirna
     F             C
hitam putih berlalu janji kita menunggu
Em              Am
tapi kita tak mampu
F                 C
seribu satu cara kita lewati
Em       Am
tuk dapatkan semua jawaban ini
Reff:
              F           C
bila memang harus berpisah
    Em      Am
aku akan tetap setia
F         C
bila memang ini ujungnya
  Em          Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa
  F           C
tak bisa ku teruskan
 Em       Am
dunia kita berbeda
  F         C
bila memang ini ujungnya
   Em           Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa
F                     C
memang tak mudah tapi ku tegar
 Em          Am   
menjalani kosongnya hati
     F                           C
buanglah mimpi kita yang pernah terjadi
  Em        Am
dan simpan tuk jadi history
 F             C
hitam putih berlalu janji kita menunggu
Em               Am
tapi kita tak mampu
  F                  C
seribu satu cara kita lewati
 Em       Am
tuk dapatkan semua jawaban ini
Reff:
              F           C
bila memang harus berpisah
 Em      Am
aku akan tetap setia
 F         C
bila memang ini ujungnya
      Em          Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa
        F           C
tak bisa ku teruskan
 Em       Am
dunia kita berbeda
  F         C
bila memang ini ujungnya
Em           Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa
F                 G
Tak bisa tuk teruskan
Am
Dunia kita berbeda
F                 G
Tak bisa tuk teruskan
Am
Dunia kita berbeda
F                 G
Tak bisa tuk teruskan
Am
Dunia kita berbeda
F                 G
Tak bisa tuk teruskan
Am
Dunia kita berbeda
Reff:
              F           C
bila memang harus berpisah
Em      Am
aku akan tetap setia
      F         C
bila memang ini ujungnya
   Em          Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa
 F           C
tak bisa ku teruskan
Em       Am
dunia kita berbeda
 F         C
bila memang ini ujungnya
   Em           Am
kau kan tetap ada di dalam jiwa


CREDITS:

  • Ari Bernardus Lasso, atau lebih dikenal dengan nama Ari Lasso (lahir di Madiun, Jawa Timur, 17 Januari 1973) adalah penyanyi pop Indonesia. Dia tercatat sebagai vokalis grup band Dewa 19 (1991-1999) yang akhirnya ia keluar dan menjalani karier sebagai penyanyi solo.

  • Franky Hubert Sahilatua (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 16 Agustus 1953 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 20 April 2011 pada umur 57 tahun) adalah penyanyi balada berdarah Maluku asal Surabaya, Indonesia. Franky adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, yang di antaranya adalah Jane Sahilatua dan Johnny Sahilatua. Namanya dikenal publik sejak paruh kedua dekade 1970-an, ketika ia berduet bersama adiknya, Jane Sahilatua, dengan nama Franky & Jane. Duet ini sempat menghasilkan lima belas album, semuanya di bawah Jackson Record. Setelah duet ini mengakhiri kerja samanya, karena Jane kemudian menikah dan hendak memusatkan diri pada keluarga, Franky lebih banyak bersolo karier. Tahun 2006, Franky diangkat menjadi duta buruh migran Indonesia bersama Nini Carlina oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

  • BIP adalah grup band yang didirikan oleh tiga orang musisi yang hengkang dari Slank pada tahun 1996, yaitu Pay (gitar), Bongky (bass), dan Indra (keyboard). Kini formasi mereka dilengkapi oleh Ipang (vokal).

  • Isyana Sarasvati (lahir di Bandung, 2 Mei 1993) merupakan penyanyi dan penulis lagu berkebangsaan Indonesia. Isyana merupakan lulusan dari Nanyang Academy of Fine Arts, Singapura dan Royal College of Music, Britania Raya. Isyana yang menulis sendiri semua lagunya ini juga pernah menjadi penyanyi opera di Singapura.

Membaca “Laudato Si”, ensklik Paus Fransiskus tentang Merawat Lingkungan Hidup

Ringkasan

Ensiklik Paus Fransiskus baru berjudul Laudato Si (Be Praised), On the Care of Our Common Home” atau dalam bahasa Indonesia: “Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama” dirilis saat konferensi pers berlangsung di Vatikan, 18 Juni 2015.

