“Sai tubuma di hamu anak namarbisuk jala naburju marroha” (Kiranya lahirlah anak yang cerdas nan bijak serta baik hati). Itu saja harapan para orang tua Batak zaman dahulu saat memberi “pasu-pasu” dan doa pada pengantin dalam upacara adat.
Tak pernah dikatakan, “Sai tubuma di hamu anak namora jala parpangkat, aha pe diulahon asalma dapot hamoraon dohot huaso.” (Semoga lahir anak yang kelak jadi orang kaya dan punya kekuasaan, apa pun sedia dilakukan demi kekayaan dan kekuasaan).
Tetapi zaman telah berubah.
Orientasi kita Batak perlahan bergeser pula.
Lahirlah para Batak “raja olah”, oportunis, pemuja harta dan kuasa, bahkan tak masalah menghancurkan kampung para leluhur mereka demi uang.
Apa godaan terbesar ketika berbicara? Berbicara dengan istilah yang rumit. Jika perlu dengan meminjam kata dari bahasa asing. Ekstremnya, sebisa mungkin sampai pendengar takjub karena bingung apa yang disampaikannya. Tujuannya untuk menciptakan sense of authority. Ibarat mau pamer ke penonton talkshow: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk topik ini, gue yang paling ahli dibanding lawan bicara gue ini”. Apakah pendengar memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pembicaraan, itu persoalan lain.
Apa godaan terbesar ketika menulis? Mirip dengan berbicara tadi. Menggunakan banyak kutipan terpercaya dari sumber yang sebisa mungkin susah diakses oleh pembaca. Tujuannya sama, sense of authority. Jika perlu ditambahi dengan istilah yang tak lazim. Ibarat mau pamer ke pembaca berita: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk tema ini, gue yang paling ahli dibanding penulis lain”. Apakah pembaca memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pikiran penulis, itu persoalan lain.
Apa godaan terbesar ketika berkesenian? Eh, sebentar. Kata “berkesenian” ini tampaknya biasa. Tapi kok susah mengartikannya ya. Gini. Berkesenian berarti mengikuti kaidah membuat karya seni, memahami tujuan dan dampaknya bagi penikmat karya, termasuk dirinya sendiri yang ikut terlahir kembali bersama terbitnya sang karya. Njelimet ya.
Apa godaan terbesar ketika hendak mencipta lagu? Mengakomodasi semua teori musik yang pernah dipelajari. Sebisa mungkin memuat banyak liukan interval akor, progresi, modulasi. Jika perlu, gabungkan semua jenis tangganada yang pernah dikenal manusia, termasuk yang mengabaikan nada dasar seperti yang dilakukan komposer zaman Romantik Pierrot Lunaire dengan komposisi atonalnya. Kalau masih bisa, tumpahkan semua elemen sinestesia dan bablas dalam mengartikan licentia poetica saat mencipta liriknya. Apakah pendengar bisa menikmati alunan nadanya? Itu soal lain. Apakah begitu mendengarnya seorang penikmat lagu langsung bisa merasakan motif lagu tersebut? Ora urus.
Alhasil, tidak ada pendengar yang tertarik dengan omongannya. Podcast atau konten Youtube edisi berikutnya akan sepi view. Tidak ada pembaca yang akan kembali melirik tulisannya apalagi berniat membeli bukunya. Tidak ada pendengar yang akan setia menunggu lagu berikutnya dari si pencipta lagu.
Lalu ketiga jenis seniman tadi pun heran. Kecewa karena menurut mereka, konsumen kurang mengapresiasi karya yang sudah dengan susah-payak mereka ciptakan. Ibarat pedagang: lapaknya rame saat grand opening, tetapi hari-hari berikutnya tak satupun pembeli datang.
Apa yang salah?
Suhunan Situmorang, seorang pengacar dan penulis lepas yang rutin mengisi dinding Facebook-nya dengan opini ringan namun mengena, pernah menulis begini (saya kutip seperlunya):
Sadarilah.
Mari tulis kisah dan pengalaman sehari-hari, juga alam sekitar, tradisi masyarakat, atau ketika tinggal di desa. Situasi kotamu kini pun menarik ditulis, termasuk perubahan-perubahan dalam pelbagai hal.
Kehidupan di medsos tak melulu bicara topik dan isu yang keras, sayangi otak dan jiwa yang juga butuh senyum dan tawa lepas. Ceritakanlah kenangan atau pengalaman yang membekas, atau harap yang tak terbatas. Cita dan impian perlu dirancang, setidaknya untuk menambah semangat melakoni kehidupan–kendati kemudian tak sama dengan realitas. Alangkah lelah membicarakan hal-hal yang tak terjangkau diri, sementara ada banyak kewajiban yang butuh enerji.
Kisahkanlah desa atau kotamu, atau pengalaman lucu. Tulislah dengan semangat berbagi cerita, niscaya pembaca menemukan yang berharga, kendati tak diucapkan secara terbuka. Tulislah cerita dan puisi, potretlah panorama dan suasana di suatu kampung atau sudut kota. Tampilkan dengan narasi bertutur. Alangkah menarik bagi yang berpikiran luas.
