Beberapa ribu tahun lalu di negeri Yunani, seorang lelaki parlente mendekati seorang temannya yang berpenampilan polos bersahaja.
Lelaki parlente itu, belakangan kita kenal sebagai Calicles, berkata kepada temannya:
Berhentilah berfilsafat, kawan. Kembalilah ke dunia nyata. Tuntutlah ilmu di sekolah bisnis.
Quit philosophizing.
Get real.
Go to business school.
Belakangan kita tahu, temannya yang bersahaja itu bernama Socrates.
Untunglah, Socrates tidak mengikuti anjuran temannya itu. Seandainya Socrates mengikuti anjuran Calicles dalam “Giorgias Dialogue” itu, filsafat tidak akan menjadi sebesar sekarang. Plato tidak akan mempunyai guru. Aristoteles, juga tentu saja.
Tidak akan ada para murid peripatetik (para filsuf pejalan kaki) yang membahas segala macam hal sembari berjalan-jalan bersama sang guru. Tidak akan ada Akademia, yang menjadi cikal bakal semua sekolah modern yang ada sekarang ini. Semua orang akan berfokus pada satu hal saja: memenuhi kebutuhan perut, mencari shekel, drachma, dolar atau rupiah.
Untunglah. Ternyata kebutuhan manusia tidak hanya soal urusan perut, tetapi juga soal pikiran. Selain asupan gizi, manusia ternyata butuh nutrisi intelektual dan seni. (Iya. Filsafat bukan hanya induk dari sains tetapi juga seni).
Meskipun demikian, upaya percobaan untuk membunuh filsafat itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak sedikit teman yang mengolok-olok ketika seseorang memposting keresahannya di media sosial dalam sudut pandang filosofis.
“Alah, bacot. Na mangula on ma bah ni puhuthon“, kata mereka seolah merendah padahal nyatanya mereka ingin menderogasi pentingnya filsafat.
“Untuk apa membahas dan mengulas realitas sosial. Pakai bedahlah, pake ulaslah, filosofi-filosofian segala. Tak ada gunanya kau habiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi filsafat Barat itu. Mending ternak lele sajalah”
Percobaan kedua: Membunuh seni?
Zaman sekarang, jika kita jeli, saban hari kita mendengar “Giorgias Dialogue” versi modern dalam konteks kesenian.
“Ngapain sih capek-capek buat tulisan? Yang baca sedikit. Uangnya pun tak jelas.”
“Ngapain sih terus buat lagu? Berdiskusi, begadang, membuat lirik, ulik nada, edit, mixing, mastering, release. Unggah di Youtube, belum dapat adsense, eh keburu kehabisan uang. Sekedar beli rokok dan kopi pun harus berfikir keras. Buat apa? Tuh lihat. Mending buat konten give-away kayak si Boim.”
“Atau lebih ekstrem, ada pesawat jatuh, jadikan konten. Nggak usah mikir empati dengan keluarga korban. Laku keras.”
Mungkin tak persis isi redaksinya seperti ini, tapi muatan maknanya sama.
Begitulah. Sekarang berkesenian seolah predikat ejekan.
Secara jenius, Tilhang Gultom menyisipkan sindirian ini pula dalam lagunya “Tudia Nama Au Lao”
Dia sebut: Na hansit ma hape di au nadangol on. Alani pogos na tarlobi. Gabe marende nama au. Gabe marende nama. Tu kesenian nama au lao. Tu kesenian nama au lao” (Perih sekali hidup ini, bagiku yang sengsara ini. Karena kemiskinan yang teramat sangat. Aku pun bernyanyi. Ke kesenian-lah aku lari.)
Impresi publik sezamannya yang mau dikritik Tilhang Gultom kiranya cukup jelas: Mereka yang berkesenian atau bernyanyi-nyanyi kelasnya ya orang kecil. Proletar. Kalau mau kaya dan sukses (gabe jala mamora), pilihlah jalur lain. Entah menjadi petani, pegawai atau pengusaha. Pokoknya, jangan menjadi seniman.
Setujukah kita?
Beberapa dekade lalu, ‘kesadaran’ sejenis juga yang membuat banyak orangtua Batak terlihat tidak konsisten. Ketika si anak masih kecil, akan diajari bernyanyi, main gitar, atau didaftarkan les musik. Tapi begitu selesai SMA, si anak akan diarahkan untuk ambil jurusan yang jelas menjanjikan fulus. Entah sebagai pengacara. Entah sebagai pengusaha atau petugas bea cukai.
Bukankah itu antara lain sebab “Opera Tilhang” (Opera Serindo) kehilangan generasi penerus sepeninggal Zulkaedah Harahap? Tak ada orangtua yang mengajarkan dan mendukung anaknya menekuni keterampilan multiseni dalam Opera Batak itu (bernyanyi, berdrama, berlawak).
Aku sendiri mengalami ini ketika kecil. Di ladang, kalau aku mencoba memukul-mukul kayu meniru “pargossi“, akan ditegur orangtua. Dalam diskusi kemudian setelah mereka rasa aku bisa berfikir, mereka jelaskan:
“Nak. Zaman sekarang, bermusik tidak memberi penghasilan. Jangan kau tiru tulangmu si anu. Margossi ibana, mangadangi sian pesta tu pesta, alai so hea dilean hepeng tu nantulangmi. Holan na mabuk ma ibana tiap borngin. Dungi marbadai ma begeon ni hombar jabu. Jangan kau ikuti yang begitu ya”, kata mereka.
(Aku tak menyalahkan mereka. Itulah impresi umum tentang berkesenian saat itu, jadi mereka pun ikut di dalamnya. Lagipula, tak didukung menjadi penabuh gendang, aku kemudian memilih jurusan “tak jelas”, yakni jurusan filsafat. Skor 1-1. Hehehe).
Di era postmodernisme sekarang yang bahkan banyak orang masih belum tahu mengarah kemana dan harus mendefinisikan seperti apa, sekelompok orang juga mulai jengah dengan filsafat. Mereka mempertentangkan sains dengan filsafat, seakan bisa memisahkan seorang anak dengan ibu kandung yang melahirkannya.
