Remaja Katolik yang Kesepian

John yang Linglung

John membolak-balik diary lamanya, tempat dia menumpahkan pengalaman harian dan curahan hati yang tidak berani dia sampaikan ke siapapun. Sebagian besar karena  dia tidak yakin bahwa orang yang akan menjadi teman bicaranya bisa mengerti kompleksitas pergulatan batin yang dia alami. Sebagian lagi karena dia juga tidak yakin bahwa masih ada teman yang cukup arif dan bijaksana untuk tidak menyalahgunakan informasi personal yang begitu sensitif yang ia sampaikan.

Umumnya ketika ada temannya yang mengatakan “tenang bro, gua nggak bakal ngasih tau hal ini ke siapapun kok“, instingnya mengatakan bahwa itu pasti bohong.

Masuk akal, John belajar dari pengalaman sebelumnya.  Ia pernah memberitahu temannya bahwa ia masih belum mengerti bagaimana Tuhan-nya umat Katolik bisa begitu tega membiarkan anak-anak Afrika kelaparan sementara Ia menjanjikan “negeri berlimpah susu dan madu” kepada umat-Nya. Esoknya ia dipanggil oleh guru agama untuk bimbingan pribadi dan diberi PR untuk menulis 5 pasal dari Kitab Keluaran dengan tulisan tangan.

Belakangan John tau bahwa Tuhan yang sama adalah Allah bagi umat Yahudi, Katolik, Kristen dan Muslim.

Hanya diary lusuh inilah yang menjadi tempatnya mengungkapkan pergulatan batinnya dengan aman, dengan resiko yang sangat kecil. Tak heran ia selalu menyembunyikan buku hariannya di bawah tempat tidur dan tak pernah lupa membawanya kemanapun dia pergi.

John memang seorang kutu buku sejati. Ia juga tak pernah bosan menghabiskan waktu dengan membaca bacaan yang bagus di internet. Semakin banyak bacaan yang dia lahap, semakin rajin pula dia menulis. Sikapnya yang perfeksionis membuat situasi semakin sulit. Lingkungannya bergaul semakin sempit.

John pernah tertarik masuk ke Seminari Menengah di kota terdekat kampung halamannya. Konon mutu pendidikan di Seminari adalah yang terbaik di kota. Waktu itu, sebagai murid yang menonjol di sekolah dan anak asrama yang baik di bawah bimbingan para biarawati yang keibuan dan perhatian, John adalah satu dari segelintir murid yang selalu disodorkan namanya oleh kepala sekolah setiap kali pastor paroki datang mengunjungi sekolah tersebut untuk mencari anak-anak yang berminat untuk dididik sebagai calon imam Katolik di Seminari.

Tapi niatnya kandas. Sebagai murid yang gemar membaca, John segera tahu bahwa imam dan biarawan-i terikat pola hidup selibat. John tidak mau. Ia belum pernah mengungkapkan perasannya pada Clarissa, tetapi dari lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak pernah lupa getaran aneh yang dia rasakan ketika duduk sebangku dengan Clarissa. Ia jatuh cinta dengan gadis belia berlesung pipit itu.

Kala itu jemari Clarissa yang lembut menyentuh lengannya, menyadarkannya bahwa gejolak ini bukan hanya karena gejolak pubertas yang meninggi seiring dengan tumbuhnya bulu-bulu halus di beberapa bagian tubuhnya. Bagi John, jelas bahwa ini misi yang harus diembannya: Ia harus berhasil menjadi pemuda yang sukses supaya kelak Clarissa jatuh hati padanya, lalu bersedia menjadi isterinya. John harus memperistri Clarissa.

Di antara teman seusianya, John merasakan bahwa ia memiliki frekuensi pemikiran yang berbeda. Ketika teman-temannya menghabiskan waktu dengan video game, klub sepakbola, atau kenakalan-kenakalan remaja yang pernah mereka lakukan untuk diceritakan dengan bangga, John senang melakukan survey kecil-kecilan untuk membandingkan seberapa lurus perbandingan antara teori yang dia baca di buku dengan kenyataan yang ia temui di lapangan.

Berkat “hobi” uniknya itu, John jadi tahu bahwa foto-foto selfie Instagram teman-temannya yang berpose di depan mobil pribadi adalah palsu. Atau bahwa foto-foto teman-temannya sedang makan di restoran mewah dan banjir caption dan tagar #romantic #happy #beautiful #sweet yang berseliweran di timeline-nya tidak lain dari upaya pamer kekayaan orangtua mereka, bukan hasil keringat sendiri.

John sempat depresi cukup lama ketika tahu bahwa Clarissa ternyata tidak sebaik yang dia bayangkan. Belum sempat ia menyatakan perasaannya pada gadis pujaan hatinya itu, ia mendengar kabar bahwa Clarissa sudah menikah dengan seorang pemuda lantaran sudah terlanjur hamil duluan. Kasian John. Berharap bahwa suatu saat ia bakal bisa bercerita apapun dengan Clarissa, ternyata tidak. Ternyata, tetap hanya diary ini yang bisa menjadi tempat curahan hatinya.

Lonely boy via HuffingtonPost.Com

John tidak putus asa. Hobinya membaca menjadi pelarian yang sempurna. Dengan daya bacanya yang luar biasa, ia tidak pernah ketinggalan di kelas, kendatipun selain buku pelajaran ia masih sempat melahap habis serial novel Sydney Sheldon, Musashi, Harry Potter dan Sherlock Holmes. Ia juga sudah membaca “Sejarah Tuhan” karangan Karen Armstrong di tingkat dua masa kuliahnya, buku yang judulnya saja tidak pernah didengar oleh teman sekampusnya. Ia tidak begitu menikmati roman karangan novelis Indonesia, kecuali tulisan Pramoedya Ananta Toer yang membuatnya semakin bangga menjadi orang Indonesia sekaligus Katolik. Bagi John, pola pikir Gereja Katolik terhadap ajaran sosial masih yang lebih baik di tengah tarik-menarik antara kapitalisme dan sosialisme utopian Karl Marx.

Sesekali ia mencoba keluar. Ia mencari kelompok kategorial OMK, dimana ia mungkin bisa menemukan teman yang sefrekuensi pemikiran dengannya.

John pernah mencoba bergabung di kelompok koor tapi lalu mual karena ternyata pelatih koor yang awalnya tampak kharismatik di matanya, tidak jauh berbeda dengan lelaki yang telah menghamili Clarissa. Dua bulan kemudian ia mendengar pengumuman di gereja bahwa pelatih koor tersebut akan menikah dengan salah satu anggota koornya yang masih baru saja menyelesaikan Ujian Akhir SMA. Alih-alih melanjutkan ke perguruan tinggi bergengsi, wanita itu harus menggendong bayi beberapa bulan kemudian di usia yang masih sangat belia. Si pelatih koor tidak pernah terlihat lagi di paduan suara mingguan gereja.

Pernah juga ia mencoba mengikuti persekutuan doa karismatik. Tapi lalu John merasa aneh melihat para peserta menangis meraung-raung dan meneriakkan kata-kata aneh. Seaneh-anehnya mantra-mantra yang diciptakan J.R. Tolkien dan JK Rowling di buku-buku fiksi kesukaannya, masih lebih aneh kosakata yang keluar dari mulut kelompok para pendoa itu. Sulit bagi John untuk menerima bahwa cara berdoa demikian, yang disebut “glossolalia” atau bahasa Roh oleh pemandu doanya, sebagai tanda orang dikaruniai Roh Kudus. Alhasil, John tidak pernah lagi mengikuti persekutuan itu untuk kali kedua.

Meja Makan yang Sunyi

John tidak pernah bosan dengan Gereja Katolik. Lebih tepatnya, John penasaran. Terutama demi melihat sang ibu. Ibunya yang selalu rajin ke gereja dan berdoa rosario setiap kali ada permasalahan serius di keluarga mereka, menjadi insipirasi bagi John.

John kerap takjub melihat betapa sabar ibunya bertahun-tahun menghadapi ayahnya yang kerap mabuk-mabukan dan gemar bermain wanita itu. Sepeninggal almarhum ayahnya yang meninggal karena ketergantungan akut dan kronis pada alkohol, John tak pernah sekalipun mendengar ibunya mengutuki Gereja atau mengeluh betapa tidak adilnya Tuhan. Ibunya tak pernah absen mengikuti misa.

Sebaliknya, John yang merasa menderita karena harus menemani ibu mendengarkan homili dari pastor yang seolah tidak dipersiapkan dengan baik. Kadang John merasa, jika sepanjang waktu si pastor hanya membaca teks  saja sepanjang homili, ditambah lagi dengan rambut awut-awutan dan wajah kurang tidur itu, lebih baik umat dibagikan saja teks homilinya untuk dibaca masing-masing di rumah.

Makan malam adalah momen yang paling ditunggu John. Selain koki yang baik, ibunya adalah sosok yang selalu punya alasan bagi mereka berdua untuk berbicara panjang lebar di meja makan yang sepi itu. Praktis hanya John dan ibunya yang tinggal di rumah itu sejak kakak John satu-satunya jarang mengunjungi mereka setelah menikah dan mempunyai keluarga sendiri. Ibu selalu berhasil mengajak John untuk bercerita tentang kuliahnya di kampus, gadis mana yang sekarang John taksir, atau kegiatan John lainnya.

Hal yang juga tetap berlanjut setelah John lulus kuliah dan menemukan pekerjaan yang lumayan di kantornya yang sekarang. John kadang berusaha membagikan pengalaman dan pergumulan hariannya. Hanya saja, belakangan John merasa ibunya tidak lagi tahan berlama-lama mendengarkan celoteh dan cerita John tentang prestasinya, tekanan kerja dan persaingan yang sangat ketat di kantornya, atau tentang update terbaru di perusahaannya.

Apalagi setelah sang ibu kini semakin rajin melakukan doa devosi kepada santo-santa. Ada-ada saja devosi baru yang diperkenalkan oleh pastor parokinya. Anehnya sang ibu selalu antusias untuk mempraktekkan devosi-devosi itu. Tahun kemarin Devosi kepada Santo Johannes, tahun ini kepada Kerahiman Illahi. Ada devosi kepada Maria dari Guadalupe, ada doa kepada Maria dari Fatima, entah apa bedanya. Belakangan John sadar bahwa ada ribuan santo-santa jumlahnya di Gereja Katolik. Tidak masalah buat John. Setidaknya, John melihat ibunya sangat menikmati devosi-devosi itu.

Rapat-rapat di kantor dan target yang semakin tinggi di kantor membuat John semakin sering pulang larut malam. Semakin sering pula ia menemukan ibunya sudah tertidur begitu ia tiba di rumah dan menyantap makanan yang sudah disediakan ibunya. Merasa tidak enak, John kerap berpesan bahwa ia sudah makan di kantor dan ibunya tak perlu memasak lagi khusus untuk makan malam.

Romansa yang Kering

John yang perfeksionis kadang merasakan bahwa sudah saatnya ia membuka hati pada wanita lain. Tapi tak satupun wanita yang menarik perhatiannya. Kerap juga John merasa jangan-jangan dia menaruh kriteria yang terlalu tinggi untuk seorang karyawan biasa di kantornya. Ia sudah lama melupakan Clarissa dan debar pubertas yang dirasanya terlalu kekanak-kanakan itu. Di lubuk hatinya, John ingin mencari seorang gadis yang memiliki sifat keibuan dan sesabar ibunya. John tidak naif bahwa pasangan seiman adalah prioritas pertama dalam pencariannya. Belum lagi, karena UU Perkawinan di Indonesia yang masih belum berpihak banyak pada perkawinan pasangan beda agama. Masalahnya, dari antara wanita di kantornya hanya sedikit yang seiman dengannya.

Ia sempat PDKT dengan Ursula, staf admin yang tampak ramah pada pertemuan-pertemuan pertama mereka. Tetapi sekali waktu ia melihat foto Ursula di Instagram. Gadis itu tampak bergelayut mesra di pangkuan seorang pemuda di pantai, ia menghentikan PDKT-nya.

Couple in the beach via Dusk-TV.Com

Dengan Margareth sempat pula John berniat untuk mengajaknya kencan. Tetapi John segera minder begitu tahu bahwa Margareth menolak halus ajakannya menonton di bioskop ketika managernya menjemput Margareth dengan mobil Lamborghini yang tampak mengkilat. Malam itu John pulang mengendarai sepeda motor bututnya dengan keadaan lesu.

