Ito namarbaju tung so maila ho, e… ndang maila ho Donganmu mardalani namatua do, e….ndang maila ho
Ai molo ro parsedan pintor gintal do ho, e…ndang maila ho Ai nang pe namatua dioloi ho, e…ndang maila ho
Godang do namarbaju ndada songon ho Donganna mardalani doli-doli do Alai anggo ho tung so maila ho Nang pe namatua dioloi ho
Ito namarbaju ipe jamot ma ho, e….ndang maila ho Sotung didokkon halak naung geno ho, e…ndang maila ho
Lirik lagu “Ee Dang Maila Ho” ini menambah portofolio kandungan pesan moral dalam lagu-lagu Nahum Situmorang. Benarlah ia konsisten dengan perjuangannya melestarikan budaya dan (mungkin juga) pranata sosial dalam adat-istiadat Batak.
Pesannya sederhana: Baiklah anak gadis atau remaja putri pintar menempatkan diri dalam pergaulan. Seperti halnya pemuda atau remaja putri, anak gadis sebaiknya bertanggungjawab dengan pilihan pertemanan. Tidak melulu meng-iya-kan ajakan setiap lelaki tua hanya karena berduit dan menaiki mobil sedan.
Tanpa harus marah secara berlebihan dan sarkastis, Nahum menegur (mungkin juga dengan sedikit menyindir) para perempuan dengan karakter begitu: “Ee dang maila ho” (Ee, kamu kok nggak malu ya?)
Uniknya: Pesan yang berat kandungan filosofisnya tak melulu mesti dinikmati dengan suasana klasik, hening, dan sopan tetapi bisa juga sambil bergoyang-ria dalam balutan genre chacha atau dangdut. Lebih ringan. Lebih santai. Sejak awal ditulis, sepertinya lagu ini memang ditujukan untuk dikemas secara ringan, meski tidak sampai murahan.
Simak misalnya versi Christin Sianturi ini.
Sayang sekali, bahkan sampai tulisan ini dibuat, pemilik video yang kemudian secara otomatis diunggah Youtube tidak memberikan informasi kredit apresiasi kepada Nahum. Komentar pun dinonaktifkan. Nama Nahum tidak dicantumkan sebagai pencipta disana.
Hal serupa juga bisa kita temukan pada pengunggah lain, yakni kanal Mangasa Sitanggang dengan konten audio dimana “Ee Dang Maila Ho” dinyanyikan oleh Vocal Group Parisma 71.
Saya tak sempat memeriksa semua pengunggah lagu Ee Dang Maila Ho. Ini masih di Youtube, kita belum tahu di platform lain.
Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.
Sepertinya, sindiran “Ee dang Maila Ho” juga pantas kita tujukan untuk pekerja dan pelaku seni yang tidak menjalankan etika berkesenian (jelas, mereka bukan seniman) seperti mereka ini.
Mungkin jika Nahum masih hidup sekarang, ia juga kesal. Belum lagi keinginannya untuk dikubur di Samosir, tanah leluhurnya, juga belum terwujud hingga hari ini.
Rupanya melankolia dan avonturisme yang melekat dengan Nahum ketika masih hidup, juga masih terjadi pada Nahum, bahkan setelah ia meninggal. Ini sebenarnya kenyataan yang menyedihkan. Semoga pihak terkait bisa mencari solusi terbaik untuknya.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto
SUDAH lama ia wafat, namun namanya kian sering disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan; menghibur orang-orang, menafkahi para pekerja dunia malam, mengalirkan keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi, orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak, segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya. Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.
Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.
Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya sendiri, terutama sukunya. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.
Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era milenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupannya yang dipenuhi romantika, yang jamak melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya.
Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis.
Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis.
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman. Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu masih buta huruf.
Kilian sendiri berasal dari Desa Urat, Samosir, sebuah kampung di tepi Danau Toba dan jamak diketahui sebagai kampungnya para keturunan Ompu Tuan Situmorang. (Situmorang Pande, Situmorang Nahor, Situmorang Suhutnihuta, Situmorang Siringoringo, Sitohang Uruk, Sitohang Tongatonga, Sitohang Toruan). Kilian merantau ke wilayah Tapanuli Selatan demi mengejar kemajuan yang kian menguak gerbang peradaban manusia Batak Toba yang begitu lama tertutup dengan “splendid-isolation“-nya.
Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain, Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial. Harapannya tak tercapai meski Nahum lebih dari memenuhi syarat. Nahum lebih senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS, Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di “Kweekschool” Gunung Sahari dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun 1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat bersekolah di Lembang.
Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjari juara dua.
Sayang sekali, lagu yang dulu dilombakan Nahum itu tak terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru di sebuah sekolah partikelir “H.I.S Bataksche Studiefonds,” 1929-1932.
TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama “Instituut Voor Westers Lager Onderwijs.” Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya.
Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi.
Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak, dan orang-orang seperti tersihir saat mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).
Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan membuka restoran masakan Jepang bernama ‘Sendehan Hondohan,’ seraya merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.
Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960, misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta.
SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan boru Simorangkr yang akhirnya menikah dengan lelaki bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum, rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain, sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta pun lantas berhamburan dari jiwanya yang merana.
Demikianpun, Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu “Serenade Toscelli” yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi “Ro ho Saonari,” sebagai lagu ciptaan komponis Italia.
Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah satu contoh adalah lagu “Anakhonhi do Hamoraon di Au” (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus “marhoi-hoi” (susah-payah) memenuhi keperluan anak.
Juga ketika ia menulis lagu “Modom ma Damang Unsok,” laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu “Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda” yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya.
Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu “Beha Pandundung Bulung,” umpamanya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: “Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan.” Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul “Nahinali Bangkudu.” Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati di usia yang tak lagi muda namun dengan status lajang. Dengan penggunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: “Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Mate ma ho amang doli, mate di paralang-alangan…” Ironis sekaligus tragis.
Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun ahli mengayun sanubari lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur “andung” (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu “Huandung ma Damang,” “Bulu Sihabuluan,” “Assideng-assidoli,” “Manuk ni Silangge,” dan yang lain, begitu pekat unsur ‘uning-uningan”-nya.
Akhirnya, kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan. Lagu “Ketabo-ketabo,” contohnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara “Lissoi-lissoi” yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.
Demikian halnya tembang “Rura Silindung” dan “Dijou Au Mulak tu Rura Silindung,” yang begitu kuat melukiskan lanskap daerah orang Tarutung hingga saya sendiri, contohnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu manakala mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui “O Tao Toba.” Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu “Pulo Samosir,” disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian.
SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang greget karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.
Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.
Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun di komplek pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke tanah leluhurnya melalui lagu Pulo Samosir, masih tetap sebatas impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah sakit-sakitan tiga tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi. Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono diberikan kepada dirinya pada 10 Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah Seni yang diberikan Menteri P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969.
Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti.
PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris yang diketuai Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua Yayasan Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum Situmorang berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan Medan, Februari 2008.
Kemudian, mereka minta pula saya, entah pertimbangan apa, jadi ketua pemindahan kerangka dan pembangunan Museum Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya dan Monang tentu antusias menerima tawaran tersebut, namun setelah belakangan tahu di antara para pewaris ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar mereka terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan sesuatu yang bisa disembarangkan dalam hukum adat Batak.
Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang “dongan sabutuha” (teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul Vista.
Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak, selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai.
Tentu saja saya kecewa seraya menyesali minimnya apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan Tapanuli terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan sesuatu untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan Bangso Batak. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman “cum” pendidik yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah kisruh akibat munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas karya cipta Nahum hingga keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya sederhana) agar dikubur di bumi Samosir, semakin tak pasti.
Saya tak tahu bagaimana perasaan mereka yang berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim hak cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu Pulo Samosir ini: “Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma.” (Bila hidupku sudah berakhir, ingatlah/Makamkanlah jasadku di sana/Sediakanlah kuburanku di sana). Demikianpun, saya tetap berharap gagasan memindahkan jasad Sang Guru ke bumi Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya akan terwujud suatu saat, entah siapapun pelaksananya.
*Repost dari tulisan Suhunan Situmorang di blog Parpining dengan judul asli:
“Lelaki yang ingin dikubur di Samosir itu bernama NAHUM SITUMORANG“
As Nahum’s song lover, it is quite interesting to note that his songs attract not only Batak-Toba native speakers but also from people across the globe. Every time I surf the internet, it is more frequent than never, one or two comment appears, saying that they love the music and thereby want to know the meaning of the lyrics.
Since until today as I write this piece, Google Translate and other third-party translator plugins have not yet provided satisfying translation from Batak-Toba to English and vice versa, manual linguistic interpretation will still likely be the best option. There I want to participate so that language barrier do not get us in the way when listening to Nahum’s great songs.
I dedicate this translation of Dijou Au Mulak by Nahum Situmorang to a Youtube account For Truth 2559 as he asked for it in his comment to Victor Hutabarat singing in this video.
Batak-Toba lyric version (original)
DIJOU AU MULAK
Sian na dao hubege do sada ende tarsongon na mangandung andung inang Mangandungi au parjalani borngin na i tangis tarlungun lungun inang
Dijou au mulak inang da tu rura silindung disi do paimahon inang Da na lambok malilung
mansai hansit jala ngotngot mansai porsuk Jala dangol do andungi begeon inang di rusuki di bolai ate ate Dibagasan hilalaon amang da inang
na lao na mulak inang Da tu rura silindung asa gira hu ida inang da na lambok malilung
Hudul au inang na so sombopon mata da inang sora tarpodom Binaen ni sidangol on da inang
dibaheni aut marhabong habong au tarsongon lali habang au da inang tokin on dope au lao habang manalpuik akka dolok rura inang
Na lao ma au habang inang da tu rura silindung Asa gira hu ida inang da na lambok malilung
Mulak ma au.. mulak ma au.. mulak ma au.. mulak ma au Hudul au inang pual pualon jonjong au inang na so sombopon Mata da inang sora tarpodom binaeni sidangolon da inang
One unpopular fact: If we listen carefully to the vocal intro, those notes resemble ones in Westlife’s “I Have a Dream”. However, only in that part. In other parts, it is rightfully the work of Nahum.
So, on your request, here is my take, friend.
English version lyrics – “I am called Home” by Nahum Situmorang
I heard a song from far away
sound like a sad lament
I suddenly cried incessantly
in my loneliness that night.
I am called home to Rura Silindung
there she had waited for me,
my gentle Mommy.
(Dunno why) to me, the song depicted
pains and sorrow
that broke my heart
it came all over my feelings
(and that happened) on my way
to Rura Silindung
I could not wait for longer to see my gentle Mommy
So there I sat with weeping eyes
could not sleep even for a while
I could no longer cope with this longing
If only I had wings
I would fly like an eagle
fly across the hills and valleys
and destined to where I am called home, to Rura Silindung
I could not wait for longer to see my gentle Mommy
I am coming back home … I am coming back home … I am coming back home
Rura Silindung is a rural village, located in Tarutung, North Sumatera. It is surrounded by hills and irrigated by the water supply from Aek Sigeaon. Most people said that this spot worths a visit from its beauty and shadiness. No wonder Nahum wrote a song dedicated to this place.
Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak diberitakan putus kontak dengan pihak Bandara Soekarno Hatta. Diperkirakan lokasi hilangnya di sekitar Pulau Seribu. Warganet spontan menyampaikan di medsos. Kepedulian netizen menyebarkan informasi merupakan ekspresi keprihatinan dan kesedihan. Tak menanyakan apa suku atau agama semua kru dan penumpang yang diperkirakan puluhan sesuai manifest yang beredar viral.
Inilah naluri manusia waras.
Bukti kewarasan juga memuncak ketika keprihatinan itu menjadi doa. Aku yakin lebih banyak yang berdoa dalam hati. Sebagian lagi sempat menuliskan doa dalam kalimat-kalimat singkat di lini masa media sosialnya. Di Facebook, misalnya.
Tentu saja, sebagai pengguna Facebook yang waras, kita juga sama-sama tahu bahwa menuliskan doa di halaman pribadi bukan berarti kita berdoa kepada Mark Zuckerberg. Hanya sekedar mengajak lebih banyak teman lain untuk ikut berbagi harapan yang sama sehingga korban memperoleh yang terbaik.
Sebagai orang beriman yang waras, kita juga tahu bahwa doa kita tidak bisa memaksa Tuhan untuk melakukan ini atau untuk melakukan itu. Bukan untuk itu kita berdoa. Murni karena kita manusia. Itu saja.
Salah satu yang cukup mengena buatku adalah doa yang dibuat dalam bentuk fiksimini puitis karya Ronny Agustinus ini.
Aku pun ingin ikut melontarkan doa. Mungkin salah satu dari doa-doa ini bisa kamu ambil, lalu kamu turut mendoakannya juga. Dalam hati. Atau juga dengan menuliskannya lagi.