Mereka bosan dengan tuntutan kaidah berkesenian, seakan musik dan lagu melulu hanya soal profit dan ketenaran seorang artis, dan tidak ada kaitannya dengan upaya kurasi nilai ideologi dan budaya arif. Maka, tak heran, lahirlah banyak lagu yang tidak memiliki “jiwa”, hanya otak-atik gathuk tangganada dan analisa teknikal musik. Berkesan, tapi tidak mengandung pesan.
Atau, meminjam lawakan intelektual di tongkrongan kami:
“Godang siingoton. Alai dang adong sitiruon”
Pada situasi begini, wajarlah para seniman dengan ideologi dan kesetiaan pada tugas kesenimanan, akan tenggelam di pasar industri. Antara lain, karena mereka tak sudi “menjual” diri, tak mau repot dengan algoritma Google dan Youtube, tak mau pula menyebar spam disana-sini untuk meraup angka view.
Untuk mereka, pendengar yang baik akan mencari musik yang baik. Beberapa digital marketer mungkin akan menyebut mereka naif, tapi mereka masih bertahan. Entah sampai kapan.
Banyak lagu Batak zaman sekarang yang cukup berkesan. Tapi, tidak banyak yang meninggalkan pesan. (Mengapa tidak banyak, sudah kuulas pula di blog ini perihal kecenderungan lirik lagu Batak yang semakin jelek). Dari antara yang tidak banyak itu, salah satunya adalah “Tondi-Tondikku”. Secara singkat belum bisa kujelaskan mengapa. Soalnya ini menyangkut rasa.
Bisa jadi karena lagu ini awalnya dikenal dengan video di bawah yang dikemas cukup apik dengan konsep sinematiknya. Terlihat jelas unsur teatrikalnya. Siapa sih yang tidak tertarik menonton film/drama. Atau, bisa juga karena dipopulerkan oleh Style Voice. (Ada apa dengan Style Voice? Ada Willy Hutasoit disana, vokalis Batak kekinian yang cukup kena denganku setelah Tongam Sirait).
Oke. Ini tidak untuk diperdebatkan ya. Namanya juga selera.
De gustibus non disputandum est.
Lagu ini terbilang sukses. Tidak hanya dari statistik penonton setiap kali ada yang mengunggah videonya di Youtube (baik versi asli maupun cover) yang langung ramai sejak dirilis, tetapi juga terlihat cukup relatable dengan banyak orang.
Saya beri contoh kecil. Sebuah kode tuak di bilangan kota Siantar, sejak Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 yang lalu ramai dengan anak muda dan orangtua yang tak capek-capek bernyanyi dari jam 8 malam. Kadang baru selesai subuh. Hahaha. Salah satu lagu yang kuingat selalu mereka nyanyikan ya lagu ini, “Tondi-tondikku”. Metriks ini tampak sederhana. Tapi, bukankah kalau sebuah lagu sudah masuk ke kode tuak, bisa menjadi indikator kuat bahwa lagu itu kena (manghonai) dengan publik?
Tolok ukur ini belum cukup?
Silahkan cek sendiri. Biasanya di wisma atau gedung resepsi pernikahan Batak, lagu ini juga dibawakan oleh pihak keluarga pengantin perempuan sebagai ganti dari umpasa untuk memberikan poda kepada putri mereka, atau sebagai penutup acara mandok hata. Menggeser lagu “Borhat Ma Dainang”. (Itu kudengar sendiri, karena kebetulan saat ini tinggal dekat Sopo Siantar).
Di video di atas, kamu bisa membaca artinya dalam Bahasa Indonesia. Adapun teks dalam syair asli adalah sebagai berikut.
Lirik Tondi-Tondikku
Au do baoa naparjolo Diida ho di portibion Au do baoa na parjolo Dihaholongi ho
Au na ma haduan Hamagoan sian ho Molo marhasohotan ho
Ho do gabe panggoaranki Jala ho na lao manjujung goarhi Ala sasada ho dilehon Tuhan i Tu damang dainangmon
Unang mandele ho Marnida donganmi Ho do artakku di ngolukki
Unang huida ho marsak Nasa tolap ni gogoki hubaen do Unang hubege ho tangis Maniak ate-atekki manaon i
Tondi-tondi hu do ho Hagogoonku do ho Boru hasianku
Sai dapot ho ma haduan Naboi manghaholongi ho Songon nahubaen tu ho
Selain soal selera pribadi, sebenarnya ada faktor lain yang membuat “Tondi-tondiku” terdengar spesial. Aku mengendus, ada kritik budaya disana.
Tondi-tondikku: “Bongkar” versi Batak?
Bukan isapan jempol bahwa hingga saat ini, kelahiran putera di tengah keluarga Batak masih dianggap sebagai keharusan. Bukan rahasia pula bahwa di tengah masyarakat Batak, ada semacam ‘tekanan sosial’ (social pressure) supaya pasangan suami-isteri sebaiknya memiliki setidaknya seorang anak laki-laki. Alasannya klasik: Ai baoa do sijujung baringin (anak laki-lakilah penerus keturunan).
Karena itu, mudah kita jumpai di sekitar kita bahwa ada keluarga yang karena anak pertama mereka adalah perempuan, ‘terpaksa’ harus nambah lagi. Kalau anak kedua juga anak perempuan? Nambah lagi. Ketiga, keempat, dan seterusnya sampai diperoleh anak laki-laki.
Sebegitu misoginis dan patriarkisnya keluarga Batak ini? Ya. Mungkin tidak untuk semua keluarga, tapi masih bisa kita jumpai pada beberapa keluarga.
Pada zaman dahulu, bahkan saking tingginya penghargaan terhadap anak laki-laki di tengah keluarga, tak jarang seorang suami diizinkan atau dianjurkan keluarga untuk menikah lagi jika isteri pertama tidak kunjung memberikan anak laki-laki. Ini antara lain yang menciderai kodrat monogami dalam perkawinan Batak.
(Bahkan, sampai ada yang semi-taboo, yang dikenal dengan istilah “pinjam jago“. Kamu bisa tebak-tebaklah ya apa artinya. Ini agak sensitif. Kita bahas secara internal saja ya).