Sebetulnya ada juga Priscilla, teman sekerjanya yang selalu tersenyum ramah menyapa selamat pagi. Tapi dalam beberapa kali pembicaraan dengan Priscilla, wanita itu tak henti-hentinya berbicara tentang pastor ini atau frater itu yang menurutnya sangat baik dan rajin mengunjungi rumah keluarganya.

Entah mengapa, John ill feel ketika ia iseng mengecek timeline Facebook si Priscilla yang hampir setiap hari berisi kutipan ayat-ayat Kitab Suci. Bukan apa, John juga tahu bahwa Priscilla termasuk satu diantara kelompok wanita yang senang menggosipi rekan-rekan kerja lain di kantor. Apa saja yang terjadi pada seorang karyawan di kantor, Priscilla seolah punya pemikiran yang aneh dan menjadikannya bahan untuk dijadikan gosip. John mengurangi frekuensi pertemuan dengan Priscilla ketika setengah tersenyum ia mengulik profil Facebook Priscilla, tertulis “Pelayan di Ladang Anggur Tuhan”. “Fine, I am not into you, dear“, batin John.

Tak sedikit teman John yang menganjurkannya untuk mencoba mencari teman wanita lewat berbagai media sosial yang ada. “Come on, John. Lot of lonely girls are online, looking for cool guy like you. They are everywhere. Di Facebook, Instagram, Snapchat, Twitter, Path, Line, Skout, you mention it“, kata Chris teman dekatnya suatu waktu.

John tidak tertarik. Bagi John, dalam hal relationship, jargon “fake it until you make it” tidak berlaku.

Bangku Gereja yang Kosong

John masih setia mengikuti Misa di gereja parokinya. Selain menemani ibunya, John juga ingin mencari siapa tahu ada gadis yang sendirian seperti dirinya, yang juga sedang mencari pasangan yang seide dengannya. Pasangan yang bakal menjadi pendampingya. Gadis yang menjadi partnernya dalam khayalan romantis John: “We will discuss for hours, cook together, argue endlessly, make love along the night, and then both sleep like a baby

Tapi survey kecil-kecilan yang kerap dilakukan John memperlihatkan keanehan lain. Dari tahun ke tahun tampaknya bangku di gereja itu semakin banyak yang kosong. Opa, oma dan para jompo masih setia duduk di bangku depan menemani para prodiakon. Selain itu, hanya ada pasangan keluarga yang usia perkawinanannya sudah lama. Pasangan keluarga muda semakin sedikit disana. Teman-teman sebaya John ketika Sekolah Minggu dan ketika masih aktif menjadi misdinar semakin jarang kelihatan. Padahal, setahu John teman-temannya adalah orang-orang yang terbilang sukses, bahkan banyak yang jauh lebih sukses darinya.

John juga memperhatikan keanehan lain. Tidak hanya anak anak remaja, ibu-ibu muda juga banyak yang tidak bisa lepas dari smartphone mereka selama Misa berlangsung, bahkan ketika Doa Syukur Agung dan Konsekrasi. Padahal, sebelum masuk ke gereja dan seusai Misa, mereka juga masih asyik membungkuk menatap layar gadget mereka, seakan-akan mereka adalah para stock trader yang tidak ingin melewatkan sedetikpun turun-naiknya pergerakan saham di bursa online.

Chris dan “Spotlight” yang Mengguncangnya

Bahkan, Chris teman dekatnya, mantan seminaris yang cerdas dan kritis itu seperti tidak pernah lagi kelihatan batang hidungnya di ibadat dan Misa di gereja. Padahal, Chris termasuk seorang anggota OMK yang menurutnya cukup militan dan punya karakter, tidak ikut-ikutan tren seperti kebanyakan temannya yang lain. Terakhir, ia dan Chris terlibat diskusi serius soal pandangan mereka terhadap kehidupan menggereja Katolik sebagai orang muda.

Ia masih ingat betapa kesalnya Chris terhadap mantan pastor paroki mereka yang membawa kabur seorang janda muda kaya yang umat paroki itu juga. Konon sebagian uang paroki juga dibawa kabur oleh pria malang yang tentu saja tidak akan berani menunjukkan mukanya lagi di depan umatnya.

Sorry bro. I can’t stand this. I’ve read a lot, seen a lot. I know about Spotlight that brings Boston Arcdiocese to financial bankruptcy. I know about corruption in Catholic Church Life, both clerics and lays. Sementara gue belum bisa aja. Mungkin butuh waktu cukup lama baru gue akan ke gereja lagi”, kata Chris jengkel mengakhiri diskusi mereka yang setengah serius itu.

Just google it“, pinta Chris.

Tim yang disebut "Spotlight" adalah sekelompok jurnalis dari Boston Globe yang melakukan investigasi mendalam terhadap sejumlah kasus pedofilia yang dilakukan olah beberapa pastor dari Gereja Katolik Roma. Kasus ini berhasil mengguncang Keuskupan Agung Boston secara kewibawaan dan finansial secara khusus dan keuskupan-keuskupan lain di seluruh dunia, setelah laporan itu diterbitkan di surat kabar dan dibaca oleh jutaan warga Amerika Serikat. 

Kisah ini difilmkan pada 2015, disutradarai Tom McCarthy dan mendapatkan penghargaaan antara lain dari 72nd Venice International Film Festival, Telluride Film Festival, Academy Award for Best Picture dan Best Original Screenplay. Laporan investigasi itu sendiri mendapatkan penghargaan The Globe the 2003 Pulitzer Prize for Public Service.

 

John hanya bisa menyimak, kagum sekaligus heran dengan apa saja yang didengarnya dari penjelasan Chris, terutama sikap Chris kemudian dan pandangannya yang sinis terhadap Gereja Katolik, seolah Chris lupa betapa semangatnya mereka berdua pada tahun-tahun pertama setelah menerima Komuni Pertama.

“Makanya gue salut ama loe. Gue tau lo membaca banyak dan juga banyak ikut diskusi. Elo bisa berdiskusi dengan teman-teman Katolik, yang Protestan, yang muslim, agnostik bahkan ateis, and after knowing all these stuffs, you still attend the Church, I salute you bro. I just can’t. Sorry” , ujar Chris dengan gaya bicaranya yang susah lepas dari kebiasaannya ber-English ria itu.

Just be yourself, because pretending is painful“, lanjut Chris. John setuju dengan kalimat terakhir ini. Seolah kalimat itu keluar dari mulut John sendiri, bukan dari Chris.

Still, John yang Kesepian

John tersadar dari lamunannya. Ibunya pun sudah usai berdoa pribadi di tengah kerumunan orang yang bergegas meninggalkan gereja seusai Misa. Gadis yang tadi bertugas menyanyikan Mazmur Tanggapan masih terlihat khusyuk berdoa di depan patung Bunda Maria. Di pelataran gereja, John berpapasan lagi dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum manis padanya.

Ia ingin bercerita banyak di diary-nya. Tapi John sudah terlalu lelah hingga sesampainya di rumah, John tertidur di sofa ruang tamu mereka. Ibunya yang baru selesai berdoa devosi menatap anaknya yang terlelap, tersenyum seperti sedang bermimpi.


Cerita ini fiksi. Kesamaan nama dan tempat adalah kebetulan belaka.

Christian paints his Christ

Rahib Christian Amore Sitohang

Berkepala cukur di tengah dengan tonsura tampak kentara, Christian Sitohang yang saat ini menjalani hidup sebagai eremit (pertapa) di sebuah lokasi pertapaan di daerah Sumatera Utara, menjadi sebuah pemandangan yang unik, sekaligus aneh bagi kebanyakan orang.

Hal yang tampak samar Saya alami juga ketika menemani Rahib teman sekelas Saya ini pada sebuah perhelatan apresiasi seni lukis dan ukir di aula Katedral Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Mungkin beliau tidak menyadari, tetapi Saya menyaksikan dan menikmati beberapa orang yang memandang penuh heran, setengah bingung, seperempat salut dan seperdelapan sinis dan beberapa lainnya dengan reaksi yang hanya mereka yang tau artinya. Rahib memang membagikan beberapa pergulatan dan refleksinya dalam beberapa kesempatan bercakap-cakap dengan Saya. Tetapi, tentu saja, hanya Rahib yang tahu persis bagaimana “rasa”-nya menjadi seorang pertapa di zaman sekarang, di tahun 2017, belasan abad setelah Santo Antonius pertama kali memperkenalkan corak hidup pertapa soliter di padang kering Mesir.

Menjalani petualangan hidup sebagai seorang eremit dengan laku tapa kontemplatif dengan tetap membuka diri bersosialisasi dengan masyarakat luar adalah suatu corak hidup yang secara visual saja membutuhkan konsistensi luar biasa, terutama menghadapi cibiran dari banyak orang, termasuk dari para teman sejawatnya, para pelaku Hidup Bakti atau biarawan dari ordo dan kongregasi Katolik yang dia jumpai dan kenali. Tentu saja, tidak terhitung pula yang mendukung.

Konsistensi itu tetap ada hingga saat ini. Setidaknya, Saya melihat sendiri. Sehari penuh bersama Rahib, bersantap pagi dan siang dengannya, bagi saya jelas bahwa teman Saya ini adalah seorang pria sehat dengan semangat dan spiritualitas yang menyala-nyala pula.

Saya sendiri cukup senang karena beliau merelakan diri berjuang dalam tarik menarik antara tren visualitas modern dunia dengan corak hidup pertapa yang dipilihnya. Sesekali ia membuka pesan di HP-nya. Banyak permintaan dari umat yang mengenalnya, minta didoakan. Saya sendiri tak perlu mengirim pesan elektronik ke beliau, kesempatan bertemu itu Saya sempatkan untuk minta langsung dengan beliau.

Bersama teman-teman lain yang mendukung tetapi juga kritis terhadap pemurnian motivasi diri Sang Rahib, Saya cukup gembira menemukan bahwa corak hidup ini adalah pilihan yang diambilnya sendiri. Cukup mudah tertawa dan senyum, jelas bagi Saya, Rahib bukan orang yang tidak bahagia.

Pada 6 Juni, Rahib menulis di akun media sosialnya:

Dunia memang butuh aktivis-aktivis. Ini tidak dapat disangkal. Tapi dunia juga butuh kontemplatif-kontemplatif sejati. Seorang aktivis biasanya bekerja dengan kekuatan sendiri. Namun seorang kontemplatif, bekerja dengan daya diri sendiri dan kekuatan ilahi karena persatuannya yang mendalam dan kuat dengan Allah. Seorang kontemplatif sejati bukanlah seorang yang pasif dan pengangguran seperti disalahmengerti banyak orang. Justru sebaliknya, dia seorang yang peduli sekali dengan keadaan sekitarnya. Jikalau seseorang sudah memiliki kepedulian, maka dengan sendirinya dia akan jauh lebih mudah terdorong untuk berbuat sesuatu. Kepedulian melahirkan aksi. Seorang kontemplatif juga seorang pekerja keras. Dia bersemangat dalam doa dan kurban rohani demi kesejahteraan dunia dan keselamatan jiwanya. Dia tidak pernah menganggur bahkan ketika dia larut dalam doa dan tapa bisu yang mendalam dan panjang, dia menjadi orang yang sangat berguna di mata Tuhan”

Senang membaca permenungannya sedalam itu.

Christian paints his Christ

Jiwa seni yang agaknya menurun dari almarhum sang ayah (semasa hidupnya menjadi arsitek sekaligus mendesain bangunan gereja), sudah terlihat sejak tahun 2001, tahun pertama beliau dan Saya menjadi siswa di sebuah SMA. Di tahun kedua, Saya masih mengingat benar beliau sudah belajar melukis menggunakan jarinya, mengolesi cat minyak pada kanvas, sementara Saya menggambar seekor burung pipit pun hingga hari ini tidak pernah lulus.

Berhubung Saya bukan seorang penikmat seni lukis, juga bukan apresiator yang baik, Saya hanya mengagumi saja ketelitian, kegigihan dan kecermatannya yang membuat seolah setiap karya kerajinan tangan dan lukisan yang dia hasilkan, seolah ada “roh”-nya. Seperti pada lukisan yang menggambarkan Si Jesus ini, si Manusia-Tuhan, yang disembah oleh miliran penduduk bumi ini.

 

Perpaduan gamble, lukisan, doa, refleksi, puisi dan terpenting pengendapan dari sebuah proses kontemplasi yg panjang.

Sesuai dengan arus teologi umum Kekristenan yang meyakini Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus sebagai perwujudan paling nyata dari kehadiran Tuhan dalam sejarah manusia, lukisan ini menunjukkan lagi dan lagi apa saja yang mengisi mahkota duri-Nya.