1) Terbang Lebih Jauh
Mereka hanya ingin terbang melebihi awan,
Dan tetap tinggal di ketinggian.
Mereka tak jatuh,
Hanya memilih menatap kita dari jauh.
– (Donald)
2) Arloji
Seorang penumpang ke penumpang lainnya:
“Permisi, Pak. Arloji Saya mati. Jam berapa ya?
“Oh, maaf. Punya saya juga mati”.
“Kalau boleh tahu … di jam 8.17?”
“Ya. 8.17”
“Jadi itu benar-benar terjadi ya?”
“Ya, di jam itu.”
– (NN)
3) Rute
Seorang penumpang bertanya pada pramugari:
“Nona, kenapa pesawatnya tidak bergerak lagi?”
“Perjalanan sudah selesai, Pak. Kita sudah sampai ke tujuan”
– (Donald)
4) Tidak jatuh
Mereka tidak jatuh.
Mereka hanya turun.
Sebab di tangan Tuhan mereka dinanti,
menyatu dengan bumi.
– (Donald)
5) Berlibur
Lelaki itu duduk gelisah di bandara.
Istri ada anaknya akan datang pakai Sriwijaya.
Rindu. Sudah lama tak bertemu.
“Mereka mau berlibur. Saya sudah tunggu. Ternyata …”
Ketika membuat premis (sudah saya ulas sebelumnya pada blog ini), sebenarnya sudah ada karakter, tetapi masih sederhana dan belum mendetail.
Nah, sekarang kita akan mematangkan karakter.
Sebelum menciptakan karakter dan fase-fase karakter, kita harus punya pemahaman soal karakter ideal.
Apa itu karakter ideal?
Karakter ideal adalah karakter yang memilki sifat unik dan realistis secara seimbang dan baik.
UNIK
Harus unik, supaya berbeda dengan yang lain. Sehingga ketika ditonton/dilihat orang, mereka tertarik, “oh, ini berbeda nih dari yang lain“. Jangan sampai orang mengatakan, “sudah sering melihat yang begini“, jadinya orang tidak tertarik.
Sekali lagi, ingat, seni pertunjukan adalah pertarungan merebut perhatian.
Tapi hati-hati.
Ketika menciptakan sesuatu yang unik, penulis kerap tergoda untuk menjadi liar, keluar dari realita. Jadinya karakter yang diciptakan jauh dari kenyataan. Nyeleneh.
Unik tidak harus berarti aneh. Ke-unik-an yang dimaksud disini adalah hasil dari detail yang lebih banyak.
Bagaimana kita bisa memberi detail yang banyak pada sebuah karakter? Tidak ada pilihan lain: Kita, sebagai penulis, harus mengenal betul karakter tersebut.
Metode paling mudahnya ialah dengan membayangkan karakter yang sedang kita khayalkan ini mirip dengan siapa pada kehidupan nyata kita. Bisa jadi dia adalah diri kita sendiri, salah seorang teman, orang tua, atau orang lain yang punya pengaruh kuat pada diri kita.
Misalkan karakter yang mau kita jadikan tokoh (baik tokoh utama maupun tokoh figuran) dalam film mirip dengan diri kita sendiri, maka sepanjang penulisan skenario, kita tinggal mengingat wajah kita sendiri. Kalau sedang bahagia, sikap kita seperti apa. Ketika sedih atau menghadapi masalah, sikap kita bagaimana. Baju apa yang senang kita pakai, musik apa yang senang kita dengarkan, teman seperti apa yang kita akrabi, orang seperti apa yang kita sukai dan benci, dan detail seterusnya.
Dengan demikian, karakter yang sedang kita rancang ini benar-benar unik (Lat. uniquus: satu-satunya, tak bisa disamakan dengan orang lain). Kita tahu benar bahwa diri sendiri berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orangtua atau saudara kandung sekalipun.
Nah, metode yang sama juga kita lakukan kalau kita mau membayangkan karakter tadi mirip dengan salah seorang teman kita, atau orangtua kita atau siapapun yang kita kenal.
REALISTIS
Ciptakanlah karakter yang realistis (kecuali untuk genre film sci-fi atau sedang membahas sosok alien yang jauh di masa depan yang gambaran kehidupan mereka pun jauh dengan yang kita alami sehari-hari).
Jika tidak realistis, penonton akan merasa skeptis atau malah jadinya aneh.
“Mana mungkin ada karakter seperti ini?”.
Karena itu, menciptakan karakter yang realistis adalah suatu keharusan sehingga nanti ketika script yang sedang kita rancang menjadi adegan, penonton bisa relate dengannya.
Contoh karakter yang ikonik dalam sejarah film Indonesia, misalnya Cinta (dalam Cinta dan Rangga).
Jadi sejak awal kita harus tanamkan dalam fikiran bagaimana caranya kita menciptakan karakter yang unik dan pada saat yang bersamaan juga harus realistis.
FASE-FASE KARAKTER
Untuk menciptakan sebuah cerita yang kuat, kita sebagai penulis, harus sangat kenal dengan karakternya. Kita harus membangun sebuah dunia untuk karakternya. Apa yang terjadi sejak dia lahir sampai dia besar dan dewasa, khususnya untuk karakter utama.
Walaupun tidak semua informasi tentang karakter ini tidak akan sampai kepada penonton, tetapi sebagai penulis kita harus mempunyai sebanyak mungkin informasi tentang karakternya karena dengan itu baru kita tahu kelemahan dan kekuatannya, bagaimana sikapnya ketika menghadapi konflik yang akan terjadi.
Sekarang mari kita bagi fase-fase yang dialami oleh si karakter kita tadi.
Misalkan karakter yang mau kita ciptakan bernama Rebecca.
Fase pertama, karakter ketika lahir. Ini menyangkut identitas, atribut fisik, jenis kelamin, suku, kondisi sosial-ekonomi. Ini sudah harus sudah kita ketahui dulu sebagai pijakan awal. Setidaknya dari hal ini, kita harus sudah tahu karakter kita lahir dalam keadaan seperti apa. Ini sebagai pijakan awal.
Nah, kita coba aplikasikan.
Rebecca seorang perempuan, berumur 17 tahun. Rambutnya panjang hitam terurai melewati pundak. Tai lalat di sudut kiri bibirnya membuatnya manis ketika tersenyum. Ayah dan ibunya orang Toba, jadi dia pun mengenakan marga mengikuti marga si bapak.Sehari-hari Bapak bekerja sebagai petani kopi, sementara ibunya adalah guru honor di sebuah sekolah swasta di desanya dengan gaji pas-pasan.