Berceritalah, memotretlah, atau bagikan resep-resep masakan, cara menanam dan merawat tanaman, atau tips supaya awet muda.
Bernyanyilah bagi yang suka, bercandalah untuk membuat pembaca tertawa.
Fiksimini tentang tiga pekerja seni diatas ditambah tulisan singkat Suhunan tadi mengajak kita untuk kembali ke prinsip dasar komunikasi, yakni: Apa yang sampai ke penikmat (baca: pembaca, pendengar) itulah yang penting.
Bukan soal seberapa banyak terminologi yang dimiliki seorang pembicara, tetapi apakah pendengar memahami apa yang dibicarakan. Bukan soal seberapa rumit penjelasan yang disampaikan penulis, tetapi apakah pembaca mengerti gagasannya. Bukan soal seberapa tinggi ilmu dan musikalitas si pencipta lagu, tetapi apakah lagu tersebut benar-benar mengena di telinga penikmatnya. Itulah yang penting.
Kunci untuk membuat sebuah karya mengena dengan penikmatnya adalah sentuhan emosional atau afeksi. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya“, sentuhlah penikmat karyamu dengan sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang dekat dengan kehidupan, mimpi dan kesedihan mereka. Bahasa kerennya: sesuatu yang relevandan relatable.
Jika pembaca membaca tulisanmu lalu menggumam dalam hati, “ini kok persis kayak yang aku alami ya”, itulah sukses. Jika seorang netizen mengunjungi lagu yang baru kau rilis di kanal Youtube-mu lalu memberi komentar “Sedih banget lagunya, Min, kayak kisahku”, itulah sukses.
Tampaknya inilah yang perlahan semakin disadari teman Saya, seorang pemusik dari Sumatera Utara yang merantau ke Jogja. Rimanda Sinaga namanya. Baru-baru ini kami ngobrol. Di akhir percakapan kami yang berjam-jam itu, dia bilang: Lagu yang bagus itu lagu yang sederhana. Sebuah lagu yang begitu didengar, para penyanyi trio di lapo tuak bisa serta-merta mengambil gitar dan menyanyikan suara 1, 2 dan 3. Sebuah lagu yang begitu selesai didengar di HP, orang bisa membuat versi Karaoke-nya sambil mengguyur tubuh atau berkumur-kumur di kamar mandi.
That’s it. Luxury is in simplicity. Kemewahan yang sebenarnya terletak pada kesederhanaan.
Oh iya. Ada lagunya yang menurutku cukup bagus. Latarnya sangat personal karena diangkat dari kisah pribadinya sendiri, yakni momen ketika ditinggal oleh ayah tercinta. Beberapa orang merasa relevant dan relate pula dengan lagu itu. Bahkan ada yang menyanyikannya di acara keluarga. Barangkali lirik hasil kolaborasi Rimanda Sinaga dan Subandri Simbolon menyentuh mereka.
Sedikit catatan kritis: Dalam taksonomi ende Batak Toba, liriknya masuk ke kategori ende andung (lagu ratapan). Jika hendak diletakkan sejajar dengan andung Batak lainnya, lagu ini butuh penyederhanaan di bagian tertentu, dan polesan di bagian lain.
Judul lagu itu “Posma Roham Dainang”. Ini lirik dan video Youtube-nya. Cekidot.
POS MA ROHAM DAINANG
Tingki parro ni bot ni ari
Hundul Dainang, huhut malungun
Mancai borat do di rohana
Dung borhat Damang
tu haroburan i
Uli pe sinondang ni bulan
Mambahen roha, sonang humaliang
Alai Dainang sai mardok ni roha
Boha bahenon pasonang roha na i
Reff:
Posma roham ale Inong na burju
Nungnga tung sonang sohariburan i
Damang di siamun ni Tuhan i
Sai tagogoi ma lao martangiang
Bereng ma hami angka gellengmon
Na sai tontong manghaholongi ho
Unang be sai tartundu malungun
Naro do angka ari na uli i
Nama para kru yang terlibat tercantum di video.
Konon, selain aku, banyak pula yang masih masih menunggu karyanya yang berikutnya setelah dia mengalami pencerahan (enlightenment) ini.
Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia dalam acara Doa Bersama & Ruwatan COVID-19 (25 April 2020)
Dian Jennie Cahyawati
Saya memohon kepada seluruh perempuan penghayat kepercayaan yang berada ada di Indonesia supaya kita tetap kuat.
Kita pasti bisa melewati semuanya dengan baik.
Kawan-kawan,
Kita harus yakin karena keyakinan, doa dan kewaspadaan kita. Kemudian kita harus menjaga kesehatan kita sebagai salah satu imun yang akan memagari jasmani kita untuk menangkal virus yang sekarang sudah menyebar tanpa henti di seluruh belahan dunia.
Kawan-kawan Saudara perempuan penghayat kepercayaan yang Saya banggakan,
Lakukanlah hal-hal yang bisa membantu saudara-saudara kita yang lain. Lakukanlah sesuatu sesuai dengan kemampuan yang kita bisa hari ini. Apakah itu dalam bentuk materi, dalam bentuk tenaga, himbauan.