Meski dalam percakapan sehari-hari, kemungkinan besar kita hanya akan menemui petunjuk (clue) yang subtil sekali perihal keharusan berputra itu, tetapi tekanan sosial itu nyata adanya.
Uniknya, diakui oleh yang bersangkutan, terutama justru dirasakan oleh pihak wanita (isteri). Kuat dugaanku, cerita ekstrem soal “diceraikan karena tidak kunjung memberikan anak laki-laki” menghantui mereka.
Dalam perspektif yang lebih positif, kehadiran anak laki-laki diakui pula cukup melegakan bagi kaum ibu sebab diyakini anak inilah nanti yang akan lebih membela ibunya (dibandingkan saudari-saudarinya) jika suatu saat si ayah melakukan kekerasan kepadanya. (Untuk poin ini, tak pula perlu kita menampik kenyataan bahwa berbagai jenis kekerasan, baik secara verbal maupun fisik, masih terpelihara di banyak keluarga Batak, sejak dulu hingga kini).
Lalu, apa hubungan antara realita sosial hasil konstruksi budaya Batak ini dengan lirik lagu “Tondi-tondikku”?
Saya tidak tahu apakah Herbet H Aruan, si pencipta lagu ini sengaja atau tidak membuat bait yang “janggal” ini:
Ho do gabe panggoaranki Jala ho na lao manjujung goarhi Ala sasada ho dilehon Tuhan i Tu damang dainangmon
“Ho do gabe panggoaranki” (dengan namamulah aku akan dikenal orang),
sejalan dengan
“ala sasada ho dilehon Tuhan i tu damang dainangmon” (karena hanya engkau anak yang diberikan Tuhan bagi kami orangtuamu ini”.
Sampai disini belum ada masalah.
Kejanggalan baru terjadi dengan penggalan “jala ho (do) na lao manjujung goarhi“. Sejauh ini, pemaknaan semantik “sijujung goar” dan “sijujung baringin” masih identik. Tetapi, mengapa ditulisnya pula “Jala ho na lao manjujung goarhi”? (engkaulah yang juga kelak akan meneruskan keturunanku). “Manjujung goar” tidak sekedar meneruskan keturunan, tetapi juga meneruskan marga . Padahal, kita tahu bahwa marga Batak diteruskan oleh anak laki-laki (sijujung baringin atau sijujung goar).
Beberapa orangtua Batak tak sungkan mengungkapkan langsung dalam pembicaraan di rumah: “Ai molo boru do, gabe pagar ni halak do i haduan” (adapun anak perempuan, kelak dia akan menjadi milik orang lain). Maksudnya jelas, seorang anak perempuan boru X akan melahirkan anak-anak bagi suaminya marga Y, dan anak-anak itu akan mengenakan marga Y. Sebanyak apapun keturunan dihasilkan oleh pasangan X dan Y, legacy “hagabeon” yang diperkuat adalah legacy marga Y, bukan marga X.
Hal ini tidak berhenti hanya pada keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak) tetapi berlanjut pada “tutur” atau “panjouon” kakek atau nenek. Jika seorang kakek memiliki cucu dari putra dan putrinya, sekalipun cucu dari putri yang duluan lahir tetapi kakek dan nenek akan dipanggil menurut nama cucu dari putra. Misalkan seorang putri memberi cucu bagi orangtuanya, diberi nama Frodo. Hingga ada cucu dari putra, kakek dan nenek akan dipanggil “Oppung ni si Frodo”. Begitu ada cucu dari putra, misalkan diberi nama Samwise, barulah kakek dan nenak akan dipanggil “Oppu Samwise”, inilah gelar paripurna untuk mereka hingga kakek dan nenek itu meninggal. Ini subtil, tetapi orang Batak akan mudah memahami perbedaan antara “Oppung ni si Frodo” dan “Oppu Samwise”
Kiranya fakta-fakta ini cukup menggambarkan posisi penting putra di tengah keluarga Batak, lebih penting dibandingkan puteri. Dan kita tahu, ini sungguh tidak adil menggunakan perspektif progresif, apalagi jika kita adalah feminis.
Itulah sebabnya penggalan “jala ho do lao manjujung goar” pada “Tondi-Tondikku” memuat kritik sosial dan budaya yang tidak remeh.
Untukku, kejanggalan ini (entah disengaja penulis lagu atau tidak) bisa memantik diskusi dan dialog berkepanjangan berikutnya. Tujuannya jelas: Jangan lagi adanya anak laki-laki dijadikan tolok ukur paripurnanya sebuah keluarga Batak, adanya anak perempuan juga seharusnya diperlakukan sama. Saya setuju jika diskusi dan dialogi itu terjadi, sebab untukku cukuplah steretotipe misoginis dan patriarkis ini melekat cukup lama pada masyarakat Batak. Sudah harus ada yang memulai untuk mengubahnya supaya compatible dengan masyarakat berperadaban maju lainnya.
“Tondi-tondikku” menjadi corong aspirasi dan inspirasi bagi keluarga Batak yang hanya memiliki anak perempuan (juga keluarga Batak yang meski memiliki anak laki-laki tetapi toh tidak nyaman dengan kebiasaan misoginis dan patriarkis yang terpelihara selama banyak generasi).
Ibarat “Bongkar” karya Iwan Fals yang menjadi corong aspirasi dan inspirasi bagi masyarakat Indoensia yang selama masa Orde Baru tidak mendapatkan keadilan sesuai amanat konstitusi sebab korupsi, kolusi dan nepotisme menggerogoti hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu (mungkin juga sampai saat ini)
Mungkin itu sebabnya, hingga hari ini pesona lagu “Tondi-tondikku” masih memikat banyak orang sejak hari pertama dirilis. Masih dinyanyikan di kode tuak dan di kafe-kafe. Keluarga pihak pengantin perempuan masih dengan gegap gempita menyanyikan lagu ini ketika memberi wejangan sekaligus selamat kepada putrinya yang memutuskan meninggalkan mereka, membina keluarga yang baru.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto
Modom ma damang ussok Modom ma damang Modom ma damang ussok hasian ni ina mu Dison do au da ussok manjaga ho Da modom ma damang ussok modom maho
Simbur magodang maho Simbur magodang Asa adong muse ho pangaluaaluakku Ai anggo amangmu tung so diingot be ho Da modom ma damang ussok modom maho
Reff. Tappuk ni pusu pusukku do damang da ussok Urat ni ateatekku do damang da ussok Da modom ma damang ussok hasian ku Da modom ma damang ussok o tondikku
Ada banyak pengunggah lagu ini di Youtube. Salah satu versi yang Saya suka yakni yang dibawakan oleh Reinhard Nainggolan (anggota grup musik Amigos) dan kawan-kawan.