Fase kedua, karakter ketika menjalani kehidupannya. Ini menyangkut pertemanannya, pendidikan, tragedi, percintaan, romansa, hubungan dengan teman dekat atau keluarga dari lahir sampai ketika film dimulai. Fase ketiga, karakter saat film dimulai. Pada tahap ini, begitu penonton mulai melihat tayangan film, mereka sudah harus langsung mengenali karakter itu. Penonton sudah harus memahami karakter itu seperti apa.
Apakah Rebecca ramah? Pemalu? Pemarah? Extrovert atau introvert? Jujur penuh integritas atau licik dan penuh akal bulus?
Ini akan sangat tergantung juga dengan usia karakternya. Jika di awal kita memilih usia karakter utama adalah anak-anak atau remaja, mungkin tidak banyak yang harus kita petakan karena pada usia seperti itu relatif belum banyak yang dia alami. Berbeda kalau misalnya tokoh kita adalah pria dewasa atau bahkan seorang kakek, tentu kita bisa membayangkan betapa banyak peristiwa hidup yang sudah ia lalui.
Jadi saat kita mau menciptakan karakter, kita harus melakukan pemetaan (mapping) ini. Kita bisa melakukannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Pertanyaan apapun yang menyangkut karakter itu. Lahirnya bagaimana? Selama hidupnya bagaimana? Terus, dengan pengalaman hidup seperti itu, nanti hasilnya dia akan jadi orang seperti apa?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi gudang atribut untuk kita sematkan pada karakter.
Ini berlaku untuk karakter utama, maupun karakter figuran lainnya.
Tulisan ini adalah parafrase mandiri Saya terhadap penjelasan Ernest Prakasa di Kelas.Com
Ibu separuh baya itu menangis terus menerus. Sejenak ia sempat terdiam, hanya diam. Tetapi kemudian air matanya mengalir lagi. Mulutnya kembali mengoceh-ngoceh kepada suaminya yang sedari tadi mengelus bahunya untuk tenang. Mereka sedang berada di atas kapal dalam perjalanan ke Jakarta.
“Ini gara-gara Papa suruh Asong sekolah tinggi-tinggi lahhh… Kalau dia tidak kuliah, tak bisalah dia di penjara begitu…” ujar wanita yang adalah ibu kandung Asong.
“Sssttt… Sudah… Tak usahlah lu salah-salahin sekolahan terus… Wah¹ suruh Asong sekolah itu supaya nasibnya jangan buka warung terus kayak kita…,” belum usai ayah kandung Asong berargumen, wanita itu sudah menepis,
“Ya harusnya Asong dagang pun wah sudah senang! Asong itu anak pintar, tak usah dia sekolah bagus-bagus dia sudah bisa cari uang dari kecil. Buat apa sekolah tinggi kalau Asong akhirnya masuk penjara! Wah tak suka dia terlalu pintar, karena Asong memang orangnya licik… Papa masak tak tahu sifat anak sendiri? Kalau sudah begini, kita yang susah!”
Si Papa Asong jadi tak enak hati dengan penumpang kapal yang memandang mereka.
Kedua orang tua Asong berangkat dari Pematang Siantar setelah melihat berita tentang Asong di harian lokal, Sumut Pos.
Memandang wajah Asong yang ditutupi dengan telapak tangannya tidak dapat mengelabui mereka untuk yakin jika orang yang korupsi di PT Gelas Pecah memanglah Asong.
Lebih diyakinkan lagi dengan nama baptis yang dipilih oleh mereka untuk anak kesayangan mereka, Kristoforus, yang digunakan di harian itu. Mama Asong langsung menangis sejadi-jadinya. Tak pernah dibayangkan anaknya menjadi seorang pesakitan di hotel prodeo.
“Asong gimana yah, Pa… Mama takut dia tak cukup makan, dia disiksa. Asonggg… Kenapa kau jadi bodoh sangatlah!” seru wanita itu lagi. Papa Asong hanya berharap kapal cepat tiba di pelabuhan Merak, agar teror kalimat istrinya berhenti.
“Lu jangan pikir macam-macam dulu…! Kalau Asong salah ya dia harus dihukum,” sergah Papa Asong
“Itulahhh! Bikin hidup susah sendiri, terlalu banyak mau! Bodoh sangatlah lu Asonggg!”
“Sudahhh… Tadi Mama bilang, Asong pintar. Sekarang bodoh…” Papa Asong mulai kesal.
“Dia jadi terlalu pintar, jadinya bikin kebodohan itu! Coba kalau dia lulus SMA saja, wah yakin dia juga sukses cari duit! Tak perlu dia kuliah ekonomi-ekonomi! Tak perlu susah-susah jadi sales sampai korupsi seperti ini! Lulus SMA saja dia bisa jadi boss sendiri, ndak makan gaji, hidup senang!” lanjut Mama Asong lagi.
Kali ini sang suami sudah malas menanggapi. Ia biarkan Mama Asong kembali menangis tersedu hingga tertidur.
Wanita itu tak tenang. Bolak-balik di pelataran sambil menunggu Asong keluar. Semua perlengkapan untuk Asong sudah disiapkan, termasuk buah durian kesukaan Asong. Walau hanya satu buah, ia yakin Asong senang bisa menikmati durian Medan.
“Pa… Asong kok belum muncul-muncul? Coba lu tanya mereka, Asong kok belum datang-datang??”
“Sabarlah… Lu duduklah!” seru Papa Asong.
Wanita itu akhirnya terpaksa duduk setelah mendengar nada tinggi dari suaminya. Ia tak akan membantah karena ia tahu suaminya tidak bermaksud memarahinya, melainkan menenangkannya. Lagipula Mama Asong sudah letih marah-marah.
Sudah bukan saatnya ngedumel, karena Asong sebentar lagi akan bertemu dengan mereka. Saatnya untuk tersenyum, menghibur Asong, menguatkan Asong. Walaupun Asong salah, dia tetap anak mereka. Mama Asong menganggap semua kesalahan Asong juga berawal dari kesalahan orang tua. Ya… salah mereka yang menyekolahkan Asong yang sudah pandai menjadi lebih pandai.
Suara derit pintu membuat mereka berdiri. Bergegas untuk melihat wajah yang akan muncul di hadapan mereka. Dan benar, itu adalah,
“Asonggg!” pekik kedua orang tua itu hampir bersamaan. Mereka menghambur ke arah Asong. Mereka memeluk Asong. Mereka menanyakan kabar Asong.