Bahkan Saya kira semua personil, semua perempuan penghayat dan seluruh penganut kepercayaan di Indonesia bisa melaksanakan doa di rumah. Kita menyatukan energi positif bersama-sama dan jangan lupa tetap melakukan pemantauan kepada saudara-saudara kita di sekeliling kita terutama saudara-saudara kita yag membutuhkan.
Social distancing ini juga membawa beban domestik yang lebih besar Saya kira dan tampaknya dari hari mulai pagi hingga malam seakan-akan tidak berkesudahan supaya semua keluarga ada dalam rumah. Perempuan dituntut supaya semastikan seluruh keluarga dalam rumah tetap sehat dan kuat, menjadi pelindung bagi putra-putrinya. Dan jika kita punya rumh tangga biasanya kita mengerjakan rumah yang kita punya
degan segala yang tenaga yang tercurahkan dari mulai kita bangun hingga kita tidur.
Karenanya Saya kira berbagi peran dalam sebuah rumah tangga, dalam sebuah keluarga adalah cara terbaik kita utuk meminimal
dampak sampingan dari social distancing. Kita perlu berkomunikasi bersama pasangan kita, bersama putra-putri. Karena itu selain untuk mengakrabkan, bagaimana kita berbagi peran, untuk mengakrabkan komunikasi kita bisa membangun kerjasama yang baik dalam sebuah keluarga.
Kawan-kawan puanhayati,
Saya yakin kita semuanya akan tetap saling berdoa, kita selalu menjaga jarak dan jangan lupa kita tetap di rumah saja. Gunakan masker
saat kita keluar dari rumah. Selalu mencuci tangan. Dan satu hal lagi yang paling penting kita tetap berdoa, memohon kepada yang Mahakuasa, untuk senantiasa melidungi kita semuanya.
Saya yakin kekuatan dari kawan-kawan semuanya akan selalu nembawa bangsa kita untuk bisa segera terbebas dari dampak atau bencana COVID-19.
Selama hampir satu semester (hingga saat artikel ini Saya tulis), ritme hidup berubah drastis. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama rumah, tempat kerja dan sekolah kamu. Penyebaran virus Corona ini tidak saja epidemik, tetapi juga pandemi global. Dimana-mana orang diminta (mulai dari dihimbau hingga dipaksa) untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan untuk mengurangi resiko penularan.
Virus Corona telah membawa sekian banyak hal buruk, penyakit dan kematian, tetapi jika kita mampu menyikapinya dengan lebih arif, kita bisa menemukan beberapa pelajaran penting.
Kerap kamu harus bersedia mengorbankan sebagian kebebasan dan hak personalmu demi kebaikan publik yang lebih besar.
Bagi kebanyakan orang, #TetapDiRumah saja itu susah bukan main. Kita mengeluh bosan, tak bergairah, seperti tanpa tujuan alias gabut. Beberapa orang merasa kesal bahwa karantina kesehatan atau pembatasan sosial ini melanggar hak-hak individual, seperti berkumpul, nongkrong, nge-mall, belanja barang sebanyak uang yang dipunyai dan lain-lain. Baca saja berita tentang ekses dari kekesalan dan ke-ngenyel-an dari orang-orang yang tetap melanggar peraturan dan himbauan dari pemerintah untuk tetap diam di rumah.
Meskipun demikian, demi kebaikan yang lebih besar, kamu dan aku mesti bersedia sedikit berkorban. Keseimbangan antara hak-hak individual dan kemaslahatan umum terus berubah sesuai perkembangan zaman dan situasi dunia. Demi kebaikan publik, berkorbanlah sedikit.
Entah ada virus atau tidak, cuci tangan itu baik.
Kesehatan secara umum itu penting, tidak hanya karena ada virus. Basahi tanganmu, usapkan sabun, kucek-kucek selama kurang-lebih 20 detik. Bilas lalu keringkan dengan menggunakan handuk atau sapu tangan yang bersih. Gunakanlah sabun sebagimana mestinya. Mulai sekarang, jangan lupa: sabun itu efektif membunuh virus.
Beraktifitas dari rumah mestinya bisa menjadi pilihan
Selama pandemi ini, kita terpaksa bekerja atau belajar dari rumah. Begitu virus ini selesai, barangkali kita bisa mengusulkan (atau jika Anda berada pada hirarki atas: mendiskusikan) kemungkinan untuk bekerja atau belajar dari rumah jika dianggap perlu dan penting. Memang tidak semua, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.
Izin tidak hadir karena sakit itu penting
Jika kamu merasa sakit (sakit beneran ya, bukan yang dibuat-buat apalagi dengan surat keterangan buat-buatan itu), tetaplah berada di rumah. Banyak orang merasa bahwa lingkungan kerja atau sekolahnya tidak akan memahami izin tidak hadir karena sakit. Banyak orang yang ingin tampil seakan-akan dia martir, “Lihatlah, meski aku sakit, aku tetap datang ke tempat kerja”. “Aku, walaupun sakit, tetap kupaksakan hadir di kelas. Kurang apa lagi aku sebagai murid, coba?”