Alienasi, tidak adanya kasih dan compassion, struktur sosial yang mendehumanisasi, ketidakadilan, kemelekatan ekstrem yang tidak teratur pada materi, dan sifat-sifat destruktif lainnya yang bisa dan mungkin dimiliki oleh manusia dan ciptaan, ternyata hingga hari ini masih melukai kepala Yesus. Membuatnya masih berdarah dan berdarah lagi.

Konon, merenungkan misteri Salib-Wafat-Kebangkitan Yesus saja bisa membantu orang Kristen untuk benar-benar mengalami pertobatan yang sejati, perubahan mendasar pada pola hidup ke arah yang lebih baik (metanoia).

Entahlah, bagi Saya, memandang lukisan ini seolah membawa Saya pada momen-momen reflektif ini. Begitu saja muncul di benak saya seperti kilatan-kilatan kilat.

Seperti Po pada Kungfu Panda yang berjuang berdamai dengan masa lalu yang dia tidak kenali hingga mencapai inner peace.

Seperti memahami misteri hidup luar biasa yang dialami seorang pelacur yang ditinggal suaminya dan terpaksa menghidupi anaknya dengan memperdagangkan tubuhnya.

Seperti menyaksikan pergulatan hidup dari jutaan keluarga yang terpisah dari orang yang mereka cintai karena perang, genosida, atau teroris yang gemar memenggal kepala.

Seperti menyaksikan kemunafikan para pemuka agama dan pemimpin publik yang menjual ayat-ayat suci dan memperoleh segepok pundi-pundi rezeki.

Seperti menonton kilas balik dari semua kegagalan, kemalasan, dan keengganan Saya untuk berjuang lebih keras lagi menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dewasa.

Seperti menyaksikan tangis dari anak-anak gelandangan yang tidak tahu harus pulang kemana karena orang tua mereka saban hari selalu menindas mereka.

Seperti merasakan benar rasanya menjadi seorang yang dikucilkan oleh teman-teman kerja, atau dicibir di lingkungan sosial.

Atau seperti Pak Ahok yang harus berjuang melewati hari dan malam di balik jeruji besi, padahal baru saja membaktikan diri untuk memperbaiki ibukota negeri ini. Harus berpisah dari isteri dan anak-anaknya karena persekusi politik nan keji dari sekelompok atau pemegang kuasa yang tak tertandingi bahkan oleh rezim sekarang ini.

Seperti melihat konflik antara kakak-beradik, “na marhahamaranggi, na gabe olo marsitallikan alani tano sattopak tadingtadingan ni natorasna naung monding.”

Atau seperti melihat anak kecil dari keluarga yang sangat miskin di kontrakan sempit, basah dan pengap di kota ini, yang hanya bisa gigit jari ketika istirahat sekolah menyaksikan teman-temannya menikmati lelehan es krim yang manis.

Atau jutaan anak yang menderita busung lapar di Afrika dan Bangladesh, yang tidak bisa apa-apa kendatipun setiap Minggu orangtua mereka selalu dikotbahi oleh sang pendeta bahwa “Allah itu Baik”

Atau seperti anak muda yang saban hari mengurung diri di kamar dan melihat apa saja yang terjadi di zaman ini, yang galau di tengah gempuran modernitas yang tak mampu diterimanya. Ketergantungan pada obat-obatan, perilaku seksual yang menyiksa diri dan mitranya, pedofilia, necrofilia, perdagangan keindahan tubuh, perdagangan orang, kekerasan massal, bully yang masif, atau perilaku masokis lainnya.

Dan … jutaan “luka” yang lainnya yang masih manusia ciptakan hingga saat ini.

 

Begitulah.  Semua itu menjadi duri yang masih melukai kepala Yesus hingga hari ini.

Entah penyembah Yesus, atau Tuhan dengan ribuan nama lain, entah agnostik dan ateis, lukisan ini seolah berkata:

“Ayolah. Berhentilah menjadi duri. Kasihan Yesus. Kepalanya berdarah terus”.

Oh iya. Rahib, terima kasih atas telah melukis sebagus ini. Semoga teman-teman Muslim yang juga membaca tulisan ini, memandang lukisan Rahib, juga terbantu mengalami “metanoia” sejati dalam Ramadhan yang suci ini. Toh, Tuhan kami ini adalah nabi kalian juga.


All photos are used by the courtesy of Rahib Christian Amore Sitohang. Please do not reproduce without his prior consent.

Enchilada

Encounter“-nya Schillebeeckx menjadi semakin jarang dirasakan pentingnya oleh generasi zaman sekarang. Perjumpaan personal secara face-to-face dirasakan banyak orang sebagai sesuatu yang tidak lagi begitu produktif, digantikan oleh komunikasi haha hihi dan chat tak berujung penuh emoticon dan sandiwara penuh humor basi di group-group Whatsapp, Blackberry Messenger, Facebook, Telegram, Line dan sebagainya, you name it. Tak jauh beda situasinya dengan japri alias jaringan pribadi (private channel).

Banyak psikolog menengarai gejala ketakutan dan kekurangcakapan generasi sekarang untuk membina relasi yang “material” (material dalam arti tangible, sensible dan personal sebagai antitesis dari yang digital) sebagai bentuk baru alienasi manusia terhadap dirinya. Orang tahan berjam-jam, bahkan melebihi durasi jam kerja sesuai UU Ketenagakerjaan (8 jam sehari, 5 hari seminggu) dengan jari-jemari tak henti-hentinya mengetak-ketuk atau mengusap layar sentuh di handphone atau gadget-ya, tetapi tidak lagi mampu berbicara secara sungguh-sungguh dengan mitranya dalam perjumpaan tersebut. Entah mengapa.

Begitulah kini kita pelan-pelan menciptakan dan menjadi bagian dari “masyarakat yang bungkuk menatap layar”, bukan lagi “masyarakat yang tegak dan tersenyum menatap wajah”. Jika saja Max Scheler atau Edmund Husserl masih hidup di zaman sekarang, mungkin mereka akan memaki-maki kita, manusia-manusia yang tak lagi efektif berkomunikasi interpersonal.

Tapi, benarkah orang memang semakin menghindari perjumpaan personal?

Ataukah memang perjumpaan antarpribadi sekarang semakin menurun kualitasnya?

Bahkan jika kita mengalah pada relasi transaksional, apakah perjumpaan secara personal tidak lagi mendatangkan keuntungan (profit) dan manfaat (benefit) bagi masing-masing pribadi?

Jika demikian, solusi yang sangat realistis perlu dicari untuk menyembuhkan penyakit “kekurangcakapan” ini adalah:

Bagaimana mencari profit bagi diri sendiri setiap kali bertemu dengan orang baru atau berada di tengah perkumpulan yang baru?

Masalah-masalah komunikasi interpersonal (yang kerap tak menyeruak keluar secara eksplisit tetapi agaknya diderita oleh masing-masing kita di zaman digital ini) saya coba inventarisir dari contoh-contoh konkret yang kita alami sehari-hari. Berikut beberapa hasilnya.

  • Kalau nanti pada pertemuan satu almamater, Saya bukan pembicara atau Pemrasaran, adakah untungnya buat saya?

 

  • Jika saya hanya menjadi pendengar budiman, layakkah saya menembus macet dan meninggalkan jadwal facebook-an saya hanya untuk melihat orang-orang baru di kopdar (“kopi darat” = meet up) yang akan datang ini, yang bentuk wajahnya saja tampaknya bukan tampang orang berduit?

 

  • Gimana ya caranya supaya saya bisa jualan produk-produk online atau dapet referral kalau saya hanya peserta biasa?

  • Saya maunya usaha kecil-kecilan yang saya mulai ini bisa dikenal oleh sebanyak mungkin teman pada acara reuni nanti. Tetapi, kalau sumbangan dana partisipasi Saya ke panitia acara hanya kecil saja, apakah teman-teman saya itu masih mau meladeni ajakan saya untuk bertemu mereka dan melakukan prospecting

  • Lama-kelamaan rasanya setiap kali Saya membuka sedikit tentang gagasan saya, atau menyinggung sedikit tentang unit usaha yang sekarang saya kembangkan, kok tatapan teman-teman yang tadinya hangat ke Saya tiba-tiba menatap Saya seperti mereka baru saja ditodong oleh seorang agen asuransi yang frustrasi demi mengejar target capaian premi sehingga tak sadar melakukan jual paksa?

  • Dengan segala kemudahan untuk mengakses informasi sekarang dari internet, masih perlukah saya membuang uang, energi dan waktu untuk datang ke live event, seminar atau workshop?

  • Kalau Saya datang ke suatu pelatihan atau seminar, masih perlukan saya membawa setumpuk kartu nama untuk Saya bagi-bagikan ke setiap orang disana? Apa saja yang sebaiknya Saya tampilkan di kartu nama tersebut, dan apa yang sebaiknya tidak?

  • Dengan puluhan atau ratusan kartu nama yang saya dapat hasil dari tukar kartu nama, artinya mereka adalah potential client atau prospect Saya, bagaimana cara follow up yang baik sehingga mereka tidak merasakan kehadiran sebagai sebagai penguntit?


 

Adakah teknik atau gaya komunikasi yang mesti Saya batinkan sehingga Saya bisa menyajikan hidangan enchilada penuh guna memuaskan selera mitra atau calon mitra Saya?

Saya mau supaya potongan tortilla jagung ini bisa saya tawarkan dan disukai oleh segala macam selera dan konteks situasi. Artinya, kalau si A suka daging, dia menemukannya pada saya. Untuk si B yang suka keju, dia melihatnya ada pada saya. Bagi si C yang suka kentang, juga didapatnya dari Saya.

Is there reallly a thing such whole thing that corresponds to every situation and style of interpersonal communications?

If it is somewhere there, where to find that specific whole enchilada?


 

Konon, dulu Dale Carnegie sudah menasihati ribuan kali:

Ketika bertemu dengan orang, perbanyaklah MENDENGARKAN.

So, the whole enchilada really exists. You just need to listen, understand every need, respond to it, and voila, you have just made another succesfull selling.

Entah barang atau jasa apapun yang Anda sedang jual.

 

Wahai Kaum Pengangguran, Nyanyikan Baladamu

Hak Menyanyikan Baladanya Sendiri

Tadi malam saya mendengar lagu “The Boxer” besutan duo Amerika lawas Simon & Garfunkel. Tetiba saja, seperti mendengar bisikan dari angin semilir yang tak berhasil membuat rumput bergoyang, rasanya saya ingin memekikkan “Manifesto Hak Berbalada” ini:

Bahwa sesungguhnya menyanyikan balada itu adalah hak setiap orang, tak terkecuali kaum pengangguran. Oleh sebab itu setiap upaya pelarangan terhadap nyanyian balada baik oleh orang yang sedang bahagia ataupun oleh orang kaya, harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan perikesenian dan perikeberperasaan.

Para pembaca harap jangan panik, saya tidak bertapa di Gua Hira atau Taman Zaitun. Saya tidak bertapa. Hanya inhale-exhale a la seorang Yogi yang tak lulus-lulus belajar, kadang beraturan kadang tidak, di kamar saya yang tidak begitu luas, ditemani lampu temaram.

Kemudian, muncullah pertanyaan-pertanyaan ini.

  1. Apakah setiap orang berhak mengekspresikan rasa seninya? Yes. Sepanjang tidak mengusik orang lain.
  2. Lalu, apakah setiap orang berhak mengungkapkan rasa seninya lewat nyanyian? Yes. Sepanjang metrik desibelnya tidak menimbulkan polusi suara. Yang suaranya cempreng boleh meletakkan standar desibel yang lebih rendah. Hahaha.
  3. Lantas, apakah setiap orang berhak mengungkapkan kenyataan hidupnya dalam balada, dan menyanyikannya? A greater yes. Dijamin tidak mengusik orang lain. Karena sesungguhnya setiap orang bersatu dalam kodrat kesedihan yang sama. Berikut penjelasannya.

Setiap Orang Berhak Sedih

Sejak peperangan dikenal oleh peradaban manusia, entah karena sex ataupun kekuasaan, sejak itu pula serangkaian litani kesedihan yang panjang selalu ada di balik setiap gelak tawa dan pekik kejayaan. Selalu ada lantunan ratapan kesedihan di balik setiap penaklukan oleh conquistadores, entah demi alasan agama (many times in this case it redirected us to Gospel), perebutan wilayah (gold), ekspansi kekuasaan (glory) ataupun sekedar show off kekuasaan misoginis oleh seorang pria gallant yang baru saja berhasil merebut seorang wanita idaman nan rupawan bak Princess dari seorang pria lemah nan memble.