Cukup unik, si pengunggah tidak mencantumkan nama Nahum Situmorang sebagai pencipta. Melihat namanya, sepertinya akun tersebut adalah milik sang vokalis sendiri: Reinhard Nainggolan Official.
Ini tangkapan layar pertanggal 13 Januari 2021. Tertulis “Cipt. S.Dis”. Siapa S Dis ini? Sepertinya inisial ini merujuk pada Guru Sidik Sitompul, yang jelas bukan nama panggung atau insial Nahum Situmorang.
Sampai hari ini, belum kutemukan sumber terpercaya perihal sumber awal gagasan lagu Modom Ma Damang ini: Nahum atau Siddik? Entahlah.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto
Ito namarbaju tung so maila ho, e… ndang maila ho Donganmu mardalani namatua do, e….ndang maila ho
Ai molo ro parsedan pintor gintal do ho, e…ndang maila ho Ai nang pe namatua dioloi ho, e…ndang maila ho
Godang do namarbaju ndada songon ho Donganna mardalani doli-doli do Alai anggo ho tung so maila ho Nang pe namatua dioloi ho
Ito namarbaju ipe jamot ma ho, e….ndang maila ho Sotung didokkon halak naung geno ho, e…ndang maila ho
Lirik lagu “Ee Dang Maila Ho” ini menambah portofolio kandungan pesan moral dalam lagu-lagu Nahum Situmorang. Benarlah ia konsisten dengan perjuangannya melestarikan budaya dan (mungkin juga) pranata sosial dalam adat-istiadat Batak.
Pesannya sederhana: Baiklah anak gadis atau remaja putri pintar menempatkan diri dalam pergaulan. Seperti halnya pemuda atau remaja putri, anak gadis sebaiknya bertanggungjawab dengan pilihan pertemanan. Tidak melulu meng-iya-kan ajakan setiap lelaki tua hanya karena berduit dan menaiki mobil sedan.
Tanpa harus marah secara berlebihan dan sarkastis, Nahum menegur (mungkin juga dengan sedikit menyindir) para perempuan dengan karakter begitu: “Ee dang maila ho” (Ee, kamu kok nggak malu ya?)
Uniknya: Pesan yang berat kandungan filosofisnya tak melulu mesti dinikmati dengan suasana klasik, hening, dan sopan tetapi bisa juga sambil bergoyang-ria dalam balutan genre chacha atau dangdut. Lebih ringan. Lebih santai. Sejak awal ditulis, sepertinya lagu ini memang ditujukan untuk dikemas secara ringan, meski tidak sampai murahan.
Simak misalnya versi Christin Sianturi ini.
Sayang sekali, bahkan sampai tulisan ini dibuat, pemilik video yang kemudian secara otomatis diunggah Youtube tidak memberikan informasi kredit apresiasi kepada Nahum. Komentar pun dinonaktifkan. Nama Nahum tidak dicantumkan sebagai pencipta disana.
Hal serupa juga bisa kita temukan pada pengunggah lain, yakni kanal Mangasa Sitanggang dengan konten audio dimana “Ee Dang Maila Ho” dinyanyikan oleh Vocal Group Parisma 71.
Saya tak sempat memeriksa semua pengunggah lagu Ee Dang Maila Ho. Ini masih di Youtube, kita belum tahu di platform lain.
Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.
Sepertinya, sindiran “Ee dang Maila Ho” juga pantas kita tujukan untuk pekerja dan pelaku seni yang tidak menjalankan etika berkesenian (jelas, mereka bukan seniman) seperti mereka ini.
Mungkin jika Nahum masih hidup sekarang, ia juga kesal. Belum lagi keinginannya untuk dikubur di Samosir, tanah leluhurnya, juga belum terwujud hingga hari ini.
Rupanya melankolia dan avonturisme yang melekat dengan Nahum ketika masih hidup, juga masih terjadi pada Nahum, bahkan setelah ia meninggal. Ini sebenarnya kenyataan yang menyedihkan. Semoga pihak terkait bisa mencari solusi terbaik untuknya.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto
SUDAH lama ia wafat, namun namanya kian sering disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan; menghibur orang-orang, menafkahi para pekerja dunia malam, mengalirkan keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi, orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak, segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya. Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.
Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.
Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya sendiri, terutama sukunya. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.
Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era milenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupannya yang dipenuhi romantika, yang jamak melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya.
Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis.
Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis.
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman. Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu masih buta huruf.
Kilian sendiri berasal dari Desa Urat, Samosir, sebuah kampung di tepi Danau Toba dan jamak diketahui sebagai kampungnya para keturunan Ompu Tuan Situmorang. (Situmorang Pande, Situmorang Nahor, Situmorang Suhutnihuta, Situmorang Siringoringo, Sitohang Uruk, Sitohang Tongatonga, Sitohang Toruan). Kilian merantau ke wilayah Tapanuli Selatan demi mengejar kemajuan yang kian menguak gerbang peradaban manusia Batak Toba yang begitu lama tertutup dengan “splendid-isolation“-nya.
Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain, Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial. Harapannya tak tercapai meski Nahum lebih dari memenuhi syarat. Nahum lebih senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS, Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di “Kweekschool” Gunung Sahari dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun 1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat bersekolah di Lembang.
Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjari juara dua.
Sayang sekali, lagu yang dulu dilombakan Nahum itu tak terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru di sebuah sekolah partikelir “H.I.S Bataksche Studiefonds,” 1929-1932.
TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama “Instituut Voor Westers Lager Onderwijs.” Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya.
Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi.
Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak, dan orang-orang seperti tersihir saat mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).
Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan membuka restoran masakan Jepang bernama ‘Sendehan Hondohan,’ seraya merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.
Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960, misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta.
SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan boru Simorangkr yang akhirnya menikah dengan lelaki bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum, rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain, sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta pun lantas berhamburan dari jiwanya yang merana.
Demikianpun, Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu “Serenade Toscelli” yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi “Ro ho Saonari,” sebagai lagu ciptaan komponis Italia.
Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah satu contoh adalah lagu “Anakhonhi do Hamoraon di Au” (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus “marhoi-hoi” (susah-payah) memenuhi keperluan anak.
Juga ketika ia menulis lagu “Modom ma Damang Unsok,” laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu “Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda” yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya.
Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu “Beha Pandundung Bulung,” umpamanya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: “Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan.” Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul “Nahinali Bangkudu.” Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati di usia yang tak lagi muda namun dengan status lajang. Dengan penggunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: “Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Mate ma ho amang doli, mate di paralang-alangan…” Ironis sekaligus tragis.
Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun ahli mengayun sanubari lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur “andung” (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu “Huandung ma Damang,” “Bulu Sihabuluan,” “Assideng-assidoli,” “Manuk ni Silangge,” dan yang lain, begitu pekat unsur ‘uning-uningan”-nya.
Akhirnya, kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan. Lagu “Ketabo-ketabo,” contohnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara “Lissoi-lissoi” yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.
Demikian halnya tembang “Rura Silindung” dan “Dijou Au Mulak tu Rura Silindung,” yang begitu kuat melukiskan lanskap daerah orang Tarutung hingga saya sendiri, contohnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu manakala mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui “O Tao Toba.” Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu “Pulo Samosir,” disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian.
SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang greget karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.
Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.
Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun di komplek pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke tanah leluhurnya melalui lagu Pulo Samosir, masih tetap sebatas impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah sakit-sakitan tiga tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi. Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono diberikan kepada dirinya pada 10 Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah Seni yang diberikan Menteri P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969.
Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti.
PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris yang diketuai Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua Yayasan Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum Situmorang berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan Medan, Februari 2008.
Kemudian, mereka minta pula saya, entah pertimbangan apa, jadi ketua pemindahan kerangka dan pembangunan Museum Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya dan Monang tentu antusias menerima tawaran tersebut, namun setelah belakangan tahu di antara para pewaris ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar mereka terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan sesuatu yang bisa disembarangkan dalam hukum adat Batak.
Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang “dongan sabutuha” (teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul Vista.
Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak, selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai.
Tentu saja saya kecewa seraya menyesali minimnya apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan Tapanuli terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan sesuatu untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan Bangso Batak. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman “cum” pendidik yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah kisruh akibat munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas karya cipta Nahum hingga keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya sederhana) agar dikubur di bumi Samosir, semakin tak pasti.
Saya tak tahu bagaimana perasaan mereka yang berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim hak cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu Pulo Samosir ini: “Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma.” (Bila hidupku sudah berakhir, ingatlah/Makamkanlah jasadku di sana/Sediakanlah kuburanku di sana). Demikianpun, saya tetap berharap gagasan memindahkan jasad Sang Guru ke bumi Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya akan terwujud suatu saat, entah siapapun pelaksananya.
*Repost dari tulisan Suhunan Situmorang di blog Parpining dengan judul asli:
“Lelaki yang ingin dikubur di Samosir itu bernama NAHUM SITUMORANG“
As Nahum’s song lover, it is quite interesting to note that his songs attract not only Batak-Toba native speakers but also from people across the globe. Every time I surf the internet, it is more frequent than never, one or two comment appears, saying that they love the music and thereby want to know the meaning of the lyrics.
Since until today as I write this piece, Google Translate and other third-party translator plugins have not yet provided satisfying translation from Batak-Toba to English and vice versa, manual linguistic interpretation will still likely be the best option. There I want to participate so that language barrier do not get us in the way when listening to Nahum’s great songs.
I dedicate this translation of Dijou Au Mulak by Nahum Situmorang to a Youtube account For Truth 2559 as he asked for it in his comment to Victor Hutabarat singing in this video.
Batak-Toba lyric version (original)
DIJOU AU MULAK
Sian na dao hubege do sada ende tarsongon na mangandung andung inang Mangandungi au parjalani borngin na i tangis tarlungun lungun inang
Dijou au mulak inang da tu rura silindung disi do paimahon inang Da na lambok malilung
mansai hansit jala ngotngot mansai porsuk Jala dangol do andungi begeon inang di rusuki di bolai ate ate Dibagasan hilalaon amang da inang
na lao na mulak inang Da tu rura silindung asa gira hu ida inang da na lambok malilung
Hudul au inang na so sombopon mata da inang sora tarpodom Binaen ni sidangol on da inang
dibaheni aut marhabong habong au tarsongon lali habang au da inang tokin on dope au lao habang manalpuik akka dolok rura inang
Na lao ma au habang inang da tu rura silindung Asa gira hu ida inang da na lambok malilung
Mulak ma au.. mulak ma au.. mulak ma au.. mulak ma au Hudul au inang pual pualon jonjong au inang na so sombopon Mata da inang sora tarpodom binaeni sidangolon da inang
One unpopular fact: If we listen carefully to the vocal intro, those notes resemble ones in Westlife’s “I Have a Dream”. However, only in that part. In other parts, it is rightfully the work of Nahum.
So, on your request, here is my take, friend.
English version lyrics – “I am called Home” by Nahum Situmorang
I heard a song from far away
sound like a sad lament
I suddenly cried incessantly
in my loneliness that night.
I am called home to Rura Silindung
there she had waited for me,
my gentle Mommy.