Mentalitas semacam ini harus dihentikan. Jika kamu sakit, tetaplah di rumah. Jika sakitmu tak berangsur pulih, berobatlah segera.
Hak mengakses internet sebaiknya menjadi kebutuhan dasar
Hak untuk mengakses internet (dikenal sebagai the right to broadband) sebaiknya dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai hak asasi manusia. Terutama di negara berkembang seperti kita, tidak bisanya kita online membuat kita kesulitan untuk mengenal dunia secara global. Ini membentuk dan membatasi kesempatan kita untuk berkembang. (Misalnya, jika kamu tidak memiliki akses interet, tentu kamu tidak akan membaca tulisan ini). Sebagai tambahan, selama masa seperti ini, menghubungi keluarga, teman dan rekan kerja itu penting. Sejauh ini, internet adalah cara dan alat yang dapat kita andalkan secara maksimal.
Tenaga kesehatan dan para peneliti layak mendapat apresiasi yang lebih baik
Ketika kita berada dalam situasi yang sangat mencekam ini, para tenaga medis dan peneliti (researchers)-lah yang akan membantu kita melewatinya. Mereka bekerja siang malam untuk menemukan metode penyembuhan dan pemulihan atas seluruh umat manusia di dunia ini. Saat kita bergunjing ria tentang teori konspirasi elite wewe gombel atau heboh dengan berita berisi distrust terhadap aturan dan pola komunikasi pemerintah, ratusan saintis bekerja keras mencari cara untuk membasmi virus ini. Seperti halnya kita fanatik dengan atlit, aktor/aktris, pemuka agama, politisi, influencer, seniman, Youtuber atau Selebgram, saatnya kita mengevaluasi kembali apakah apresiasi yang kita berikan terhadap para tenaga medis dan saintis selama ini sudah layak. Kemungkinan terbaiknya: mereka layak mendapatkan apresiasi yang lebih dari yang selama ini mereka dapatkan. Jika itu masih absurd, maksudnya ialah, mereka pantas mendapatkan upah yang lebih besar.
Sayangnya, banyak tenaga medis yang kesal karena praktek di lapangan menunjukkan banyaknya pelanggaran terhadap protokol kesehatan, tentu dengan sebab yang beragam. Sampai muncul kekecewaan sebagian orang: “Indonesia terserah“. Tenaga ilmuwan Indonesia pun merasa kecewa karena tak cukup dilibatkan untuk menangani virus Corona ini.
Memasak itu penting
#TetapDiRumah telah memaksa banyak orang untuk belajar, mengulang kembali, atau menyalakan lagi semangat untuk memasak. Belajar memasak adalah salah satu keahlian yang sangat penting untuk dimiliki seseorang.Memasak berarti kamu bergantung pada dirimu sendiri. Tak selamanya kamu punya uang yang cukup untuk memesan makanan dari luar. Jikapun uangmu cukup, tak selalu kurir bisa dan mau mengantarkannya untukmu. Lihatlah betapa meriahnya kemewahan yang dibagikan orang lewat media sosial akhir-akhir ini: semua mengepos masakan mereka yang lezat. Mereka menemukan kembali kejaiban dari aktifitas makan-memakan ini. Termasuk mengetahui persis apa saja bahan yang terkandung pada makananmu lalu merasakan sebuah sensasi reward ketika akhirnya kamu bisa memasak makanan untukmu sendiri dan keluarga.
Menyapa teman setiap hari
Tetap di rumah dan tidak bisa keluar menyadarkan kita bahwa cara terbaik untuk mengatasi kebosanan dan mengusir kesepian adalah dengan menyapa teman dann keluarga, lewat chatting atau panggilan video. Jika sebelumnya percakapanmu hanya basa-basi, ini saat yang tepat untuk berbicara secara lebih medalam. Selama masa krusial seperti ini, koneksi yang manusiawi antarmanusia adalah kunci. Telefonlah!
Begitu virus ini selesai, hargailah pentingnya janji ketemu yang sudah kamu buat dengan teman atau keluarga. Jangan lagi ada kisah rencana bukber yang tak kunjung jadi hingga lebaran usai. Jangan lagi ngeles “OTW” ketika teman-temanmu sudah menunggu, padahal kamu baru saja beranjak dari rebahan di kasur menuju kamar mandi.
Menghargai alam
Ketika kamu keluar rumah tapi tetap menjauhi kerumunan, kemungkinan besar kamu rute yang kamu tempuh ialah padang yang luas, kebun atau hutan dekat kota tinggalmu. Sembari berjalan menyusuri area yang mungkin saja sudah pernah kamu jalani, kali ini kamu mengamati secara lebih seksama. Kamu mulai menemukan keindahan alam. Tentu saja, tetap hindari menyentuh wajahmu. Kamu tidak pernah tahu ada jejak carrier Corona sebelumnya disana.