Judul “Laudato Si” yang berarti “Pujian bagiMu” sendiri merupakan penggalan dan terinspirasi dari Kidung Saudara Matahari oleh Santo Fransiskus dari Asisi.

Dalam dokumen berjumlah 190 halaman itu Paus Fransiskus menuliskan argumen teologi tentang pentingnya mengatasi perubahan iklim dan melindungi lingkungan. Ia menjelaskan kerusakan yang terus-terusan dilakukan oleh manusia terhadap lingkungan sebagai “satu tanda kecil dari krisis etika, budaya dan spiritual modernitas. Solusinya, menurutnya membutuhkan pengorbanan dan “revolusi budaya” di seluruh dunia.

  1. Dalam konteks sains, Paus menjelaskan “sebuah sensus sains solid” yang menunjukkan bahwa pemanasan global itu nyata, dan fenomena ini akan mengurangi ketersediaan air minum, merusak pertanian, menyebabkan kepunahan hewan dan tumbuhan, meningkatkan keasaman laut dan menaikkan permukaan air laut yang menyebabkan kebanjiran di kota-kota besar dunia. Perubahan iklim terjadi secara alami, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global “terutama” disebabkan oleh aktivitas manusia.
  2. Dalam konteks ekonomi, Paus mengatakan negara-negara kaya mempunyai “utang ekologis” terhadap negara-negara berkembang, yang sumber daya alamnya diambil untuk produksi dan konsumsi bahan bakar bagi negara-negara industri. Ia menyebutkan hubungan ekonomi ini adalah hubungan dengan “struktur yang sesat” dan menolak argumen bahwa pertumbuhan ekonomi saja bisa memecahkan masalah kelaparan dan kemiskinan global serta memperbaiki keadaan lingkungan. Menurutnya pola pikir seperti itu sebagai sebuah “konsep pasar yang ajaib.”
  3. Dalam konteks kebijakan pemerintah, Paus mengatakan bahwa peraturan pemerintah mutlak diperlukan untuk mengurangi pemanasan global dan “penting untuk merancang lembaga internasional yang lebih kuat, lebih efisien dan terorganisir” dengan memanfatkan kewenangan untuk memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar peraturan. “Konsensus global penting untuk menghadapi masalah yang lebih kompleks, yang tidak dapat diselesaikan secara sepihak dari masing-masing negara,” kata Paus. Namun, ia mengatakan peraturan saja tidak akan memecahkan masalah. Sebaliknya, pandangan untuk merubah etika secara menyeluruh mutlak diperlukan untuk memprioritaskan perawatan alam dan manusia.
  4. Perihal manusia, selaras dengan inti ajaran sosial Gereja yang selalu menggaungkan preferential option for the poor and marginalized, Paus mengatakan setiap aktivitas yang berdampak pada lingkungan juga harus “memperhitungkan hak-hak dasar kaum miskin dan mereka yang kurang mampu”. Baginya, “konsumerisme yang tidak beretika” telah menyebabkan tingkat konsumsi yang menyebabkan memperparah kerusakan lingkungan. Dia mengajak setiap orang untuk membentuk jaringan sosial dengan tujuan menekan pemimpin politik untuk melakukan perubahan dan membantu mereka yang kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan akibat perubahan iklim. Ia juga mendesak agar masyarakat mengubah gaya hidup mereka, termasuk “menggunakan transportasi umum, atau naik mobil bersama-sama, dan menanam pohon serta mematikan lampu-lampu yang tidak digunakan.
  5. Menyinggung iman, Paus Fransiskus menyebutkan inti ajaran Katolik adalah menekankan kepedulian terhadap makhluk ciptaan Tuhan dan kaum miskin. Ia mendesak manusia bertanggungjawab secara moral untuk merawat lingkungan seperti yang tertulis di kitab Kejadian 2:15 bahwa kita memiliki tugas untuk “menjaga” dan “merawat” Bumi. Paus berdoa untuk diskusi tentang iklim yang diselenggarakan oleh PBB dan menulis dua doa tentang pelestarian lingkungan, dan meminta Tuhan untuk memberikan, “kesembuhan dalam hidup kita, agar kita dapat terus melindungi dan merawat bumi dan menggerakkan hati orang-orang yang hanya mencari keuntungan dan mengorbankan orang-orang miskin dan dunia.”

My Two Cents: Parafrase Proses Tobat Ekologis

“Laudato Si” adalah ajakan pertobatan ekologis untuk berbuat sesuatu untuk ibu bumi. Saat berbicara tentang Healing Earth kita tidak lagi bicara tentang manusia saja, atau alam saja tetapi justru hubungan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya.

Bumi memang rusak, tetapi kesadaran manusia juga bertransformasi sehingga memunculkan harapan-harapan. Kita berharap bahwa lewat pendidikan seutuhnya – tidak hanya sekolah formal – transformasi kesadaran itu terjadi dan harapan-harapan itu terbangun.

Ini pertobatan jenis baru. Semestinya sudah dari dulu. Tapi, telat lebih baik daripada tidak sama sekali.

Karena ini pertobatan, maka menyitir proses yang terjadi dalam sakramen pertobatan, kita patut melakukan kelima langkah ini dengan mulai dari masa sekarang, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sini (tempat berada saat ini).

Meng-aku-kan dimulai dari mengakui; dan sebaik-baiknya mengakui dimulai dengan menyebutkan seluruh dosa-dosa ekologis yang telah kuperbuat, baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Dengan mengingat seluruh dosa yang kubuat, berarti Aku mengakui kesalahan dalam berbuat dosa dan siap memulai proses pertobatan yang panjang secara bertanggung jawab.

Maka, kita lakukan seluruh proses ini dengan menggunakan kata ganti “Aku”

Pertama, Menyebutkan seluruh dosa yang diperbuat.

Bersama dengan manusia lain di muka bumi ini, aku mengaku ikut berpartisipasi pada kesalahan ekologis yang menyebabkan …

  • Udara, air dan tanah tercemar (polusi)
  • Suhu lautan dan permukaan bumi meningkat, es di kutub mencair, air laut naik, pola alami musim dan curah hujan berubah, panen gagal dan kebakaran hutan sering terjadi akibat musim kering berkepanjangan (perubahan iklim atau pemanasan global)
  • Kualitas tanah dan kesehatan manusia menurun akibat pestisida yang terpaksa digunakan pada pertanian demi memastikan ketersediaan sumber makanan yang berbanding lurus dengan peningkatan penduduk (populasi)
  • Ikan-ikan mati, air tercemar, ekosistem sungai dan perairan lainnya hancur karena limbah plastik, makanan cepat saji, kemasan dan limbah elektronik yang dibuang sembarang (pembuangan limbah)
  • Perburuan membabi-buta, spesies punah, rusaknya terumbu karang (kepunahan keanekaragaman hayati)
  • Karbon yang lepas ke bumi semakin banyak akibat pembalakan liar dan mengubahnya menjadi kota, perkebunan atau industri (deforestasi atau penggundulan hutan)
  • Laut menjadi asam, kerang dan plankton punah, ikan kehilangan makanan (fenomena pengasaman laut)
  • Lapisan ozon menipis, hujan asam terjadi
  • Racun makanan meningkat, resiko penyakit manusia bertambah pula serta keseimbangan ekosistem terganggu (rekayasa genetika)

Kedua, Menyesali Setiap Dosa yang Diperbuat
Setelah Aku mengingat seluruh dosa yang telah kuperbuat, aku menyatakan menyesal.

Ketiga, Berjanji dan Bertekad untuk Tidak Berbuat Dosa
Aku berjanji tidak mengulangi dosa-dosa ekologis yang sama, dan tidak berbuat dosa ekologois untuk kedepannya. Aku bertekad untuk menghindari dosa dan kesalahan yang telah merusak lingkungan hidup bumi ini.

Keempat, Memohon Ampun pada Tuhan
Setelah Aku berjanji di hadapan Tuhan, maka dengan rendah hati Aku memohon ampun kepada Tuhan, agar seluruh dosa dihapuskan dan diberi kesempatan untuk menikmati berkat dan karunia Tuhan. 

Kelima, Melakukan Hukuman (Silih) dan Memulai Cara Hidup Baru
Aku bersedia dan menerima kualitas lingkungan hidup yang sudah menurun ini sebab aku terlibat di dalamnya, aku terima sebagai hukuman. Sesudahnya, Aku akan memulai cara hidup yang baru. Lakukan hal-hal yang disenangi oleh Tuhan serta hindari segala jenis dosa ekologis, mencintai bumi ini sebab bumi dan seluruh isinya kuyakini sebagai “bahasa kasih Allah”

 


Sumber:

  1. VoA Indonesia
  2. Ordo Fransiskan Sekular Indonesia
  3. Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Lirik Lagu Fransiskan: “Gita sang Surya”

Notasi Angka “Gita Sang Surya”

Iringan Organ (Notasi Balok) “Gita Sang Surya”

Sumber gubahan “Gita Sang Surya”:

Kidung Saudara Matahari

Yang Mahaluhur, Mahakuasa, Tuhan yang baik,
milikMulah pujaan, kemuliaan dan hormat dan segala
pujian. (Bdk. Why 4:9,11)

KepadaMu saja, Yang Mahaluhur,
semuanya itu patut disampaikan,
namun tiada insan satu pun
layak menyebut namaMu.

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
bersama semua makhlukMu,
terutama Tuan Saudara Matahari;
dia terang siang hari,
melalui dia kami Kau beri terang. (Bdk. Tob 8:7)

Dia indah dan bercahaya
dengan sinar cahaya yang cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur,
dia menjadi tanda lambang.

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Bulan dan Bintang-bintang,
di cakrawala Kau pasang mereka,
gemerlapan, megah dan indah. (Bdk. Mzm 148:3)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut,
karena langit yang cerah dan segala cuaca,
dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaanMu.
(Bdk. Dan 3:64-65; Mzm 104:13-14)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Air;
dia besar faedahnya,
selalu merendah, berharga dan murni. (Bdk. Mzm 148:4-5)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dia indah dan cerah ceria,
kuat dan perkasa. (Bdk. Dan 3:66; Mzm 78:14)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari kami Ibu Pertiwi; (Bdk. Dan 3:74)
dia menyuap dan mengasuh kami,
dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan. (Bdk. Mzm 104:13-14)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena mereka yang mengampuni demi kasihMu,
dan yang menanggung sakit dan duka-derita. (Bdk. Mat 6:12)

Berbahagialah mereka,
yang menanggungnya dengan tenteram,
karena olehMu, Yang Mahaluhur,
mereka akan dimahkotai. (Bdk. Mat 5:10)

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari kami Maut badani,
daripadanya tidak akan terluput
insan hidup satu pun.

Celakalah mereka
yang mati dengan dosa berat;
berbahagialah mereka
yang didapatinya setia pada kehendakMu yang tersuci,
kerena mereka takkan ditimpa maut kedua. (Bdk. Why 2:11; 20:6)

Pujalah dan pujilah Tuhanku,
bersyukurlah dan mengabdilah kepadaNya
dengan merendahkan diri serendah-rendahnya. (Bdk. Dan 3:85)

Lirik dan Notasi Angka “Far Over The Misty Mountains Cold” – The Lord of The Rings

Lirik “Far over the misty mountains cold” (simplified version)

Far over the misty mountains cold
To dungeons deep and caverns old
We must away, ere break of day
To find our long forgotten gold

The pines were roaring on the heights
The wind was moaning in the night
The fire was red, it flaming spread
The trees like torches blazed with light

The wind was on the withered heath
But in the forest stirred no leaf
There shadows lay (shadows lay)
Be night or day (be night or day)
And dark things silent crept beneath

Farewell we call to hearth and hall
Though wind may blow and rain may fall
We must away (we must away), ere break of day (ere break of day)
Far over wood and mountain tall

We must away
We must away
We ride before the break of day…

YouTube Video by Geoff Castelluci

Notasi Angka by Donald Haromunthe

Lirik “Far over the misty mountains cold” (extended version)

Far over the misty mountains cold
To dungeons deep and caverns old
We must away ere break of day
To seek the pale enchanted gold.

The dwarves of yore made mighty spells,
While hammers fell like ringing bells
In places deep, where dark things sleep,
In hollow halls beneath the fells.

For ancient king and elvish lord
There many a gleaming golden hoard
They shaped and wrought, and light they caught
To hide in gems on hilt of sword.

On silver necklaces they strung
The flowering stars, on crowns they hung
The dragon-fire, in twisted wire
They meshed the light of moon and sun.

Far over the misty mountains cold
To dungeons deep and caverns old
We must away, ere break of day,
To claim our long-forgotten gold.

Goblets they carved there for themselves
And harps of gold; where no man delves
There lay they long, and many a song
Was sung unheard by men or elves.

The pines were roaring on the height,
The winds were moaning in the night.
The fire was red, it flaming spread;
The trees like torches blazed with light.

The bells were ringing in the dale
And men they looked up with faces pale;
The dragon’s ire more fierce than fire
Laid low their towers and houses frail.

The mountain smoked beneath the moon;
The dwarves they heard the tramp of doom.
They fled their hall to dying fall
Beneath his feet, beneath the moon.

Far over the misty mountains grim
To dungeons deep and caverns dim
We must away, ere break of day,
To win our harps and gold from him!

Notasi Angka “Wellerman” Nathan Evans

Daun Teh

Tidak banyak lagu rakyat (folk song) dengan hiruk-pikuk latar belakang historis setengah mitologis yang konon ceritanya (folk lore) tersebar luas di seluruh penjuru dunia bajak laut berhasil didaur ulang dan masih mendapat atensi publik yang luas. Ada beberapa, tetapi tidak banyak.

Salah satunya ialah lagu “Wellerman” ini. Sebuah lagu dengan lirik yang kaya akan simbol dan tanda yang patut ditafsir dan direnungkan apa maksudnya.

Wellerman ini berkisah tentang apa sih?

Konon, dahulu kala ada sebuah kapal penangkap ikan paus yang diberi nama Billy o’ Tea. Dari nama ini saja sudah muncul sebuah keunikan. Mengapa? Umumnya nama kapal dinamai dengan nama feminin dengan harapan supaya segenap awak kapal yang hampir seluruhnya laki-laki terkompensasi afeksinya terhadap lawan jenis yang tak terjangkau nun jauh di daratan sana. Sementara kapal ini dinamai Billy. Lalu, O’Tea atau “of Tea” ini maksudnya apa sih? Seperti ada bau-bau dan memori kolektif atas praktek penjajahan, bukan?

Jadi begitulah, para awak kapal ini terus berharap supaya Sang “wellerman” segera tiba dan membawakan mereka perlengkapan dan kemewahan yang mereka impikan selama ini. Kemewahan seperti apa sih yang mereka harapkan? Gula, teh dan rum (sejenis minuman keras).

Ha?

Itu saja?

Ya. Itu saja sudah menjadi kemewahan bagi para pelaut yang berada berbulan-bulan di lautan tanpa dibayar dengan upah uang, hanya pakaian pabrikan, tembakau untuk dilinting menjadi rokok dan kata-kata motivasi.

Ha?

Ya, motivasi dari si kapitan yang kongkalikong dengan pemodal a.k.a bacot dan omong kosong khas crazy rich people yang kerap membuat kisah dramatis kesuksesan mereka dengan cerita penderitaan mereka bersusah payah dari nol hingga menjadi zillionaire tetapi lupa menyebutkan bahwa semua itu tak luput dari sumbangsih previlese yang mereka dapat, sebut saja misalnya “orang dalam”

Bisa begitu ya? Ya bisa. Sekarang pun masih banyak orang yang sudi menghamba kepada penguasa yang culas tetapi pintar bersilat kata. Jualan kata (ayat) masih laku keras kok.

Duh  … kok jadi melebar pembahasannya. Oke, kembali ke “Wellerman”

Jadi begitulah awak kapal disemangati dengan refrain bertempo cepat, secepat tangan kasar mereka mendayung kapal sehingga kapal melaju terus. Refrain (chorus) berisi pengharapan bahwa “tonguing‘” (merujuk pada praktek memotong sirip ikan paus dan mengubahnya menjadi minyak yang sangat mahal harganya) akan segera terjadi. Kira-kira, untuk konteks pekerja sekarang, mirip dengan keriuhan dan euforia setiap tanggal 25 atau tanggal gajianlah.

Malangnya, – seperti dikisahkan dalam ayat berikutnya secara akurat – para awak kapal mulai gelisah sebab motivasi dan determinasi sang kapitan bahwa paus buruan akan segera tertangkap tidak kunjung terjadi. Waktu berlalu, sementara tiga kapal lain yang membentuk kuartet kapal penangkap paus sudah kalah, tersesat atau menyerah dan memutuskan pulang tanpa membawa apapun ke daratan. Miriplah dengan motivasi dari pebisnis dan perintis startup yang – juga berjuang setengah mati melawan keraguan diri sendiri – yang setiap hari mem-briefing para karyawannya dengan isi pidato yang intinya mengajak para karyawan supaya bekerja keras sampai titik darah penghabisan, “yakinlah, jika kita tetap berjuang maka Perusahaan kita akan mencapai sukses, produk kita akan laku terjual”, kerap dengan meminjam cerita Steve Jobs dan Woz yang memulai Apple Inc. dengan kisah dramatis yang berawal dari garasi kecil.

Konon, sampai hari ini Billy o’ Tea is masih berjuang terus hingga mendapatkan tangkapan ikan paus yang mereka impikan. Dan si Wellerman masih terus mengingatkan mereka akan ganjaran yang bakal mereka dapat kalau mereka terus berjuang (making “his regular call” to strengthen the captain and crew.)

Sungguh, lagu ini adalah paduan folk song dan folklore yang ringkas dan padat tentang semangat kerja dan praktek cinta-benci antara pemilik modal dan kelas buruh (Meminjam istilah abang-abang gondrong progresif yang sampai hari ini masih mengkritik penguasa dan tetap setia pada rokok lintingan sebab benci setengah mati dengan konspirasi korporasi rokok dengan pemerintah. Oh iya, mereka juga konon senang minum kopi sebab teh entah bagaimana dianggap masih mengingatkan mereka akan trauma dijajah pada masa lalu. Bisa gitu ya?)

Panjang juga ulasannya ya. Tapi, bisa jadi, ada tafsir dan pendekatan lain. Apapun itu, lagu ini mengundang kita untuk bertanya, berdiskusi, menyanyi dan merayakan kembali kehidupan dan pekerjaan sebagai kegiatan yang khas manusiawi (homo laborans).

Itu sebabnya, kucoba tuliskan partitur angkanya. Supaya kamu yang ingin berlatih menyanyikan atau memainkannya dengan alat musik bisa terbantu. Mudah-mudahan.

Mungkin sesudahnya kamu ingin menjelajah lautan, selain “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, kamu boleh menyanyikan ini juga. Dengan teh dan rum di tangan, bunyi genderang di kiri dan kanan, siap menghadapi ganasnya ombak di lautan. Alamak ..

Secara musikal, yang membuatnya menarik ialah fakta bahwa lagu ini dinyanyikan dengan vokal belaka tanpa instrumen lain apapun kecuali gebukan si artis pada punggung gitar. Istimewa.

Partitur Angka

Lirik lengkapnya:

There once was a ship that put to sea
 The name of the ship was the Billy of Tea
 The winds blew up, her bow dipped down
 Oh blow, my bully boys, blow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

She'd not been two weeks from shore
 When down on her a right whale bore
 The captain called all hands and swore
 He'd take that whale in tow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da-da-da-da-da

Before the boat had hit the water
 The whale's tail came up and caught her
 All hands to the side, harpooned and fought her
 When she dived down low (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

No line was cut, no whale was freed
 The captain's mind was not of greed
 And he belonged to the Whaleman's creed
 She took that ship in tow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da-da-da-da-da

For forty days or even more
 The line went slack then tight once more
 All boats were lost, there were only four
 But still that whale did go (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

As far as I've heard, the fight's still on
 The line's not cut, and the whale's not gone
 The Wellerman makes his regular call
 To encourage the captain, crew and all (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Nih videonya: Keren!

 

Notasi Angka “Tanoh Simalungun” Taralamsyah Saragih dalam partitur SATB

Aransemen ulang Tanoh Simalungun Taralamsyah Saragih (tangkapan layar 1)


Aransemen ulang Tanoh Simalungun Taralamsyah Saragih (tangkapan layar 2)


Aransemen ulang Tanoh Simalungun Taralamsyah Saragih (tangkapan layar 3)