(Dunno why) to me, the song depicted
pains and sorrow
that broke my heart
it came all over my feelings
(and that happened) on my way
to Rura Silindung
I could not wait for longer to see my gentle Mommy
So there I sat with weeping eyes
could not sleep even for a while
I could no longer cope with this longing
If only I had wings
I would fly like an eagle
fly across the hills and valleys
and destined to where I am called home, to Rura Silindung
I could not wait for longer to see my gentle Mommy
I am coming back home … I am coming back home … I am coming back home
Rura Silindung is a rural village, located in Tarutung, North Sumatera. It is surrounded by hills and irrigated by the water supply from Aek Sigeaon. Most people said that this spot worths a visit from its beauty and shadiness. No wonder Nahum wrote a song dedicated to this place.
Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak diberitakan putus kontak dengan pihak Bandara Soekarno Hatta. Diperkirakan lokasi hilangnya di sekitar Pulau Seribu. Warganet spontan menyampaikan di medsos. Kepedulian netizen menyebarkan informasi merupakan ekspresi keprihatinan dan kesedihan. Tak menanyakan apa suku atau agama semua kru dan penumpang yang diperkirakan puluhan sesuai manifest yang beredar viral.
Inilah naluri manusia waras.
Bukti kewarasan juga memuncak ketika keprihatinan itu menjadi doa. Aku yakin lebih banyak yang berdoa dalam hati. Sebagian lagi sempat menuliskan doa dalam kalimat-kalimat singkat di lini masa media sosialnya. Di Facebook, misalnya.
Tentu saja, sebagai pengguna Facebook yang waras, kita juga sama-sama tahu bahwa menuliskan doa di halaman pribadi bukan berarti kita berdoa kepada Mark Zuckerberg. Hanya sekedar mengajak lebih banyak teman lain untuk ikut berbagi harapan yang sama sehingga korban memperoleh yang terbaik.
Sebagai orang beriman yang waras, kita juga tahu bahwa doa kita tidak bisa memaksa Tuhan untuk melakukan ini atau untuk melakukan itu. Bukan untuk itu kita berdoa. Murni karena kita manusia. Itu saja.
Salah satu yang cukup mengena buatku adalah doa yang dibuat dalam bentuk fiksimini puitis karya Ronny Agustinus ini.
Aku pun ingin ikut melontarkan doa. Mungkin salah satu dari doa-doa ini bisa kamu ambil, lalu kamu turut mendoakannya juga. Dalam hati. Atau juga dengan menuliskannya lagi.
1) Terbang Lebih Jauh
Mereka hanya ingin terbang melebihi awan,
Dan tetap tinggal di ketinggian.
Mereka tak jatuh,
Hanya memilih menatap kita dari jauh.
– (Donald)
2) Arloji
Seorang penumpang ke penumpang lainnya:
“Permisi, Pak. Arloji Saya mati. Jam berapa ya?
“Oh, maaf. Punya saya juga mati”.
“Kalau boleh tahu … di jam 8.17?”
“Ya. 8.17”
“Jadi itu benar-benar terjadi ya?”
“Ya, di jam itu.”
– (NN)
3) Rute
Seorang penumpang bertanya pada pramugari:
“Nona, kenapa pesawatnya tidak bergerak lagi?”
“Perjalanan sudah selesai, Pak. Kita sudah sampai ke tujuan”
– (Donald)
4) Tidak jatuh
Mereka tidak jatuh.
Mereka hanya turun.
Sebab di tangan Tuhan mereka dinanti,
menyatu dengan bumi.
– (Donald)
5) Berlibur
Lelaki itu duduk gelisah di bandara.
Istri ada anaknya akan datang pakai Sriwijaya.
Rindu. Sudah lama tak bertemu.
“Mereka mau berlibur. Saya sudah tunggu. Ternyata …”
Ue amang doli o amonge (Hei, hei, hei) Ue amang doli o amonge (Hei, hei, hei)
Nahinali bakkudu da sian bona ni bagot Beha maho doli songon boniaga so dapot Ue amang doli o amonge
Boniaga sodapot lakku dope nasaonan Beha maho doli tarloppo ho parsombaonan Ue amang doli o amonge
Atik parsombaonan dapot dope da pinelle Beha maho doli songon buruk-buruk ni rere Ue amang doli o among e
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Boniaga sodapot lakku dope nasaonan Beha maho doli tarloppo ho parsombaonan Ue amang doli o amonge (O Amonge)
Atik parsombaonan dapot dope da pinelle Beha maho doli songon buruk-buruk ni rere Ue amang doli o among e
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan (Paraul-aulan)
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan (Paraul-aulan)
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Mate maho amang doli Mate di paralang-alangan da amang Mate di paraul-aulan
Ada beberapa versi yang menyanyikan lagu ini. Salah satu yang paling populer adalah versi yang dinyanyikan Victor Hubarat. Buat Saya pribadi, suara Victor masih yang paling tepat menyanyikannya sejauh ini.
Kasih Tak Sampai
Seperti pernah diulas juga sebelumnya di blog ini, “Nahinali Bakkudu” ciptaan Nahum Situmorang ini adalah contoh lirik lagu yang susastra. Jenis lirik yang kita mau lebih banyak hadir dalam lagu-lagu Batak zaman sekarang.
Nahum menuliskannya untuk menggambarkan dirinya yang merana karena “kasih tak sampai”. Keinginannya ditampik oleh wanita pujaan hati. Konon wanita pujaan hati ini adalah “pariban”-nya sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, “pariban” atau “boru ni tulang” (putri dari laki-laki saudara ibu kita) adalah sosok yang menempati prioritas nomor satu sebagai wanita untuk diajak menikah menurut kebiasaan orang Batak zaman itu (mungkin juga masih berlangsung hingga sekarang).
Itulah sebabnya sampai sekarang, jika seorang pemuda Batak mendekati dan berencana menikah dengan seorang perempuan yang bukan “pariban”-nya, orangtua akan memberikan penguatan dengan umpasa ini:
Hot pe jabu i,
tong do magulanggulang
Sian dia pe dialap boru i,
tong do i boru ni tulang.