Terhadap setiap kekalahan itu, bersama Sheila on 7  yang memilih “Berhenti berharap”, kita boleh menyanyi kecil atau teriak kencang di kamar mandi sambil bernyanyi: “Aku pulang …. Kuterima kekalahanku …”

(Disclaimer: Jika di antara pembaca ada yang jomblo atau baru diputusin kekasih karena Anda tidak punya belis atau sinamot yang cukup, atau gelar akademis Anda tidak cukup mentereng di mata sang calon mertua, penulis tidak bertanggungjawab seandainya terjadi kesedihan dan kegalauan kronis tingkat Olympus).

Singkatnya, sebagai sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat yang mengharukan, kadang-kadang dinyanyikan, kadang-kadang berupa dialog; balada dan menyanyikan balada adalah hak setiap orang. Sekali lagi, terutama bagi kaum pengangguran.

Bahkan Roh Kudus Pun Bersedih

Satu perikop Alkitab yang parafrase-nya masih saya ingat ketika dididik oleh Romo Alex, SJ yakni Roma Pasal 8, terutama pada bagian ini.

Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh  dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.

Konon, di ajaran lain juga dikenal dengan istilah tumimbal kahir, sebuah term yang katanya lebih pas untuk menyebut reinkarnasi, yakni proses kelahiran dan kematian berulang kali yang mesti dilalui oleh manusia, dengan serangkaian penderitaan di dalamnya sampai manusia mencapai pencerahan sejati, mencapai dhamma dan menyelesaikan tugasnya setelah kehidupan yang kesekian ratus kalinya, dan berhasil mencapai akhir dalam peziarahan tak kunjung henti itu dalam ketiadaan kehendak dan hawa nafsu di nir-ana (nirwana) masing-masing.

Baiklah, sebelum saya lebih lanjut ditengarai sebagai sinkretis, jika Anda berminat untuk mengetahui hermeneutika yang lebih kredibel, ada baiknya Anda bertanya ke para ahli (baca: Siboto Surat, Kaum Farisi, dan sejenisnya) atau mengunjungi website hermenutika semacam Biblehub.com.

Balada Pengangguran: The “Boxer”

Ada ribuan ulasan dan analisis terhadap lagu Boxer yang dinyanyikan Simon dan Garfunkel ini bisa kita temukan, baik di internet maupun dari sumber-sumber lisan. Bagi yang pernah mendengarnya, Anda pun mungkin punya analisis sendiri, entah Anda suka dengan lagunya atau tidak; entah Anda punya latar belakang musik yang mumpuni atau sekedar penikmat kelas teri yang bahkan tidak mau membeli video atau audio-nya lewat aplikasi berbayar, hanya mau jika itu dari situs gratis, persis seperti Saya. Konon lagu ini ditujukan sebagai tribute untuk Bob Dylan, yang memang pernah menjadi petinjua amatir sebelum beralih menjadi musikus.

“The Boxer” adalah sebuah lagu metafor. Meskipun telah mengalami serangkaian kekalahan, kemunduran, hinaan, cemoohan bahkan direndahkan serendah-rendahnya, si penulis lagu memilih untuk tetap bertahan ((“carries the reminder of every glove that laid him down or cut him til he cried out”) dan meneruskan cita-cita dan impiannya (“the fighter still remains”).

Di tempat lain, seorang pria berputeri tiga dan berputra satu yang tinggal di daerah Sawangan – Depok,  mem-parafrase-kan dinamika roda hidupnya dan memilih bertahan dengan mottonya: I have died once. I fear no more defeat. Hey, life, try me!

Semboyan hidup yang agak kontras dengan keluhan manja Mario Ballotelli, si striker badung kesebelasan AC Milan dan timnas Italia: “Why Always Me?”

Kembali ke Sang Petinju

Konon si pria merasakan gemuruh kesedihan di dadanya yang sesak setiap kali ia mengingat masa lalunya sebagai pria yang meninggalkan kampung halaman “left his home“), keluarga dan sanak-saudara “and family” ketika dia sejatinya masih seorang bocah ingusan “when he was no more than a boy” yang masih ingin bereksperimen seberapa ampuhnya dia tease and flirt gadis-gadis kampung, mana saja yang masih mau digandengnya hanya dengan rayuan gombal kata-kata.

Lucunya, hidup memang kerap sebengis itu, ketika di kemudian hari dia alami sendiri di perantauan bahwa ternyata kata-kata dan janji manis tidak lebih mengenyangkan perutnya dibanding buah semangka yang membantunya bertahan hidup di fase awal perantauannya, kala ia bahkan tidak tahu bus Metromini yang menuju ke mana (doing so under some vague pretense that life on his own would be better than wherever he came from a pocketful of mumbles, such are promises).

Sang (calon) petinju itu mengalami dan merenungkan sekelebat kisah hidupnya yang diisi oleh kesepian, rindu pulang ke kampung halaman, dan pengucilan oleh warga ibukota (“where the New York City winters aren’t bleeding me, leading me, to going home”).  Ia yang begitu polos dan jujur, dituntut untuk mengakui kenyataan hidupnya yang ambiqu, saat dia mesti menghabiskan rezeki pertamanya yang tidak seberapa itu dengan melanggar normal moral yang tak pernah ia bayangkan akan ia langgar, jika mengingat pengalamannya di kampung bahkan sekedar bermain kartu domino atau poker pun ia diusir oleh ayahnya dari rumah. Maka, pergilah dia, “just a come on from the whores on 7th Avenue. I do declare there were times when I was so lonesome, I took some comfort there“. Kegelisahan dan keputusasaannya menjadi gambaran atas jutaan umat manusia lainnya yang mengalami skenario dan pilihan hidup yang sama.

Kenyataan hidup, terutama di perantauan, yang diisi oleh serangkaian tantangan dan emosi yang campur-baur, semakin jelas baginya ketika dia, si anak kecil berkulit hitam dari Selatan itu, mencoba menyusuri jalanan di kota New York yang gemerlap untuk mencari pekerjaan, tetapi tidak menemukan satupun yang mau mempekerjakannya, meski hanya dengan upah minimum.

Roda hidupnya mulai diputar ketika dia melihat cermin dirinya sendiri lewat seorang petinju yang berkali-kali kena kalah dan kena pukulan bertubi-tubi, darah berceceran tak terhitung hingga sudah berapa kali, yang tergoda untuk meninggalkan pekerjaannya itu dan pulang saja ke kampung halaman, tetapi karena rasa malu pulang dengan tangan hampa, dia memilih untuk tetap bertahan. Again, the fighter still remains. Seolah tak gentar dengan pahitnya kenyataan hidup, ia memilih untuk meneruskan peziarahan hidupnya. Kegetiran hidup dilihatnya bukan sebagai cacat bekas luka, tetapi sebuah luka yang masih menganga dengan darah bercucuran. Sejatinya dia ingin menyerah saja. Dia ingin berhenti, tetapi kata menyerah tidak ada dalam dalam kamusnya. Mental pecundang tidak hidup di aliran darahnya. Bahkan, tidak ada pilihan untuk menyerah. Di usia senjanya kelak, ia menemukan inner peace layaknya si Po yang berdamai dengan kenyataan “dibuang” oleh orangtuanya sendiri di Kungfu Panda, bahwa:

Tak perduli seberapa keras Anda mencoba, Anda akan tetap dipukuli dan dihantam bertubi-tubi itu oleh sang hidup, bahkan menyerah tidak tersedia sebagai pilihan. Seiring dengan dentak drum yang mengiringi setiap pertandingan tinju, setiap kali Anda harus bertahan menerima pukulan itu. Anda bahkan mesti bernyanyi “Lai La La”

Simon dan Garfunkel juga Bersedih

Tema umum yang ditawarkan oleh Simon & Garfunkel dalam lagu-lagu baladanya adalah bagaimana menemukan kekuatan untuk tetap bertahan terutama pada saat Anda berada pada titik terendah hidup Anda, ketika seisi dunia tampaknya memusuhi Anda. Tema sejenis terasa dalam hits mereka lainnya, misalnya “I am a Rock” dan “Bridge Over Troubled Water”.

The Boxer” muncul di album studio kelima mereka Bridge over Troubled Water (1970). Diproduksi secara kolaborasi antara duo Simon & Garfunkel dan Roy Halee, lagu ini menjadi lead single album yang dirilis pada 21 Maret 1969. Penulisnya, Paul Simon, adalah seorang musikus (gitaris dan vokalis) beraliran folk rock ballad yang banyak menimba inspirasi lagunya dari kisah hidup personal seorang tokoh, dan banyak juga terinsipirasi dari kisah-kisah di Alkitab.

“The Boxer” sendiri merupakan follow-up dari single sukses mereka sebelumnya, “Mrs. Robinson“, yang meraih peringkat ketujuh di Billboard Hot 100 dan dipanggungkan secara internasional di berbagai belahan dunia. Mengikuti single pendahulunya, “The Boxer” nangkring di jajaran lagu Top 10 di sembilan negara, tertinggi di Netherlands, Austria, South Africa, dan Canada. Rolling Stone sendiri mencatatkan “The Boxer” masuk dalam daftar the 500 Greatest Songs of All Time, di nomor ranked the song No. 106.

Saat konser pada 3 Juni 2016 di Berkeley, California, Paul Simon berhenti di pertengahan lagu, dan mengumumkan ke penonton:  “I’m sorry to tell you this in this way, but Muhammad Ali passed away.” Lalu ia melanjutkan lagu itu dan mengakhirinya dengan lirik: “In the clearing stands a boxer and a fighter by his trade…”

Sejatinya, “The Boxer” ditulis dalam versi yang tak semuanya muncul di versi album Bridge over Troubled Water. Lirik yang tak muncul itu ialah sebagai berikut.

Now the years are rolling by me 
They are rockin’ evenly.
I am older than I once was,
And younger than I’ll be.
That’s not unusual;
No, it isn’t strange:
After changes upon changes
We are more or less the same;
After changes we are more or less the same.

 

Prekonlusi

Sang Petinju (The Boxer) bukan hanya Simon Paul. Pada dasarnya, kita semua adalah seperti Sang Petinju. Kita lelah dengan semua pertempuran, pertandingan dan perkelahian hidup ini. Dan, sementara kita memilih untuk tetap bertahan, tidak berarti bahwa kita sudah mencapai kemenangan, baik dalam arti moral, maupun dalam arti lain.

Suara merdu dari duo ini masih berhasil membuat suasana sendu hingga hari ini. Setidaknya, bagi saya. Mungkin, juga bagi teman-teman lain yang pernah atau masih menjadi pengangguran.

 Pertanyaan berikutnya: Apakah setiap orang berhak bahagia dan menari Cha-cha atau berlenggok Lenso?

Kita tunggu tulisan berikutnya.


 

Disadur dari berbagai sumber

Lagu “Poda” versi English

“Poda”

Kental dengan nuansa melankolis tidak membuat kebanyakan lirik lagu Batak kehilangan makna filosofisnya. Endapan kearifan lokal (local genius) dan nilai-nilai hidup (local values), jika kita cermat, merupakan “jiwa” (soul) yang membuat kebanyakan lagu lawas (tidak semua) Batak tetap dinyanyikan hingga hari ini. Lagu “Poda” adalah salah satunya.

 

Tagor Tampubolon – Diskografi

Lagu “Poda” adalah satu dari beberapa lagu yang diciptakan Tagor Tampubolon, seorang komposer Batak kelahiran 1960. Seperti dilansir dari BatakPride.com, ayah dari 4 anak dari isterinya boru Sitohang mengajak setiap orang Batak untuk tidak puas dalam berkarya dan mempunyai mimpi dalam hidup.

Tagor sendiri merantau pada 1976 ke Jakarta dari kampung halaman di desa Parlanggean. Remaja Tagor yang masih polos dan ilmu musiknya masih sangat terbatas kala itu. Lalu ia pun berguru dengan Johanes Purba. Tagor memberikan segala waktu dan tenaga belajar instrumen musik dan nada.

“Musik itu jangan dibuat susah. Mantapkan dulu mengenal nada doreminya”, kata Tagor.

Setelah 3(tiga) tahun konsisten belajar musik, Tagor menulis lagu pertamanya pada 1979. Apakah langsung diterima pasar? Tidak sama sekali. Great things take time. 16 tahun kemudian di tahun (tahun 1995), barulah karyanya semakin banyak dan dan diterima masyarakat luas. Lalu, selama 16 tahun lama itu pendengar musik terarah kemana sehingga karyanya begitu lama dikenal luas? Menurut Tagor, periode itu diisi oleh banyak lagu Batak bertema sedih dan memberi kesan “menangisi jaman dulu.” Misinya pada saat itu “merubah selera masyarakat.” Ia ingin membuat lagu yang penuh petuah, nasihat, dan harapan. Lahirlah lagu “Poda” yang secara literer memang berarti ‘petuah’ atau ‘nasihat’.

Lagu “Poda” membuat namanya dikenal dan lagu-lagu berjenis “poda“-lah yang selanjutnya dikembangkan. Lirik lagu “Poda” menggambarkan ciri khas orang Batak khususnya hubungan antara bapak dan anak. Banyaknya generasi muda Batak yang pergi merantau demi masa depan menuntut orang tua melepaskan anak dengan berat hati. Seperti masyarakat perantauan lainnya, tergali kearifan hidup yang kaya disini, tidak melulu soal suasana mengharu-biru, bahwa: A great change needs great sacrifice. Tanpa bermaksud mengkonfrontir dengan kearifan masyarakat di tempat lain (karena setiap masyarakat memang memiliki dinamika sosialogis dengan konteksnya sendiri-sendiri), orang Batak kebanyakan menolak falsafah hidup “Mangan ora mangan pokoke ngumpul” (makan tidak makan, yang penting kumpul).

Karya Tagor lain yang juga masuk jajaran evergreeen Bataknese songs yakni “Tangiang Ni Dainang” (artinya: doa sang ibu), “Boru Panggoaran” (artinya: putri sulung), “Inang ni Gellengku” (Ibu dari anak-anakku).

Selain mencipta lagu, Tagor  juga terlibat di soundtrack dokumentasi film Nommensen. Tak tanggung-tanggung, belum lama ini Tagor pun mendapat penghargaan dari Ephorus HKBP (pemimpin tertinggi denominasi Kristen tersebut) karena keterlibatannya di lagu-lagu gereja.

Salah satu filosofi hidupnya adalah “Jangan lupa tanah asalmu”. Ajaran ini dipraktekannya dengan membangun gereja di Parlanggean, kecamatan Panombean, Sumatera Utara tempat kelahirannya. Ia berpesan agar generasi muda Batak menjadi saluran berkat dan selalu mengutamakan kerjasama demi menghasilkan perubahan besar. “Manusia harus punya marwah dan memiliki tongkat sendiri”, ucap Tagor.

 

BODT Voice

Empat pemuda satu almamater yang tergabung dalam kelompok BODT Voice (yang beranggotakan Budi Marbun, Ovi Hamubaon Samosir, Donald Haromunthe dan Tison Sihotang) menyadari benar hal ini. Terlebih setelah mengetahui bagaimana lagu “Poda” sendiri lahir dari perjuangan dan dedikasi tanpa henti dari seorang musisi Batak yang cukup diakui diantara para komposer Batak yang pernah ada.

Seperti dimuat MusikLib.Org, berikut lirik asli lagu “Poda”.

Angur do goarmi anakhonhu
Songon bunga bunga i na hussus i
Molo marparange na denggan do ho
Di luat na dao i
Ipe ikkon benget ma ho
Jala pattun maradophon natuatua
Ai ido arta na ummarga i
Di ngolumi da tondikhu

Unang sai mian jat ni roha i
Dibagasan rohami
Ai ido mulani sikka mabarbar
Da hasian
Ipe ikkon ingot ma maho
Tangiang mi do parhitean mi
Di ngolumi oh tondikku

(Reff) :

Ai damang do sijujung baringin
Di au amangmon ….
Jala ho nama silehon dalan
Di anggi ibotomi
Ipe ingot maho amang
Di hata podakki
Asa taruli ho amang di luat
Sihadaoani

(Coda):

Molo dung sahat ho tu tano parjalanganmi
Marbarita ho amang
Asa tung pos rohani damang nang dainangmon
Di tano hatubuanmi

 

“Advice”

BODT Voice mengartikulasikan pesan kuat lagu “Poda” tersebut dalam versi berbahasa Inggris, “Advice”. Berikut ini lirik dan link videonya.

Just like the flower blossoms majesticly

So will be your name, I hope

Me, Dad and your Mom

and it will come true when you are trying to do

Being good in every where

Still being humble and nice to every body
Keep being respectful person as you are
That is the most precious in this life
Now and henceforth

And never keep bad ideas in your mind
In your vision at all things
Coz that’s the evil things are coming from
Everybody knows the truth
Now please remember all those words you heard
in silent prayer
in your silent romm
and give to Him
space in your heart

(Refrain):

All these great things that I suggest you
The pursuit of my soul
And I wish that you will seek the same, too
Coz’ we share the same source
I ain’t borrow His name
(It’s) my love that tells you this
So that you may share all the sweetness
Like everybody dreams

(Coda):

So when walk and brething in wherever you are
Keep in mind you are in my heart
Know that’s the way you leave me peace of mind and silent soul
Here in this place that you were born

Untuk tahu lebih banyak tentang BODT Voice, silahkan kontak mereka di channel Youtube mereka atau tweet @bodtparende.

Agora Toba – Dari Efesus ke Samosir

Agora

Agora (bahasa Yunani: Ἀγορά, Agorá) adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunani Kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata Yunani: αγοράζω, agorázō, “aku berbelanja”, dan αγορεύω, agoreýō, “aku berbicara di depan umum”. Dari sini muncul istilah agorafobia digunakan untuk menunjukkan rasa takut terhadap tempat umum.  Di tempat lain, muncul forum romana, bentuk pertemuan bangsa Romawi yang mengikuti agora dan di banyak catatan sejarah dikenal juga dengan nama yang sama.

Yunani Kuno

Ephesus (baca: Efesus), kota yang kerap-kerap disebut pada zaman Yunani Kuno, berada di sebelah barat dari Anatolia, sekarang kota Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Ephesus adalah salah satu dari dua belas kota dari liga Ionian dalam sejarah pemerintahan Yunani kuno. Dari bukti-bukti yang terkumpul diperkirakan Ephesus ini sudah di huni 6000 tahun Sebelum Masehi. Kota ini terkenal dengan candi Artemis yang selesai dibangun 550 SM, merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno, Candi ini di robohkan di tahun 401 oleh massa yang di dalangi oleh St. Yohannes Chrysostomus. Kaisar Constantinus I membangun kembali kota ini, tetapi di tahun 614 sebagian hancur lagi karena gempa bumi. Kota yang menjadi pusat perdagangan ini pun melemah, terutama setelah pelabuhan yang semakin tahun makin tertutup oleh lumpur dan mengisolir kota ini. Kuil ini sendiri saat ini hanya berupa pilar-pilar yang tidak mencolok mata pada saat penggaliannya oleh Museum Inggris di tahun 1870-an.

Tentang bagaimana artefak untuk mempelajari sistem dan peradaban di kota ini diperkirakan masih berada dibawah tanah dan harus digali. Para ilmuan hanya bisa menjelaskan bahwa hujan dan banjir telah menenggelamkan Kota ke dalam tanah. Hanyutan lumpur menutup permukaan dermaga hingga sekarang menjadi tanah perkebunan. Tentu saja teori ini masih jauh dari kebenaran karena para arkeolog sendiri masih meragukan hipotesanya.

Yang menarik adalah ada dua ‘agora’ atau pasar komersial untuk melakukan bisnis negara juga tergali di sekitar kota ini.

Dari sebuah anal yang tercatat, kita bisa mereka-reka bagaimana kebiasaan masyarakat Efesus.

Anak-anak muda belajar di jalanan. Mereka berjalan-jalan, mengamati suatu objek yang menarik sambil sesekali berdiskusi di bawah bimbingan seorang guru. Celetukan, pertanyaan dan juga ocehan menjadi kurikulum tak tertulis mereka. Ada saja yang menarik perhatian mereka dan mereka haus untuk bertukar pikiran sembari memastikan apakah pendapat yang seorang sama dengan yang lain untuk hal yang sama.

Mungkin karena inilah Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”.

Via Shutterstock

Mereka belajar dengan memperhatikan, mendengarkan dan berdiskusi.

Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang.

Mereka juga mempelajari berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan tukang bekerja di depan rumahnya masing-masing.

Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar)

Mereka adu pendapat mengenai harga barang di pasar

Mereka bahkan sudah berani berargumen tentang pajak, pemerintahan, kebijakan senat yang bahkan di dua puluhan abad kemudian di sebuah wilayah berjuntai pulau di bawah pelukan hangat Khatulistiwa, orang bahkan harus menutup pintu untuk membicarakannya. Hmm …

Selanjutnya di hampir seluruh kota Yunani, termasuk Efesus juga, muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya banyak dari aliran sofistik itu bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan.

Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir.

Salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates.

Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini. Bersama dengan peradaban maju lainnya yang melakukan revolusi awal di bidang pendidikan, Efesus dengan agora-nya menjadi kontributor terbesar bagi perkembangan pemikiran kemudian. Berkat puluhan revolusi lain puluhan abad kemudian di wilayah yang kita sebut sebagai “dunia Barat”, gerak maju pendidikan dan literasi dalam berpendapat akhirnya sampai juga ke Nusantara setelah melewati tahun-tahun yang tidak enak di bawah penguasaan bangsa-bangsa Eropa, lalu dengan agak susah-payah Anda dan saya akhirnya bisa menikmati segudang tulisan. Salah satunya ya ketika Anda membaca tulisan ini.

Oke, sejauh ini kira-kira apa yang bisa kita dapatkan?

Mungkin sulit untuk membawa pembaca pada suasana di sebuah agora, di sebuah kota, di sebuah negara ribuan kilometer dari tempat duduk pembaca saat ini pada kurun puluhan abad sebelum sekarang. Agora di Efesus pada ribuan tahun lalu telah berhasil menciptakan iklim pengetahuan yang berbicara banyak pada sejarah setelah susah payah akhirnya berhasil juga melahirkan maestro pengetahuan sepanjang masa, Sokrates, serta merintis sistem pendidikan modern di hampir seluruh dunia dewasa ini, yaitu Akademia.

Socratic Academians learning method via Pinterest

(Itu khan di Negeri Para Dewa. Kasih contoh yang di Nusantara donk.)

Banyak kesamaan antara Efesus dengan Toba dan Samosir. (Barangkali ada yang sontak ingin mem-bully Saya dengan paralelisme yang bernuansa cocoklogi ini). Memangnya, ada hubungan historis? Atau Sokrates pernah meliput di Danau Toba begitu? Tentu tidak seakronistik itu.

Samosir di Indonesia

Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. “Lapo” adalah kedai/warung seperti warung kopi. Mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itu. (Hahaha …) Tempat-tempat yang kerap Saya jauhi karena sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor Nyisip Kopi Terlama yang Pernah Ada. (Saya kurang tahu apakah sudah ada event organizer yang pernah menggagas lomba semacam ini). Betapa tidak, secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You know-lah, that’s not like drinking mineral water. Semoga kita sepakat dalam hal ini.

Jika diperhatikan, maka aktifitas berbicara-mendengarkan-berdiskusi di agora ini sangat mirip dengan acara “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul) di lapolapo yang sejak dulu menjadi tempat berkumpul kaum bapak di Samosir. Umumnya di zaman masyarakat Toba yang patriarkhis kental ini, kaum ibu lebih memilih untuk diam di rumah atau melakukan kegiatan lain daripada menjadi gunjingan.

Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentleman Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. Seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.

Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi memang menunjukkan ciri yang sama: Meminum tuak menjadi pemandangan umum pada malam hari, antara lain lantaran iklim daerah-daerah tersebut yang dingin.

Lagi tentang Samosir

Pulau Samosir sendiri ialah pulau vulkanik hasil erupsi purba Gunung Toba yang sekarang menjadi Danau Toba. Sebuah pulau dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini menjadi sebuah pulau yang menarik perhatian bagi siapapun yang mengunjunginya. Di pulau ini terdapat pula dua danau lain yang lebih kecil, yaitu Danau (Aek) Sidehoni dan Danau (Aek) Natonang. Keduanya kerap disebut “danau di atas danau”.

Untuk mencegah salah kaprah, berikut beberapa term yang kerap diasosiasikan dengan Samosir.

  1. Kabupaten Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Sebagian wilayahnya mencakup Pulau Samosir.
  2. Kabupaten Toba Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
    Samosir juga adalah salah satu marga dari Batak (Toba) yang berasal dari Kabupaten Samosir.
  3. Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dihuni oleh suku Batak, lebih spesifik lagi etnis Batak Toba.
  4. Marga Samosir, salah satu dari ratusan marga yang umum dikenal dalam kekerabatan genealogis masyarakat Batak toba.

Perihal orang Batak sendiri konon adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

R.W Liddle, seorang penulis, mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Agora Toba

Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo. Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).

Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapolapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang Batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.

Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapolapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang Batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang Batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapolapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah sampai kelas elit.

Pada akhirnya, lapo dan orang Batak menjadi hal yang tak terpisahkan seperti agora dan orang Efesus pada zaman Yunani Kuno. Keduanya besar karena saling membesarkan. Melihat kesamaan fenomen di Efesus dan di Samosir inilah saya mengusulkan ke siapapun yang berwewenang untuk menambah diksi agora Toba ke perbendaharaan kata kita.

Western and Easterns Met in Lapo Tuak via Hipwee.com

 

Balik Nama

Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan Bea Balik Nama (BBN), Ganti Nama atau sejenisnya. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran saya bahwa tanpa edukasi yang njelimet dan kritisisme yang ketat, bisa-bisa semakin banyak orang tanpa sadar menjadi korban dari propaganda dan provokasi. Semoga saja tulisan ini sendiri tidak ditengarai sebagai sebuah upaya provokasi.

Di sebuah group Whatsapp, seorang teman post sebuah candaan sebagai intermezzo di tengah diskusi group yang tensinya mulai naik.

BALIK NAMA

Ada ibu mangamu di Samsat, ba urus BPKB mo bale nama.

Ibu : Kita nyanda mau tau pak, pokoknya kita nyanda mau bale nama.
Petugas: : Aduh Ibu, hrs itu soalnya nama yg lama sdh dihapus, jd Ibu harus balik nama.
Ibu : Biar mo mampos mar kita nyanda mau Pak.
Petugas : Knp Ibu tdk mau Balik Nama? Alasannya apa?
Ibu : Kita pe nama Maya Rolot! Coba ngana pikir kalau mau Balik Nama jadi Tolor Ayam. Itu Saya nyanda rela, Pak.

Kita, para member group Whatsapp tersebut pun masing-masing menghargainya dengan sebuah emoticon smile. Oke, fair donk: A joke and a smile.

Akan tetapi, melihat fenomen akhir-akhir ini, rasanya alur pikir yang dikandung humor ini cukup membantu untuk menjelaskan banyak hal. Setidaknya, untuk mengatasi kegalauan dan keprihatinan dari banyak teman.

Joke atau candaan sejatinya memang bukan untuk dianalisis karena akan kehilangan kelucuannya. Tapi, pembaca joke tadi sudah mengapresiasinya dengan tertawa. So, that’s enough for joke. Now, the analysis.

Entah benar ada seorang ibu bernama Maya Rolot, dan dia pergi ke Samsat untuk keperluan administrasi kendaraan bermotornya, pembaca tentu mafhum bahwa inti dari kelucuannya adalah pada frasa [tolor ayam] (baca: telor ayam). Berkat kepolosan si Ibu mengartikan secara denotatif instruksi dari petugas soal Balik Nama berikut Bea Balik Nama, terjadilah kegaringan di mata para pembaca, kebingungan di mata petugas, dan rasa tidak terima bagi si Ibu tadi. Cerita pun direka – supaya semua aspek itu terjadi – dengan kelihaian si pembuat joke yang sengaja menamai si Ibu dalam cerita tadi sebagai Maya Rolot.

Padahal, dalam dunia nyata, realitas yang bisa kita damaikan dengan alur pikir kita (yang mudah-mudahan masih dengan nalar logika yang sehat) adalah jika si cerita berangkat dari nama real pribadi, bukan dari pembalikan huruf nama pribadi tersebut. Jadi, real person first (subject) baru kemudian predicate, bukan sebaliknya.

Seperti biasa, joke menjadi lucu ya karena itu: menawarkan alternatif berfikir dengan cara terbalik. Tentu saja jika diplikasikan ke dunia nyata akan terjadi banyak kekacauan di sana-sini. Whatever, for the sake of a laughter, tidak banyak yang memberi notice terhadap dampak pola pikir terbalik tersebut.

Terbalik gimana sih maksudnya, Om?

Kira-kira begini jalan ceritanya. Jreng … jreng … jreng


Hatta …

Tersebutlah bahwa menurut sekelompok orang – yang mengatasnamakan ajaran tertentu, dan ajaran tertentu itu mengatasnamakan diri sebagai ajaran yang paling benar – seorang figur publik dianggap, dituntut, dicaci dan didesak untuk mundur dari kedudukannya sebagai pemimpin di sebuah lembaga pemerintahan karena sebuah perkataan yang dinilai sebagai penistaan terhadap ajaran mereka.

Entah tau atau tidak, entah tau tapi peduli atau tidak, sejatinya perkataan yang dimaksud itu sudah diedit dan dipelintir pula. Maka, klop-lah. Makin beranilah mereka untuk memperjuangkan anggapan, tuntutan dan desakan mereka. Tentu saja, cacian dan sumpah serapah mengiringi aksi super-duper berani dan ramai itu. Alhasil, bipolaritas pun menjadi dua realitas sosial di kota itu: pasukan kotak-kotak versus pasukan berjubah putih.


 

That’s the end of the story. By the way on the busway You Got A Way and I’m Only One Call Away … (begh …), story tadi bukan tale loh. Ribuan media di Indonesia menyorot sosok fenomenal ini kok. Sungguh terlalu jika pembaca tidak tahu siapa yang saya maksud.

Lantas, apa hubungannya dengan humor tadi?

Pembalikan nama dalam cerita tadi menjadi lucu karena merupakan visualitas versi lucu dari apa yang selama ini banyak terjadi pada setiap aksi massa. Entah itu class action, street firing mass, #twitwar, debat kusir, atau saling pentung.

Memangnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah: Massa membiarkan diri digiring oleh alur pikir dan framing dari informasi yang disesuaikan dengan kehendak si Tuan Besar. Si Tuan Besar ini bisa siapa saja, bisa pribadi, bisa organisasi, bisa agama, bisa fanatisme kelompok, ataupun radikalisme peer group. Ciri utamanya: Si Tuan Besar ini punya kuasa terhadap massa.

Jika massa kritis, maka mereka akan menemukan bahwa urutasn sebenarnya kejadian ialah:

  1. Si Figur Publik tadi berorasi (dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja)
  2. Orasinya untuk audiens tertentu (sejauh ini terkonfirmasi bahwa audiens sendiri tidak keberatan dengan isi orasi tersebut)
  3. Isi orasinya menyoal konteks tertentu (bahwa Orang bisa saja menggunakan Otoritas apapun untuk menguatkan efek kekuasannya, termasuk jika harus setiap saat melakukan logical fallacies (kesesatan logika) dalam kata dan tindakan. Entah itu dengan ad auctoritatem, kata-kata dalam Kitab Suci, atau referensi lain yang dianggap akan didengarkan oleh massa). Adapun keperluan orasi itu adalah untuk mengedukasi massa bahwa sejatinya jika tidak menggunakan kesesatan logika tadi, massa akan melihat bahwa kekuasaan tersebut mendatangkan mudarat bagi massa, bukan manfaat. Ketik saja “korupsi di Jakarta” di address bar ketika Anda browse di internet, maka Anda langsung mengerti maksudnya.
  4. Lalu datanglah Sumber Kedua, seorang yang lain mengedit orasi tersebut, mengunggah editannya di sebuah akun media sosial miliknya. Editannya lalu dibaca oleh massa.

Sialnya, di hati para peserta aksi Anggapan, Tuntutan dan Desakan tadi, alur pikir yang terjadi adalah sebaliknya.

  1. Versi dari Sumber Kedua itulah yang benar.
  2. Maka, jelaslah, si Figur publik tidak suka dengan kelompok ajaran tertentu
  3. Karena itu, si Figur Publik mengeritik ajaran tertentu itu dengan menyitir ayat-ayat kitab suci mereka.
  4. Menyerang ajaran kita berarti menyerang kelompok kita. Maka kita tidak boleh diam. Ayo bergerak.
  5. Maka, setelah menilik primbon, menilik partikkian yang simbolis, terjadilah …

411 …

212 …

313..

(Masih belum ada informasi apakah akan terjadi lagi 414, 515, 616 dan seterusnya.)

 

Terus, keseimpulannya apa?

Seandainya si Ibu tadi bertanya lebih dahulu apa artinya Balik Nama pada administrasi kendaraan bermotor, maka kegaguan dan kegaringan tidak akan terjadi pada cerita joke tadi.

Seandainya massa bertanya terlebih dahulu kepada Figur Publik langsung, bukan berdasarkan Sumber Kedua, maka kericuhan, lempar-lemparan, teriak-terikan dan aksi desak-desakan tidak akan terjadi di sepanjang lintasan jalan-jalan utama Jakarta.

 

Begitulah dulu ya.

 

 

 

[Metafora] – Opini yang Membunuh Kerbau

Kerbau

 

Selain karena faktor usia, penyakit dan ulah manusia ternyata seekor kerbau juga bisa mati hanya karena sebuah opini.

Masak sih?

Begini ceritanya.


 

Sehabis pulang dari sawah kerbau rebahan di kandang dengan wajah lelah dan nafas yang berat. Datanglah seekor anjing. Melihat temannya datang, kerbau berkata: “Aah.. temanku. Aku sungguh lelah. Kalau boleh, besok aku ingin istirahat sehari saja”

Anjing pun beranjak. Di tengah jalan dia berjumpa dengan kucing yang sedang duduk di sudut tembok. Kata anjing: “Tadi saya bertemu dengan kerbau dan dia besok ingin beristirahat dulu. Sudah sepantasnya sebab majikan memang sering memberinya pekerjaan yang terlalu berat”

Kucing lalu bercerita kepada kambing. “Kerbau mengeluh tentang si bos. Katanya dia dikasih pekerjaan terlalu banyak dan berat. Besok dia tidak mau kerja lagi”

Kambing pun bertemu ayam.

“Yam, kerbau tidak senang bekerja dengan bos lagi, mungkin ada pekerjaan yang lebih baik lagi”.

Ayam pun berjumpa dengan monyet dan dia bercerita pula: “Kerbau tidak akan kerja lagi untuk bos. Dia ingin bekerja di tempat yg lain”.

Saat makan malam monyet bertemu bos. Monyet pun melapor: “Bos, si kerbau akhir-akhir ini telah berubah sifat nya dan ingin meninggalkan bos untuk kerja di bos yang lain”

Demi mendengar ucapan monyet, sang bos pun marah besar. Tanpa bertanya terlebih dahulu dia lalu menyembelih si kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya.


 

Sebelum lupa karena asik dengan cerita, adapun ucapan asli kerbau ialah:”Aah.. temanku. Aku sungguh lelah. Kalau boleh, besok aku ingin istirahat sehari saja”

Lewat beberapa teman ucapan ini telah berubah dan sampai kepada sang bos menjadi:”Bos, si kerbau akhir-akhir ini telah berubah sifat nya dan ingin meninggalkan bos untuk kerja di bos yang lain”

Berhubung menurut teori yang kita miliki bahwa kita manusia lebih punya kemampuan berfikir dari hewan-hewan yang menjadi simbol dari karakter-karakter tadi, berikut beberapa hal yang baik disimak.

Pertama, ada kalanya satu pembicaraan berhenti hanya sampai telinga kita saja dan tidak usah sampai kepada telinga orang lain.

Kedua, jangan telan bulat-bulat atau percaya begitu saja setiap berita atau perkataan orang lain sekalipun itu keluar dr mulut orang terdekat kita. Kita perlu melakukan check and recheck kebenarannya sebelum bertindak atau memutuskan sesuatu, konfirmasi dan crosscheck kepada sumbernya langsung.

Ketiga, kebiasaan meneruskan perkataan atau berita dari orang lain bahkan dengan menambah atau menguranginya atau menggantinya dengan persepsi dan asumsi kita sendiri bisa berakibat fatal.

Keempat,  bila ragu dengan ucapan atau berita dari seseorang atau siapapun sebaiknya kita bertanya langsung kepada yang bersangkutan untuk menanyakan kebenaran informasi tersebut. Setidaknya dengan sumber yang paling dekat.

Kelima, selalu pastikan bahwa informasi yang ingin kita bagikan kepada orang lain adalah informasi yang benar, disampaikan pada orang yang tepat, dan pada saat yang tepat.

Jadikan diri kita filter sehingga kita tidak mendatangkan celaka bagi orang lain. Di era dimana broadcasted, copy-paste, atau forward message bisa dilakukan oleh siapapun yang memiliki jemari hanya dengan menjentikkan jemarinya di layar Smartphone ini, kita butuh Smartbrain (nalar yang cerdas) juga untuk melatih diri bersikap adil sejak dalam fikiran sehingga pesan yang kita sampaikan tiba dengan utuh:

“Jika ada teman yang mengirimiku pesan yang sudah terdistorsi semacam ini, bagaimana reaksiku?”

Jika Anda marah, atau setidaknya tidak setuju, maka saatnya Anda mulai semakin sering menggunakan fitur Undo atau Retrack message. Jangan terlalu akrab dengan si Enter.

Ingatlah, sebuah rudal bisa diluncurkan dari ruangan rahasia di bunker presiden dan meluluhlantakkan sebuah kota, lengkap dengan seisi penghuninya, hanya dengan menekan tombol Enter.

Missiles

Selamat mencoba.

 

 

(Disadur dari obrolan di grup Whatsapp)

[Paraphrase] – Mereka yang Jemu dengan Triumfalisme Agama

Aku

Orang yg belum kenal aku (atau hanya baru kenal di online) mungkin menganggap aku ini nyeleneh. Ada yg bilang aku ini subversif, kontroversial, kritis, bidah, bahkan sesat. Terakhir, para ulama dan katekis gereja yang berteman denganku di laman Facebook, akhirnya memutuskan pertemanan denganku. Kata mereka aku ini sinkretis, masih ada sisa -sisa animis dan dinamis dalam kepercayaanku. Yo wis, sambil ngopi di kala hujan aku cerita sedikit deh.

Kalau tiba masanya Hari Raya Haji, kami pun ikut menikmati hidangan yang disediakan oleh bibiku yang beberapa tahun ini ikut dengan suami yang beragama Islam. Favoritku ialah sop sapinya. Nggak amis. Nikmat rasanya ketika sumsumnya merongsok masuk ke kerongkonganku. Sebenarnya sih, aku nggak begitu yakin apakah mereka tahu bahwa aku juga menikmati saksang babi yang juga selalu menggoda seleraku itu. Jadi, buat amannya, aku tidak pernah memberitahu bibi soal itu. Sebenarnya bukan tanpa alasan sih. Sebelumnya aku pernah melihat bibi membersihkan seluruh perabotan masak ketika dulu ada berita bahwa penyedap masakan yang biasanya bibi pakai itu ternyata mengandung zat kimia yang terbuat dari daging babi. Sampai-sampai si mukenah si bibi belepotan cairan pembersih waktu itu. Sejak itu, aku tahu bahwa si bibi tidak terlalu bersahabat dengan hewan yang satu ini.

Ketika aku tinggal beberapa tahun dengan Oppung di Huta Sibabiat, kampung tempat lahirnya ayah, aku selalu menikmati acara Margondang dan Manortor yang pasti ada dalam setiap apacara adat. Entah kenapa, aku merasa ikut menjadi bagian dari luapan ekpresi emosianal massal lautan manusia itu, kendatipun aku selalu ditertawakan oleh sepupuku karena sudah bisa bertahun-tahun pun tinggal di huta, kosakata Toba yang aku tahu hanya empat, yaitu: Olo, Daong, Mauliate, dan Horas.

Kakakku

Kakakku yang paling sulung menikah dengan pemuda dari suku Dayak Manyaan. Kini mereka tinggal di sebuah perkampungan dekat perkebunan sawit di pinggiran Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah. Sempat iri dengan kakakku yang satu ini karena dalam setahun saja, kulihat ia sudah lancar menggunakan bahasa Dayak Manyaan. Padahal, dulu aku lebih unggul soal pelajaran bahasa dari dia, terbukti kosakata bahasa Inggris-ku jauh lebih banyak dari dia. Tak pernah sekalipun dia menang melawanku kalau kami bermain Scrabble. Dasar aku orangnya gampang jatuh hati dengan alam yang asri, sempat pula aku terfikir untuk tinggal di kampung yang sejuk ini, jauh dari kebisingan ibukota Jakarta na balau ini. Apa daya, saat ini aku mesti berdamai dengan situasi hiruk-pikuk tanpa hentinya kota megapolitan ini. Jadilah aku mulai belajar berhitung dalam bahasa Manyaan.

  1. Isa
  2. Rueh
  3. Telu
  4. Epat
  5. Dime
  6. Enem
  7. Pitu
  8. Walu
  9. Suey
  10. Sapuluh
  11. Sawalas
  12. Dua Walas
  13. Tiga Walas
  14. Epat Balas
  15. Lima Walas
  16. Enem Walas
  17. Pitu Walas
  18. Walu Walas
  19. Suey Walas
  20. Ruam Pulu
  21. Ruam Pulu Isa
  22. Ruam Pulu Rueh
  23. Ruam Pulu Telu
  24. Ruam Pulu Epat
  25. Ruam Pulu Dime
  26. Ruam Pulu Enem
  27. Ruam Pulu Pitu
  28. Ruam Pulu Walu
  29. Ruam Pulu Suey
  30. Telu Pulu
  31. Telupulu Isa

Oppung-ku

Konon, oppung-ku punya koleksi buku-buku Dialektika karangan Hegel, Feuerbach, Marx, Habermas. Pantas saja, kalau habis menunaikan tugasnya sebagai guru honor di sekolah dasar yang pelosok itu, dia jarang tidur siang. Waktunya dihabiskan membaca. Bukan hanya itu, Oppung tidak hanya punya Bibel terbitan Lembaga Biblika Indonesia, tapi ia juga rela merogoh uang sakunya untuk membeli Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Aku selalu heran mengapa mesti ada dua Kitab Suci di rumah Oppung. Belakangan, kata oppung boru, selain membeli Terjemahan Alquran, Oppung mulai menggunakan komputer bekas di rumah untuk mengakses internet. Sempat aku mengecek data di storage komputernya, aku menemukan file-file PDF tentang Talmud, Zarathustra, Weda dan Teknik Perang Sun Tzu. Entah buat apa oppung mengoleksi semua ini, pikirku.

Aku selalu kagum dengan sosok Oppung yang tak pernah bosan untuk memberi nasihat soal pentingnya kebersamaan dalam keluarga besar kami. Nasihat yang selalu dia ulang baik ketika Natal, ketika Tahun Baru, Hari Raya Haji, dan pada setiap kesempatan berkumpul setiap kali ada anak dan cucunya yang melangsungkan pernikahan. Nasihat panjangnya selalu ditutup dengan umpama: “Pantun Hangoluan, Tois Hamagoan”. Kira-kira artinya: Sikap Hormat Itu Mendatangkan Kehidupan, Sikap Tak Perduli Itu Mendatangkan Kehancuran.

Aku baru menyadari bahwa nasihat yang kadang membosankan itu ternyata obat paling mujarab yang hingga saat ini ampuh menjaga kesatuan keluarga besar kami. Bagaimana tidak, pamanku adalah seorang kader partai banteng yang sangat aktif di berbagai lembaga kemasyarakatan. Amang boruku adalah seorang wartawan senior yang beberapa kali dipanggil bukan  hanya oleh pemimpin redaksinya, tetapi juga Menkominfo karena pemberitaannya yang dituding terlalu berani. Dua tahun sebelumnya dia pernah menulis dugaan korupsi terhadap kepala di badan eksekutif, tak ada yang menggubris beritanya saat itu. Belakangan, oknum yang diberitakannya itu diberitakan rajin beribadah di dalam selnya di sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Kakak iparku adalah kepala desa yang terpilih ketika diusung oleh partai pohon beringin. Abangku yang baru lulus dari kuliahnya di Depok itu malah menyatakan sudah mendaftarkan diri sebagai kader partai burung garuda. Melihat konstelasi dunia politik saat ini, aku sangat senang ketika acara keluarga, mereka selalu mau mendengarkan satu sama lain. Tak jarang pula mereka sedikit-sedikit membocorkan agenda dari partai masing-masing. Amangboru-ku yang wartawan itu biasanya langsung mengambil peran sebagai moderator. Kadang aku bingung, ini acara keluarga atau sedang Sidang Dengar Pendapat a la Senayan sana. Hmmmm ….

Agamaku

Aku ini gak masalah orang lain mau nyembah bola, kubus, tiang, pohon, tuhan, hantu, siluman, dll.. mau ibadah sambil jongkok, nungging, jungkir, koprol, dan lain-lain. Selama ritual ibadahnya itu tidak mengganggu orang lain ya monggo, silakan saja. Selama dia orangnya baik, ya kita juga harus baik. Konon sejak zaman Zarathustra hingga Yeshua dari Yehuda, golden rule-nya ya itu-itu juga.

Terus banyak yang penasaran nanya aku ini penganut keyakinan apa. Sebetulnya yang namanya keyakinan dan spiritual itu privasi. Tapi berhubung orang Indonesia itu doyan kepo (Knowing Every Particular Object: Serba ingin tahu dari detail sesuatu, kalau ada yang terlintas dibenaknya dia tanya terus) tapi kalau sudah tahu pun tidak mau membersihkan perspektifnya yang sudah diracuni berbagai asumsi, selalu mencampurkan urusan personal ke ranah sosial, yo wis aku cerita lagi.

 

When Buddha and Jesus living as roommates

Yang namanya agama itu khan ngakunya mengajarkan kebaikan. Baik itu Hindu, Buddha, Konghucu, Islam, Katolik, Lutheran, Yahudi, Parmalim, Pemena dan ribuan aliran kepercayaan lainnya, semuanya mengaku mengajarkan kebaikan. Iya kan??

Nah, aku ini termasuk yang meyakini ajaran kebaikan seperti itu. Ajaran kebaikan yang lebih luas dan universal tanpa membedakan cara ibadah atau objek yg disembah. Apalagi kalau sampai mengklaim bahwa sembahan dan agamanya saja yang benar, punya orang lain tidak. Aku juga meyakini bahwa ibadah tertinggi manusia itu adalah berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungannya.

Makanya kalau aku sering posting yang nyeleneh jangan salah paham dulu. Yang aku kritik itu bukan ajaran yang damai dan penuh rahmat. Yang aku kritik itu adalah para oknum yg penuh diskriminasi dan intoleransi. Maka, sekali lagi, jangan salah paham, jangan tersinggung, kecuali kalau kamu adalah oknum.

(Terinspirasi dari tulisan Chalisa Nita)

Non Scholae sed Vitae Discere

Di kota kecil Pematangsiantar, ada SMU berasrama yang cukup lama menjadi primadona bagi para putra-putra beragama Katolik. Konon, sekolah yang hingga kini masih fokus pada misi pembinaan calon-calon imam bagi Gereja Katolik terutama Keuskupan Agung Medan ini berhasil menanamkan semangat pendidikan berbasis nilai hidup, bukan sekedar nilai kertas.

Seminari

Hal ini terpatri dalam motto mereka:

Non Scholae sed Vitae Discimus

Kembali soal nilai. Pertanyaan sederhana yang masih belum mendapatkan jawaban final hingga saat ini dari teman masa kecil saya, terbersit kembali:

“Ho ma jo. Husukkun ma ho. Aha do sabotulna tujuanni parsikkolaan. Aha do guna ni sikkola”?

Jawabannya bisa beragam jika ditujukan kepada masing-masing orang. Saat ini, ada zaman dimana seorang anak Indonesia bahkan lebih hafal karakter manga Jepang dan lebih mahir menggunakan seabrek aplikasi di mobile device daripada “rasa keindonesiaan” yang dirumuskan dalam IPolEkSosBudHanKam, hampir pasti  bahwa butuh komunikasi yang lebih intens untuk menyambungkan generasi baby boomer, Gen Y dan gen X yang melek digital ini.

Buat saya: Komunikasi NILAI.

Ketika hampir semua informasi bisa diakses dari mana saja, hanya ada ruang “kecil” bagi nasihat, anjuran, petuah, etika dan norma (yang dulu adalah harga mati) untuk mereka dengarkan.

Misalnya: Seorang anak tidak lagi perlu disuruh menghafal “Katekismus Na Metmet” untuk dianggap lulus test “sikkola minggu” dan ikut bilangan orang dewasa. Kemungkinan mereka tidak akan mau lagi. Alih-alih memaksa mereka untuk takut akan Tuhan (fear of God) dan perintahNya, mereka punya senjata karena berteman dengan Google (friend of Google), yang bahkan lebih bermurah hati memberi mereka jawaban atas banyak hal dalam tempo yang lebih cepat dari si God; bahkan tanpa perlu berdoa pula.

Sebagian teman tidak lagi mengamini pesan di gambar ini; mereka menyatakan yakin bahwa Google lebih berkuasa daripada “imaginary” God.

 

Ruang kecil yang dimaksud adalah Anda sendiri yang harus MENUNJUKKAN kepada mereka bahwa si God jauh lebih berkuasa daripada Google (mudah-mudahan Larry Page, Sundar Pichai dan Sergey Brin tidak besar kepala jika membaca ini). Menunjukkan berarti anda tidak sendiri yang MELAKSANAKAN NILAI itu terlebih dahulu. Pun tidak ada jaminan bahwa mereka akan segera menangkap nilai yang Anda coba tanamkan. Tetapi setidaknya sebagian, iya.

Seperti postingan reflektif dari Yasa Singgih yang saya peroleh dari sebuah group milis ini.


Saya tidak terlahir di keluarga yang sangat kaya, namun juga tidak berasal dari keluarga yang susah. Keluarga kami berkecukupan & sederhana. Tapi saya akui bahwa saya berasal dari keluarga yang menurut saya sangat kaya akan nilai nilai kehidupan.

Papa saya adalah seorang karyawan dengan segudang aktivitas sosialnya yang sangat padat, beliau aktif membangun Yayasan Sutra Bakti yaitu sebuah Yayasan Sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi desa, program bedah rumah bagi warga kurang mampu di berbagai daerah & bantuan kesehatan untuk orang tidak mampu yang sedang sakit. Mama saya adalah seorang karyawan teladan sekaligus Ibu Rumah Tangga yang sangat luar biasa, beliau rutin memasak Indomie setiap hari Minggu untuk ketiga anaknya. Mereka bukan orang tua yang sempurna, namun mereka orang tua yang terbaik bagi anak-anaknya.

Ada satu kejadian yang tidak akan saya lupa seumur hidup saya. Yaitu kejadian saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kalau tidak salah saat kelas 3 SD. Dari TK sampai dengan SD, saya selalu mendapatkan juara kelas. Sering kali mendapatkan juara 1 dan beberapa kali mendapatkan juara umum yang membuat saya dibebaskan dari biaya uang sekolah. Disaat banyak anak lain takut mengambil raport, saya tidak pernah takut. Saya yakin saya pasti dapat juara lagi.

Pun pada saat mendapatkan juara, saya tidak bergembira berlebihan. Biasa saja. Disaat teman saya mendapatkan hadiah disaat ulangannya mendapat nilai bagus, saya hanya mendapatkan semangkuk bakmie & segelas es cendol atas hadiah kerja keras sepanjang tahun menjadi juara 1 di kelas.

Sampai suatu hari momen tak terlupakan sepulang ambil rapot di mobil bersama Papa saya. Beliau bertanya seperti ini, “Hari ini kamu dapet juara 1 lagi ya?”

Dengan santai saya jawab, “Iyaaa Pa…”

Lalu Papa saya melanjutkan, “Sebenernya Papa ngga pernah minta apalagi maksa kamu untuk jadi Juara 1 di sekolah”.

Mendengar itu saya hanya terdiam saja.

Papa melanjutkan, “Iya, sebenernya kalo buat Papa nilai 6 atau 7 juga udah cukup, yang penting naik kelas aja supaya kamu ngga rugi waktu. Tapi kalo kamu ngga naik kelas pun Papa ngga akan marah, kamu cuma rugi waktu, Papa rugi uang. Tapi kamu bisa dapet temen lebih banyak lagi. Sekolah itu intinya bukan nilai di atas kertas, karena ngga semua nilai di atas kertas bisa kamu gunakan di kehidupan. Di sekolah kamu belajar lalu kamu dapet ujian tapi di kehidupan kamu dapet ujian lalu belajar dari ujian tersebut. Sekolah tetep penting, tapi esensi dari sekolah adalah pendewasaan diri. Ibaratnya SD itu kamu masih di aquarium, nanti SMP kamu lompat ke kolam ikan, SMA kamu lompat ke danau, kuliah kamu lompat ke lautan dan begitu seterusnya kamu akan lompat ke dunia yang lebih besar. Jadi, yang penting itu di sekolah kamu harus punya banyak temen dan bergaul yang pintar. Kalo ada temen kamu di sekolah yang dimusuhin, kamu harus temenin dia. Kalo ada temen kamu yang ngga bisa bergaul, bantu dia bergaul. Tolong orang sebanyak-banyaknya, baik dan ramah sama semua orang maka suatu hari kamu pasti ditolong baik sama mereka” begitu kata Papa saya.

Mendengar nasehat tersebut, saya hanya diam saja sambil menganggukkan kepala. Pada saat itu saya belum bisa mencerna nasehat tersebut dengan baik. Saya hanya menangkap bahwa saya harus jadi orang baik dan pintar bergaul sama banyak orang. Itu saja. Selebihnya saya tidak menangkap maksud Papa saya. Namun, memang setelah nasehat tersebut hidup saya berubah. SMP – SMA saya tidak sepintar saat SD lagi, karena saya merasa pintar dalam sosial jauh lebih penting daripada pintar secara akademis. Apalagi banyak pelajaran yang saya tidak suka. Masuk ke kuliah, saya tidak sebodoh saat SMP – SMA. Karena saya memilih jurusan yang saya suka, maka saya tidak kesulitan untuk menjadi mahasiswa yang pintar secara akademis dan juga sosial.

Mungkin disaat usia saya 20 tahunlah saya baru benar benar mengerti seluruh nasehat yang Papa saya berikan pada sata beberapa tahun yang lalu. Disaat – saat inilah saya baru menangkap apa yang diajarkan oleh Papa Mama saya selama ini tentang kehidupan secara tidak langsung.

Dari kecil, saya dan kakak-kakak saya dibesarkan dengan gaya hidup yang sederhana. Keluarga kami terbiasa makan nasi uduk di kaki lima ataupun nasi goreng tek tek di pinggir jalan. Makanan favorit keluarga kami adalah Nasi Goreng Bang Jen di Cipulir atau Nasi Uduk Favorit di Tangerang. Bagi kami kedua makanan tersebut jauh lebih nikmat dibanding restoran manapun. Kami diajarkan untuk tidak membeli barang yang harganya berlebihan & kami diajarkan untuk makan di tempat yang sewajarnya disaat punya uang sekalipun.

Papa Mama saya tidak pernah bertanya kepada saya, “Yasa, gimana ulangan MAT kemaren?” sepulang sekolah.

Pertanyaan yang mereka tanyakan adalah:

“Ada yang seru ngga di sekolah hari ini?”

“Yas, kamu udah punya pacar belom sih? Ada yang cakep ngga?”

“Siapa guru yang ngajarnya paling enak?”, “Siapa temen yang baik di sekolah?”

Bahkan sebuah peraturan unik dibuat oleh Papa saya, kalau saya punya pacar maka saya ditambahkan uang jajan katanya. Hal unik berikutnya, orang yang pertama kali memberikan saya kesempatan mencicipi rokok adalah Papa saya. Orang yang pertama kali memberikan saya kesempatan mencicipi alkohol pun juga Papa saya. Namun anehnya, sampai hari ini saya bukan dan tidak pernah menjadi perokok dan bukanlah peminum alkohol.

Akibat hal tersebut, saya menganggap esensi pendidikan bukanlah sekedar nilai diatas kertas. Sangat disayangkan jika orang tua menuntut anak berdasarkan nilai diatas kertas, bukan proses pembelajaran dari setiap kejadian. Alhasil, anak hanya fokus pada hasil tanpa memperhatikan proses pembelajaran. Apa yang didapat? Nol besar. Orang tua juga sering kali memaksakan kehendak dirinya pada anak, bahkan ada juga yang meminta anak punya mimpi yang sama dengan dirinya tanpa memperdulikan hasrat sang anak. Saya masih ingat di akhir SMA disaat rata rata teman saya sedang bingung memilih jurusan apa yang paling bagus atau jurusan apa yang paling cepat dapat kerja, Papa Mama saya tidak menyarankan apa apa selain, “Pilih yang kamu nikmat ngejalaninnya…”

Saya juga bersyukur keluarga saya mendidik saya dengan gaya hidup yang sederhana, secara tidak langsung saya diajarkan untuk menjadi anak yang siap hidup dalam segala situasi. Papa Mama saya mengajarkan saya etika yang baik saat berada di tempat yang mewah, namun mengajarkan saya untuk siap jika suatu saat hidup sedang berada di posisi yang keras. Saya dibentuk untuk menjadi anak yang siap kaya namun juga siap miskin. Saya belajar bahwa kualitas diri manusia tidak dinilai dari apa yang ia kenakan di luar, melainkan dari apa yang ada di dalam dirinya. Dari begitu banyaknya kegiatan sosial yang dijalankan oleh Papa saya, saya juga belajar banyak bahwa untuk memberikan dampak buat banyak orang tidak perlu menunggu menjadi orang yang mampu melainkan kita hanya perlu menjadi orang yang MAU. Dari kesederhanaan Mama saya, saya belajar bahwa anak tidak bangga pada orang tuanya yang tampil cantik ataupun terlihat kaya, melainkan kepada orang tua yang mampu mendidik anaknya menjadi manusia yang lebih beradab dan beretika.

Sedikit pesan untuk para orang tua. Tugas utama orang tua bukanlah memberikan uang, anak tidak butuh uang. Orang tua adalah pendidik, yang harusnya menciptakan manusia berkualitas, beretika, bernilai, berdaya yaitu anaknya. Untuk mendidik anak seperti itu, butuh waktu, butuh kasih sayang, butuh moral, butuh nilai nilai kehidupan, bukan uang. Tidak perlu sibuk mencari uang agar dapat meninggalkan warisan uang yang banyak untuk anak, jika orang tua mendidiknya dengan benar maka anak itu dapat menciptakan uang jauh lebih banyak daripada jumlah yang orang tua harapkan. Anak adalah cerminan orang tua. Kebanggaan terbesar orang tua adalah saat anaknya berhasil menjadi manusia yang berkualitas, berdaya dan bermanfaat.

Pesan untuk anak, tidak semua orang tua mampu mengajarkan pendidikan moral ataupun nilai nilai kehidupan secara langsung. Namun ketahuilah bahwa perjuangan orang tua kita begitu luar biasa, intensi mereka begitu baik untuk masa depan anaknya. Kita tidak perlu mencari motivasi hidup di luar sana, belajarlah dari perjalanan kehidupan orang tua kita berusaha menghidup kita. Saya yakin ada sebuah cerita inspiratif yang kita temukan disana. Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun belum tentu yang diinginkan orang tua juga diinginkan anak. Maka yang dibutuhkan adalah komunikasi yang baik dan terbuka. Orang tua harus mampu memberikan kepercayaan & anak harus mampu bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah diberikan.

Dan cara terbaik untuk membangun hubungan yang baik antara orang tua dan anak adalah menginvestasikan WAKTU masing masing untuk saling terbuka & dihabiskan bersama.

Saya bersyukur atas semua nilai kehidupan yang orang tua saya ajarkan pada saya. Itulah yang menjadikan Yasa Singgih pada hari ini. Apabila suatu saat saya menjadi orang yang sukses, apresiasi tertinggi hanya pantas diberikan untuk orang yang menjadikan saya seperti hari ini yaitu Papa Mama saya. Bersyukurlah bukan karena kita terlahir di keluarga yang kaya, namun bersyukurlah karena kita terlahir di keluarga yang penuh nilai nilai kehidupan.

Jika suatu saat nanti mereka tiada, saya tidak akan meminta warisan berbentuk materi apapun dari mereka. Seluruh pelajaran kehidupan yang mereka berikan selama ini, sudah lebih dari cukup.

Don’t try to become a man of success.

Just try to become a man of value.

Success will follow you.

Cinta saya untuk Papa Mama,
Yasa Singgih
14 Juni 2016


Saat ini Yasa Singgih aktif menjadi pembicara di vihara-vihara. Sementara saya dan beberapa teman lebih memilih untuk nongkrong dan mencoba menyambungkan asa yang terlanjur tertanam di kelompok kecil kami bahwa melewatkan momen bersama itu sangat penting, kendatipun betapa sibuknya.

Kendatipun masing-masing tahu: “This too, shall pass“.

Semmen