Menikmati kesendirian
Meski kedengarannya mudah, ternyata bagi kebanyakan kita berdiam diri dan tetap tenang itu luar biasa susahnya. Terutama bagi kaum ekstrovert (baik yang mengaku ekstrovert maupun mengaku introvert), sendiri itu melelahkan dan kesepian. Itu sebabnya social distancing (pembatasan sosial) menjadi tantangan tersendiri. Ini momen yang tepat untuk lebih kenal dekat dengan diri sendiri. Kamu bisa belajar untuk menyibukkan diri. Karena sekedar menonton serial film secara maraton atau bermain game seharian tidak lagi cukup, kamu dituntut untuk melakukan hal lain. Terimalah. Tubuh dan pikiranmu sekarang berada di rumah dan kamu harus belajar menikmati dan mencintai situasi itu.
Mulailah menulis kembali. Belajar lagi meditasi. Ulang kembali tarian Salsa yang dulu sempat kau gemari tapi tak tuntas. Ulik lagi lagu-lagu yang sejak dulu kamu penasaran bagaimana cara memainkannya. Atau, cintai tubuhmu dengan menyediakan waktu tidur yang cukup sebagai ganti dari masa begadangmu dulu.
Itulah beberapa pelajaran penting secara umum yang bisa kita ambil dari pandemi global COVID-19 ini. Mana pelajaran yang pas buatmu?
Kurang lebih dekade terakhir ini, kita melihat fenomen yang telanjang di hadapan kita masyarakat Indonesia. Kendati kita sedikit malu mengakuinya). Apa itu? Yak, betul: politisasi agama.
Term ini menyinggung tiga tema besar: Tuhan, Agama dan Politik.
Sekedar mengingatkan, jika Anda mengaku bertuhan, bukalah mata Anda pada kenyataan bahwa
sama seperti Anda mengaku memiliki Tuhan dan agama atau kepercayaan (yang menurut Anda paling tepat mewadahi sikap iman Anda dan membantu Anda menjadi semakin manusiawi sekaligus baik secara moral), setiap orang bertuhan lainnya di Indonesia ini juga mengaku memiliki Tuhan dan agama atau kepercayaannya sendiri-sendiri, yang menurut mereka paling tepat mewadahi sikap iman mereka, membantu mereka menjadi semakin manusiawi sekaligus baik secara moral.
Jika Anda memiliki pandangan politik yang menurut Anda paling tepat diterapkan di Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, ingatlah juga bahwa orang lain juga memiliki pandangan politik yang menurut mereka paling tepat diterapkan di Indonesia guna mewujudkan keadilan sosial yang sama.
Realitas keberagaman ini bisa saja terbaca sebagai sikap relativisme ekstrem – jika Anda menggiringnya ke arah itu. Faktanya, ini adalah realitas yang sama-sama kita alami dan hidupi dan bisa kita cerap secara sama. Tentu dengan mengandaikan bahwa kita memiliki pola logika yang sama.
Bahasa politik, filsafat dan iman kita mungkin berbeda sehingga tidak optimal menjadi sarana untuk membangun dialog di antara kita. Semoga kita pun sepakat bahwa dialog apapun yang ingin kita bangun, sebagai manusia Indonesia yang Pancasilais dan masih menginginkan Indonesia ini tetap utuh dan – jika bisa – semakin berkemajuan, kita memiliki tujuan besar (projecta remota) yang sama-sama ingin kita capai: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di luar kerangka itu, tak perlu lagi kita merasa harus menjadi warga dari bangsa yang sama. Mainkan mainmu, kumainkan mainku.
Secara kebetulan, ada tiga masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yakni radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi.
Straight at the bullet, dari segi mana politisasi agama turut berkontribusi pada radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi?
Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita sejenak melakukan Consideratio Status (Penyadaran Status) a la Ignasian yang terkenal itu.
Jika cermat, dengan Discernment (diskresi) yang tekun, syukur-syukur kita bisa memahami realitas yang terjadi saat ini dengan kacamata yang lebih jernah.
Lebih bersyukur lagi, setelah memiliki pemahaman yang lebih baik, kita tidak akan ragu memberikan kontribusi yang tepat sesuai porsi yang bisa kita lakukan.
Pertama, Anda – sama seperti Saya – hanya a speck in the universe (sebutir debu di jagat raya ini). Dalam konteks bernegara pun, Anda – sama seperti Saya – hanya salah seorang dari 267 juta (1 dari 267.000.000) penduduk Indonesia saat ini (menurut Katadata). Jadi, kita masih akan bangun kembali besok hari, melakukan pekerjaan kita seperti biasa, dan – jika sempat dan ingat – mencoba mengingat kembali, hari ini sumbangsih apa yang bisa aku berikan untuk turut serta mengatasi radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi.
Maka, tenang saja, Anda tidak harus meninggalkan semua itu, pergi ke hutan belantara, menjadi bagian dari laskar gerakan revolusioner, bertahun-tahun menghimpun amunisi dan menyusun strategi lalu pada saatnya akan keluar dan memperbaiki tatanan bernegara dan berbangsa Indonesia ini seperti Thanos yang hendak meluluh-lantakkan dunia ini dengan tujuan membangun tatanan dunia baru (atau dalam konteks Anda, hendak membangun tatanan Indonesia yang baru).
Tidak, Ferguso.
Hal seperti itu belum akan terjadi. Bukan begitu skenarionya.
Selagi Anda masih bisa menyaksikan setiap timeline media sosial Anda berisi bencana alam dan bencana akibat tangan manusia, tapi lalu santai melanjutkan kembali chatting dan pamer-pamer foto Anda hari ini sembari tidak lupa meminta like, follow, subscribe dan comment dari teman media sosial Anda seolah tidak terjadi apa-apa, percayalah: Anda tidak akan pernah menjadi pemimpin dari sebuah gerakan revolusi. Pun, revolusi paling berdarah adalah revolusi yang dimulai dari diri sendiri.
Kedua, oke, memangnya kenyataan apa yang perlu diubah?
Ini yang terjadi. Ini yang perlu diubah:
Sebagian masyarakat masih bisa melaksanakan ibadat dengan tenteram tanpa gangguan signifikan dari pihak lain. Jika ini yang Anda alami, Anda patut bersyukur karena UUD 1945 Pasal 29 masih memberi manfaat untuk Anda. You do enjoy your life. Ya, memang , tetap saja ada banyak masalah (untuk urusan perut dan lain-lain, ya urus sendiri, kan sudah besar. :–)
Setidaknya, untuk kegiatan beribadah (berdoa, berkumpul, membaca, bernyanyi, bakti sosial) Anda bisa dan boleh melaksanakan atau tidak melaksanakannya, tergantung pilihan Anda.
Sebagian lagi gelisah.
Galau melihat semakin maraknya gangguan terhadap kegiatan beragama. Jika Anda adalah bagian dari kelompok ini, Anda mungkin bertanya-tanya:
“Sebenarnya, Saya ini termasuk warga negara Indonesia bukan sih? Kok rasanya Saya tak menikmati perlindungan dari negara sesuai pasal 29? Tidak mungkin kan semua guru PPKN Saya sewaktu di sekolah berbohong? Guru di sekolah dulu bilang bahwa UUD 1945 dan Pancasila itu melindungi seluruh bangsa Indonesia secara ideologis dan konstitusional. Eh, tapi kok? Berdoa, dinyinyirin. Berkumpul untuk melakukan ibadat bersama, tak boleh karena izin dari pemerintah setempat belum keluar. Bakti sosial dianggap pencitraan dan modus rebutan umat. Oalah. Ini gimana sih sebenarnya? Atau, lebih baik aku pura-pura tutup mata saja. Eh, tapi nggak bisa.”
Begitu seterusnya. Besok begitu, besoknya juga begitu.
Situasi ini baru akan berakhir bagi Anda kalau:
1) Indonesia punya tatanan baru yang benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagai seluruh bangsa, seperti Jin Aladin keluar dati tabungnya, yang Anda dan Saya tahu persis bahwa ini mustahil;
atau
2) Anda semakin muak, sampai pada tahap ekstrim, lalu Anda tidak tahan lagi, lalu Anda urus paspor untuk pindah kewarganegaraan. Syukur-syukur Anda memiliki apa yang perlu untuk mengeksekusi keputusan itu, atau Anda bisa meyakinkan negara tujuan Anda untuk menjadi asylum bahwa Anda sudah sebegitu menderita hidup sebagai warganegara Indonesia.
Indikasi yang dulunya samar, kini semakin jelas: “ini mesti ada urusan politik deh”. Benar nggak ya?
Anda berada pada posisi yang mana?
Kalau ini politik, menggunakan dikotomi sederhana, kita bisa melihat kaitannya dengan perseteruan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia.
Secara kasat mata, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sementara umat beragama lain dianggap minoritas. Dalam berbagai ranah, termasuk pada hukum misalnya, menjadi bagian mayoritas kerap dipandang dan dialami sebagai sebuah keistimewaan. Kecenderungan manusia mengikuti Hukum Inersia, tentu saja tidak ingin hak-hak istimewa semacam ini hilang. Maka, bersama dengan pemerintahan yang koruptif, dukungan dari mayoritas pun memungkinkan situasi yang sama tetap terjadi dari dekade ke dekade.
Sedangkan minoritas sering sekali dipandang diskriminatif. Untuk mencegah terjadinya diskriminasi tersebut, maka dimunculkanlah afirmasi bahwa kita semua NKRI, dan karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Secara teoretis hal ini pelan-pelan semakin tersosialisasi.
Prakteknya? Cek sendiri lingkungan sekitarmu.
Dengan perbedaan disana-sini, bipolaritas ini juga hadir sebagai kaum kanan dan kiri (seperti di Amerika Serikat, kendati konteks Indonesia dan AS memiliki perbedaan).
Politik – yang secara kodrati sebenarnya bertujuan luhur untuk menata warga negara untuk memajukan peradabaannya sebagian dari masyarakat, dinodai oleh baik kaum mayoritas maupun kaum minoritas. Secara politis, apa kesalahan yang dilakukan keduanya?
Pelan-pelan kita dibawa pada sebuah realitas baru: Selain menikmati berbagai manfaat, menjadi bagian dari mayoritas ternyata ada pahitnya juga. Ini ada hubungan dengan deliberasi moral semenjak Nusantara berganti nama menjadi Indonesia dan diproklamirkan sebagai bangsa yang baru, negara yang mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat (soveregin country) oleh dunia internasional.
Samar-samar kita mulai melihat bahwa saat ini ada konsensus bahwa klaim superioritas religius atau rasial ternyata menempatkan Anda berada persis di luar diskursus politis. Maksudnya apa?
Lihatlah yang terjadi. Dialog-dialog yang dilakukan akhirnya berujung pada konflik.
Dialog politis antar partai dan kelompok: ricuh di ILC (Indonesian Lawyers Club).
Dialog sosial antarkomunitas: ricuh di media sosial (tak kurang dari lagu Sayur Kol yang viral menjadi bahan perdebatan antara komunitas pecinta anjing dan penyuka daging anjing sebagai makanan, belum lagi kaum agamawan masuk dan meributinya dengan fatwa haram dan halal).
Dialog antarumat beragama: apalagi. Lihatlah bagaimana forum-forum lintas agama, termasuk yang didirikan pemerintah seperti Forum Komunikasi Umat Beragama seolah tak berdaya memberikan solusi bagi emak-emak yang menangis menjerit-jerit karena tenda yang dia gunakan untuk beribadah dengan umat yang lain pun harus dirobohkan, pendetanya diinterogasi dan ibadahnya dihentikan oleh aparat keamanan setempat. Oh, jangan lupa, fenomen seperti ini saban hari terjadi di berbagai tempat di negeri yang dulu dikenal sebagai Nusantara ini.
Belum lagi diskrimanasi soal administrasi kependudukan dan hak-hak politis bagi sekian juta umat penganut kepercayaan, yang entah dasar filosofi dan logika dari mana, sampai hari ini tetap dibedakan dengan umat beragama, seakan-akan ada hirarki organisasi yang menyebut bahwa aliran kepercayaan lebih rendah dibandingkan 6 (enam) saja agama resmi di Indonesia.
KESALAHAN SILENT MAJORITY
Kesalahan klasik kaum mayoritas yakni: gagal mengawasi kecenderungan koruptif para penguasa, entah karena kebutaan dan sifat cuek yang disengaja. Dengan beberapa eksepsi, literasi politik (terutama menjelang pemilihan calon legislatif, eksekutif dan perwakilan daerah) terjadi dengan aroma politik identitas yang sama.
Kebutaan dan sifat cuek ini yang diidap oleh Silent Majority inilah yang tiap hari dinyinyirin oleh kaum kiri.
Kerap secara dalam ironi. Tak jarang dalam parodi.
Tidak kurang dari Meme Sosialis Indonesia mempertunjukkannya dalam halaman Facebook,
Dalam satu atau dua kesempatan, seperti Saya, kemungkinan Anda juga merasa relate dengan keprihatinan terhadap diamnya silent majority ini. “Mereka kan yang paling banyak massa-nya, kalau mereka mau, mestinya mereka yang lebih efektif dan bisa memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini”, begitu alam bawah sadar kita menyuarakan keprihatinan politis yang menurut kita paling murni dan tulus.
Jadi, ada garis keras, dimana identitas religius sebagai penanda superioritas, lalu ada garis lemah, yang juga tak luput dari kesalahan. Singkatnya, ketika memainkan politik identitas, mayoritas kanan melakukan kesalahan yang sama dengan minoritas kiri, vice versa.
Secara umum, kita meletakkan lanskap politis antara kanan dan kiri. Tetapi jangan lupa, ada sumbu (axis) lain, yakni kaum kolektivis versus individualis. Menggunakan irisan yang sejajar pada bipolaritas bangsa Indonesia, maka lahirlah kaum kolektivis kanan dan kaum kolektivis kiri. Sejauh kaum kiri dan kaum kanan ini mengusung konsep kolektivis, maka mereka salah. Kesalahan mereka terlihat jelas pada klaim superioritas religius tetapi juga sekaligus nasionalis.
“Aku NKRI, NKRI harga mati, tapi hak-hak istimewa yang kuterima sekarang sebagai bagian dari mayoritas, aku tak perduli apakah juga diterima oleh saudara sebangsaku yang minoritas”
Kira-kira, adakah angin pembaharuan yang sepoi-sepoi hendak mendinginkan panasnya politik negeri ini?
Entahlah.
KEBISINGAN MEDIA PERS
Ada banyak kebisingan yang diciptakan oleh pers.
Seakan-akan ada satu dua tokoh yang muncul dan membuktikan bahwa politik identitas di Indonesia akan segera berakhir, bahwa apapun agama dan etnis Anda, Anda berhak dan bisa terpilih menjadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, dan ketua RT.
Seakan-akan benar bahwa prinsip meritokrasi sudah dihidupi oleh bangsa ini.
Tapi lalu kita melihat. Ia hanya bersinar sebentar, lalu padam kembali oleh isu lain.
Isu-isu yang itu-itu saja dan membosankan.
Epilog Prematur
Jadi, sampai dimana politisasi agama dan identitas di Indonesia? Masih ada. Bahkan banyak orang semakin abai dan cuek.
Kalau demikian, sudah sejauhmana kedewasaan berpolitik kita dalam konteks sebangsa?
Masih dalam proses “indonesianisasi yang belum selesai”, mengutip Ben Anderson.
Adalah hal biasa jika kau melihat perahu di atas air. Namun bahaya bila melihat air dalam perahu. Maka engkau boleh berada di hati dunia tapi jangan kau tempatkan dunia di dalam hatimu.
Jika kau pernah merasa rugi sesuatu yang tidak pernah kau sangka suatu hari, maka sesungguhnya Allah akan memberimu rezeki suatu hari yang tidak pernah kau kira akan memilikinya.
Optimislah saat segala urusan terasa sulit bagimu, kerana Allah telah bersumpah dua kali “Sesungguhnya sebuah kesulitan bersama kemudahan, sesungguhnya sebuah kesulitan bersama kemudahan”
Kehidupan bertanya kepada kematian: Mengapa manusia mencintaiku dan membencimu? Maka maut menjawab: “Karena kau adalah kebohongan yang indah, sedangkan aku adalah kenyataan yang menyakitkan”
Kita tidak tahu setelah Allah merahmati kita, apalagi yang boleh membuat kita masuk syurga? Apakah itu rukuk atau sedekah, atau air yang kita berikan, atau keperluan orang beriman yang kita tunaikan, atau doa, ataukah dzikir kita??
Maka beramal lah dan jangan mempertikaikan!
🌹💔
Letakkan sedikit perasaan pada akalmu agar dia lembut dan letakkan sedikit akal pada perasaanmu agar dia lurus.
🌹💔
Aku takjub kepada hati yang menerima kesakitan dengan diam, dan menilai kesalahan orang lain dengan niat yang baik.
🌹💔
Ketika kau meyakini bahwa setelah kesengsaraan adalah sebuah kebahagiaan dan setelah air mata yang mengalir adalah senyuman, maka sesungguhnya kau telah melaksanakan ibadah yang amat agung yaitu berprasangka baik kepada Allah.
🌹💔
Jika sakitnya dunia membuatmu lelah, janganlah bersedih. Barangkali Allah ingin mendengar suaramu dalam doamu. Jangan tunggu kebahagiaan untuk tersenyum, namun tersenyumlah sehingga kau bahagia. Mengapa kau berfikir banyak sedangkan Allah adalah yang Maha Mengatur.
Mengapa gundah akan sesuatu yang tidak kita ketahui sedangkan segala sesuatu Allah sudah tahu. Tenanglah karena engkau selalu berada pada pengawasan Allah yang Maha Menjaga, dan ucapkan dengan hatimu sebelum dengan lisanmu: Aku serahkan segala urusanku kepada Allah.
🌹💔
Jika kau tidak tahu alamat rezekimu. Janganlah takut karena rezeki Allah tahu dimana alamatmu. Jika kau tidak boleh sampai kepadanya, niscaya dia akan sampai kepadamu..
Ko Ahai, Ko A Len, Ko A Wen dan Ko A Djo reuni makan-makan di restoran, sambil ngebir. Mereka ngobrol dari sandal jepit sampai bakiak pasar.
Karena kantung kemih sudah penuh Ko Ahai pamit untuk buang air! Saat itu terjadi pembicaraan yang serius.
Ko A Len: Bagaimana bisnis anakmu, Ko A Wen?
Ko A Wen: Sekarang anakku sudah jadi bos. Pabriknya ada 2 buah. Tapi, Saya bapaknya gak pernah dibelikan apa-apa. Eh, pas kemarin pacarnya ‘Kay’ ulang tahun dibeliin BMW seri 7 baru. Lagian No Polisi pakai namanya “K4Y”, coba Lu pikir ngeselin nggak?
Ko A Djo nyela: Lha anakku sekarang sudah jadi direktur perumahan. Rumah bapaknya sudah doyong dibiarkan aja. Tapi waktu kemarin pacarnya ulang tahun dibelikan rumah mewah di Kota Wisata.
Ko ALen: Anakku lebih parah lagi. Jadi pialang saham. Sekali dapat komisi saham Cepek Nopek Tiuw, tapi saya ini nggak pernah 1 sen pun dikasih duit, tapi waktu pacarnya ulang tahun, dikasih Deposito 500 juta.
Ko Ahai balik dari WC sambil benerin risluiting celana barunya, nyeletuk: Lagi nyeritain apa sih? Serius banget!
Ko A Len: Ini lho,padanyeritain anak-anak kita. Anak Ko Ahai gimana?
Ko Ahai: Anakku satu satunya, tapi payah, berharap dia bisa jadi ABRI, eh malah jadi bencong. Tapi meskipun bencong, dia tetap anakku. Apalagi nasibnya bagus, anaknya baik dan pergaulannya luas, serta dicintai teman-temannya, diapun sayang bapaknya. Setiap dapat rejeki, saya pasti diberi. Kemarin pas di hari ulang tahun dia, ada temannya yang ngado BMW pakai No Pol K 4 Y seperti nama panggilannya, ada yang ngasi rumah di Kota Wisata, dan deposito 500 juta. Mengharukan. Katanya semua itu buat saya saja, dia tetap lebih senang bisnis restoran saja.
Geduaaabruuuuk !!!
Ko A Len, Ko A Wen, Ko A Djo jatuh pingsan …