Dalam resepsi perkawinan dan ritual adat istiadatnya pun hal ini terlihat secara visual, antara lain dengan mekanisme berbagi “jambar hata” dan “jambar juhut” antara keluarga pemilik pariban dan keluarga pemilik perempuan yang dinikahi pemuda tadi. Jadinya, kedua keluarga itu adalah sama-sama “tulang” bagi pemuda tadi. Demikian sehingga “umpasa” di atas terkesan sebagai hata togar-togar atau kata-kata penghiburan saja bagi keluarga si pariban. Secara khusus untuk menghibur hati si ibu, yang dianggap orang yang paling bahagia jika putranya menikahi putri saudaranya.
Menarik memang membahas “marpariban” ini. Mengapa sampai sekarang bahkan arranged marriage ini masih menjadi primadona bagi banyak orang Batak? Termasuk bagi orang Batak yang mengaku maju sekalipun, tak sedikit mereka yang berpendidikan tinggi dan sadar penuh kekurangan dari perkawinan dengan pariban, tapi dalam praktek sehari-hari tetap mendukungnya. Dari segi hereditas, misalnya, disadari bahwa anak hasil dari perkawinan marpariban ini lebih rentan.
Tapi nanti jadinya melebar kemana-mana. Untuk saat ini kita fokus ke pesan atau nilai (value) yang mau disampaikan Nahum dalam “Nahuli Bakkudu” saja dulu.
Dengan kesadaran akan fakta kebiasaan di atas, tentu kita bisa mafhum bagaimana Nahum merasa diri tak berarti, tersingkir dari kehidupan, bagai tikar usang yang lusuh. Hatinya membeku tak bergeming untuk wanita yang lain. Segalanya terasa tersia-sia. Saking ekstrem-nya, Nahum menerima situasi “patah hati (mate rongkap)” ini sehingga ia sendiri, si pencipta lagu ini, tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya.
Sampai disini, nuansa lagu menjadi murung. Terasa gelap benar jadinya. Berangkat dari kesan awal ini, pantas kita bertanya:
Pertama, apakah Nahinali Bakkudu melulu mewakili kemurungan dan kegalauan abadi seorang Nahum?
Kedua, ataukah justru lewat lirik ini secara tersirat ia ingin mengkritik kebiasaan masyarakat Batak zaman dulu yang memprimadonakan “kawin dengan pariban” sehingga jika seorang pemuda memilih wanita lain yang bukan paribannya jadi kurang didukung pihak keluarga?
Pertanyaan terakhir ini mungkin akan lebih kena dengan teman-teman Batak yang memutuskan tidak menikah hingga usia tua. Jumlah mereka cukup banyak dan sepertinya jumlah itu akan meningkat.
(Tren ini tidak baru sebetulnya, terutama di kota-kota besar. Di beberapa negara lain bahkan hal ini menjadi concern serius, misalnya di Korea Selatan dan Jepang, sampai-sampai pemerintah membuat program dan bantuan untuk mendorong para pemudanya menikah dan berketurunan).
Terbaca kesan sekilas: Kaum muda tidak begitu berminat lagi dengan perkawinan.
Benarkah kesan ini? Mari kita selidiki, observasi langsung dengan lingkungan kita. Mungkin bisa dimulai dari skop terkecil, dari rumah sendiri, di lingkungan atau RT lalu ke masyarakat luas. Hasil observasi yang didukung statistik ini akan menjadi presentasi yang menarik.
Terlepas dari statistik, para “panglatu“ atau Panglima Lajang Tua” – label peyoratif yang disematkan untuk pria Batak yang memutuskan tidak menikah hingga lanjut usia – pasti menangis mendengar lagu ini. Pesannya kena dengan mereka. Bagi mereka yang besar dengan bahasa Batak sebagai bahasa sehari-hari, lagu ini lebih menyayat hati dibanding lagu “Kasih Tak Sampai” milik group band Padi, misalnya.
“Nahinali Bakkudu” adalah kidung ratapan mereka di tengah konstruksi budaya masyarakat Batak yang masih menganggap berketurunan sebagai sebuah keharusan. Membujang hingga akhir hayat adalah aib yang mesti dihindarkan. Secara jelas dan kejam, Nahum menulisnya:
” … mate ma ho amang doli, mate di paralang-alangan”
Dari dua pertanyaan di atas, mana yang hendak dijawab Nahum dengan Nahinali Bakkudu? Yang pertama atau yang kedua?
Kita tidak tahu.
Mungkin juga kita tidak akan pernah tahu sebab Nahum sendiri membawa apa maksud asli lagu ini hingga ke liang kuburnya.
Lirik Susastra dan Semiotika Ringkas
Lirik “Nahinali Bakkudu” (Nahinali bangkudu) di atas, jika kita amati, terdiri atas beberapa repetisi (pengulangan syair). Jika kita peras, maka lirik utamanya adalah sebagai berikut.
Na hinali bangkudu da sian bona ni bagot Boha ma ho Doli songon boniaga so dapot Ue, Amang Doli o Among e
Boniaga so dapot langku dope masa onan Boha ma ho Doli tarlompoho parsombaonan Ue Amang Doli o Among e
Atik parsombaonan dapot dope da pinele Boha ma ho Doli songon buruk-buruk ni rere Ue amang doli o Among e
(Refrain) Mate ma ho Amang Doli Mate diparalang-alangan da Amang Mate di paraula-ulan
Ini terjemahan lepas dalam Bahasa Indonesia.
Sedangkan ulat terikat, dicari dari batang pohon enau.
Betapa dirimu pemuda, bagai dagangan yang tidak laku terjual
Wahai anak muda, oh pemuda
Dagangan yang tidak laku pun masih bisa terjual pada hari pasar berikut
Tetapi kau, anak muda seperti persembahan keramat (parsombaonan) yang harus dihindari
Wahai anak muda, oh pemuda
Sedangkan tempat keramat masih dapat dipuja
Tetapi engkau anak muda, seperti tikar usang, lusuh
Wahai anak muda, oh pemuda
Malangnya dirimu Pemuda
Mati sia-sia tak berguna, o anak muda
Hidup bagai orang yang mati…
Saya sendiri awalnya mengalami kesulitan memahami persis arti kata-kata dalam Nahinali Bakkudu ini. Penasaran, kutanya teman-teman lain bahkan ke orangtua. Hasilnya? Sama. Mereka juga mengaku tak mengerti benar arti dari beberapa diksi klasik Batak yang tak biasa dalam gubahan Nahum ini. Ya sudah, kuputuskan mencari sendiri.