Tetapi, Asong hanya diam.
“Asonggg, cakaplah sikittt pada kami…! Kalau sakit, bilang! Kalau susah, omong! Nanti wah coba cari pengacara bagus buat lu… Biar lu tak usah di penjara lama-lama…” ujar si Mama. Asong tetap diam. Hanya memandang wajah kedua orang tua itu dengan pandangan rindu. Tak ada raut sedih, tak ada raut duka, tak ada air mata.
“Asonggg! Kenapa lu diam sajaaa???” tanya si Papa.
Kali ini Asong tersenyum.
“Asong rindu sangat sama Papa, Mama… Tapi Asong juga tidak suka kenapa kalian datang ke sini…”
“Loh… Papa sama Mama mau bantu lu lah, Song!” jawab Mama.
“Tak usaaahhh… Tak usah habis uang sampai harus ke Jakarta bantu Asong. Kan Asong sudah berkali-kali bilang simpan saja uang yang Asong kirim buat senang-senang di Siantar. Kalau lebih, sumbang saja uangnya buat adik-adik Asong yang tidak bisa sekolah di sana!”
“Aduuuhhh! Uang yang lu kirim selalu lebih, Asong. Sudah Mama sumbang juga masih lebih. Mama sekarang tahu, ternyata uangnya tak halal! Mama kecewa, Asong!” sesal wanita itu sambil menangis lagi.
“Itu uang halal. Itu uang hasil kerja Asong betulan. Itu bukan uang korupsi,” jelas Asong membingungkan kedua orang tua mereka.
“Loh… Kalau lu tak salah, kenapa harus di penjara?” tanya mereka hampir berbarengan lagi sambil kebingungan.
“Asong di penjara karena sudah tugas. Asong dibayar buat masuk penjara. Tak usah khawatir, semua sipir di sini baik sama Asong. Mereka tahu posisi Asong. Asong tak susah di sini, jadi Mama sama Papa tak usah rasa susah juga,” jelas Asong alias Kristoforus.
Kedua orang tua itu terperangah mendengar kata-kata Asong. Terlebih wajah Papa mulai memerah.
“Wah sekolahin lu bukan jadi budak-budak boss, Asong! Wah mau lu yang jadi boss! Memang lu dapat uang tapi hidup tak bebas, buat apa! Lu jangan bodohhhh, Asong!” tegur si Papa.
Asong menggeleng-gelengkan kepala.
“Papa salah. Justru Asong yang jadi boss. Asong yang atur semua ini,” kata Asong dengan tenang.
“Sialan lu! Lu bikin orang tua susah! Papa juga bukan mau lihat lu jadi boss penjahat, tolol!” kali ini Papa semakin berang. Sementara Mama Asong semakin menangis melihat kedinginan Asong.
“Sudah… Papa sama Mama tenang saja. Tidak usah khawatir. Asong akan baik-baik saja. Uang yang Asong kirim jadikan gedung-gedung di kampung kita saja kalau Papa Mama kelebihan… Anggap buang sial kalian,” kata Asong seakan-akan tidak terjadi pergulatan apapun dalam hubungan mereka. Namun tidak demikian dengan Papa. Umpatan demi umpatan dengan bahasa Hokkian² mulai meluncur dari mulutnya. Tetapi Asong tidak perduli hingga waktu jenguk mereka habis.
Kepulangan ke Siantar kali ini sudah tidak diwarnai isak tangis dari Mama Asong. Sebaliknya pria di sebelahnya, suaminya, yang terisak-isak. Sedu sedan ditahan tetapi tetap tak mampu disembunyikan.
“Sudahlah, Pa… Asong kan sudah bilang, dia baik-baik saja. Nasiblah, Pa… Mungkin sudah nasib dia begitu,” hibur Mama Asong.
“Nasib apa? Nasib jadi buron?” keluh pria itu dengan sedih.
“Nasib jadi orang pintar, orang kaya tapi harus jadi buron,” kata Mama Asong melengkapi pernyataan suaminya.
“Itu bukan nasib. Itu bodoh! Sudah wah sekolahin tinggi-tinggi, dia tak tambah pintar!” sergah Papa Asong sekaligus meyakinkan istrinya bila Asong memang harus sekolah akibat kebodohan Asong.
“Sudahlahhh…! Wah juga tak tahu sekolah itu bikin Asong tambah pintar atau tambah bodoh, tak usah dipikir lagi. Sebenarnya wah hanya menyesal kita suruh dia merantau dan sekolah di luar Siantar. Coba kalau dia kita kekang, mungkin dia tidak tambah licik,” sesal Mama Asong. Kali ini suaminya semakin terisak dan kembali melontarkan umpatan-umpatan bahasa Hokkian.
“Kenapaaaa lagiii luuu, Paaa? Sudahhh… Kita ikut saja kata Asong. Kalau ada uang lebih, kita bagi-bagi ke orang,” hibur istrinya lagi.
“Waaahh… wahhh… salah liauuu³!” pekik sang suami.
“Salah apa lagi???”
“Wah ingat waktu Asong kita suruh merantau, wah kasih nasihat… Jangan jadi orang licik lagi, jadi orang baik, jadi orang yang suka membantu orang susah. Wah kasih tahu dia supaya jangan korupsi duit orang, kalau mau korupsi sekalian triliunan! Biar masuk koran, biar terkenal… Tapi wahhh ndak sangkaaa… Ndak sangka kalau Asong benar-benar ikut omongan wahhh… Asong benar jadi orang yang bantu orang susah, tapi dia juga jadi koruptor, masuk koran, terkenal…!” pria itu menangis lagi.
Beberapa bulan kemudian, masyarakat digemparkan dengan seorang narapidana bernama Kristoforus sekarang buron. Kabar kabur mengatakan ia melarikan diri ke Hong Kong. Tapi anehnya, tak ada yang mencari Papa dan Mama Asong. Mereka tidak dibenci karena sumbangsih dana yang besar untuk kampung mereka. Mereka tak pernah diinterogasi oleh pihak intelijen manapun. Semua mulus, semua lupa, jika di Pematang Siantar ada seseorang bernama Asong alias Kristoforus.
Belakangan hari barulah beberapa media massa yang tergolong nyinyir membuka kedok Kristoforus yang sudah dipetieskan. Asong dicurigai melindungi bisnis seorang anak pejabat tinggi negara . Berani menerima kenyataan untuk menjadi buron ditanggapi oleh Asong, dengan catatan menikmati lima puluh satu persen dari semua keuntungan grup perusahaan Saudagar X. Asong pun dikabarkan meminta jaminan agar keluarganya tidak diusik. Secara tidak langsung Asong yang awalnya menduduki jabatan sebagai top sales di salah satu anak perusahaan Saudagar X, sekarang sudah menjadi komisaris misterius dengan saham terbanyak di grup perusahaan besar.
Skenario pelarian Asong sudah terbuat dengan rapih. Asong dibuat mengaku melarikan dana penjualan dalam jumlah besar yang cukup untuk membayar kredit pinjaman dari bank. Akibat Asong buron, anak perusahaan dibuat pailit dan tak mampu membayar kredit bank. Dana lenyap seiring kaburnya Asong. Tetapi grup perusahaan semakin berkembang pesat. Dicurigai adalah keterlibatan dana dari Hong Kong itulah yang membuat orang menduga Asong ada di Hong Kong. Tetapi tak ada satu pun yang mencari. Asong lenyap, di telan bumi.
20 tahun kemudian …
Pria itu termenung di depan dua nisan. Ia, sendirian. Memejamkan mata sambil sesekali terisak.
“Wah rindu sama kalian… Wah sering melihat kalian, tapi wah tidak bisa peluk kalian… Kalian juga sudah tidak kenal dengan wajah wah…,” bisiknya.
Dikeluarkannya beberapa foto dari album foto yang digenggamnya.
“Ini istri wah… Ini cucu kalian… Mereka bahagia, seperti kalian bahagia.”
“Maafkan, Asong, Papa… Mama… Ini bukan salah kalian… Asong yang salah. Dari kecil Asong selalu dirampok. Waktu Asong jualan banyak yang suka hina-hina Asong anak miskin. Tapi kalau jualan Asong laku banyak yang minta uang pakai ancam, Asong dulu suka bohong sama Mama kalau Asong setorannya kurang. Asong pakai alasan kalau makanannya Asong bagi-bagi ke kawan, dan Mama bilang Asong anak licik. Asong terima, padahal Asong dipalak,” sejenak Asong terdiam menahan beban di dada.
“Waktu Asong sekolah dan pintar banyak yang minta Asong harus kasih contekan. Waktu Asong bawa uang jajan lebih, Asong sering dipukul kalau Asong tidak kasih mereka. Asong dendam… Asong marah! Asong benci! Papa sama Mama sibuk di pasar, jadi Asong tak mau cerita. Asong takut Papa sama Mama jadi susah, karena Asong tahu Papa dengan Mama sudah susah payah sekolahin Asong,” dan Asong termenung kembali. Ditarik nafasnya dalam-dalam.
Dirasakan degup jantungnya sudah tidak stabil, ia terlalu letih bersembunyi menjadi orang lain. Memendam segala kemarahan yang sudah terbalaskan.
“Asong berterima kasih sama Papa, Mama, karena Asong bisa keluar dari Siantar. Di Jakarta, tidak ada yang kenal sama Asong. Asong berniat harus jadi penguasa! Asong berteman dengan orang-orang penting. Asong ajar mereka ketrampilan dagang Asong. Asong ajar mereka supaya licik. Asong setir mereka, dan mereka kasih uang. Mereka tidak berani dengan Asong karena Asong pegang banyak rahasia mereka. Asong rela di penjara asal jadi presiden mereka. Asong puas!”
Kali ini tak ada air mata lagi, senyum ia kembangkan.
“Asong sekarang sendiri. Karma dari kesalahan. Keluarga Asong lari dari Asong karena marah sama Asong yang sering tinggalin mereka. Asong rela. Asong memang banyak salah, tapi setidaknya kalian semua senang. Sebenarnya Asong menyesal diseret dendam. Sekarang Asong senang kita bisa kumpul lagi. Asong capek jadi penguasa. Asong mau istirahat sekarang…. Rumah besar yang kalian bangun ini cocok untuk kita bertiga ya…”
Asong berjalan tertatih dengan bantuan beberapa polisi yang menemaninya. Ya, setelah sekian lama, Asong menyerahkan diri dan membongkar semua sindikat yang pernah dijalani. Ia diadili dan dijadikan tahanan rumah akibat kesehatan yang terus memburuk.
Asong meninggal di rumah besar yang dibuat oleh orang tuanya di Siantar itu yang kemudian dijadikan kerabatnya menjadi Yayasan Kristoforus. Yayasan yang sengaja oleh Asong diminta untuk dibuatkan dalam surat wasiat sebagai rumah perlindungan dan pengembangan kepribadian bagi anak-anak korban bullying.
[1] Wah = saya (dialek bahasa hokkian yang sudah sedikit meng-Indonesia yang digunakan untuk perantauan Cina-Medan).
[2] Hokkian = salah satu suku dari bangsa Cina yang paling banyak merantau ke Indonesia.
[3] Salah liau = sudah bersalah (dialek hokkian).
Sudah setahun berselang setelah Jarar Siahaan menulis di portal Laklak bahwa lagu Batak semakin tidak bermutu. Kepada pembaca, ia meneruskan sentilan Manahan Situmorang terhadap lagu Batak kekinian yang picisan dan asal-asalan syairnya. Bagi Jarar, generasi muda perlu mendengar lagu-lagu Batak tempo dulu yang bermutu tinggi dan mengandung ajaran budi pekerti.
Disebutnya, Manahan mengkritik lagu Batak zaman sekarang yang menulis lirik secara serampangan. Ia menyayangkan banyaknya tembang Batak yang ditulis asal jadi dengan campuran kata-kata berbahasa Indonesia, bahkan ada lirik lagu Batak yang bersifat tidak mendidik.
“Ise mandokhon ahu selingkuh. Bukan bahasa Batak itu selingkuh, tapi mangalangkup. Kecewa, kecewa ahu, Ito. Kecewa? Seharusnya tarhirim“.
Manahan membandingkan lagu-lagu Batak yang terlah berusia empat puluhan tahun atau lebih, karangan tujuh maestro komposer Batak, yaitu Tilhang Gultom, Nahum Situmorang, Firman Marpaung, Ismail Hutajulu, Sidik Sitompul, Dakka Hutagalung, dan Tagor Tampubolon.
Lagu adalah puisi, maka pertahankan supaya tetap sastrawi.
Ketika mengajar di kelas, tak bosan Saya cerewet ke siswa ketika membahas lagu dan pengaruhnya bagi kebudayaan bahwa “lagu adalah puisi yang dinyanyikan“. Karena itu, harus susastra. Artinya harus sastra yang baik. Sastra yang baik itu seperti apa? Selain indah, harus pula menuntun orang pada kebaikan etika dan moral.
Sebuah lagu bisa terdengar merdu, liriknya puitis tetapi bukan lagu yang baik jika tidak memenuhi kriteria tadi, misalnya lagu “Mardua Dalan” dari Jen Manurung (sudah pernah saya ulas juga di blog ini).
Belum lagi jika membahas lagu sejenis “Orang Ketiga” atau “Te Hallet”. Lagu macam apa itu?
Kita kembali ke Manahan.
Tak cukup dengan menyebut nama, Manahan mengajak pendengar untuk mencermati langsung nilai susastra (sastra yang baik) dalam lagu-lagu hasil karya tujuh maestro tadi. Misalnya, lagu “Nahinali bakkudu“, senandung nan pilu tentang orangtua menangisi putranya yang tidak menikah hingga berkalang tanah, yang ditulis Nahum situmorang.
Nahinali bakkudu da sian bona ni bagot behama ho doli songon boniaga so dapot boniaga so dapot lakku dope nasaonan behama ho doli tarloppo ho parsombaonan
atik parsombaonan dapot dope na pinele behama ho doli songon burukburuk ni rere matema ho amang doli mate di paralangalangan da amang mate di paraulaulan
Kemudian kita tahu bahwa Nahum memang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Entah ada kaitannya dengan kisah hidup penulis langsung, tapi bagi yang mengerti bahasa Batak tentu akan terkagum dengan larik sastrawi yang menggunakan metafor klasik tersebut beserta makna filosofis yang diusungnya.
Tidak terbilang “panglatu“, akronim dari “Panglima Lajang Tua”, label peyoratif yang masih lazim kita dengar disematkan untuk pria Batak yang memutuskan tidak menikah hingga lanjut usia. Mereka pasti menangis mendengar lagu ini, meratapi nasib mereka sendiri, sebab di tengah konstruksi masyarakat Batak yang masih menganggap berketurunan sebagai sebuah keharusan, membujang hingga akhir hayat adalah aib yang mesti dihindarkan. Narasi seperti ini tentu sangat relevan dan membumi bagi kelompok panglatu tadi.
Pada sebuah cerpen berbahasa Batak, bagian dari antologi “Situmoing” narasi dengan tendens kritik tersirat ini juga dituturkan dengan apik oleh Saut Poltak Tampubolon. (Silahkan klik tautan ke Facebook ini untuk ngobrol langsung dengan Saut tentang buku yang dimaksud)
Ada lagu-lagu lainnya yang bisa kita periksa satu-satu dari kumpulan karya para komposer ternama di atas. Sebut saja misalnya “Sinanggar Tullo”, “Anakkonhi do Hamoraon di Au”, “Sitogol”, “Lisoi”, “Nasonang do Hita Nadua:, “Anju Ahu”, “Ndang Turpukta Hamoraon”, dan “Poda“.
Generasi Bona Pasogit versus Generasi Tiktok
Ulasan tentang Nahinali Bangkudu ini adalah buih kecil dari bukti lautan kerinduan para penikmat lagu Batak klasik. Mereka punya telinga musik yang sensitif. Mereka punya selera seni yang unik dan nalar yang tidak tega kalau musikalitas Batak tergilas begitu saja oleh kerasnya invasi selera pragmatis nan instan a la TikToker yang menggerogoti generasi muda.
Saat ini jumlah penikmat seni jenis ini mungkin belum banyak. Oleh pengguna Tiktok radikal, kelompok penikmat ini bisa jadi balas diejek dengan sebutan “jadul”, ketinggalan zaman, atau “kaku banget sih lo kayak kanebo kering“. Tidak masalah. Itu bukti demokrasi hadir di antara penikmat musik dan seni secara umum.
Meski tidak arif melabeli, tapi Saya mengusulkan untuk menyebut kelompok penikmat seni jenis ini dengan nama “generasi bona pasogit“. Nama ini kupikir cocok untuk mereka yang masih percaya bahwa ada nilai-nilai habatahon yang luhur itu masih ada, dan karenanya mesti tetap dipelihara. Siapa yang mesti menjaga? Ya, mereka yang tinggal dan hidup sebagai orang Batak, seperti gambaran ideal kita tentang bona pasogit.
Lho? Mengapa tidak gunakan saja pengelompokan berdasarkan umur: Generasi X (baby boomer), Y (milenial) dan Z (digital)? Tidak. Sebab, kulihat sendiri realitas yang terjadi. Ada old soul yang bisa kutemukan pada remaja belasan tahun. Sebaliknya ada pula orang yang sudah menjelang lanjut usia tapi masih doyan dengan lagu cover remix asal-asalan, yang penting ada terlihat tali pusar pedangdut bahenolnya. Ada juga generasi paruh baya yang demen goyang TikTok tak jelas (jangan salah, ada juga konten TikTok yang jelas dan mendidik, ini pengecualian ya).
Jelang Epilog
Tentu saja, hal ini tidak berlaku untuk keseluruhan lagu Batak yang tercipta zaman sekarang. Ini kesan umum semata, meski bukan juga generalisasi tergesa-gesa. Patut pula kita mengapresiasi para penulis lagu zaman sekarang yang hebat. Sebut saja Tongam Sirait, Willy Hutasoit (yang konon juga belajar bahkan meminjam lirik Tongam Sirait pada lagu yang melambungkan namanya), Alex Hutajulu dan nama-nama lain yang belum teridentifikasi saat ini. Nama-nama lain ini biarlah kita beri ruang lebar, sebab kita menunggu konsistensi mereka dalam proses berkesinian ini pula.
Oh iya. Selain Manahan Situmorang yang gelisah, Jarar yang menulis kegelisahannya, baru-baru ini kutemukan pula ulasan bernas oleh Panjotik Silaen.
Di konten videonya, Panjotik mencoba selangkah lebih maju. Alih-alih berkutat pada kegelisahan, ia mulai memberi edukasi tentang mengapa sebuah lagu bagus karena nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Dengan sederhana, ia membedah lagu “Holan Au Do Mangantusi Ho”
Satu hal positif tertangkap disini:
Generasi bona pasogit tidak bisa lagi berdiam diri sembari cemberut dan merengut kesal melihat generasi yang lebih muda lebih menyukai lagu picisan dan lirik asal-asalan. Mereka harus melakukan sesuatu.
Ada banyak faktor mengapa penurunan selera musik itu terjadi, selain dari pengaruh palsu “traffic” dan “Ad Sense” yang seolah menjadi tolok ukur sebuah lagu bagus atau tidak. Faktor utamanya ialah karena mereka tidak mengerti bahasanya.
What? Orang Batak tidak mengerti bahasa Batak? Tidak perlu heran. Itu realitas yang terjadi sekarang, disini.
Jika demikian, bagaimana mengatasinya? Kepada orang yang tidak tahu, beritahulah.
Ajarkanlah supaya mereka mengerti. Kalian yang mengaku punya selera musik bagus, ajarkanlah. Ulaslah mengapa lirik lagu Nahum itu pantas didengarkan. Tulislah bagaimana Dakka Hutagalung atau Tagor Tampubolon berusaha mempertahankan keindahan lagu Batak sembari bertahan di tengah kejamnya persaingan di industri musik nasional. Teruslah berbicara dengan anakmu perihal mengapa kamu tidak suka bergoyang TikTok, tapi masih setia mendengarkan lagu-lagu opera Tilhang Gultom. Tentu, tidak pula serta-merta melarang mereka ber-TikTok karena bisa jadi mereka akan langsung antipati.
Seperti layaknya proses pendidikan nilai pesan harus disampaikan dengan lembut, mengajarkan kearifan nilai dalam lagu Batak juga harus dengan halus pula.
Nanti, beberapa tahun kemudian, kita lihat hasilnya.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto
Pippo tak perlu mengetuk dua kali untuk tahu bahwa Ramon, sang adik, sedang berada di kamar. Ramon duduk di meja belajarnya, matanya menatap kosong lembaran partitur musik penuh coretan disana-sini. “Tidak perlu mengurung diri begitu, Bro”, tepuk Pippo di pundak Ramon sembari menarik kursi dan segera sibuk dengan jari-jemarinya mengusap layar HP.
Ramon melirik sebentar ke arah Pippo. ‘Oh, nggak apa-apa, Bang”, ucap Ramon. “Ini sedang mencari inspirasi saja, kepalang tanggung nih”, tambahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Andai saja si kakak memahami apa yang sebenarnya membuat Ramon gelisah.
Tak biasanya Ramon merasa seperti ini. Ia kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kepada saudaranya itu perasaan macam apa yang dia miliki terhadap musik. Akankah ia berani terbuka mengakui kecengengannya bahwa ia baru saja menangis karena sebuah lagu?
Pasti sungguh tidak masuk akal bagi Pipo yang sibuk “tak tik tuk” membalas satu persatu pesan di group Whatsapp kantornya. Menangis karena ditinggal pacar mungkin masih ditolerir. Ini, karena lagu?
Pikiran Ramon menjelajah liar ke berbagai dimensi. Ada alam alter-realitas dimana dia merasa kedinginan. Uang hasil mengamen semalam di kafe kota kecil itu bahkan tak cukup untuk membuatnya berani menghadap ibu kos, memberitahu bahwa uang kos bulan ini kemungkinan akan terlambat lagi dibayarkannya.
Di alter-realitas II, Ramon tak kuat menahan haru tatkala menyaksikan kecewanya Didi Kempit, temannya sejak kuliah di sebuah insitut seni, diusir dari rumah setelah bertengkar habis-habisan dengan seisi rumah. Rupanya sudah sejak dulu orang tua Didi tidak pernah menyetujui pilihan karir anaknya itu. Mau hidup dari bermusik di zaman sekarang, bisa kasih makan apa anak-istrinya nanti.
Segera berkelibat pula alter-realitas III. Ramon dan Didi berpelukan setelah konser yang mereka rancang berbulan-bulan akhirnya selesai juga. Penonton tidak banyak memang, tiket tidak habis terjual. Tidak juga ada jurnalis yang meliput dan memberitakan mereka, tapi itu tak menyurutkan kepuasan batin mereka berdua.
Ramon terkesiap. Sadar, khayalnya melantur terlalu jauh. Disini ada kakak kandung sedang mencoba membuka pembicaraan, dan ia malah asyik bengong sendiri.
Ia memicingkan matanya melirik kakaknya yang masih asyik dengan gadgetnya itu. Sepertinya sang kakak sedang serius membahas masalah kerjaan dengan rekan-rekannya. Oh, biarlah.
Meski matanya masih menatap lembaran partitur itu, sejatinya Ramon sedang membayangkan Elnoy. Seingatnya Elnoy adalah gadis bersuara merdu, sekaligus satu-satunya cewek di kelasnya yang tidak suka dengan Taylor Swift. Mereka punya kemiripan, sebab Ramon juga tak sekalipun tergoda memutar lagu Justin Bieber.
Oh iya, Elnoy juga pintar menggambar. Beberapa lukisan potrait-nya bahkan sempat menghiasi lini masa Instagram Ramon. Terakhir, semua postingan itu bersih, berganti dengan foto Elnoy dengan senyum getir berpose sembari memegang ID karyawan magang di sebuah bank ternama.
Ramon adalah jiwa orang tua yang terperangkap di badan seorang bocah 21 tahun. Jiwanya berontak menyaksikan betapa banyak temannya yang berbakat, gelisah dan menderita batin hanya untuk memutuskan serius di karir bermusik mereka atau berdagang mengikuti anjuran orangtua mereka. Ia tahu betul, beberapa diantara mereka bahkan tidak mendapat kesempatan untuk menampilkan lagu yang sudah mereka tulis.
Seperti hantu, Didi dan Elnoy serasa nyata menatap Ramon saat ini. Ia bergidik. Semua seperti tiba-tiba terlihat gelap sebentar lalu sekejap berganti pula dengan terang menyilaukan.
Ah, kampret benar. Ramon sadar, musik telah membuatnya merasa gila, sekaligus bahagia. Itulah yang terjadi saat ini.
Ada untaian nada lagu terdengar jelas olehnya. Sementara Pipo sudah beranjak dari kamar itu, sepertinya hendak menyeduh kopi. Itu jelas banget loh, kok hanya dia yang mendengar, Pipo tidak?
Ramon pun tersenyum. Dia baru saja menyadari bahwa apa yang dirasakannya saat ini, itulah kebahagiaan. Musik membuatnya bahagia, bahkan menangis bahagia.
Ia bergeser dari tempat duduknya. Meraih HP yang sedari tadi di-charge di sudut kiri mejanya. Sejurus, ia membuka pula Instagram-nya.
Di story-nya tertulis:
Ketika kamu bahagia, kamu menikmati musik. Tetapi ketika kamu sedih, kamu memahami liriknya.
Mungkin. Besok. Ramon akan merampungkan komposisi lagunya yang tanggung itu.