JUJUR SOAL RASA BISA SEBERBAHAYA ITU

Beberapa bulan lalu, seorang gadis menyanyi. Lagunya “Happier” membuatnya  sontak terkenal. Didengar di seluruh belahan dunia. Olivia namanya. Lengkapnya: Olivia Rodrigo.

Sebagai pendengar musik, aku sebenarnya masih tidak nyaman dengan selera musik anak remaja sekarang yang apa-apa dibuat galau. Remaja yang mengaku anak senja sambil ngopi dan ngaku sedang berfilosofi sampai semua lagu dibuat mendayu-dayu seakan ciptaan sendiri dari ungkapan hati sendiri padahal hanya ikut-ikutan cover lagu.

Tapi kuakui Happier ini beda: liriknya dalem.

(Entah mengapa “dalem” ini deeper alias lebih dalam dibandingkan kata “dalam” itu sendiri. Satu lagi bukti bahwa etimologi semata tak bisa menjelaskan tingkatan rasa dalam kata-kata).

Sebagai mantan konsultan terhadap sesama insan yang pernah patah hati (ciaeeelah) aku bisa memahami suasana galau sehabis putus pacaran. Tak hanya seperti Jen Manurung ketika curhat pasangannya “Mardua Dalan” meninggalkannya dalam keadaaan galau sampai menyumpahi, Olivia menyanyikan lirik cewek patah hati paling jujur dan paling berani.

Untuk sejenak, semua gadis (terutama yang patah hati) merasa sangat relate dengan ungkapan sejujur ini. Mungkin kamu tidak mendengarnya di putar di coffee shop ketika nongkrong, karena konon lagu ini sangat personal.

Tapi boleh cek, sebelum mereka tidur, ya gadis-gadis galau itu, pasti putar lagu ini. Kuduga-duga: mutarnya tidak cukup sekali. Diulang terus. Sampai apa?

Entahlah. Hanya mereka yang tahu.

Namanya juga cewek ya kan: mereka  ini punya semacam interkonektifitas hati di antara mereka. Semacam “lagu Olivia ini mewakili perasaan gue banget, pasti semua cewek lain di dunia ini setuju sama gue“. Gitu deh pokoknya.

Ya, seyakin itu mereka.

11-12 dengan keyakinan persatuan emak-emak seluruh dunia bahwa memasang tabung gas memang khusus tugas laki-laki.

Seorang teman bilang begini:

She (Olivia) just puts every girl most secret insecurities and shameful hurt into words so openly and unapologetically.

Oh okay. Jadi, selama ini banyak cewek memang insecure (minder) dan terluka karena malu dengan pengalaman cinta yang kandas, tapi tidak ada yang mengaku secara terbuka.

Baru dia ini, si Olivia ini.

Akhirnya karena penasaran, kucarilah liriknya di internet. Ini dia.

HAPPIER – Olivia Rodrigo

We broke up a month ago
Your friends aren’t mine, you know, I know
You’ve moved on, found someone new
One more girl who brings out the better in you

And I thought my heart was detached
For all the sunlight of our past
But she’s so sweet, she’s so pretty
Does she mean you forgot about me?

Oh, I hope you’re happy, but not like how you were with me
I’m selfish, I know, I can’t let you go
So find someone great but don’t find no one better
I hope you’re happy, but don’t be happier

And do you tell her she’s the most beautiful girl you’ve ever seen?
An eternal love bullshit you know you’ll never mean
Remember when I believed you meant it when you said it first to me?

And now I’m pickin’ her apart
Like cuttin’ her down make you miss my wretched heart
But she’s beautiful, she looks kind, she probably gives you butterflies

I hope you’re happy, but not like how you were with me
I’m selfish, I know, I can’t let you go
So find someone great but don’t find no one better

I hope you’re happy, I wish you all the best, really
Say you love her, baby, just not like you loved me
And think of me fondly when your hands are on her
I hope you’re happy, but don’t be happier

Ooh, ooh-ooh-ooh-ooh, ooh-ooh-ooh-ooh
Ooh-ooh-ooh-ooh, ooh-ooh-ooh

I hope you’re happy, just not like how you were with me
I’m selfish, I know, can’t let you go
So find someone great, don’t find no one better
I hope you’re happy, but don’t be happier


Hmmm.

Pantesan. Memang sakit sekali rupanya yang ditinggalkan itu ya.

Maka, kalau Jen Manurung mengungkapkan kesakitan ditinggal itu dengan mengatakan “alai ingot ma ito mardalan do sapata“, Olivia memilih ungkapan yang sederhana tapi lugas: “Semoga kau bahagia, tapi tak lebih bahagia dibandingkan ketika bersamaku dulu”.

Dipikir-dipikir sambil ngudud dan ngopi, orang dewasa palingan akan berkomentar: “Oalah, pake puitis-puitis segala. Intinya: elo semua pada belom bisa move on. Bilang gitu aja napa?”

Tapi namanya juga lagu, karya seni. Tujuannya kan untuk memperhalus rasa. Dalam konteks curhat galau karena diputuskan pacar, sah-sah saja Jen Manurung dan Olivia Rodrigo mendendangkan perasaan sedih mereka.

Sampai disini, seakan-akan iklim remaja senja sedunia yang sudah sedekade melankolis terus, didominasi oleh sebuah premis jujur namun tendensius dari wanita patah hati: Laki-laki brengsek tak pantas lebih bahagia.

 

Itulah yang terjadi sampai tiba-tiba, out of nowhere, muncullah balasan dari seorang pria di video ini.

(Untuk memperoleh eargasm dari teknik unisono pria-wanita oktaf berbeda, gunakan headset)

Sederhananya, Si Cowok Tiktok Mata Sipit Rambut Blonde tak mau kalah. Dia, seakan mewakili jutaan cowok – yang nggak diterima maskulinitas mereka diobok-obok si Olivia – menggunakan nada dari lagu Olivia sendiri tetapi mengganti kata-katanya. Dia bilang begini:

Dia yang sekarang denganku membuatku merasa terbang tinggi. (Jleb)

Tentu kamu tahu, aku sekarang sudah bahagia.

Jauh lebih bahagia dibandingkan ketika bersamamu dulu.

(Sorry babe, doa jelekmu tidak terkabul)

Selama ini sudah lelah bersabar dengan semua sikapmu. Terbukti, kamu egois. Kamu hanya memikirkan diri sendiri. Kamu yang terburuk dari semua orang yang pernah kukenal.

Jadi, cobalah untuk ikhlas. Ikhlaskan aku.

Aku sudah menemukan seseorang yang lebih hebat, yang jauh lebih baik dibanding dirimu.

Seperti yang kamu bisa lihat sendiri: aku sekarang sudah bahagia.

Aku berharap kamu mendapat yang terburuk. Beneran.

(Tuh khan, aku jadi ikut-ikutan doa yang jelek)

Aku mencintainya. Sungguh. Jauh lebih besar daripada cintaku padamu yang dulu.

Jadi, kamu sekarang bisa mengingat wajahku sambil membayangkan kedua tanganku memeluk pinggangnya dari belakang. Dan ketahuilah, aku sekarang sudah bahagia. Jauh lebih bahagia.

Dadaaghhh sayang.


Nah, menurut kamu yang benar lebih bahagia, happier” (sesuai judul lagu dan balasannya yang sedang kubahas sesukaku ini) yang mana:

  1. Olivia Rodrigo
  2. Jen Manurung
  3. Si Cowok Tiktok Mata Sipit Rambut Blonde

Atau, jangan-jangan: Mereka semua sebenarnya tidak lebih bahagia dari kita-kita ini? Sebab kalau dipikir-pikir lagi dengan ngudud dan ngopi Kapal Api, dengan ungkapan jujur dan berani seperti yang mereka lakukan ini, intinya sih mereka belum move on. Boro-boro bahagia, yang ada malah saling menyakiti padahal tidak bersama lagi. Buat apa coba?

Hmmmm …

Lirik Lagu “Taktak Gabe Tiktok” Nai Malvinas

(Verse 1)

Aut sura ma nian Pegawai Negri au inang di pamarenta
Manang Pejabat Tinggi au inang di Kantor Pusat ni Bappeda

Na boi do bahenonkku ho inang ni gellengkku margaya gaya
Na boi do ganup ari bahenonkku ho inang ganup ari tukkar kabaya

(Verse 2)

Aut sura ma inang adong titelhu pinomat tammat D sada
Borhat do au nian ale inang tu pokkanan marboniaga

Alai tung gogokki pe dainang ni gellekku na huparbaga
Na boi do bahenonkku haduan ho hasian hidup bahagia

(Refrain)

Paima ro tikkina … Unang ho minder da inang
Mida tetangga na sai holan na margaya

Sotung maila hita … Margaya gaya ho inang di medsosi
Hape gelelengta dang sikkola

Anggo hamoraontta … Gelleng tai majo dainang parsondukku
Tabaen sude tammat sarjana

Humokkop gellengta … Bukkuk pe tanggurungtai ale inang
Na boi doi tadok gayatta

Dung jumpang tikkina … Na boi do hita haduan marheppy heppy
Tamasya keliling dunia

Tung so tarpasitta … Marhapal pe taktak tai
Na boi doi ale inang gabe tiktokta


(Interlude)

(Verse 2)

(Refrain)

Marhapal pe taktak tai
Na boi doi ale inang gabe tiktokta

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence (Act II)

Setelah memiliki rancangan Act I (sekuens 1 dan sekuens 2), sekarang kita lanjutkan ke Act II, yakni terlebih dahulu mengulas Sekuens 3 dan 4 dari metode 8 sequence.


ACT II

Sekuens 3

Pada sekuens ini, karakter kita bersiap-siap untuk melakukan “perjalanan” atau usaha setelah mereka tersadar atas suatu hal. Dalam bagian kali ini, karakter kita akan berusaha sekuat tenaga untuk bertindak – sesuai pilihan (decision) yang diambilnya setelah sempat mengalami keraguan (doubt) di Act I.

Fokus di sekuens 3 adalah ditemukannya Tantangan Pertama (first obstacle) dan  menguatkan kesadaran karakter utama atas masalah yang dihadapi (raising the stakes), dia tidak bisa lagi lari dari kenyataan yang terjadi.

Sekuens 4

Pada sekuens ini, masing-masing karakter telah hampir berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Para tokoh seolah-olah hampir berhasil, dan semuanya terlihat benar-benar bahagia. Namun, cerita juga mempersiapkan konflik untuk maju ke sekuens berikutnya ke arah klimaks.

Fokus di sekuens 4 adalah munculnya titik kulminasi pertama (first culmination/midpoint), yang umumnya paralel dengan Resolusi  atas konflik di akhir cerita. Sebagai contoh, jika cerita yang kita tulis berupa tragedi dan hero/sang karakter utama meninggal,  maka di sekuens 4 inilah kita menguraikan titik terendah yang dialami si karakter utama. Sebaliknya, jika hero kita menang di akhir cerita/film yang sedang kita tulis, maka kita sebaiknya mengakhiri sekuens 4 ini dengan menggambarkan “kemenangan kecil” sebelum kemenangan final di akhir cerita.

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence (Act I)

Setelah memiliki sebuah premis dan konsep skenario, maka kita akan masuk pada teknikalitas penulisan skenario. Metode yang paling sering dilakukan adalah 8 sequence (8 sekuens).

Apa itu 8 sequence?

8 sequence ini bukan satu-satunya metode dalam mengembangkan sebuah ide menjadi skenario, tapi oleh para penulis naskah film terkenal, dianggap efektif dan mudah diajarkan dan dipahami terutama oleh para penulis pemula.

Perlu diingat bahwa kerangka 8 Sekuens ini bukanlah formula mutlak atau resep sempurna untuk membuat sebuah bangunan cerita. Karena setiap naskah itu adalah sebuah prototipe: baru, unik, dan dibuat khusus sesuai isi cerita/kisah yang ingin ditulis. Akan tetapi pengalaman para penulis skenario kenamaan (termasuk para penulis skenario film Hollywood) yang menggunakannya mengakui bahwa formula ini adalah titik berangkat yang baik. Ernest Prakasa, seorang produser sekaligus screenwriter Indonesia mengaku bahwa dia menggunakan metode ini untuk menggarap film-filmnya.

Sebenarnya 8 sequence adalah pengembangan dari pola 3 Acts Structure (drama 3 babak) dari Yunani Kuno, yang berupa awalan/perkenalanperjalanan/konflik, dan hasilnya seperti apa (akhir cerita). Khusus pada bagian perjalanan/konflik durasinya biasanya setengah dari durasi keseluruhan cerita, sehingga kerap dibagi lagi menjadi 2 bagian. Maka, sekarang kita memperoleh Babak 1, Babak 2A, Babak 2B dan Babak 3.

Lebih lanjut, metode 8 sequence adalah pemecahan dari keempat babak ini, dimana masing-masing babak dibagi menjadi 2 sekuens. Maka, pembagiannya:

  • Babak 1 menjadi Sekuens 1 dan Sekuens 2.
  • Babak 2A menjadi Sekuens 3 dan Sekuens 4.
  • Babak 2B menjadi Sekuens 5 dan Sekuens 6.
  • Babak 3 menjadi Sekuens 7 dan Sekuens 8.

Perjalanan kisah mulai dari sekuens 1 hingga sekuens 8 inilah yang kita kenal sebagai 8 sequence.

Penggunaan Metode 8 sequence

Tentu ini bukan satu-satunya cara. Kelima film box-office besutan Ernest Prakasa dibangun dengan metode ini. Sederhana tetapi sekaligus memberi banyak ruang untuk berkreasi dan mendramatisasi.

Sampai disini mungkin akan muncul pertanyaan: metodenya sama, apakah hasilnya akan sama? Tidak juga. Film-film mainstream di Hollywood umumnya menggunakan metode ini, tetapi kita bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa hasilnya tidak sama. Ini bisa dianalogikan seperti tengkorak manusia. Walaupun bangunan dasar tengkorak kita – manusia Homo Sapiens ini – sama,  tetapi toh wajah dan penampilan kita berbeda-beda. Maka, walaupun menggunakan metode penggarapan ceritanya sama, tetapi alur film tetap berbeda.

Meski tidak dalam artian ketat secara matematis, metode 8 Sekuens ini bisa menjadi alarm bagi penulis skenario untuk membagi durasi setiap bagian cerita secara proporsional. Kasarnya, misalnya, jika cerita yang hendak dibangun berdurasi 1 jam (60 menit), maka setiap sekuens berkisar 7-8 menit. Jadi kalau misalnya sudah memasuki menit ke-20 ternyata sekuensnya masih di Act 1 (sekuens 1 dan sekuens 2), maka kita harus segera periksa: Mungkin kita sudah melenceng terlalu jauh dari ide cerita yang kita bangun.

 


BABAK 1

Sekuens 1: Status quo dan inciting incident

Pada bagian status quo ini terjadi perkenalan karakter. Apakah semua karakter harus diperkenalkan sekaligus di awal? Tidak ada aturan baku seperti itu. Yang sering terjadi ialah pengenalan dilakukan dengan dicicil bahkan bisa juga tersebar di sekuens berikutnya. Pada intinya, sekuens ini bertujuan supaya audiens (pembaca naskah atau penonton film) mengenal karakter. Tujuan lebih lanjut ialah: dengan mengenal, audiens sampai pada tahap empati terhadap apapun yang dialami si karakter.  Peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” tepat menggambarkan tujuan ini.

Sekuens 1 ditutup dengan inciting incident (insiden pemicu).

Contoh insiden pemicu pada “Cek Toko Sebelah” (2016)  adalah  ketika Koh Afuk mulai sakit. Kalau dia tidak sakit, maka tidak ada urgensi baginya maupun anak-anaknya untuk mulai berfikir soal warisan. Ini juga menjadi pemicu buat Erwin untuk memikirkan ulang keputusan karirnya.

Pada “Susah Sinyal” (2017), insiden pemicu adalah ketika Oma (sang nenek) meninggal. Mental putrinya down, sehingga Ellen (karakter utama) harus putar otak untuk mengambil peran si nenek: kembali menjalin komunikasi yang selama ini hilang dengan putri semata wayangnya.

Pada “Black Panther” insiden pemicu adalah ketika museum dibobol, artefak Wakanda dicuri. Ini menjadi pemicu bagi warga Wakanda untuk melakukan sesuatu yang sangat berbeda: mereka meninggalkan zona nyaman mereka, membuka gerbang Wakanda sehingga bisa bertarung bersama dengan anggota tim lain Avengers.

(Silahkan kamu mencari contoh insiden pemicu ini di film lain yang sudah kamu tonton).

Singkatnya, Sekuens 1 ini membangun karakter utama, sekilas perjalanan hidupnya, serta status quo dan semesta kisahnya. Sekuens ini diakhiri dengan POINT OF ATTACK atau INCITING INCIDENT, meskipun bisa juga plot ini muncul pada menit-menit pertama film.

Sekuens 2: doubt (keraguan) dan decision (keputusan)

Ketika karakter dihadapkan dengan insiden pemicu ini, maka akan muncul keraguan: ia diharuskan untuk keluar dari kenyamanannya. Ia dihadapkan pada dua pilihan utama: tetap di zona sebelumnya dan tak melakukan apa-apa, atau memutuskan untuk melakukan sesuatu karena sudah jelas ada masalah di depan mata.

Pada “Black Panther” ini terlihat ketika para petinggi Wakanda setuju (decision) bahwa mereka harus melakukan sesuatu. Kalau tidak, maka ceritanya tidak berjalan.

Pada “Susah Sinyal”, Ellen mulai benar-benar berfikir untuk mencari quality time, waktu berdua dengan putrinya. Sampai ia membatalkan untuk bertemu dengan klien penting dan mendelegasikan proyek itu kepada rekan kerja sekantornya.

Pada “Cek Toko Sebelah”, Erwin menjadi ragu apakah ia harus meninggalkan pekerjaannya di yang sudah di level atas manajemen perusahaan setelah ia mendengar penuturan bosnya yang menyesal karena ketika hidupnya tidak sempat membahagiakan orangtuanya. Cerita si bos sangat mengena dengannya karena saat itu Koh Afuk – ayahnya – sedang sekarat, kemungkinan tidak akan berumur panjang lagi.

 

Q & A: Benarkah Pemerintah (Perlu) menyewa Influencer?

Q: Apa sih itu influencer?

A: Wah, panjang ini. Kita mulai dengan penjelasan akademis dulu ya. Jadi, gini. Masyarakat itu kan ada yang aktif dan pasif. Orang yang aktif entah mencari pengetahuan, aktif sekolah dan aktifitas-aktifitas sosial. Orang dari golongan ini memiliki status sosial dan memiliki pengetahuan yang lebih besar dibandingkan yang pasif. Orang aktif ini biasanya ada si strata yang lebih bagus. Di era sebelum ada media sosial, mereka inilah yang disebut opinion leader, atau pemuka pendapat. Mereka ini adalah tempat orang bertanya. Mereka juga sering memberikan informasi dan nasihat. Akibatnya, orang ini dipercaya dan bisa sangat berpengaruh di lingkungannya hingga di luar lingkungannya juga.

Orang seperti ini sudah ada inheren dalam kehidupan sosial masyarakat kita sejak dulu.

Q: Contohnya?

A: Sebelum era digital lazim dikenal masyarakat yang polimorfik. Pada konteks ini, opinion leader aktif di berbagai hal, dianggap tahu berbagai hal. Dukun, datuk, kyai, ulama dan sejenisnya adalah contoh opinion leader. Tidak hanya di bidang agama, tetapi juga kerap di bidang keilmuan lainnya. Nah, ketika dunia berubah, sekarang terjadi spesialisasi, akhirnya opinion leader ini pun menjadi monomorfik, mengikuti karakter baru masyarakat juga. Maka, kalau ngomong kesehatan, tanya ke dokter, misalnya. Kemudian ketika muncul media digital atau media sosial ini, dimana masyarakat bisa aktif tidak hanya dunia fisik tapi juga dunia maya, maka konsep opinion leader ini naik ke dunia maya atau media social. Ini berkembang menjadi sebuah profesi. Inilah yang disebut sebagai influencer atau opinion leader dunia maya. Kalau saya punya follower 1 juta, maka berarti saya bisa mempengaruhi atau membagikan informasi ke jutaan orang. Berarti kan menjadi sebuah media sudah. Dia menjadi institusi yang dibutuhkan dalam konteks marketing dan opinionisasi.


Q: Perbedaan antara influencer dan intelektual itu apa sih? Posisi sosiologis mereka seperti apa sih?

A: Kalau kamu intelektual kemudian punya akun Youtube, halaman Facebook atau Twitter, sering share pengetahuan membuat orang lain dapat informasi dan pencerahan dari kamu, lama-lama kamu diikuti banyak orang, maka kamu adalah intelektual yang menjadi influencer. Tetapi kalau kamu adalah intelektual yang hanya di kamar atau di kampus, dan hanya di lingkungan terbatas itu, maka belum tentu jadi influencer. Jadi, bedanya: intelektual itu pengaruhnya hanya pada lingkungan akademis, sementara influencer adalah orang yang dengan kelebihan tertentu memberikan pengaruh ke banyak orang. Influencer ini bisa siapa saja, bisa akademisi (yang menempuh Pendidikan di bidang keilmuan tertentu), bisa juga sembarang orang yang memang punya authority untuk berbicara di bidang tertentu tanpa harus memiliki titel pendidikan formal untuk itu.


Q: Sumber pengaruh ini darimana?

A: Ada yang karena kemampuan pengetahuannya. Ada juga karena passion, art atau seni tersendiri yang bisa membuat konten yang menarik.

Q: Kenapa mereka kita sebut influencer, bukan entertainer? Bukankah basicly pengaruhnya datang dari menghibur?

A: Bisa saja. Karena kan entertainer kan tidak selalu ada di media sosial. Kamu menjadi penabuh kendang pada acara dangdutan ketika ada hajatan nikah orang, misalnya, kamu itu entertainer juga disitu. Fungsi sosialnya memang bisa sama. Maka, kekhasan influencer: ia muncul di media sosial.


Q: Seorang disebut influencer karena punya pengaruh ke banyak orang, sehingga output-nya adalah orang banyak mengikutinya. Artinya kalau misalnya Atta Halilinta, pengaruh apa yang diberikan ke orang lain sehinggga orang lain mengikuti?

A: Pertama, influencer di media social itu tidak mesti berarti orang harus mengikuti perilaku influencer. Yang penting orang mengikuti akunnya dulu, jadi follower atau subscriber dulu.


Q: Tetapi kan dalam landscape media digital sekarang, jumlah follower itu bisa direkayasa? Bagaimana cara memverifikasi atau memvalidasi kemampuan pengetahuan/influence dia?

A: Namanya influencer ini ikan yang dijual adalah kepercayaan/trust. Kalau dia ketauan ternyata subscriber-nya abal-abal, itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Rekayasa-rekayasa yang di luar kejujuran akan menghancurkan dirinya sendiri. Fakta sederhana sangat penting diketahui, terutama bagi orang yang mau masuk dan terjun ke dunia baru ini, yakni komunitas kreator konten  di media sosial.


(Terutama ini jelas terlihat di Youtube. Lihatlah kegelisahan seorang Izzy sampai dia membuat kritik tajam terhadap para Youtuber yang hanya perduli AdSense, tapi tak perduli dampak ke masyarakat)

Kalau dia ternyata ketahuan, maka dia akan dihabisi oleh para follower atau kompetitornya. Dibuka borok-boroknya. Hancur sudah. Fakta itu speaks louder than words. Karena jejak digital ada, maka termasuk rekayasa follower ini juga tercatat, sebaiknya jangan dilakukan.


Q: Perbedaan soal influencer sama buzzer itu apa sih?

A: Influencer ini selalu berbasis skill dan pengetahuan. Bisa juga kreatifitas atau penampilan yang menarik. Kadang-kadang mereka ini menempuh pendidikan formal untuk itu. Tetapi kalau buzzer, ini ikan dari kata buzz (mendengung). Intinya hanya untuk menyampaikan informasi yang sama secara terus-menerus, berulang-ulang. Di dunia buzzer, tidak penting identitas. Karena dasarnya adalah kemampuan untuk menebar, menyebar dan memunculkan kebenaran semu. Kita tahu bahwa di media sosial, mereka ini lebih sering menimbulkan kegaduhan. Maka, ketika kamu mengeluarkan sebuah pendapat, lalu kamu diserang ribuan buzzer, bisa saja kamu merasa seakan-akan kamu sudah hancur. Padahal belum tentu yang kamu suarakan itu salah. Media sosial ini sekarang sudah menjadi sebuah medan perang. Perang apa? Perang buzzer, perang proxy, cyber army battle. Perang yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi atau motif komersil lainnya.


Q: Buzzer ini ada pengaruhnya nggak sih pada kehidupan sosial?

A: Sayangnya, ada. Karena fenomena buzzing ini bisa menimbulkan kebenaran semu. Jadi sangat bisa berpengaruh pada kehidupan nyata.


Q: Tapi bukankah seharusnya kalau orang sudah lama bermain media sosial, mereka kan seharusnya sudah paham apa yang terjadi?

A: Faktanya: tidak selalu begitu. Kita lihat saja contoh konret, bagaimana hoax bisa mengubah lanskap media sosial di banyak negara, bahkan di negara maju: ada fenomena post-truth di Amerika Serikat, menangnya Brexit, dan lain-lain. Karena itu, ada fakta yang patut disyukuri: Indonesia cukup berhasil dalam melawan fenomena post-truth, hoax dan buzzer tadi.

Q: Indikator keberhasilannya apa?

A: Persisnya tidak bisa disampaikan semua disini. Antara lain, KPU waktu itu diundang negara Barat untuk presentasi dan ditanyai bagaimana caranya kok bisa menang melawan fenomena post-truth.


Q: Buzzer ini akan sangat diuntungkan ketika digital literacy ini sangat rendah di masyarakat, memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola dan mengolah informasi. Begitu ya?

A: Ini hal menarik juga, karena anehnya di negara-negara maju yang penduduknya dianggap lebih cerdas dan banyak membaca, dianggap lebih matang dari segi praktek berdemokarasi dan pendidikannya, tetapi akhirnya ketika identitas mereka diusik dari sisi keagamaan dan ras, kok malah ada kesimpulan entah sadar maupun tidak sadar “oh iya, kami memang tidak suka dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengan kami”


Q: Berarti kemampuan buzzer dan media digital dalam memecah-belah masyarakat ini overstated, dilebih-lebihkan? Karena memang faktanya masyarakat kita sudah terbelah.

A: Memang itu yang terjadi. Masyakat ini memang beragam. Riset Oxford mengatakan bahwa sebagian besar negara (at least tercatat 70 negara) ini ada buzzer. Buzzer ini ya untuk perang tadi. Ada yang dipakai oleh pemerintah, partai politik, perusahaan, politikus.


Q: Kalau Prof Henry sendiri risetnya bagaimana?

A: Data ICW yang menyebut 90 M itu untuk influencer, terutama 10 M dari Kemkominfo, itu banyak sekali salahnya. Karena kalau di Kemkominfo, dana itu digunakan bukan untuk membayar influencer, tetapi untuk pelatihan digital literacy di seluruh Indonesia untuk meniptakan anak-anak yang menguasai teknologi: bisa bikin konten, bisa bikin video, vlog dan lain-lain. Nah, memang yang melatih itu adalah para volunteer, yang memang adalah sudah influencer selama ini. Namun, mereka tidak diberi uang miliaran seperti diberitakan. Contohnya: ada aturan di adminsitrasi pemerintahan, seorang pembicara itu dibayar tidak lebih dari 3 juta dalam satu sesi bicara. Tetapi, lagi-lagi karena ini di media sosial, tempat berperang, maka orang yang datang dengan tafsir liar pun bisa menguasai panggung wacana publik.


Q: Jadi, persisnya kalau yang dari Kemkominfo itu, program yang disebut menyewa influencer ini bagaimana sih?

Memang ada. Yossie itu ketua relawan Cyber Kreasi. Tetapi sekali lagi, ini yayasan yang berisi relawan untuk melakukan digital literacy. Maka kalau mereka disebut menerima uang besar hingga miliaran, itu tidak benar. Kasihan dia. Dia jadinya bisa dapat nama jelek karena tafsir sembarangan dari pihak tertentu.


Q: Tetapi Prof, ini tetap tidak sepenuhnya memuaskan pertanyaan “Mengapa institusi negara atau pemerintah mau menghire influencer“?

A: Ini realita. Di era disrupsi ini, media utama konvensional kan mengalami penurunan fungsi. Artinya kalau tujuannya untuk menyebarkan informasi, pemerintah sadar dan mengakui memang perlu untuk menggunakan influencer, tetapi dengan catatan: hanya untuk keperluan yang sifatnya bukan menyangkut public policy. Jadi, program influencer ini ya urusannya untuk yang cocok dengan bidang influencer-nya juga. Misalnya untuk program-program pariwisata atau travel, bagaimana supaya orang jadinya semakin mengenal Mandalika, Labuan Bajo dan lain-lain. Influencer itu biasanya dimaksudkan untuk yang seperti itu.


Q: Sebagai seorang sosiolog, ada kesan bahwa semakin sering pemerintah menggunakan influencer ini mengindikasikan bahwa semakin berkurangnya public trust kepada pemerintah sehingga pemerintah merasa perlu untuk meng-outsource influencer swasta.

A: Kami yang di Kemkominfo itu ya kayak Humas. Humas itu manager, kerjanya ya me-manage, mengatur. Maka, bukan lalu pemerintah atau PNS yang bekerja di Kemkominfo jadi harus pegang mikrofon dan langsung ngomong bikin podcast atau bikin konten video. Pemerintah itu hanya me-manage strategi komunikasi. Dalam strategi itu bebas saja menggunakan talent-talent yang ada, termasuk ya influencer-influencer tadi, orang-orang dengan pengaruh yang datang dari sektor swasta itu.

Perihal public trust. Ini kan ada cara mengukurnya. Ada cara ilmiahnya, yaitu dengan polling. Lihatlah bagaimana hasil polling, seberapa besar kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan sekarang.


Q: Tetapi bukankah patut diduga kalau ternyata lembaga polling itu pemiliknya berafiliasi dengan pemerintah atau mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, hasil polling bisa diatur juga?

A: Wah, inilah uniknya netizen Indonesia. Apa-apa dipandang dari sudut politis. Tak semua itu bermuatan politik.

 

 

Kamu sendiri bagaimana? Setuju/tidak kalau pemerintah menggunakan jasa influencer?


Ini adalah transkripsi bebas Saya atas interview Zulfikar Amri dengan Prof Henry Subiakto (Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga sekaligus Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum) dengan penambahan dan penekanan dari Saya di beberapa tempat.

Dasar-dasar Etika Berinternet: Data Pribadi dan Konsen

Dear warga Boemi,

Budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari sangat perlu untuk tetap dipelajari, dikembangkan dan dievaluasi terus-menerus apakah kita sudah memahaminya atau belum. Secara khusus pada situasi pandemi sekarang ini dimana hampir seluruh aktifitas kita, termasuk pembelajaran, mengalami transisi dari tatap muka di luar jaringan (luring) ke situasi daring (dalam jaringan), maka sangat perlu sekali kita memahami etika berperilaku dan berbudi pekerti di dunia internet ini.

Untuk mulai masuk kesana, mari kita membahas dua hal mendasar dulu, yakni Data Pribadi dan Konsen (Persetujuan).

Data Pribadi

Data pribadi, secara umum, adalah satu atau sekumpulan informasi, dalam berbagai format, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang.

Penyebutan dan definisi data pribadi sendiri cukup bervariasi.
Dalam bahasa Inggris, setidaknya ada dua istilah yang kerap digunakan untuk menyebut data pribadi:

  1. PII (Personally Identifiable Information) lebih umum digunakan di Amerika Serikat.
  2. Personal Data ada didefinisikan dalam GDPR (General Data Protection Regulation) berlaku untuk warga dan negara Uni Eropa.

Di Indonesia sendiri, penyebutannya menggunakan istilah data pribadi kalau merujuk pada Rancangan UU Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP). Isi dari draf RUU PDP masih dapat berubah sewaktu-waktu, sampai setelah disahkan.

Apa saja yang termasuk data pribadi?

Kalau berdasarkan definisi personal data dari GDPR, data pribadi itu mengacu pada pengenal seperti nama, nomor identifikasi, data lokasi, pengenal online, atau satu atau lebih faktor yang spesifik untuk: fisik, fisiologis, identitas genetik, mental, ekonomi, budaya atau sosial dari orang tersebut.

 

Karena hidup kita makin dekat dan erat dengan dunia digital, maka contoh ini juga termasuk data pribadi yang harus dipertimbangkan untuk dijaga keamanannya!

Informasi aset teknologi: alamat internet protocol (IP Address) atau alamat email MEdia Acces Control (MAC Address) yang secara konsisten terhubung pada satu individu tertentu.

Data pribadi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: bersifat umum dan bersifat sensitif.

Yang umum bisa dikategorikan dengan mengecek tingkat risiko bila data tersebut tersebar. Jika risikonya rendah, maka bisa kita kategorikan sebagai data pribadi bersifat umum.

Sebaliknya, data pribadi yang dikategorikan bersifat sensitif adalah data pribadi yang jika tersebar luas dapat membawa risiko yang tinggi pada keamanan, bahkan keselamatan orang tersebut.

Data pribadi yang bersifat umum atau sensitif bagi tiap orang bisa jadi berbeda-beda, dikarenakan banyak faktor yang menjadi bagian dari individu tersebut. Misalnya, seseorang yang memiliki rekam jejak medis sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bisa mendapatkan diskriminasi dan stigma dari masyarakat, jika informasinya tersebar luas.

RUU PDP sendiri membagi data pribadi berdasarkan 2 sifat, yakni umum dan spesifik.

Data Pribadi yang bersifat umum dalam RUU PDP adalah:
a. nama lengkap;
b. jenis kelamin;
c. kewarganegaraan;
d. agama; dan/atau
e. Data Pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang (dicontohkan dalam Bagian Penjelasan bahwa data pribadi di dalam poin (e) antara lain adalah nomor telepon seluler.)

Sedangkan, Data Pribadi yang bersifat spesifik dalam RUU PDP adalah:
a. data dan informasi kesehatan;
b. data biometrik;
c. data genetika;
d. kehidupan/orientasi seksual;
e. pandangan politik;
f. catatan kejahatan;
g. data anak;
h. data keuangan pribadi; dan/atau
i. data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks dunia digital, sebuah data, baik data pribadi atau bukan, dapat menyebar dengan cepat, dan pula biasanya saling terhubung, atau dapat dihubungkan karena jejak digital.

Kita harus bijak dan hati-hati dalam menjaga data pribadi kita.

Data pribadi kita adalah bagian dari tubuh kita:

Tubuh digital yang perlu dijaga!

Nah, selain membahas privasi dan data pribadi seseorang, kita juga perlu mengecek level nyaman dan aman kita secara berkala.

Kenapa penting memahami level nyaman dan aman?

Level Nyaman dan Aman

Level nyaman dan aman tiap orang berbeda.

Ada yang nyaman menjadi publik figur, ada yang tidak nyaman menjadi sorotan publik. Situasi ini akan mempengaruhi batas-batas privasi yang kita terapkan, termasuk ketika berbagi data pribadi.

Level nyaman juga mempengaruhi level aman saat memanfaatkan teknologi digital. Semakin nyaman memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan teknologi digital, biasanya semakin telanjang tubuh digital kita, dan semakin rentan keamanan digital kita.

Merasa nyaman dengan teknologi digital? Coba jawab 3 pertanyaan berikut:

  1. Apakah kamu menggunakan fingerprint / sidik jari di ponsel supaya bisa membukanya lebih cepat?
  2. Apakah kamu membuat password yang mudah dihapal, seperti tanggal lahir
  3. Apakah kamu menyimpan password di browser untuk memudahkan login ulang nantinya?

Jika jawabannya “YES” untuk pertanyaan-pertanyaan tadi, level keamanan digital kita menjadi berkurang.

Menggunakan fingerprint atau sidik jari untuk membuka ponsel pasti lebih aman, lebih cepat juga dibanding harus masukin password atau kode pin!

Merasa nyaman karena kemudahan teknologi membuka ponsel dengan sidik jari, juga aman karena tidak ada yang bisa meniru sidik jari kita? Tunggu dulu, jangan terlena! Sidik jari mungkin susah ditiru, karena dia termasuk data pribadi biometrik. Namun, … .. bayangkan jika sedang tidur atau tidak sadarkan diri … Sidik jari kita akan mudah diakses oleh orang untuk membuka si ponsel.

Atau, bayangkan bahwa data di ponsel tersebut bocor, dan jadinya ada orang yang memiliki akses data sidik jari kita? Sama dengan kenyamanan mudah menghapal password yang berupa tanggal lahir. Mudah dihapalkan bisa jadi mudah ditebak orang lain, lho.

Begitupun dengan kemudahan dan kenyamanan bisa login ulang langsung, karena passwordnya sudah diingat browser yang kita gunakan.

Ini berarti, jika seseorang punya akses ke perangkat digital yang kita gunakan, laptop atau ponsel, dan bisa mengakses browser kita, maka ada risiko orang tersebut bisa mengakses akun kita.

Selain itu, level nyaman dan aman seseorang juga berubah seiring berjalannya waktu dan kebutuhan kita yang berubah! Contoh, dulu karena masih SMP semua hal diposting di media sosial, sepertinya aman saja. Sekarang, baru posting selfie sudah mendapatkan berbagai komentar negatif. Atau dulu, belum berhijab, banyak dan nyaman saja mengunggah foto ke media sosial yang menunjukkan aurat seperti rambut atau saat mengenakan pakaian yang pendek dan terbuka.  Lalu, sekarang sudah berhijab, dan jejak digital di masa lalu yang belum berhijab itu ternyata dimanfaatkan untuk menyerang identitas sekarang yang sudah berhijab.

Situasi begini menunjukkan pentingnya memperhatikan level nyaman dan aman kita masing-masing dalam konteks privasi, data pribadi, dan keamanan digital. Selalu cek dan ricek secara berkala level nyaman dan aman kita selama menggunakan teknologi digital!

Consent dan Fries

Konsen adalah persetujuan untuk berpartisipasi dalam suatu aktivitas.

Sebelum kita melakukan aktivitas yang melibatkan orang lain, kita perlu tahu apakah pihak lain juga ingin melakukan aktivitas atau kegiatan yang sama dengan kita. Meminta dan memberikan konsen adalah tentang menetapkan batasan pribadi dan menghormati batasan orang lain.

Konsen juga berarti orang yang meminta dan orang yang memberikan persetujuan sama-sama aktif mencari tahu jika ada informasi terkait persetujuan tersebut yang belum jelas.

Semua pihak yang terlibat dalam suatu aktivitas tertentu, harusnya adalah pihak-pihak yang sudah menunjukkan persetujuannya. Konsen erat hubungannya dengan hal-hal terkait ketubuhan, seperti aktivitas seksual dan data pribadi.

Untuk aktivitas seksual, semua tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan adalah bentuk kekerasan seksual. Untuk data pribadi, tidak mengindahkan konsen adalah bentuk pelanggaran privasi.

Dalam konteks dunia digital di Indonesia, konsen diatur dalam UU ITE Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi:

“Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”


Bicara tentang konsen, ingat FRIES!

F – Freely Given atau diberikan secara bebas
R – Reversible atau dapat diubah
I – Informed atau diinformasikan
E – Enthusiastic atau diberikan dengan antusias
S – Specific atau spesifik

F – Freely Given atau diberikan secara bebas

Konsen adalah pernyataan persetujuan melalui kata-kata dan perilaku, di mana pilihan itu dibuat secara sadar, tanpa tekanan, manipulasi, atau di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol.

R – Reversible atau dapat diubah

Siapapun dapat berubah pikiran kapan saja tentang persetujuan yang disepakati, terutama bila ada situasi yang berubah dan menimbulkan rasa tidak nyaman dan aman pada satu atau banyak pihak yang terlibat dalam konsen tersebut. Unsur Reversible ini berarti kita bisa mengubah atau menghentikan persetujuan kapan saja, walaupun kita memang pernah melakukan aktivitas tersebut di masa lalu. Orang lain yang terlibat di dalam konsen tersebut harus menghormatinya.

I – Informed atau diinformasikan

Kita hanya bisa menyetujui suatu hal yang diketahui berdasarkan informasi yang diberikan. Baik yang meminta dan memberikan konsen harus memiliki informasi yang sama sebelum persetujuan disepakati, misalnya terkait tujuan dari konsen, risikonya apa, akan berlangsung berapa lama, mencakup apa saja, dan hal-hal lainnya.

Informed juga berarti konsen tidak dapat diberikan oleh mereka yang berusia anak, karena belum memiliki kemampuan untuk menilai suatu situasi secara menyeluruh dan rentan ditipu daya.

Penerapan unsur informed dalam dunia digital, misalnya terkait akses yang diminta sebuah aplikasi yang kita instal di ponsel.

Jika aplikasi tersebut mengatakan hanya akan merekam aktivitas kita saat menggunakan aplikasinya, tetapi nyatanya juga merekam aktivitas lain saat kita menggunakan ponsel secara umum, itu adalah tindakan tanpa konsen dan sudah melanggar privasi.

E – Enthusiastic atau diberikan dengan antusias

Konsen harus diberikan secara antusias oleh seseorang, dan bukan karena:
– diintimidasi atau diancam,
– dibujuk rayu atau dimanipulasi,
– diiming-imingi atau dijanjikan sesuatu,
– ataupun akhirnya memberikan konsen karena kita diharapkan untuk melakukan kegiatan tersebut, bukan karena kemauan sendiri.

Unsur antusias ini juga berarti tidak ada konsen atau persetujuan yang bisa diberikan dari orang yang sedang mabuk, pingsan atau tidak sadarkan diri.

S – Specific atau spesifik

Persetujuan diberikan dan mencakup hal yang spesifik.

Misalnya, ketika kita setuju seseorang mengambil foto kita, bukan berarti secara otomatis kita juga menyetujui kalau fotonya boleh disimpan oleh orang tersebut, atau otomatis fotonya boleh diunggah ke media sosial.

Harus ada persetujuan masing-masing untuk tiap tindakan tersebut. 5 unsur FRIES harus sama-sama terpenuhi, baik dari sisi yang meminta konsen ataupun yang dimintai konsennya.

Konsen atau persetujuan tidak disiratkan oleh hal-hal seperti perilaku di masa lalu, pakaian yang dikenakan, atau apa yang sedang kita lakukan. Persetujuan terhadap aktivitas apapun, termasuk aktivitas seksual, harus selalu dikomunikasikan dengan jelas. Tidak boleh ada misteri, asumsi, atau tanda tanya.

INGAT!

5 unsur FRIES harus sama-sama terpenuhi baik dari sisi yang meminta konsen ataupun yang dimintai konsennya. Konsen tidak dapat diberikan oleh anak. Diam bukan berarti memberikan persetujuan. Tiap orang punya keputusan penuh atas apa yang akan terjadi pada tubuhnya.

Pastikan ada konsen untuk semua aktivitas yang melibatkan diri dan orang lain!

 


(Sebagian besar konten ini bersumber dari Safe Net, dengan pengubahan seperlunya dari Saya)

Lirik “Ride” oleh 21 Pilots

I just wanna stay in the sun where I find
I know it’s hard sometimes
Pieces of peace in the sun’s peace of mind
I know it’s hard sometimes

Yeah, I think about the end just way too much
But it’s fun to fantasize
On my enemies who wouldn’t wish who I was
But it’s fun to fantasize

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Takin’ my time on my ride

“I’d die for you” that’s easy to say
We have a list of people that we would take
A bullet for them, a bullet for you
A bullet for everybody in this room
But I don’t seem to see many bullets coming through
See many bullets coming through
Metaphorically, I’m the man
But literally, I don’t know what I’d do
“I’d live for you” and that’s hard to do
Even harder to say, when you know it’s not true
Even harder to write, when you know that’s a lie
There were people back home who tried talking to you
But then you ignore them still
All these questions they’re for real, like
“Who would you live for?”
“Who would you die for?”
And “Would you ever kill?”

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Takin’ my time on my ride

I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much
I’ve been thinking too much (Help me)

I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time
Takin’ my time on my ride
Whoa, oh, oh

Oh, oh, oh, oh
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m taking my time on my ride
Oh, oh, oh, oh
I’m fallin’ so I’m takin’ my time on my-

I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)
I’ve been thinking too much (I’ve been thinking too much)
I’ve been thinking too much (Help me)


Duo cowok keren tampil memukau. Lihat saja disini.

Lagu “Mauliate Ma” Cipt. Pengalaman Simamora: Sebuah Contoh Konkret Katekese Aktual

Katekese yang Aktual dan Inovatif

Pewartaan (kerygma) merupakan salah satu tiang utama Gereja dalam karya kerasulannya sebagai pengajar iman dan moral.

(Tiang lainnya yakni diakonia/pelayanan, koinonia/persekutuan, liturgia/perayaan  dan marturia/kesaksian. Lebih lengkapnya silahkan teman-teman Katolik buka kembali diktat ajaran gereja, atau lebih mudah tinggal cari dengan mesin pencarian Google).

Sejauh ini, salah satu bentuk pewartaan yang paling umum adalah pertemuan katekese umat, baik di lingkungan maupun kelompok kategorial. Tapi di tengah situasi dan keterlibatan umat Katolik dalam pemutusan rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia maupun seluruh dunia, tentu pertemuan langsung di lingkungan maupun kategorial sangat sulit. Kita harus mematuhi protokeler kesehatan yang mengharuskan kita menjaga jarak dan menjauhi kerumunan.

Jika demikian, bagaimana caranya mengemas katekese supaya tetap aktual dan tetap sampai serta diterima oleh umat?

Ingat ya, jadi ada 2 kata kunci, yaitu: SAMPAI dan DITERIMA


Mengapa harus Ikut Berkatekese?

Oh iya. Tapi itu kan tugas para pelayan Gereja, entah pastor, suster, frater, bruder atau para penguruslah itu?

Tidak. Tugas pewartaan Injil bukanlah melulu tugas hierarki atau lembaga hidup bakti, melainkan tugas semua umat, berkat Sakramen Baptis dan Krisma. Jadi, jelas ya: tugas semua umat. Artinya, kalau kamu umat Katolik, berkatekese adalah tugasmu juga.

Duh, gitu ya? Iya. Begitu.

Umat terpanggil untuk menjadi katekis volunteer, yaitu kaum awam yang melibatkan diri secara aktif dan sukarela dalam karya-karya pewartaan Gereja, mewartakan Injil kepada semua orang.

Tapi kan tidak semua orang dibekali dengan pengetahuan tentang teologi pastoral atau bahan-bahan katekismus? Tidak perlu untuk menjadi ahli. Toh sejak sekolah minggu hingga besar sekarang, kurang lebih kita tahu ajaran Katolik itu seperti apa.

Tapi itu pun, jika ada keraguan tentang isi dari katekese yang akan mulai kamu rancang, selalu ada orang dan sumber terpercaya yang bisa ditanya. Ada katekis di paroki tempat kamu tinggal, tanyalah. Jika kamu kenal ada pastor atau awam yang cakap secara akademis soal teologi juga, tanyalah mereka.

Jika ternyata mereka susah menjawab atau selalu sibuk dengan alasan ini dan itu, tidak masalah. Saat ini hampir semua sumber ajaran resmi tersedia di internet. Kamu tinggal cek saja situs-situs resmi Gereja Katolik, entah yang global seperti Vatican Va, yang nasional seperti KWI, yang lokal seperti Paroki Jalan Bali Siantar. Jika tidak bertemu langsung dengan bahan yang ingin kamu cari, biasanya ada tautan untuk bertanya atau menunjukkan kontak yang bisa dihubungi dan ditanyai.

Oke? Jadi tidak sesusah dulu lagi mestinya, tidak sesulit ketika kita belum mengenal internet.


Caranya Berkatekese yang Aktual itu Bagaimana?

Sebelum mulai, ada baiknya sadari dulu beberapa kenyataan ini.

Pertama, sekarang umat ada dimana? Di rumah atau tempat kerja masing-masing. Bagaimana menjangkau mereka kalau hadir di gereja atau lingkungan pun mereka tak bisa hadir karena jumlah peserta dibatasi? Sejujurnya mereka tidak begitu jauh kok. Umum sekali kita tahu bahwa semuanya sudah menggunakan perangkat yang bisa terhubung dengan jaringan internet, entah smartphone atau komputer. Umumnya memiliki Whatsapp, Telegram, Facebook, Instagram dan Tikotok. Atau salah satu dari itu.

Jadi, caranya untuk terhubung dengan mereka adalah dengan membuat konten katekese dan mengabarkan kepada mereka.

Keduabagaimana mengantarkan konten katekese itu supaya sampai ke mereka? Ibarat permainan sepak bola, jemput bola. Tidak menunggu bola menghampirimu untuk melanjutkan permainan. Kabarkan ke mereka bahwa kamu punya sesuatu untuk disampaikan dan barangnya sudah jadi. Entah berupa tulisan di blog sederhana seperti yang sedang kamu baca ini. Entah berupa podcast di Instagram atau Google Podcast, atau video di Youtube dan Facebook.

Harus di semua platform itukah kita mengabari mereka? Tak perlu. Satu atau dua saja yang kamu sendiri gunakan.

Ketiga, bagaimana tipsnya supaya katekese itu diterima oleh mereka? Ini menarik. Ada jutaan tulisan dan video tiap hari. Bagaimana supaya konten yang kita buat menarik mereka sehingga mereka terdorong untuk mendengar lebih banyak dari kita, sementara saat ini setiap orang bisa saja mengepos dan mempublikasikan apapun? Buatlah katekese yang berangkat dari situasi aktual, relevan dan kena dengan pendengar/pembaca/penonton sesuai platform yang kamu pilih. Tapi tidak hanya bahannya yang aktual, melainkan cara penyampaiannya juga.

Tidak akan langsung banyak orang yang melirik kontenmu. Hal itu terjadi pada semua bidang, bukan? Selalu sulit pada tahap memulai. Tentu saja harus realistis. Sediakanlah waktu yang cukup tanpa harus mengganggu kegiatanmu yang utama. Jika kamu siswa sekolah atau mahasiswa yang sedang kuliah, jangan sampai mengganggu waktu belajarmu. Jika kamu sudah bekerja dan berkeluarga, jangan sampai mengganggu pekerjaan utama dan waktu dengan keluarga.

Tapi jika ternyata tugas pokokmu berkaitan dengan katekese entah sebagai umat maupun sebagai klerus dan anggota lembaga hidup bakti, maka tentu kamu harus bergerak lebih cepat lagi. Belajar dan belajar lagi.


Apakah Konten itu harus Bagus?

Menang di era digital menjadi suatu keharus­an bagi para pelaku bisnis digital saat ini. Kemunculan bisnis berbasis digital kian marak. Profit ialah tujuan utama setiap usaha, sehingga setiap bisnis harus memikirkan sustainability (keberlangsungan) usaha. Tetapi, yang sedang kita bahas saat ini tidak pertama-tama beriorentasi bisnis, bukan?

Karena jika itu orientasi dan motivasi awal, memang akan sangat mudah kecewa di tengah proses bahkan di awal perjalanan. “Wah, ternyata sangat susah. Harus beli ini-itu untuk perlengkapan dan peralatan multimedia-nya. Harus sewa digital marketer yang handal supaya kanal atau situsku cepat naik dan memperoleh trafik yang besar, dan lain sebagainya”.

Betul. Jika memang kamu meletakkan orientasi profit sebagai prioritas, sangat wajar kamu akan kecewa lalu tidak mau lagi melakukannya. Lalu kembalilah ke situasi awal, kamu berdalih: Biarlah itu tugas para pelayan Gereja, entah pastor, suster, frater, bruder atau para pengurus.

Tentu kita tidak ingin pesimis seperti itu, bukan?

Karena itu, mulailah dari hal sederhana yang bisa kamu lakukan. Mulai dari sesuatu yang aktual dan relevan denganmu. Mengutip ungkapan dari tokoh besar Mahatma Gandhi: “Kenyataan yang terbuka untukku, pasti juga terbuka untuk orang lain” 

Saya beri contoh sederhana berupa konten dari Youtube.

Jika kamu senang bernyanyi, kamu boleh ikut bernyanyi. Misalnya seperti dicontohkan oleh para bapak dan ibu yang tergabung di Paduan Suara Cantate Domine Paroki Jl. Sibolga ini.

Jika kamu senang menyanyi dan membuat tutorial, kamu boleh meniru yang dilakukan teman Saya, Sastro Sihotang dengan konten tutorial bagaimana menyanyikan sebuah lagu untuk paduan suara ini.

Intinya, ada banyak sekali hal yang bisa kita lakukan, sesuai dengan apa yang kamu bisa dan biasa lakukan, bahkan tanpa mengandalkan pihak lain. Hanya kamu sendiri. Tanpa menunggu besok dan besok, sebab besok tidak ada habisnya.

  • Pergulatanmu memadukan identitas Katolik dengan etnisitas dari mana kamu lahir dan tumbuh, lewat peristiwa sehari-hari
  • Bincang-bincang iman dan membahas persoal aktual dari perspektifmu sebagai seorang umat Katolik
  • Review terhadap fasilitas gereja di tempatmu
  • Permenungan singkatmu tentang ajaran sosial Gereja yang sangat luas dan padat itu
  • (dan sederet ide lainnya yang tak mungkin bisa kusebut satu persatu di tulisan sesingkat ini)

 


BONUS: Sebuah Contoh Konkret Katekese Aktual

Ada aspek lain yang bisa kita perdalam untuk memastikan konten katekese itu sampai dan diterima pemirsa, yaitu bahan dan penyampaian yang aktual.

Dalam sebuah lagu pop Batak berjudul “Mauliate Ma” (Terima Kasih) yang dinyanyikan Shety Simamora ini, tersisip contoh katekese yang kreatif.

Katekese kreatif? Maksudnya bagaimana?

Artinya, si penulis lagu yakni Pengalaman Simamora (ketika itu masih menggunakan nama biarawannya: Frater Krispinus Simamora, OFM Cap) berupaya mengkristalkan nilai-nilai Katolik dalam muatan seni budaya lokal (lagu pop dalam bahasa Batak). Tak perlu banyak. Cukup dengan cuplikan beberapa detik (lihat di menit 4:08 – 4:13) berupa tayangan dimana sebuah keluarga memulai acara makan bersama di rumah dengan membuat tanda salib. Sesederhana itu.

Bukankah secara singkat seluruh kesaksian iman itu bisa terlihat secara visual dalam tanda salib? Bukankah kalau kita berani membuat tanda salib ketika makan di tempat makan, itulah kesaksian yang hidup?

Itulah yang ditampilkan lagi dalam video lagu ini. Digabung dengan syairnya, orang akan menemukan korelasi antara sikap beriman dan berbudaya. Oh, ternyata orang Katolik itu tetap membuat tanda salib ketika makan bersama. Tentu saja ini akan menggugah umat Katolik lainnya yang tidak lagi membuat tanda salib ketika makan bersama di tengah keluarga. Atau, jangan-jangan, sekedar makan bersama pun tak pernah lagi?

Jika pemirsa sudah sampai pada pertanyaan reflektif begini, kupikir kita setuju bahwa konten katekese yang dibuat itu sudah sampai dan diterima pemirsa. Tujuan katekese sudah tercapai. Saatnya membuat yang lain lagi.

Berhubung lirik dan lagunya sederhana serta melodinya pun mudah diikuti, mungkin kamu pun ingin menyanyikannya. Ini lirik lengkapnya:

Ho do da amang
Ho do da inang
Patureture au, mamparrohahon au di ngolungkon

Balga ni basam
Na sai huhilala
Mambaen sonang au
Mambaen mekkel au
Dohot donganhi

Dang tarbalos au
Burju ni basam
Ai holan tangiang do
na tarpatupa au borumon

Mauliate ma amang di haburjuon mi
Mauliate ma inang
Di akka podami na sai huhilala

Sai anggiat ma nian
sude na denggan i nang dohot podami
anggiat gabe sulu di parngoluonhi
Ho do da amang
Ho do da inang
Patureture au, mamparrohahon au di ngolungkon

(Interlude)

Balga ni basam
Na sai huhilala
Mambaen sonang au
Mambaen mekkel au
Dohot donganhi

Dang tarbalos au
Burju ni basam
Ai holan tangiang do
na tarpatupa au borumon

Mauliate ma amang di haburjuon mi
Mauliate ma inang
Di akka podami na sai huhilala

Sai anggiat ma nian
sude na denggan i nang dohot podami
anggiat gabe sulu di parngoluonhi


Epilog

Intinya, bikin saja dulu kontennya. Hahaha.

25 Tahun STFT St. Yohanes Sinaksak – Transkrip Homili Mgr. Martinus Dogma Situmorang

S – T – F – T

Nama itu menjadi demikian karena kita berada di republik ini.

S-e-k-o-l-a-h   T-i-n-g-g-i.

Dulu kita sebut Seminari Agung. Tetapi sekarang: “Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi”. Bukankah nama itu memukau? Bukankah nama itu menunjukkan bahwa disini ada himpunan nilai dan bobot yang harus diperhitungkan oleh orang?

Tetapi tentu saja kita tahu bahwa STFT mesti ini  diperhitungkan orang bukan karena namanya, tetapi karena isinya. Karena realitas keberadaannya dalam keseharian kita.

STFT ini tidak menjadi pemukau dan penarik minat karena kompleksnya yang asri. Karena keindahannya, STFT ini memang dihargai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun sebagai aset dan bisa menjadi satu tujuan wisata di wilayah ini. Mudah-mudahan tidak terjadi. Sebab kalau begitu, terlalu banyak urusannya, dan STFT ini harus berubah menjadi nama lain.

Saya hanya mau menegaskan: Ada nama. Ada kompleks. Ada fasilitas. Tetapi terlebih lagi: ada isi. Disini dididik orang-orang yang dipanggil secara khusus untuk memberikan seutuhnya seluruh dirinya melayani Tuhan di tengah umat. Sebab itu perguruan ini sudah langsung menjadi “locus”, tempat, “site” yang luar biasa. STFT adalah kumpulan orang-orang yang merasa dirinya dipanggil Tuhan untuk memberi diri seutuhnya, seluruhnya dan dalam segala-galanya kepada Tuhan.

Pada pertemuan ini ada orang-orang yang sudah mempersembahkan diri mereka seutuhnya dalam kaul mereka, dalam tahbisan imamat mereka, yakni para dosen dan peneliti yang kita hormati dan cintai. Ada Hirarki Indonesia. Ada hari Minggu. Ada “25 tahun STFT”, tempat pendidikan mereka dan menyerahkan diri seutuhnya kepadaNya.

Tetapi demikian, toh dengan rendah hati, dengan tulus dan bersahaja, kita harus berani menyelami dalam di lubuk hati kita, untuk melihat apakah kita melaksanakan perintah utama, perintah satu-satunya, yang diuraikan dalam Kitab Keluaran tadi secara negatif (kemungkinan yang dimaksud adalah Keluaran 20:4-6)

Yaitu perintah untuk menerima, memperhatikan mereka yang termarginalisasi, yang terabaikan, mereka yang miskin, terasing dalam bentuk apapun. Untuk menjadi saudara dan tuan rumah kepada mereka yang merasa dirinya terlantar, tidak punya tempat.

Yang menurut Santo Paulus dihayati dengan sangat saksama dan sangat pribadi oleh jemaat di Tesalonika. Jemaat Tesalonika yang berada di tengah masyarakat dengan segala modernitasnya di zaman itu, tetapi hidup  umat menjadi pemberitaan Injil. Sehingga Paulus tidak usah bertanya kepada siapapun. Orang yang mengatakan bahwa jemaat itu bagus, hebat, dahsyat, dalam penampilannya di tengah masyarakat.

Karena apa? Karena mereka menghayati Perintah Utama. Perintah, yang dirumuskan oleh Yesus dengan sangat sederhana, menjawab orang-orang Farisi yang menganggap dirinya tokoh utama dan terdidik di tengah masyarakat yahudi, dan tentu saja, di seantero masyarakat manusia.

Jawaban yang Tuhan berikan kepada mereka yang datang dengan kepercayaan diri yang di atas rata-rata. Orang-orang yang mengharapkan akan mendapatkan “credit point” sesudah Yesus menaklukkan dengan telak para kaum Saduki tentang kebangkitan. Bahwa Allah itu adalah Allah yang hidup. Ada kebangkitan.

Tetapi untuk sampai kebangkitan yang hakiki, perintah satu-satunya: Cintailah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap tenagamu, dan cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri.

Dimana dan sejauhmana perintah ini memberi arah, memberi arti dan menentukan program, jadwal harian kita, dan tingkah laku kita? Sejauhmana (kita melaksanakan) perintah Cinta Kasih ini: mencintai Tuhan, mencintai, tetapi bukan saja mencintai, tetapi dengan seluruh diri. Total. Tidak ada sisa-sisanya. Tidak ada ruang kosong. Tidak ada waktu dimana cinta itu boleh absen.

Maka hendaknya seluruh diri kita, seluruh perayaan kita, seluruh evangelisasi kita, seluruh hirarki kita dengan segala urutannya, mestilah mendapat kepenuhan arti sekaligus mendapat energi batin. Kekuatan yang tak terkalahkan sampai kapanpun. Demikian juga STFT kita.

Tetapi, kenapa itu? Bagaimana Tuhan bisa menyampaikan kepada kita perintah yang kedengarannya, tampaknya, begitu indah, begitu sederhana:  Cintailah Tuhan Allahmu, cintailah sesama. Sederhana, tetapi total. Bagaimana bisa?

Saudara. Bisa, karena Tuhan melimpahkan. Bisa, karena seluruh diri kita sesungguhnya adalah buah cinta. Keberadaan kita adalah dalam genggaman cinta Tuhan yang abadi dan sempurna. Cinta itu yang terus menerus menghidupi dan memberi energi bagi kita. Kemampuan untuk menderita juga seperti umat di Tesalonika. Kemampuan juga untuk menerima orang asing. Sehingga kita tidak barangkali lagi terlalu gampang mengeluh tentang keadaan republik ini, keadaan hirarki, keadaan umat, keadaan ini dan itu. 

Tidak lagi mengeluh satu sama lain. Tetapi dengan energi kasih dan dicurahkan oleh Roh Tuhan itu, dengan kelimpahan yang melampaui segala perhitungan. Sebab itu sesungguhnya, tinggal setiap hari,  dari pagi sampai malam, dalam kemampuan kita yang paling indah: terbuka menerima kasih Tuhan. Membiarkan Dia menegur kita. Membiarkan Dia membimbing kita ke arah yang benar. Membiarkan dia mengatakan “go ahead”, lanjutkan!  Apapun keadaan kita. Apapun keadaan misi kita sebagai Gereja di Indonesia, di Sumatera.

Sebab sambil berbangga atas segala pencapaian yang dikerjakan oleh rahmat Tuhan, mungkin kita juga harus berkata: jangan-jangan ada yang tersia-siakan dari kelimpahan berkat ini.


Saya tutup dengan cerita pendek. Dengan semua uskup di Indonesia, kami menemui Paus. Akhir bulan lalu. Saya melakukan apa yang Saya rasa harus Saya lakukan. Tetapi, Saya dengan jujur mengatakan, “Tuhan, mengapa saya tidak lebih ramah kepada Monsigneur Hilarius ini?” Mengapa Saya mesti nampak begini, dan bukan seperti Yesus? Dan di Makam Rasul Paulus, Saya merasakannya. 

Ketika pulang ke Indonesia, Saya mendapat kecelakaan kecil, dalam arti Saya harus terlantar di perjalanan. Saya harus berhenti di Doha, Qatar, selama 14 jam. Sekiranya saya berhenti 14 jam di Medan, Saya akan bergembira. Tetapi di Doha tidak. Tidak ada hotel, tidak boleh kemana-mana, dan lain-lain. Saya berdoa puluhan kali Rosario.

Juga di pesawat, sesudah marah dengan pelayan check-in, karena barang yang sudah Saya bayar tidak boleh Saya tenteng. 

Ini sharing saja.

Biarpun saya berusaha berdamai dengan orang itu, berdamai dengan diri sendiri, berdoa puluhan kali Rosario, toh pertanyaan yang menggugah: itukah segalanya? Atau ada lebih yang boleh disikapi dan dilakukan, baik dalam peristiwa ini maupun dalam kehidupan sehari-hari?

Kasih Tuhan. Dengan menghidupi kasih Tuhan itulah kita bermisi.


Saudara-saudari terkasih! Semua fasilitas kita adalah pemberian Tuhan juga. Tetapi yakinlah bahwa kemampuan kita untuk menjangkau adalah kasih yang kita terima dari Tuhan, dan kasih yang kita hayati.

Sebab itu Yesus, Yesus, dan Yesus, yang adalah kehadiran dan pemberian diri allah yang sempurna, adalah guru kita, adalah sumber energi kita, adalah teman seperjalanan kita, adalah orang yang bermisi dengan kita, dan adalah orang yang ber-STFT dengan kita. Hingga 25 tahun hari ini.

Tetapi kita baru sampai di akhir zaman kalau Tuhan berkenan demikian. Amin

Mahasiswa Tingkat II STFT Sinaksak T.A. 2007-2008. (Saya ada di barisan paling belakang.)

Tulisan ini adalah hasil transkrip dengan gubahan seperlunya dari audio kiriman P. Benny Manurung, OFM Cap.

 

KAPOK. AKU TAK MAU DISUNAT LAGI!

Foto: Hipwee

 

Kupikir tak perlu lagi diterangkan apa itu sunat ya.

Apalagi kalau sampai ditanya “prosesnya bagaimana? bagian mana yang disunat? Setelah disunat, itu yang sudah terpotong benar diamankan secara saksama khan? Soalnya ngeri-ngeri sedap, saban hari ada yang bilang, ada yang jual sate kulup. Hoeeeks

Tak perlu kusebut namanya. Selain tak ingat betul detailnya, juga tak elok dituangkan dalam tulisan.

Tulisan Sumanto Al Qurtuby ini cukup mengena denganku, meski dalam konteks yang berbeda. Besar dalam ajaran Katolik, budaya Batak Toba, karena suatu “kecelakaan” kecil, aku juga jadi pelaku (atau malah korban ya?), ikut mengalami yang namanya sunat ini.

(Kecelakaan apa sih? Eh, kepo ya? Ceritain nggak nih. Eh, jangan dulu deh. Itu rahasia perusahaan soalnya)

Hahaha.

Pokoknya, adalah fakta bahwa di sebuah rumah sakit di Pematangsiantar, pada tahun 2001, terjadilah reduksi kulit pada bagian tubuhku yang letaknya antara perut dan lutut ini. (Caelah, istilahnya). Jadi, ini bukan hoax.

Cukup kompleks perasaanku ketika peristiwa itu terjadi. Selain memang tak lazim di komunitas tempatku tinggal dan dididik, juga tak banyak yang kutahu soal seluk-beluk persunatan ini dulu. Untunglah pengalaman sunat ini sudah dituliskan oleh Pak Prof Sumanto. Sudah apik sekali diuraikan oleh sang profesor. Maka kuposkan ulang saja tanpa perubahan berarti.

Intinya: bagi kalian yang sudah pernah disunat, jangan mau disunat untuk kedua kalinya.

Pokoknya jangan deh.


Sunat memiliki sejarah yang sangat panjang meskipun tidak sepanjang yang disunat. Sebagai antropolog budaya, Saya mempelajari aneka ragam praktik tradisi dan kebudayaan umat manusia dimana saja, termasuk masalah persunatan ini.

Dari catatan sejarah dan antropologi menunjukkan ada cukup banyak kelompok masyarakat – suku kecil maupun besar – yang mempraktekkan sunat. Jadi umat Yahudi Kuno (Israelites atau Yahudi Alkitab) bukanlah satu-satunya kelompok yang mempraktekkan sunat ini.

Dalam sejarahnya, sunat mempunyai bayak motif dan tujuan. Masing-masing orang atau kelompok (suku, agama dlsb) berlainan.

Ada yang melakukan sunat sebagai “tanda loyalitas” terhadap kelompok tertentu; Ada lagi sebagai “simbol identitas” kelompok untuk membedakan “minna” (in group) dan “minhum” (out group); Ada juga yang menjadikan sunat sebagai “medium penghukuman” atas orang/kelompok yang kalah dalam perang atau pertempuran. Jadi, kelompok yang kalah disunat. Kelompok yang lain lagi menjadikan sunat untuk alasan kesehatan, dan lain sebagainya.

Dulu (dalam batas tertentu sampai sekarang), di kampungku (juga di kampung-kampung Jawa pada umumnya), sunat dijadikan sebagai “lahan bisnis” untuk mengumpulkan sumbangan dari warga. Jadi, acara sunat dirayakan dengan membagi undangan ke warga kampung, teman, kenalan, atau sanak-saudara di luar kampung.

Yang mempunyai hajatan sunatan biasanya “menanggap” tape, salon/loudspeaker sehingga semua warga mendengar kalau ada yang punya hajatan sunatan. Kalau tuan rumah mampu, mereka juga menanggap wayang, layar tancap, ndangdut, campur sari, kuda lumping, jaran kepang, tayub, lengger, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan dan ketebalan kantong.

Warga atau yang diberi undangan akan datang menyumbang macam-macam. Yang perempuan biasanya menyumbang beras, ayam, telor (ayam, bebek), solong, kubis, mie dan kain/bahan untuk sarung. Semua sesuai kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu mereka menyumbang ayam jago. Kalau yang tidak mampu pakai “ayam kontet” alias cacingan atau “kandidat ayam/bebek” (telor atau endog maksude inyong).

Kelak, kalau giliran yang menyumbang itu punya hajatan, si empunya hajat gantian mengembalikan/menyumbang barang-barang persis seperti apa yang mereka bawa saat menyumbang itu. Kalau nyumbang-nya tidak sama, nanti akan menjadi bahan gunjingan. “Dulu saya nyumbang segini kok sekarang disumbang segitu, dasar wong semprul

Sementara itu, yang laki-laki biasanya nyumbang pakai uang yang ditaruh di dalam amlop. Ingat, meskipun ditaruh di amplop, yang punya hajat tahu “siapa menyumbang berapa” karena ada “tim khusus” bidang peramplopan yang menyelidiki dan mengecek sumbangan”.

Dulu, orang menyumbang memakai “salam tempel”, langsung diberikan ke yang punya hajat. Mereka tidak memakai sistem kotak atau tong seperti zaman sekarang. Mereka wajib tahu isi amplop itu karena kelak mereka juga wajib mengembalikan / menyumbang pada si pemberi amplop kalau mereka sedang punya hajat, baik mantenan maupun sunatan.

Yang anak-anak juga ikut nyumbang, meskipun nominalnya biasanya lebih kecil dibanding orang tua mereka.

Selain sebagai medium mengumpulkan kekayaan, sunat juga sebetulnya merupakan “teror psikologis” yang menakutkan. Anak-anak pada usia tertentu kalau belum disunat akan diledek atau di-bully. Masalahnya, sunat dulu merupakan “drama yang mencekam”.

Kok bisa? Sekarang banyak dokter sunat dengan peralatan dan obat yang super canggih sehingga membuat yang disunat bisa ketawa-ketiwi dan bisa sembuh cepat. Jadi, mau kombak-kambek sunat juga tidak masalah kalau mau.

Tapi dulu coy, stok yang ada cuma dukun sunat dengan pisau tajam mengkilat (bahkan sebelumnya mereka memakai irisan pohon bambu, namanya “welad”) untuk memotong si “kulup” yang menutupi kepala si “titit” alias penis. Obat pun ala kadarnya.

Sedangkan proses sunatnya di depan rumah yang punya hajat dan ditonton oleh semua warga. Si anak memakai kain jarik kemudian dipangku oleh ayah atau anggota keluarga dekat sambil duduk di kursi, lalu jarik-nya disingkap untuk menutupi matanya. Habis itu, semua urusan diserahkan ke dukun sunat. Sehabis dipotong kulit si kulup, darah pun mengucur deras. Yang disunat tentu saja seketika “nggembor” nangis. Betul-betul mencekam.

Karena proses sunat yang mencekam itu, maka dulu banyak anak yang menunda sunat sampai lumayan besar (maksudnya, anaknya yang besar sampai agak remaja) baru disunat, termasuk Saya.

Saya dulu disunat kelas 3 MTs (SMP) tapi tidak pakai dukun sunat melainkan dokter. Saya kira Saya anak pertama di kampung yang disunat oleh dokter, bukan di depan rumah tapi di tempat praktik pak dokter di kecamatan. Meski disunat dokter, peralatan juga belum cukup canggih waktu itu.

Sehabis disunat Saya merasakan satu jam tidak merasa sakit tapi setelah itu Saya nangis ngguling-ngguling. Panas sekali titit-ku. Karena tidak ada obat “pain killers”, beberapa orang (termasuk orang tuaku) membantu mengipasi si titit semaleman di kamar.

Lumayan menderita selama beberapa minggu. Karena itu Saya kapok disunat lagi, Lur.

Sumpeh suwer yakin cir gobang gocir. Cukup sekali saja seumur hidup…

 

Disadur seperlunya dari tulisan Sumanto Al Qurtuby di halaman Facebook-nya.