Mari kita coba telisik beberapa diksi tak biasa yang dimaksud dan apa padanan artinya dalam bahasa Indonesia.
na hinali: yang terikat
bangkudu =heat, ulat yang nantinya jadi kumbang
bona ni bagot: pohon enau
boniaga: barang dagangan
parsombaonan: persembahan untuk upacara sakral
paralangalangan: nasib tak menentu, “mocok-mocok” (bahasa prokem Medan)
paraulaulan: (sama dengan no. 6)
Bangkudu atau heat memang umumnya berhabitat hanya di bona ni bagot (pohon enau). Bentuknya mirip hirik atau jangkrik, berwarna kuning kehijauan. Kadang juga terdapat di pohon kelapa yang busuk. Bangkudu diambil untuk dimakan setelah direbus, digoreng atau dipanggang. Ukuran Bangkudu sebelum metamorfosa jadi kepompong dalam tanah adalah sebesar jempol. Ia diyakini obat yang sangat manjur untuk pemulihan sel-sel rusak dalam tubuh manusia.
(Masih belum terkonfimasi entah persis sama atau tidak, inilah makhluk yang dalam bahasa Karo disebut Kidu, dan bagi orang Karo masih menjadi lalapan favorit. Seorang teman medsos berkata bahwa di pasar Pancur Batu Medan setiap hari ada yang menjual kidu ini, selalu cepat habis sebelum jam 6 pagi karena banyak pembeli atau sudah dipesan terlebih dahulu).
Disinilah salah satu kelebihan Nahum: Ia seorang pembanding yang jenius. Ia mampu menciptakan komparasi (pembandingan) yang hebat berangkat dari benda atau makhluk yang sehari-hari sering dijumpai orang Batak pada zamannya, lalu tiba-tiba tanpa sadar kita dibawanya pada bahasan filosofis yang berat. Komparasinya mulai dari hal sederhana (gradus positivus), naik ke analogi lain yang lebih dalam artinya (gradus comparativus), hingga berakhir pada makna puncak (gradus superlativus). Dan semua aspek itu dimasukkannya sembari tetap menjaga supaya lirik tetap kedengaran enak, antara lain dengan menjaga kaidah sajak.
Untuk memahaminya, Saya mengusulkan parafrase ini.
GRADUS POSITIVUS (NORMAL/COMMON)
Ulat enau, si lalapan favorit itu adalah dagangan yang laku dijual. Mengapa kau, seorang manusia, malah tidak laku-laku?
Sajak A-A: bagot - dapot
GRADUS COMPARATIVUS (COMPARATIVE)
Bahkan dagangan yang tak habis terjual hari ini, besoknya pada hari yang tepat (di pasar) ia akan laku juga. Mengapa kau, seorang manusia, malah seperti persembahan keramat saja, tidak laku-laku?
Sajak A-A: masa onan - parsombaonan
GRADUS SUPERLATIVUS (SUPERLATIVE)
Bahkan persembahan keramat pun – sekalipun jarang digunakan – tetap juga laku jual, ia dipakai orang pada acara pemujaan. Mengapa kau, seorang manusia, tidak laku-laku?
Sajak A-A: pinele - rere
Tak cukup sampai disana, ia mengambil analogi buruk lainnya (kembali ke hal-hal umum) dengan menyebut nasib pemuda tadi bagaikan “buruk-buruk ni rere“, yakni umbai tikar pandan yang sudah rusak, tentu tidak ada gunanya lagi selain untuk dijadikan sampah dan dibuang atau dibakar. Kurang lebih, “buruk-buruk ni rere” ini sama kandungannya dengan frase populer kekinian sekarang di tengah anak remaja, yakni “seperti remahan renggingang yang tercecer di jalan, tak dihiraukan orang, dianggap sepi, bahkan diinjak tanpa perasaan bersalah sedikitpun”
Jleb! Ngeri sekali.
Kabar Baik dan Tugas Penting
Sebuah kabar gembira bagi pecinta lagu Nahum: Walaupun Nahum Situmorang (mungkin) gagal dalam percintaan, tetapi dia sukses merebut hati masyarakat Batak di bidang musik. Walaupun dia sudah lama meninggal tetapi namanya tetap harum sebagai legenda musik Batak. “Nahinali Bakkudu” hanya satu dari sekian banyak karya hebatnya.
Jika pun Nahum tak bisa memenuhi sekaligus ketiga kriteria sukses orang Batak, yakni Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan), dan Hasangapon (Kehormatan), tapi dia mendapat keberhasilan luar biasa pada aspek Hasangapon. Dia mati terhormat. Tak tanggung-tanggung, ia meninggalkan legacyberupa lagu-lagu indah dengan syair puitis.
Akan tetapi, sama seperti setiap kabar gembira, selalu ada tugas dan tanggungjawab di dalamnya. Jika untukmu lirik lagu Nahum bagus, apakah kebagusan itu juga bisa dirasakan oleh anak-anak remaja masa kini, yang berbahasa Batak saja tidak lagi mampu, konon pula memahami dan menikmati keindahan syair Nahum?
Ini pertanyaan yang bagus direnungkan.
Sebuah pertanyaan menohok lainnya yang juga kuusulkan menjadi tendens dari Nahinali Bakkudu:
Apakah generasi bona pasogityang menyebut diri pecinta lagu Nahum juga siap menerima konsekusensi jika anak mereka total menempuh jalan hidup seperti yang dilakukan Nahum? Berkesenian sampai mati tanpa meninggalkan banyak harta serta tidak meninggalkan keturunan biologis? Soalnya ada yang menggelikan juga. Banyak orangtua senang melihat anak kecilnya menggemari musik, tetapi ketika sudah dewasa si anak justru dijauhkan dari totalitas dalam karir musik, malah diarahkan untuk mencari pekerjaan lain yang lebih jelas uangnya, yang lebih mapan tampilan luarnya.
Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto