Lirik “Haminjon” – Swanto Holiday Feat Benny Marpaung

Sada turi – turian i
Na sian Ompui
Tu pinomparna i

Di tonga ni harangan i
Tombak na uli i
Mangolu tondi i

*
Hau na margota i
Gota na hushus i
Tonggo na uli i

Ilu ni si boru i
Boru ni raja i
Gabe pulungan i

Reff

Ujui longang do bangso i
Marnida hau namargota i
Ujui gabe do bangso i
Sahat sude akka sahala i

Mulakma hita tu bona i
Manat dohot di akka tona i


Haminjon

Lirik lagu yang baru rilis kurang dari sebulan lalu oleh Bram Records ini berkisah tentang haminjon.

Apa itu “haminjon”?

Haminjon (Batak Toba) adalah kemenyan atau Olibanum, aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum.

Jika kamu seorang Katolik dan kerap mengikuti ibadah Misa (perayaan Ekaristi), tentu kamu tahu bahwa setiap kali ada sesi mendupai oleh sang imam maupun misdinarnya, bahan dasar yang digunakan adalah kemenyan.

Jika kamu orang Madura, khususnya yang berada di Desa Morbatoh, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, kamu tentu tahu bahwa sejak jaman nenek moyang hingga kini ada tradisi Bakar Kemenyan dalam waktu-waktu tertentu.

Bahkan lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan yang dihadiahkan bersama dengan emas dan mur oleh tiga orang Majus (Parsi) atau ” tiga raja dari Timur” untuk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Maria, yakni Yeshua (ישוע), adalah kemenyan  yang dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Konon, selanjutnya Barus semakin ramai disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan Kamper (kapur barus).

Tiga deskripsi di atas baru nukilan kecil dari teks lengkap perihal luasnya penggunaan kemenyan dalam ritual-ritual suku-suku awal Nusantara hingga keyakinan dan agama di Indonesia modern ini. Mulai dari Sumatera, Jawa hingga Madura bukti-bukti terlihat jelas karena bahkan masih bisa kita temukan praktek penggunaannya hingga sekarang. Tak pula sebatas untuk ritual ibadah tetapi juga untuk kepentingan praktis sehari-hari, misalnya sebagai campuran tembakau untuk rokok.

Kristal kemenyan ini diolah dan diperoleh dari pohon jenis Boswellia dalam keluarga tumbuh-tumbuhan Burseraceae, Boswellia sacra (disebut juga Boswellia carteri, Boswellia thurifera, Boswellia bhaw-dajiana), Boswellia frereana dan Boswellia serrata (kemenyan India).

Terdapat 7 (tujuh) jenis kemenyan yang menghasilkan getah tetapi hanya 4 jenis yang secara umum lebih dikenal dan bernilai ekonomis yaitu Kemenyan Sumatra (Styrax benzoin), kemenyan bulu (Styrax paralleloneurus), Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) dan Kemenyan Siam (Styrax tokinensis).

Melihat latar belakang Bram Tobing, komposer lagu ini serta lirik dan tampilan video musiknya, yang dimaksud dengan haminjon adalah Kemenyan Toba.

Mari kita bedah apa sih yang mau digambarkan lagu ini.

Bedah Lirik “Haminjon”

Kalau kita terjemahkan lepas, lirik lagu Haminjon dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

Sada turi – turian i (ada sebuah cerita)
Na sian Ompui (yang dituturkan oleh Leluhur)
Tu pinomparna i (kepada anak cucunya)

Di tonga ni harangan i (di tengah hutan)
Tombak na uli i (hutan yang indah)
Mangolu tondi i (hiduplah Roh)

*
Hau na margota i  (disitu ada kayu yang bergetah)
Gota na hushus i (getahnya harum mewangi)
Tonggo na uli i (untuk pengiring doa yang indah pula)

Ilu ni si boru i (asalnya dari airmata seorang gadis)
Boru ni raja i (ia adalah putri raja)
Gabe pulungan i (dan air mata itu menjadi obat penawar)

Reff

Ujui longang do bangso i (kala itu orang-orang disitu heran)
Marnida hau namargota i (demi melihat kayu yang bergetah itu)
Ujui gabe do bangso i (saat itu semua warga disitu damai sejahtera)
Sahat sude akka sahala i (sebagai berkat dari para Leluhur)

Mulakma hita tu bona i (maka marilah kita pulang ke Sumber)
Manat dohot di akka tona i (sembari tetap berpegang pada Nasihat)

Terasa bahwa lirik Haminjon hendak menyampaikan sebuah pesan (value) tradisi dan kepercayaan yang dianggap luhur oleh warga setempat.

Tradisi apa itu?

Marhaminjon di Sijamapolang

Dalam tulisan yang menjadi tugas akhirnya di Universitas Sumatera Utara, Imanuel Silaban mencoba mengelaborasi latarbelakang, realitas dan nilai berkebun kemenyan (marhaminjon).

Marhaminjon menjadi mata pencaharian yang paling banyak dilakoni masyarakat Bonandolok. Selain tidak memerlukan modal yang banyak, menanam dan panen kemenyan dapat memberikan hasil yang menjanjikan dibandingkan dengan bercocok tanam tanaman muda dalam periode waktu yang lama. Disamping itu, harga kemenyan saat ini dipasaran semakin lama semakin meningkat. Tentu ini menjadi alasan lain lagi mengapa masih ada petani yang betah mansigi (menyadap) pohon kemenyan alih-alih mengalihfungsikan lahannya untuk tanaman budidaya lain atau menjualnya untuk dijadikan rumah atau industri.

Masyarakat Bonan Dolok memiliki kepercayaan terhadap mitos pohon kemenyan.  Konon pohon yang menjadi penghasil getah kemenyan dulunya adalah Boru Nangniaga, seorang wanita cantik yang tinggal bersama orang tuanya.

Dulu keluarga ini hidup serba kekurangan sehingga harus berhutang kepada orang berduit. Tidak mampu melunasi hutangnya, sang ayah pun berencana menjodohkan putrinya kepada putra orang berduit itu. Sang putri tidak mau menuruti permintaan ayahnya karena dia tidak suka pada lelaki tersebut. Kemudian dia melarikan diri ke hutan untuk menghindar. Disana dia menangis tersedu-sedu karena merasa kesepian dan menyesali sikap ayahnya kepadanya.
Tiba-tiba sang putri berubah menjadi pohon, dan air matanya berubah menjadi kepingan-kepingan berupa kristal yang baunya khas dan wangi. Keluarganya mencari wanita cantik tersebut kehutan, namun yang mereka dapati bukan lagi sosok manusia ataupun wanita, melainkan sebatang pohon yang mengeluarkan getah harum. Itulah haminjon.

Uniknya, banyak pula warga Bonandolok menyebutkan bahwa getah pohon yang menjadi haminjon itu sesungguhnya berasal dari air susu wanita cantik tersebut. Akan tetapi karena menyebutkan susu dari payudara (Bahasa Batak Toba: tarus) di lingkungan masyarakat sekitar maupun disekitar hutan kemenyan dianggap tabu, maka masyarakat setempat sendiri memperhalus bahasa tersebut, alih-alih menyebut air susu, menjadi air mata.


Kini terjawab sudah tradisi yang melatarbelakangi lirik “Haminjon”. Lantas, pesan apa yang hendak disampaikan lewat lagu tersebut?

Menurutku, pesannya jelas: Berilah kesempatan kepada anakmu untuk menentukan jodohnya sendiri. 

Jika mau diekstrapolasi, pesannya bisa meluas. Yakni supaya setiap orangtua memberikan kesempatan kepada anak yang sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, entah dalam hal jodoh, karir, ideologi dan lain-lain. Ini saatnya generasi senior untuk mendidik dan memberikan pengertian kepada junior, bukan malah memaksa.

Cukuplah Siti Nurbaya yang mengalami pahitnya dunia akibat tunduk pada tradisi harus menghormati orangtua yang keputusannya tidak boleh dibantah. Cukuplah perempuan-perempuan mengalami derita akibat dipaksa menikahi pemuda sebagai tebusan untuk hutang, seolah-olah mereka adalah komoditas yang dapat dijadaikan nilai tukar layaknya uang.

Dengan demikian, “Haminjon” menambah perbendaharan kita untuk lagu yang mengusung kritik sosial terhadap perjodohan yang dipaksakan. Sebelumnya sudah ada “Cukup Siti Nurbaya” yang dinyanyikan dengan berani oleh Ari Lasso kala masih di Dewa 19.


Catatan Kritis:

Ada apa dengan huruf “i”?

Mengapa banyak sekali huruf i pada setiap akhir frasa di lirik “Haminjon”?

Benar bahwa “i” (Toba) berarti “itu“, it (English, kata ganti orang ketiga) dan karenanya komposer bisa berargumen bahwa banjirnya penggunaan kata “i” tujuannya jelas: untuk menyampaikan kepada pendengar bahwa latarbelakang tradisi lisan yang mau dikritisi itu spesifik, yakni Boru Nangniaga dalam folklore masyarakat Batak. Oke. Tapi apakah memang tidak ada metode lain untuk mencapai tujuan yang sama?

Kupikir masih ada sekian alternatif untuk menjadikan nilai dan filosofi tadi tetap tersampaikan sembari tetap menjunjung tinggi keindahan sastra dalam lagu. Olah kata dan diksi adalah pekerjaan seorang penulis lagu juga. Tentu selain repotnya mengerjakan musikalitas, merancang video klip, termasuk tektokan soal publisitas dan hal lainnya. Ini masukan saja.

Dari segi genre yang dipilih, “Haminjon” menambah daftar lagu bernuansa rock dengan lirik tradisional. Usungan subgenre metal rock a la band AC DC dan Metallica terasa sejak awal lagu. Petikan gitarnya sangar, dengan sedikit bantuan edit vokal seperti efek helium di penggalan vokal yang gahar membuatnya terdengar seperti lagu “Siksik Sibatu Manikkam” oleh Donald Black (saat mengisi mikrophone Djamrud setelah sempat ditinggal Krisyanto).

Perpindahan tonal dari musik intro ke vokal sangat kreatif, mirip dengan yang dilakukan Vicky Sianipar untuk lagu “Sinanggar Tullo”

Belum lagi dentuman double beat pada drum yang mengingatkanmu pada “Pangeran Cinta”, jika kamu adalah seorang Baladewa.

Singkatnya, “Haminjon” menjadi satu lagi lagu yang patut kamu masukkan di playlist Youtube atau Spotify-mu.


Catatan Akhir

Satu hal positif jelas terlihat:

Semakin banyak generasi muda melihat potensi melimpah dari tradisi lokal untuk dikemas ulang sehingga mengena dengan selera pasar kekinian.

Ini, tentu saja, menambah daftar pemusik dengan visi yang kurang lebih sama, sebut saja Rimanda Sinaga dengan “Pos Ma Roham da Inang” atau Plato Ginting dengan “Mejuah-juah Pal”

Luxury is in Simplicity

Apa godaan terbesar ketika berbicara? Berbicara dengan istilah yang rumit. Jika perlu dengan meminjam kata dari bahasa asing. Ekstremnya, sebisa mungkin sampai pendengar takjub karena bingung apa yang disampaikannya. Tujuannya untuk menciptakan sense of authority. Ibarat mau pamer ke penonton talkshow: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk topik ini, gue yang paling ahli dibanding lawan bicara gue ini”. Apakah pendengar memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pembicaraan, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika menulis? Mirip dengan berbicara tadi. Menggunakan banyak kutipan terpercaya dari sumber yang sebisa mungkin susah diakses oleh pembaca. Tujuannya sama, sense of authority. Jika perlu ditambahi dengan istilah yang tak lazim. Ibarat mau pamer ke pembaca berita: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk tema ini, gue yang paling ahli dibanding penulis lain”. Apakah pembaca memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pikiran penulis, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika berkesenian? Eh, sebentar. Kata “berkesenian” ini tampaknya biasa. Tapi kok susah mengartikannya ya. Gini. Berkesenian berarti mengikuti kaidah membuat karya seni, memahami tujuan dan dampaknya bagi penikmat karya, termasuk dirinya sendiri yang ikut terlahir kembali bersama terbitnya sang karya. Njelimet ya.

Apa godaan terbesar ketika hendak mencipta lagu? Mengakomodasi semua teori musik yang pernah dipelajari. Sebisa mungkin memuat banyak liukan interval akor, progresi, modulasi. Jika perlu, gabungkan semua jenis tangganada yang pernah dikenal manusia, termasuk yang mengabaikan nada dasar seperti yang dilakukan komposer zaman Romantik Pierrot Lunaire dengan komposisi atonalnya. Kalau masih bisa, tumpahkan semua elemen sinestesia dan bablas dalam mengartikan licentia poetica saat mencipta liriknya. Apakah pendengar bisa menikmati alunan nadanya? Itu soal lain. Apakah begitu mendengarnya seorang penikmat lagu langsung bisa merasakan motif lagu tersebut? Ora urus.

Alhasil, tidak ada pendengar yang tertarik dengan omongannya. Podcast atau konten Youtube edisi berikutnya akan sepi view. Tidak ada pembaca yang akan kembali melirik tulisannya apalagi berniat membeli bukunya. Tidak ada pendengar yang akan setia menunggu lagu berikutnya dari si pencipta lagu.

Lalu ketiga jenis seniman tadi pun heran. Kecewa karena menurut mereka, konsumen kurang mengapresiasi karya yang sudah dengan susah-payak mereka ciptakan. Ibarat pedagang: lapaknya rame saat grand opening, tetapi hari-hari berikutnya tak satupun pembeli datang.

Apa yang salah?


Suhunan Situmorang, seorang pengacar dan penulis lepas yang rutin mengisi dinding Facebook-nya dengan opini ringan namun mengena, pernah menulis begini (saya kutip seperlunya):

Sadarilah.

Mari tulis kisah dan pengalaman sehari-hari, juga alam sekitar, tradisi masyarakat, atau ketika tinggal di desa. Situasi kotamu kini pun menarik ditulis, termasuk perubahan-perubahan dalam pelbagai hal.

Kehidupan di medsos tak melulu bicara topik dan isu yang keras, sayangi otak dan jiwa yang juga butuh senyum dan tawa lepas. Ceritakanlah kenangan atau pengalaman yang membekas, atau harap yang tak terbatas. Cita dan impian perlu dirancang, setidaknya untuk menambah semangat melakoni kehidupan–kendati kemudian tak sama dengan realitas. Alangkah lelah membicarakan hal-hal yang tak terjangkau diri, sementara ada banyak kewajiban yang butuh enerji.

Kisahkanlah desa atau kotamu, atau pengalaman lucu. Tulislah dengan semangat berbagi cerita, niscaya pembaca menemukan yang berharga, kendati tak diucapkan secara terbuka. Tulislah cerita dan puisi, potretlah panorama dan suasana di suatu kampung atau sudut kota. Tampilkan dengan narasi bertutur. Alangkah menarik bagi yang berpikiran luas.

Berceritalah, memotretlah, atau bagikan resep-resep masakan, cara menanam dan merawat tanaman, atau tips supaya awet muda.

Bernyanyilah bagi yang suka, bercandalah untuk membuat pembaca tertawa.


Fiksimini tentang tiga pekerja seni diatas ditambah tulisan singkat Suhunan tadi mengajak kita untuk kembali ke prinsip dasar komunikasi, yakni: Apa yang sampai ke penikmat (baca: pembaca, pendengar) itulah yang penting.

Bukan soal seberapa banyak terminologi yang dimiliki seorang pembicara, tetapi apakah pendengar memahami apa yang dibicarakan. Bukan soal seberapa rumit penjelasan yang disampaikan penulis, tetapi apakah pembaca mengerti gagasannya. Bukan soal seberapa tinggi ilmu dan musikalitas si pencipta lagu, tetapi apakah lagu tersebut benar-benar mengena di telinga penikmatnya. Itulah yang penting.

Kunci untuk membuat sebuah karya mengena dengan penikmatnya adalah sentuhan emosional atau afeksi. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya“, sentuhlah penikmat karyamu dengan sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang dekat dengan kehidupan, mimpi dan kesedihan mereka. Bahasa kerennya: sesuatu yang relevan dan relatable.

Jika pembaca membaca tulisanmu lalu menggumam dalam hati, “ini kok persis kayak yang aku alami ya”, itulah sukses. Jika seorang netizen mengunjungi lagu yang baru kau rilis di kanal Youtube-mu lalu memberi komentar “Sedih banget lagunya, Min, kayak kisahku”, itulah sukses.

Tampaknya inilah yang perlahan semakin disadari teman Saya, seorang pemusik dari Sumatera Utara yang merantau ke Jogja. Rimanda Sinaga namanya. Baru-baru ini kami ngobrol.  Di akhir percakapan kami yang berjam-jam itu, dia bilang: Lagu yang bagus itu lagu yang sederhana. Sebuah lagu yang begitu didengar, para penyanyi trio di lapo tuak bisa serta-merta mengambil gitar dan menyanyikan suara 1, 2 dan 3. Sebuah lagu yang begitu selesai didengar di HP, orang bisa membuat versi Karaoke-nya sambil mengguyur tubuh atau berkumur-kumur di kamar mandi.

That’s it. Luxury is in simplicity. Kemewahan yang sebenarnya terletak pada kesederhanaan.

Oh iya. Ada lagunya yang menurutku cukup bagus. Latarnya sangat personal karena diangkat dari kisah pribadinya sendiri, yakni momen ketika ditinggal oleh ayah tercinta. Beberapa orang merasa relevant dan relate pula dengan lagu itu. Bahkan ada yang menyanyikannya di acara keluarga. Barangkali lirik hasil kolaborasi Rimanda Sinaga dan Subandri Simbolon menyentuh mereka.

Sedikit catatan kritis: Dalam taksonomi ende Batak Toba, liriknya masuk ke kategori ende andung (lagu ratapan). Jika hendak diletakkan sejajar dengan andung Batak lainnya, lagu ini butuh penyederhanaan di bagian tertentu, dan polesan di bagian lain.

Judul lagu itu “Posma Roham Dainang”. Ini lirik dan video Youtube-nya. Cekidot.


POS MA ROHAM DAINANG

Tingki parro ni bot ni ari

Hundul Dainang, huhut malungun

Mancai borat do di rohana

Dung borhat Damang

tu haroburan i

 

Uli pe sinondang ni bulan

Mambahen roha, sonang humaliang

Alai Dainang sai mardok ni roha

Boha bahenon pasonang roha na i

 

Reff:

Posma roham ale Inong na burju

Nungnga tung sonang sohariburan i

Damang di siamun ni Tuhan i

Sai tagogoi ma lao martangiang

Bereng ma hami angka gellengmon

Na sai tontong manghaholongi ho

Unang be sai tartundu malungun

Naro do angka ari na uli i

 

Nama para kru yang terlibat tercantum di video.

Konon, selain aku, banyak pula yang masih masih menunggu karyanya yang berikutnya setelah dia mengalami pencerahan (enlightenment) ini.

Menulis Fiksi – Premis

Saat kita menulis sebuah cerita fiksi, baik itu cerpen, novela, atau novel, kita memerlukan premis. Tujuannya agar cerita yang ditulis memiliki konflik yang kuat. Selain itu, memiliki premis yang jelas akan sangat membantu saat menuliskan kerangka karangan (outline).

Hanasuri Kenda, seorang web content writer yang menggawangi rumah produksi Elfa Mediatama, membagikan tips sederhana terkait premis ini pada sebuah kelas menulis.

Oh iya, kamu bisa langsung chat Whatsapp dengan Kenda juga jika ingin bertanya lebih lanjut.


Bagaimana premis yang baik?

Premis yang baik harus memuat tokoh utama, konflik, dan solusi/penyelesaian/ending.

Jadi, formula premis/gagasan pokok sebuah cerita adalah seperti ini:

TOKOH  +  KONFLIK  + ENDING

Contohnya:

  • Tokoh: Tommy
  • Konflik: Tommy ingin mendapatkan cinta Sara tapi terkendala status sosial.
  • Ending: 
    -happy: berhasil bersatu
    -sad: tidak bisa bersatu
    -open: dibuat menggantung

Nah, jika dibentuk dalam satu kalimat menjadi:

Tommy mencintai Sara, tetapi status sosialnya yang hanya anak dari pedagang kerupuk membuat cintanya harus berakhir saat Sara dibawa orang tuanya ke luar negeri.

Dari kalimat premis tersebut, calon pembaca/investor/produser novel yang kamu tawarkan novel atau cerita fiksimu akan tahu, “Oh, Oke. Sad ending“.

Wilayah penulisannya akan mengulas seputar perjuangan Tommy yang mengalami kegagalan.


Bisakah premis saya berubah?

Banyak penulis pemula yang  bertanya: “Bisakah premis berubah? Saat saya menulis kok malah berakhir menjadi B, padahal di awal Saya pengennya buat A”.

Jika kalian adalah penulis pemula yang bahkan membuat paragraf saja masih serabutan, fokuslah dulu pada premis. Mengapa? Karena premis memandu kalian untuk berpikir logis, membantu kalian membuat outline yang benar, dan melatih kalian disiplin dan fokus.

Saya banyak mendapati naskah yang tulisannya loncat. Sebentar ke A, sebentar lagi ke B. Buruk sekali. – (Hanasuri Kenda)

Cara menulis dan hasil tulisan seperti itu mencerminkan  keseharian penulis yang tidak bisa berpikir dengan runut.

Pengalaman membuktikan bahwa jika kamu displin berlatih dan konsisten pada premis awal (khusus untuk penulis pemula dan yang baru hendak belajar menulis), hal itu akan membantu kalian untuk bercerita dengan runut. Akan selalu ada kemungkinan bahwa pada bagian tertentu ceritamu  “miss”, tetapi premis membuatmu tetap ingat pada tujuan awal menulis cerita sehingga “miss-(es)” tadi bisa diminimalisir.

Tetapi akan berbeda jika yang menulis sudah profesional dan sudah ahli (ini akan terlihat dari opening atau cara dia mengawali tulisan). Mau diubah jadi bentuk apa pun premisnya, eksekusinya hasilnya akan selalu 100%. Beda level, beda treatment. Jadi, sebagai pemula kamu tidak bisa memaksakan diri untuk mengikuti pola yang dilakukan oleh para penulis pro tadi.

Maka, sebelum menulis, tanyakan pada diri kalian terlebih dahulu:

Saya ini penulis pemula atau pro?


Catatan:

Oh, iya.

Di artikel sebelumnya di situs blog ini Saya sudah menulis tentang bagaimana dasar menulis premis untuk sebuah skenario film?

Sama-sama premis , apa bedanya antara novel dengan adegan skenario?

Meskipun pada dasarnya formula premis tetap sama (yakni tokoh/perkenalan + konflik + ending), akan tetapi penulisan skenario film (screenplay) membutuhkan pengembangan yang lebih karena nantinya akan menjadi cetak biru penafsiran sinematik.

Penentuan premis dalam sebuah skenario mengandaikan penulis sudah memperhitungkan beats, layouts, dan terminologi tertentu untuk mengomunikasikan apa saja kebutuhan visual dan audio nanti pada saat produksi.

Uniknya, kalimat premis-nya tidak harus bahkan sering tidak memuat keterangan itu secara eksplisit (sehingga premis screenwriting dan premis novel sekilas bisa terlihat sama saja).

Penulisan Skenario: Premis

Apa itu Premis?

Kalau kita melirik kamus, “premis” adalah

sebuah proposisi (kalimat pernyataan yang bernilai benar atau salah) yang berfungsi sebagai alasan dalam sebuah konstruksi argumen

Dalam konteks filmografi atau ilmu seni peran, definisi premis sedikit berbeda. Kita akan lihat dalam tulisan ini.

Semua diawali dengan premis.

“Semua” itu memangnya apa saja sih? Ya semua tahapan pembuatan film.

Mulai dari:

1) development,

2) praproduksi,

3) produksi,

4) pascaproduksi

hingga

5) distribusi.

 

Nah, penulisan skenario ada di tahap awal (poin 1). Pada tahap ini semua SDM pembuatan film harus bahu-membahu untuk merumuskan pengembangan ide, menentukan jenis cerita, genre dan format, serta tak kalah pentingnya: penulisan skenario.

Ide untuk pembuatan film bisa datang darimana saja. Bisa dari novel, kisah nyata, atau narasi yang ditawarkan oleh investor film.

Pada tahap inilah dikenal istilah triangle system, yaitu: produser, sutradara dan penulis naskah.


Setelah mendapatkan ide mereka akan bekerjasama untuk membuat premis, sinopsis, treatment kemudian skenario. Selanjutnya produser dan sutradara menyiapkan treatment untuk menyampaikannya kepada investor. Jika berhasil, film ini akan menerima dana untuk proses produksi.

Jika belum berhasil, si triangle ini harus bekerja keras lagi untuk memperbaiki semuanya, sampai investor yakin dengan ide yang disampaikan, lalu setuju mendanai. Sebab, sama seperti di industri manapun, ide secerdas apapun tak akan terjadi tanpa dana, bukan?


Oke. Sebelum melebar dan memanjang kemana-mana, kita kembali ke penulisan skenario, di topik P-R-E-M-I-S.

Sekali lagi, dalam konteks penulisan skenario: Apa itu premis?

Ide dasar.

Film yang sedang dirancang ini, ceritanya tentang apa?

Dengan teknik empati, seorang penulis skenario harus menempatkan diri sebagai penonton: Mengapa Saya sebagai penonton harus menonton film ini?

Karena itulah, premis harus matang dulu di awal. Matang bukan berarti harus lengkap dan serba detail lho ya. Jadi tidak mungkin ujuk-ujuk kita mulai dengan sinopsis, karakter dan sebagainya.

Dari mana sebuah premis berasal?

Proses kreatif masing-masing orang berbeda. Sumber ide berbeda.

Ernest, dilatarbelakangi oleh jam terbang yang tinggi antara lain harus menulis naskah untuk standup comedy-nya, biasanya mendapatkan inspirasi dari keresahan atau kejujuran.

Mengapa harus sesuatu yang meresahkan atau jujur?

Karena ketika kita menceritakan sesuatu yang dekat dengan kita, kita mendapatkan sesuatu yang unik.

Ia berkisah, misalnya ketika mengerjakan film Cek Toko Sebelah.

Fakta: sampai hari ini, ibu Ernest masih memiliki toko tersebut.

Keresahan Ernest secara jujur diungkapkannya, yakni: dia tidak ingin mewarisi toko tersebut. Dia sudah lebih nyaman dengan kerja kantoran, tetapi juga tidak ingin kecewa dengan keinginan orangtua yang ingin supaya usaha warisan keluarga tersebut tidak hilang.

Maka film bercerita tentang perjalanan dan perjuangan para karakter sehingga di akhir cerita penonton memahami pesan yang hendak disampaikan Ernest, sebagai produser, sutradara sekaligus penulis naskah filmnya.

Tugas Mulia seorang Penulis Skenario

 

Keresahan juga menjadi sumber inspirasi Ernest ketika menggarap film Susah Sinyal.

 

Meskipun kejadian di film Susah Sinyal berbeda dengan kehidupan nyata Ernest sebagai seorang penulis skenario, tetapi Ernest berbagi keresahan yang sama.

Ia melihat dan mengalami sendiri bagaimana orangtua modern kerap tidak punya cukup banyak waktu untuk anak-anaknya. Ini menjadi keresahannya juga. Ia relate dengan kisah di Susah Sinyal.

Dalam konteks yang lebih luas, sebagai instrumen penyampai pesan kemanusiaan (humanity) yang sering lebih mengena, produser film dan naskah film secara moral harus menjunjung misi untuk membangkitkan kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) atas segala keresahan, kekecewaan, kesedihan, permasalahan yang dihadapi manusia.

Maka, seorang penulis skenario mengemban tugas mulia. Ia harus berbagi kegembiraan dan harapan sejak dalam pikiran.

Konsekuensi logisnya: untuk bisa sampai ke sana, penulis naskah harus terlebih dahulu merumuskan secara jujur keresahan yang dimaksud. Barulah nanti cerita di naskah maupun ketika sudah menjadi adegan di film nanti akan relatable dengan penonton. “Relatable” maksudnya penonton bisa ikut merasakan apa yang dialami si karakter.

Pada titik ini, mungkin akan muncul kekhawatiran di benakmu sebagai penulis: “Apa jaminannya bahwa yang relatable untukku juga relatable untuk orang lain (penonton)?”

Tidak ada jaminan.

Tapi, jika kamu sensitif (dalam artian peka) terhadap nilai-nilai hidup (life values) dan terus melatihnya sehingga semakin tajam, maka sangat mungkin apa yang menjadi keresahanmu adalah keresahan banyak orang juga.

Ingat apa yang dikatakan si bapak bijak, Mahatma Gandhi:

“Kenyataan yang terbuka untukku, pasti juga terbuka untuk orang lain” 

Saya beri tahu satu rahasia. Meski ini bukan hal baru. Media berita yang menjunjung tinggi misi jurnalisme juga sadar ini. Mana-mana peristiwa yang dipikir perlu disorot supaya menjadi keprihatinan bersama atau keresahan publik, media bertugas menyorotnya sampai tuntas.

  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan masa depanmu, kamu salah. Ada jutaan anak seusia kamu yang juga berbagi keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang cita-cita di masa depan akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan intoleransi dan dikotomi mayoritas-minoritas di Indonesia, kamu salah. Ada jutaan orang Indonesia juga merasakan keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang intoleransi dan diskriminasi akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • (begitu juga dengan keresahan/keprihatinan lainnya: parenting atau pola asuh yang tidak sehat, bully, perpecahan, ketergantungan pada gadget, berkurangnya interaksi nyata antarmanusia, semakin sulitnya bertemu orang yang benar-benar jujur, dan lain sebagainya).

Kupikir cukup ya. Tidak perlu ragu soal relatibility ini. Tapi tentu saja, cara dan proses yang kamu lakukan untuk mengemas premis ini menjadi screenwriting (skenario film) akan menentukan apakah pesan yang ingin kamu suarakan sampai kepada penonton atau tidak.

Jika penonton sampai menangis, tertawa terpingkal-pingkal atau merasa termotivasi menonton sebuah film, maka tujuannya sebagai karya seni tercapai. Jangan lupa, seni bertujuan untuk membangkitkan emosi manusia. Sebagai bagian penting pada tahap awal, penulis skenario pun ikut bertanggung jawab untuk itu.

Cara Terbaik Mendapatkan Premis

Apakah teknik yang dipakai Ernest adalah cara terbaik buat kamu?

Belum tentu.

Karena setiap orang memiliki metode dan proses berkesenian yang berbeda-beda. Latar belakang dan lingkungan masing-masing orang itu khas.

Sebagai anak SMA, kamu punya keresahan yang sangat mungkin berbeda dengan Ernest yang sudah terbilang sukses sebagai seniman di industri perfilman.

Ernest tidak (lagi) bergelut dengan apa yang kamu alami sekarang. Saat ini mungkin kamu sedang berada pada salah satu posisi keresahan ini

  • Sehabis SMA aku ingin melanjutkan kuliah. Orangtuaku bakal setuju nggak ya sama jurusan pilihanku nanti?
  • Sehabis SMA aku maunya langsung bekerja. Tapi, di situasi sulit seperti sekarang, lulusan SMA bisa apa ya untuk mencari kerja yang layak?
  • Di kelasku, aku sulit mendapat teman yang benar-benar sahabat. Aku harus bagaimana?
  • Perasaan, dulu perasaan tubuhku baik-baik saja. Kok sekarang aku merasa aneh. Apakah pubertas memang seaneh ini?
  • Eh, si itu, kok apa-apa disukai cowok. Memangnya aku kurang menarik apa sih?
  • (dan sederet keresahan lainnya).

Ini menunjukkan bahwa faktor usia, lokasi, kondisi sosial-ekonomi, etnisitas dan seterusnya turut menentukan proses kreatif yang cocok untukmu sebagai penulis pemula.

Oke.

Jadi, fix ya. Setiap penulis memiliki alur proses kreatifnya sendiri.

Meskipun demikian, ada prinsip yang tak bisa ditawar dalam industri perilman ini. Semuanya bergerak cepat dan efektif. Jika kamu tak cepat dan efektif, kamu tidak akan dilirik, naskahmu tidak akan pernah digunakan untuk adegan.

Prinsip apa itu?

Ini:

“Jika kamu tak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana, maka kamu tak cukup mengerti”.

Pepatah ini berlaku dalam penulisan skenario. Jadi, silahkan camkan baik-baik pepatah tersebut sebelum kamu memulai proses kreatifmu. Kamu harus bisa menjelaskan ceritamu dalam satu kalimat.

Pernahkah kamu mendengar istilah elevator pitch?

Ini adalah istilah yang menjelaskan sebuah perandaian dimana kamu bertemu seorang produser ternama di sebuah lift dan tiba-tiba ia menanyakan apa yang sedang kamu kerjakan. Penjelasan panjang dan bertele-tele tidak akan membuatnya tertarik, sementara beberapa detik kemudian, ia sudah tiba di kantornya, meninggalkan kamu yang masih belepotan menjelaskan. Jelaskan dengan singkat, lugas, dan tepat.


Apa saja yang terkandung dalam premis?

Lebih lengkap, premis adalah pernyataan cerita dan masalah yang menggerakan cerita.

Dalam sebuah premis terkandung:

(1) karakter & atributnya,

(2) aksi/tindakan,

(3) situasi/tujuan.

Biasanya, ketika menulis premis, nama karakter belum disebut, melainkan menjelaskan atributnya.

Berikut contoh-contoh premis beberapa film Pixar yang terkenal (film Pixar selalu menjadi contoh yang baik, karena premisnya sederhana dan mudah diidentifikasi):

 

1. "Finding Nemo": Seekor ikan badut menantang marabahaya di samudera lepas untuk mencari anak semata wayangnya yang diculik oleh seorang penyelam tak dikenal.

2. "Toy Story": Sebuah boneka koboi kesayangan pemiliknya merasa terancam & cemburu dengan kedatangan mainan Astonot baru.

 

Sekarang apa premis ceritamu? Coba jabarkan dan identifikasi ceritamu ke dalam satu kalimat. Sisihkan dulu detail-detail, karena kita belum sampai pada tahap itu. Lihatlah big picture-nya, identifikasi strukturnya, dan jangan lekas melaju ke tahap berikutnya sebelum premis ceritamu solid.

Coba diskusikan premis ceritamu dengan teman-teman sekelasmu. Bahas bersama kemungkinan-kemungkinan lain. Tampung semuanya dan jangan kesampingkan pendapat teman-temanmu. Pada tahap ini, kamu memang harus terbuka dengan segala kemungkinan. Begitu kamu yakin dengan premis ceritamu, lanjutkan ke tahap berikutnya.

Ingat: Dalam satu kalimat premis, ketiga unsurnya (Karakter/atribut, aksi/tindakan, serta situasi/tujuan) harus ada.

 

Coba, mana premismu?


Disadur seperlunya dari Kelas.Com dan Studio Antelope

 

Tutorial Penulisan Naskah Skenario Film oleh Ernest Prakasa

Sebagai sebuah karya seni peran, film – terutama yang bagus – selalu memukau para peminatnya. Lewat film, banyak cerita nyata orang lain serasa hadir kembali di layar kaca. Melalui film, cerita khayal hasil gagasan seorang penulis serasa hadir menjadi peristiwa nyata. Film, sama halnya dengan teater, menjadi instrumen yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Mulai dari yang sederhana hingga pesan yang kompleks, rumit dan berliuk-liuk.

Meski ada perbedaan antara film dan teater, namun secara substansi keduanya sama-sama bergelut dalam bidang seni drama atau seni peran (kerap kita kenal dengan istilah akting).


Sebagai penikmat film secara khusus atau seni teater secara umum, barangkali banyak dari kita yang penasaran:

Film ini bagus. Aktornya hebat. Sinematografinya keren. Ide ceritanya juga menarik. Tapi bagaimana ya caranya kok bisa ide dari sebuah novel atau cerpen menjadi film?

Jawabannya akan kita temukan pada seberapa hebat penulisan skenarionya.

Kabar gembiranya: Saat ini, menjadi penulis skenario adalah profesi yang menjanjikan.

Pada sebuah pertemuan dengan para wartawan beberapa tahun lalu, Manoj Punjabi, produser sekaligus bos MD Entertainment, mengungkapkan pengalamannya.

“Mencari penulis itu susah sekali, saya pernah dua bulan enggak dapat sinopsis film yang bagus. Berbeda dengan di Amerika karena di sana banyak sekali SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas. Tapi, di Indonesia hanya bisa dihitung dengan jari”


Kamu yang saat ini masih duduk di bangku SMA, coba deh kamu lihat lagi materi Seni Teater pada mata pelajaran Seni Budaya. Ulasan teoretisnya cukup lengkap. Tapi, tidak ada tutorial tentang penulisan skenario.

Nah, disini Saya teruskan tutorial Penulisan Skenario oleh Ernest Prakasa. Kalian tentu tak asing lagi dengan Ernest, bukan?

Just google it.

Kamu akan bertemu dengan seorang stand-up comedian hebat, produser yang berprestasi, sutradara bertangan dingin, sekaligus aktor berpenampilan ciamik.

Kamu tentu tidak akan bisa menjadi sehebat Ernest dalam satu malam. Apapun ceritanya, even the longest journey is begun with a first step.

Kalau kamu sampai pada bagian ini, mungkin kamu akan mulai membayangkan: “Bagaimana sih rasanya menjadi sebuah penulis skenario? Bisa nggak ya nanti aku berkarir sebagai penulis skenario untuk film-film yang akan muncul di bioskop beberapa tahun ke depan?”

Silahkan teruskan mimpi dan anganmu. Tapi tentu mesti tetap sadar dan waras: Hal besar selalu dimulai dengan tindakan kecil.

Yuk kita mulai dengan membaca dan memahami tutorial yang dia tulis sendiri. Materi yang Saya bagikan ini Saya dapat setelah membeli kelas pelatihan di situs Kelas.Com

Klik link ini untuk mengunduh.
Workbook Berkarir sebagai Penulis Skenario

2D versus 3D

Seni rupa memberikan gambaran tahap demi tahap atau masa demi masa peristiwa terjadinya penciptaan karya visual dahulu dan sekarang.

Sebagai bagian dari sejarah peradaban dunia dan manusia, seni rupa tidak hanya menyangkut masalah bentuk yang diciptakan. Tapi juga latar belakang atau harapan masyarakat pencipta seni rupa pada waktu itu.

Kajian sejarah seni rupa menunjuk bahwa seni rupa suatu bangsa berkembang karena mendapat pengaruh dari luar. Perkembangannya selalu menunjukan sebagai suatu pertumbuhan dari awal kemudian tumbuh. Pada suatu zaman, akhirnya perkembangan itu mencapai titip puncak, yang kerap diasosiasikan sebagai seni klasik.

Dengan demikian, sejarah seni rupa adalah suatu cacatan peristiwa terjadinya ciptaan visual dua atau tiga dimensional dari waktu ke waktu secara periodesasi.

Wujud Seni Rupa

Seni rupa, seperti namanya, menghasilkan karya seni dengan media yang mampu dilihat dan dirasakan oleh panca indra manusia. Seni rupa terbagi dikelompokkan menurut wujud, massa dan fungsinya yaitu:


Seni rupa berdasarkan wujud, terbagi menjadi dua jenis:

  1. Seni Rupa dua dimensi – merupakan karya seni yang memiliki dua ukuran, yaitu panjang dan lebar. Seni rupa dua dimensi hanya mampu dinikmati dari arah depan.
  2. Seni Rupa tiga dimensi -merupakan karya seni yang memiliki tiga ukuran, yaitu panjang, lebar dan tinggi/volume. Berbeda dengan seni rupa dua dimensi, seni rupa tiga dimensi mampu diminati dari berbagai arah.

Seni rupa berdasarkan massanya, terbagi menjadi tiga jenis:

1. Seni rupa tradisional

Merupakan karya seni rupa yang dihasilkan dari pola, aturan atau pakem tertentu. Seni rupa tradisonal bersifat statis, tidak berubah karena aspek-aspek dalam berkaryanya turun temurun dari generasi ke generasi yang menyebabkan corak-corak dari karya seni ini tidak mengalami perubahan.

2. Seni rupa modern

Merupakan karya seni rupa yang dihasilnya dari kreativitas dan inovasi dari ide-ide yang belum pernah ada. Seni rupa modern terkenal dengan unsur pembaharuannya dan mengutamakan aspek kreativitas. Seni rupa ini sifatnya individualis, coraknya bisa mengalamai perubahahan sesuai dengan keinginan individu itu sendiri. Contohnya adalah lukisan.

3. Seni rupa kontemporer

Merupakan karya seni yang munculnya tergantung oleh waktu diciptakannya karya seni tersebut. Oleh karena itu seni rupa kontemporer sifatnya kekinian sebab selalu diangkat dari situasi dan kondisi seniman.


Seni rupa berdasarkan fungsinya, terbagi menjadi dua jenis:

  1. Seni Rupa Terapan – merupakan karya seni yang bertujuan praktis dan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat, seperti senjata, keramik, rumah dan lain-lain.
  2. Seni rupa murni – merupakan karya seni yang diciptakan tidak memiliki tujuan tertentu, dihasilkan dari ide senimannya dan mengutamakan keindahan.

Kembali ke wujud atau dimensi.

Seni rupa 2 dimensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Hanya dapat dinikmati dari satu arah, arah depan atau arah belakang
  2. Memiliki koordinat X dan Y
  3. Memiliki dua ukuran, yaitu panjang dan lebar
  4. Tidak ada efek dari cahaya
  5. Frame memiliki layar yang terbatas
  6. Tidak terlalu banyak kombinasi warna, biasanya hanya warna dasar

Seni rupa 2 dimensi dapat ditemukan pada lukisan, foto, poster, banner, desain produk, karikatur, kaligrafi, mozaik, dan logo.

Sementara itu, Seni Rupa 3 Dimensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut

  1. Mampu dinikmati dari segala arah mata memandang, atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang
  2. Memiliki koordinat X,Y dan Z
  3. Memiliki 3 ukuran, yaitu panjang, lebar dan tinggi
  4. Frame memiliki layar yang luas
  5. Ada efek cahaya
  6. Penggunaan warnanya lebih kompleks dan memiliki gradasi-gradasi warna

Contoh-contoh seni rupa 3 dimensi dapat ditemukan pada kriya, patung, dan keramik.


Video animasi racikan Jim Wyler berikut mungkin bisa membantu menjelaskan.

Progresi Akor

“Pak, Saya sudah buat lirik dan notasi untuk tugas cipta lagu sederhana yang Bapak tugasin. Tapi nggak tau gimana caranya menentukan akornya. Bisa dijelasin lagi nggak, Pak?”

Begitu isi chat seorang Siswa di fasilitas Google Classroom. Selama pandemi COVID-19 ini kegiatan belajar-mengajar di sekolah memang berlangsung secara daring. Termasuk untuk tanya jawab dan diskusi.

Aku lihat Siswa ini cukup memperhatikan setiap materi yang kuberikan. Ada niat. Seperti sebagian besar murid-murid yang kubimbing.

Tentu selalu ada pengecualian. Tetapi itupun, tak melulu harus menyalahkan mereka. Belajar seni, secara umum, adalah hal yang menarik buat Siswa. Jadi, kalau ada Siswa yang ogah-ogahan mengikuti materi yang kuberikan atau tidak menunjukkan respons apapun, penyebabnya biasanya kompleks: faktor lingkungan, jadwal yang padat, sumber daya yang tersedia, termasuk cara pengajar menyampaikan materinya. Yang terakhir ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagiku.

Maka, respons seperti yang ditunjukkan siswa lewat chat tadi kubaca sebagai bukti antusiasme. Tentu saja: anak yang antusias layak mendapat perhatian.

Tuntutan kurikulum untuk tema Berkreasi Musik Kontemporer sendiri ada 3 yakni:

  1. Siswa mampu mendeskripsikan konsep dan teknik berkreasi musik kontemporer
  2. Siswa mampu memahami dan mengidentifikasi sejarah musik yang berkembang di dunia
  3. Siswa mampu memahami perkembangan musik kontemporer di Indonesia

Ketiga indikator ini bagus, tapi melulu melibatkan hafalan. Karena itu, kupikir: sebaik-baiknya pemahaman adalah jika dituangkan dalam praktek.

Maka dengan pengantar yang tentu tidak se-‘jelimet’ di bangku kuliah seni, kuberanikan untuk mengajak mereka menuangkan kreasi dan imajinasi seni dengan mencipta lagu sederhana.

Mulai dari memahami motif, menentukan narasi dan memahami progresi akor sederhana.

Nah, pada bagian progresi akor inilah kupikir perlu untuk dijelaskan ulang.

Apa itu Lagu?

Ringkasnya, lagu adalah puisi yang dinyanyikan.

Secara analogi, lagu adalah sebuah cerita lengkap dengan paragraf, kalimat dan tanda-tanda baca yang mendukung sehingga pembaca bisa memahami dengan mudah.

Sebuah lagu, dengan demikian, adalah sebuah komposisi dengan motif, perioda, frase, dan kadens yang mendukung sehingga pendengar bisa menikmati lagu dengan mudah.

Kembali ke akor.

Agar bisa menjadi sebuah akor yang tonal (karena ada juga yang atonal), nada-nada yang dimainkan dalam harmoni harus dalam interval yang pas.

Interval sendiri adalah jarak antara nada yang satu dengan nada yang lainnya. Jarak ini diukur dengan satuan tones dan semitones.

Apa itu tone dan semitone?

Anggaplah kita berpatokan kepada nada C tengah di piano.

Jika kita menekan nada C dan tuts hitam yang berada di sebelah nada C (nada C#), maka jarak itu dihitung sebagai satu semitones.

Sedangkan kalo kita menekan nada C dan nada D (tuts putih disebelah nada C), maka jarak itu dihitung sebagai satu tones atau dua semitones.

Progresi akor sendiri tidak bisa lepas kaitannya dengan interval tangga nada dan akor itu sendiri.

Definisi sederhana dari sebuah akor adalah gabungan dari beberapa nada yang dimainkan secara bersamaan, sehingga menghasilkan harmoni.

Setiap interval jika dimainkan secara bersamaan akan menghasilkan dua nuansa yang berbeda, yaitu konsonan dan dissonan.

Misalnya jika ingin menghasilkan akor mayor dari C maka harus memainkan nada C (root), E (major third), dan G (Prefect Fifth).

Jika kita merangkai akor berdasarkan rumusan di atas, maka jika kita menyusun akor dari tangga nada C maka tingkatan akor yang didapat adalah:

1. Akor C mayor (C-E-G atau 1-3-5), merupakan tingkatan akor tonika (I).

2. Akor D minor (D-F-A atau 2-4-6), merupakan tingkatan akor super tonika (ii).

3. Akor E minor (E-G-B atau 3-5-7), merupakan tingkatan akor median (iii).

4. Akor F mayor (F-A-C atau 4-6-‘1), merupakan tingkatan akor subdominan (IV).

5. Akor G mayor (G-B-D atau 5-7-‘2), merupakan tingkatan akor dominan(V).

6. Akor A minor (A-C-E atau 6-‘1-‘3), merupakan tingkatan akor submedian (vi).

7. Akor B diminis (B-D-F atau 7-‘2-‘4), merupakan tingkatan akor leading tone/subtonika(vii).

Jika diperhatikan, jarak antara nada tersebut memiliki kesamaan yaitu berselang satu nada diantaranya (Simetris).

Selanjutnya ialah menjelaskan jenis akor berdasarkan ‘kualitasnya’, yang dibagi dalam 4 jenis utama, yaitu mayor, minor, diminis, dan augmented.

Akor mayor memiliki jarak interval tones masing-masing 2- 1 1/2. Akor ini memiliki nuansa umumnya ceria dan dominan.

Akor minor memiliki jarak interval tones masing-masing 1 1/2 – 2. Akor ini memiliki nuansa sedih dan meredup.

Akor diminis memiliki jarak interval tones masing-masing 1 1/2-1 1/2. Akor ini memiliki nuansa miris dan serasa seperti ada nada yang kurang.

Akor augmented memiliki jarak interval tones masing-masing 2-2. Akor ini memiliki nuansa janggal dan serasa ada nada yang berlebih.

Selanjutnya, kadens.

Penggunaan di dalam setiap akor itu sendiri tidak bisa asal-asalan.

Anggaplah progresi akor itu adalah sebuah ‘kalimat’, maka setiap awal ‘kalimat’ harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Maka di dalam progresi akor, harus diawali dengan akor I dan diakhiri dengan akor I juga.

Di dalam setiap kalimat juga tanda pungtuasi lainya yaitu koma, yaitu sebagai pemisah bagian didalam kalimat.

Di dalam progresi akor juga ada semacam tanda ‘koma’, yaitu akor IV dan V.

Akor I, IV, dan V merupakan akor standar yang pasti bisa ‘nyambung’ sama semua lagu.

Dalam sebuah progresi akor terdapat semacam ‘hukum’ bernama kadensa.

Kadens berarti alur akor yang sudah pasti di dalam sebuah akhir kalimat dalam lagu, dan bersifat resolutif.

Macam-macam dari kadens yang umum terjadi di dalam progresi akor dalam karya musik termasuk lagu pop antara lain:

1. Kadens otentik

Sebuah progresi akor dimana nuansa “selesai” nya sangat terasa, progresi akor nya berupa V-I

2. Kadens separuh
Progresi akor yang nuansanya seperti masih menggantung atau belum “selesai” sepenuhnya, berupa I-V atau ii-V atau dari akor mana saja yang berakhir di akor V.

3.Kadens Plagal
Progresi akor yang nuansa nya bisa “selesai” tetapi tidak terlalu tegas. Di dalam musik gereja progresi akor ini biasanya digunakan untuk mengiringi kata “amen” pada akhir sebuah pujian. Biasanya berupa akor IV-I atau IV-iv-I.

Sedangkan akor ii, vi, dan vii biasanya menjadi akor jembatan di dalam lagu, tergantung dari pergerakan nadanya. Nah, kini sampailah pada bagian tersulit. Untuk prakteknya bagaimana?

We are going to need tons of practises. Mesti berlatih banyak-banyak dan sering-sering.

Karena bagaimana pun seseorang bisa “peka” dengan progresi akor tidak hanya karena paham teori, tetapi juga bisa merasakan pergerakan nada di dalam sebuah lagu.

Jadi, meski secara teori nada, tangga nada dan akor bisa diuraikan secara matematis, tetapi untuk mempraktekkannya dengan benar tetap saja setiap seniman harus melakukan olah rasa secara konsisten.

Meski Berat, Doakan yang Baik untuk Mantanmu

Manganju nimmu nunga hubahen
Mangelek nimmu nga hu ulahon
Pangidoanmu sitauhulehon do
Asalma boi sonang rohami
Saleleng dohot au

Setia nimmu nunga hubahen
Unang mardua nga hu ulahon
Sudenai ito gabe balik do
Laos gabe ho do na lao mardua dalan
Dohot sidoli i

Reff:
Saonarion ito tuntunma lomom
Dang sipangorai au manang sipanjujui
Nunga tung haccit hu hilala hasian manghaholongi ho

Alai ingotma ito mardalan do sapata
Molo na denggan doi denggan do jaloonmu
Molo na haccit songon pambaenanmon tu au
Haccit do jaloonmu

Horas ma di ho ito
Dohot sidoli halletmi
Horasma di au ito
Na tininggalhonmon


Lagu ini enak. Renyah di telinga. Cuma, Saya punya ‘sedikit’ catatan kritis pada bagian liriknya.

Secara umum liriknya adalah ungkapan hati seorang lelaki – yang merasa sudah melakukan semampunya semua hal yang diminta kekasihnya – tetapi toh akhirnya ditinggalkan.  (Di video tersedia juga subtitel bahasa Indonesia bagi yang tidak memahami bahasa Batak).

Kritik yang kumaksud adalah terhadap penggalan lirik ini:

“Alai ingotma ito mardalan do sapata
Molo na denggan doi denggan do jaloonmu
Molo na haccit songon pambaenanmon tu au
Haccit do jaloonmu”

“Sapata” berarti “karma”.

Jadi, kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih si lelaki hendak melampiaskan kegeramannya sambil menyumpah mantan yang meninggalkannya. Begini:
(Mungkin sembari menangis sesenggukan ala cowok bucin metroseksual, dambaan ciwi-ciwi motor metic yang kalau mau belok kanan pasang lampu sein ke kiri)

Tapi, asal kamu tau ya.

Karma itu berjalan.

Kalau kamu menabur yang baik, kamu akan menuai yang baik.

Tapi kalau kamu membuat sakit hati, seperti yang kamu lakukan ke aku sekarang ini,

Ingat, kamu juga akan menerima yang sakit

 

Sepintas tak ada yang aneh. Toh benar kan? Berlaku hukum tabur-tuai (bagi yang mempercayainya). Jika kamu melakukan sesuatu yang baik, niscaya (dibantu oleh segenap alam semesta) kamu akan mendapatkan yang baik pula. Jika kamu melakukan yang buruk, niscaya (dibantu oleh segenap alam semesta) kamu akan mendapatkan yang buruk pula. Makna yang mirip juga sebetulnya bisa kita dengar pada lagu yang dinyanyikan Ambisi Trio “Dos do Nakkokna” ciptaan Iran Ambarita: Molo sinuan hassang, hassang do na tubu. Molo sinuan gadong, gadong do na tubu. Molo sinuan na denggan, sai na denggan do na ro. Molo sinuan na roa, sai naroa do na ro.

Terus, masalahnya dimana?

Pertama sekali penting diingat bahwa jika sebuah karya seni (termasuk lagu) dipublikasikan, maka karya itu menjadi bagian dari masyarakat. Hak cipta dan hak terkait lainnya memang adalah milik pencipta atau label rekaman yang memproduksinya, tetapi alamat dari pesan lagu tersebut adalah masyarakat. Karena itu, jika liriknya tepat, publik akan menjadikannya sebagai lagu yang pantas ditiru, dinyanyikan ulang, bahkan dijiwai. Sebaliknya, jika liriknya kurang tepat, publik berhak mengkritisinya bahkan menegur penciptanya jika perlu. Memang sudah adabnya, karya seni yang baik itu mendidik pendengar ke hal yang baik untuk melakukan yang baik pula.

Masalahnya, lirik “Mardua Holong” ini melulu ungkapan emosional seorang lelaki galau. Tidak ada lirik remedi (mengobati) atau rehabilitatif (memulihkan) di dalamnya sebagai pengobat rasa sakit terhadap moralitas yang tercabik-cabik. Murni mau menegaskan kejamnya hukum Hammurabi “mata ganti mata”. Atau supaya tidak kedengaran terlalu kejam, “jika ditampar pipimu, tabok lagi pipinya”. Itu pun masih kejam juga. Intinya, insan manusia yang menyenandungkan lagu ini mempertontonkan keegoisannya – yang walaupun mungkin jujur begitu adanya –  terhadap manusia lain, mantan kekasihnya. Seolah tak cukup di antara mereka berdua, dia juga mau berteriak ke seluruh dunia: “Ingat, karma itu berjalan”.

Iya. Kami tahu. Sebagai pendengar kami sangat terpapar dengan kepercayaan bahwa karma itu ada (atau setidaknya dipercaya ada). Sama seperti kanker, perbudakan, perang, pemerkosaan dan kata-kata negatif lainnya.

Karena kami sudah tau, biarkanlah realitas pahit itu terjadi – sekali lagi, jika benar ada – pada kehidupan nyata. Kita semua memiliki beban dan keluhan masing-masing. Juga sudah tak bisa dihitung sudah berapa sering kita merasa di ambang batas kesabaran bahkan garis nadir hidup (grenzsituation), mengutip sang fisuf Karl Jaspers. Kita butuh sesuatu yang indah dan menghibur. Bukankah seni itu hakikatnya adalah indah dan menghibur? Karena itu kami ingin mendengar lagumu. Tetapi, mengapa kau memperdengarkan kenyataan pahit itu lagi? Seolah kau lebih tahu dari kami.

Okelah. Ini soal perasaaan, kau bilang. Tapi, asal kau tau saja ya. Soal rasa kesal bahkan mungkin dendam beberapa saat setelah putus dengan mantan kekasih, kami juga mengalaminya. Kami pernah berada pada posisi itu. Seakan langit runtuh karena orang yang selama ini kami yakini sudah benar-benar melabuhkan hatinya pada kami, toh bisa berbalik arah juga, memilih tempat berlabuh yang lain. Oke. Itu manusiawi. Sebagai manusia, kau dan kami, masih manusiawi, dan bisa juga jujur jika diminta. Perbedaannya: kami menyimpannya sendiri. Kami mencari masa untuk tenang terlebih dahulu. Mungkin benar bahwa jika terjadi perpisahan, mantan melakukan banyak kesalahan atau situasi yang tidak mendukung (entah itu status sosial, ekonomi, cinta beda agama, fisik dan lainnya) tapi lalu kami sadar: besar atau kecil, kami juga menyumbang kesalahan yang sama, atau jangan-jangan malah lebih parah.  Tanya saja hati kecilmu: jika dia memang nyaman denganmu, dia tidak akan memilih yang lain. 

Maka, ketika perpisahan terjadi, tidak selalu jelas siapa yang meninggalkan dan siapa yang ditinggalkan. Tidak ada penjahat dan yang dijahati. Jangan-jangan malah kamu yang jahat karena sudah merasa melakukan segalanya, tapi lalu mengutuk mantanmu karena tidak membalas sesuai pengharapanmu. Idealnya, kamu dan aku bisa belajar dari “Cinta Tak Harus Memiliki”-nya Charly ST12 atau “Cinta Beda Agama”-nya Vicky Salamor. Alih-alih menyalahkan pasangan, mereka melihat bahwa ada hal lain yang menyebabkan perpisahan itu. Tak melulu karena si mantan itu benar penjahat.

Karena itu, saranku:

MESKI BERAT, DOAKAN YANG BAIK UNTUK MANTANMU.

Kembali ke analisis lirik ya. Berbeda dengan lirik “Dos do Nakkokna” yang pada akhirnya mengajak orang untuk berbuat baik: “Jala angkup ni i, unang ma ginjang roham. Unang ma leas roham mangida jolma na mauas na male. Asa denggan sude. Asa retta sude. Ai ido nihalomohon ni Tuhan i” (Jangan tinggi hati. Jangan memandang rendah orang yang miskin. Supaya semua akhirnya menjadi baik. Sebab itulah yang dikehendaki Tuhan). Jadi jelas ya, meski sebelumnya juga berbicara tentang tabur-tuai atau tumimbal lahir atau karma alias sapata, akhirnya mengarahkan pada yang baik juga. Maka pantas lirik dan lagunya didengarkan, dinyanyikan ulang dan dijiwai. Sebab mengandung nilai moral yang baik.

Bahkan lagu Iwan Fals yang berbunyi “Lonteku … terimalah kasihku atas pertolonganmu di malam itu” tetap mengakomodasi fungsi pendidikan moral dan karakter ini. Ia mengobati hati pendengar setelah melukainya dengan kata “lonte” alih-alih “perempuan”.

Satu hal lagi tentang kata “sapata”. Bagi orang Batak, segmen terbesar pendengar lagu “Mardua Holong” ini, mereka memahami betul arti dari frasa “hata do pardebataon“. Kata-kata yang keluar itu adalah doa. Kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh itu efficax alias manjur. Ia bisa mendatangkan berkat sekaligus kutuk. Itu sebabnya, orang Batak tidak terlalu suka lagi “marpate-patean”


Catatan kritis yang sedikit ini hanya untuk tujuan pendidikan moral dan karakter semata. Jika memang lagu “Mardua Holong” dicipta tanpa memikirkan aspek moral ini, berarti catatan ini tidak relevan. Anggap saja sebagai salah satu komentar di konten Youtube-mu yang sudah ditonton  jutaan kali itu.

Apapun itu, wahai seniman, teruslah berkarya! Itu saja catatan kritisnya. Di luar itu, lagu “Mardua Holong” ini bagus. Enak. Renyah di telinga.

 

 

Hidup Miskin Jangan Salahin Tuhan

Jika kamu adalah orang Hokkian, mestinya kamu tau lagu Ai Piah Cia Eh Yia, lagu Hokkian yang cukup populer di dunia. Karena sudah populer, maka meski kamu bukan seorang Hokkian, bagus juga kalau kamu tau lagunya.

Selain memiliki irama yang bagus, lagu ini juga memiliki arti yang luar biasa. Konon ini salah satu kunci keberhasilan para kaum Cina Hokkian perantau dimanapun berada. Di Pematangsiantar, di Medan, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bengkulu, Medan, Surabaya, Bali, Banjarmasin, Kutai, Makassar, Kendari, Manado, dan Ambon. Kalau di Jakarta sendiri biasa banyak ditemui di daerah Muara Karang, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading dan sekitarnya. Singkatnya, di banyak tempat di Indonesia.

Eh, bentarbentar. Kok bisa lagu bikin sukses?

Kayaknya sih nggak sesederhana itu maksudnya ya. Maksudnya tuh, pesan dalam lagunya membangkitkan semangat orang untuk bekerja tanpa lelah untuk memperbaiki keadaan. Silahkan kamu terjemahkan sendiri “bekerja tanpa lelah” itu maksudnya bagaimana.

Kamu bisa pakai filosofi “Kerja, kerja, kerja” ala Pak Jokowi.

Atau “Work Smarter, Play Harder” ala generasi buruh korporat digital yang  bersemangat entrepreurial.

Atau “Work Hard, Invest Harder” ala yelyel penanam saham pemula.

Atau nggak perlu pakai filosofi-filofian segala.

Pokoknya kerja saja. Udah.

Jadi, kalaupun kamu bukan seorang Chinese Hokkien, jika kamu mau sukses juga seperti mereka, kamu juga boleh mempelajari dan menyanyikan lagu ini. (Memangnya selama ini lagu ini dilarang ya? Ya nggak juga sih.)

Xixixixixi …

(Gitu katanya kalau ketawa orang kaya).

Intinya, lagu ini menjadi alarm untuk terus memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu jika ingin meningkatkan taraf penghidupan dan kesejahteraan. Tidak melulu menyalahkan orang lain, entah itu Jokowi, pemerintah, bos atau Omnibus Law yang baru disahkan pada 5 Oktober yang lalu.

Miliki Budaya Kerja terlebih dahulu. Jika sudah bisa terpenuhi sandang, pangan, papan dan pulsa seluler, lalu mau coba buka usaha ya silahkan. Jika usahamu berhasil, pahalamu bertambah, pundi-pundi rezekimu berlipat. Nanti kalau kamu sudah jadi bos, senyum karyawanmu setiap kali gajian adalah kebahagiaan tersendiri buatmu sebagai pengusaha (itu kata teman Saya sih)

Ya sudah. Supaya tidak semakin melantur kemana-mana, inilah dia lirik lagu pembawa kesuksesan itu.

Haaiyaa


爱拼才会赢
Ai pia cia e ya
Bekerja keras baru dapat berhasil

一时失志 不免怨叹
Chi shisi ci e mian huan dan
Sekali gagal jangan mengeluh, dan menyalahkan hal-hal di sekitar kita

一时落 魄不免胆寒
Chi si lo bie e mian dan han
Sekali terpuruk jangan bersedih dan cemas

那通失去希望 每日醉茫茫
Na tang sit gi hii bang, mui lit zui bang bang
Mana boleh kehilangan semangat, Tiap hari mabuk-mabukan

无魂有体亲像稻草人
Mbo hun wu dei qing qiu tiu jao lang
Seperti orang-orangan pohon padi di sawah, punya badan tak punya nyawa,

人生可比是海上的波浪
Yin shing ko pi si hai siong e po long
Kehidupan manusia ibarat ombak di lautan,

有时起有时落
Wu si gii wu si luo
Kadang naik, kadang turun,

好运歹命
Ho un pai un
(Tak perduli) Nasib baik, (ataupun) nasib buruk,

总吗要照起工来行
Cong ma ciao gi kang lai kia
(pekerjaan) selalu harus dilaksanakan dengan teratur.

三分天注定 七分靠打拼
Sa hun ti cut tia, Thjit hun ko ba pia
Tiga puluh persen adalah nasib, tujuh puluh persen adalah hasil bekerja keras (juga sebaiknya bekerja cerdas)

爱拼才会赢
Ai pia cia e ya
Bekerja keras (dan bekerja cerdas) baru dapat berhasil.


Oh iya. Ini ada video versi kontemporer dengan tambahan lirik dan motif lagu. Saya lebih suka versi yang ini.

Pertama, musikalitasnya lebih modern, lebih cocok dengan kaum muda seperti Saya.

Kedua, penyanyinya cantik. Jadi ya juga cocok dengan kaum muda seperti Saya. Hahaha …

Pilihlah Hidup

Aaa … aaa …. aaa …

Should’ve stayed were the signs I ignored?

Can I help you not to hurt anymore?

We saw brilliance, when the world, was asleep.

There are things that we can have but can’t keep

 

If they say

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

The reminders pull the floor from your feet

In the kitchen, one more chair than you need oh

And you’re angry, and you should be, it’s not fair

Just ’cause you can’t see it, doesn’t mean it isn’t there

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.


Lagu ini cukup legendaris bagi banyak orang, termasuk Saya.

Pertama, karena Chester Bennington, si vokalis Linkin Park yang menyanyikan lagu ini, kita ketahui meninggal bunuh diri. Ini sudah lebih dari cukup menjelaskan mengapa lagu ini kemudian menjadi sangat sarat makna dan pesan untuk direnungkan.

Kedua, setelah melihat versi cover dari One Voice Children’s Choir, ada perasaan merinding meski sudah mendengarkannya untuk kesekian kalinya. Versi yang dibuat dalam rangka bulan Suicide Prevention and Awareness (Sikap Mawas dan Pencegahan terhadap Bunuh Diri) ini membuat “One More Light” semakin istimewa. Selain karena ketertarikan dengan melodi lagu yang dengan menakjubkan dinyanyikan oleh paduan suara, anggotanya anak-anak pula, dengan indah duka dan harapan tergambar disini.

Belum lama ini, kita mendengar banyak kejadian artis bahkan orang biasa yang melakukan tindakan bunuh diri. Saya tidak ingin memulai perdebatan tentang asal-muasal, sebab atau situasi yang menyebabkan fenomena suram generasi kita ini. Sebab sangat kompleks dan rentan subjektif jika mencoba menggunakan sudut pandang tunggal.

Saya hanya mau menawarkan supaya kita sesekali memperkaya nalar kita yang sangat rasional-positivistik dengan kandungan cipta yang penuh dengan rasa dan empati. Melalui seni terutama lagu, hal ini lebih tepat dan akurat tersampaikan. Sebagai anasir tertinggi dari peradaban yang tinggi (terlebih bagi warga Nusantara yang kerap menyebut dirinya berbudaya adiluhung), lagu (sebagai bagian dari seni dan budaya) sekali lagi menegaskan dirinya sebagai sarana komunikasi yang paling tepat. Di dalamnya, misteri hidup dan mati – yang tak hentinya membuat kita bingung – disampaikan dengan indah.

Kembali ke cover One Voice Children’s Choir. Seperti ditulis di deskripsi videonya, ternyata lagu ini juga mereka dedikasikan untuk salah satu anggota paduan suara mereka, Megan. Sang konduktor, Masa merasakan kepedihan yang cukup mendalam atas kepergian gadis cilik Megan. Sedih-sesedihsedihnya, sama dengan orangtua, teman dan kerabat Megan.

Ketiga, sekali lagi, seni yang bagus, ialah seni yang menyatukan manusia. Seniman yang baik akan menciptakan karya yang menyatukan manusia. Jika setiap mendengar lagunya kita menjadi teringat akan sosok dan pesan kehidupan yang disampaikannya, itulah seniman yang sudah mencapai pencerahan tertinggi. Buat Saya, “One More Light” adalah salah satu contohnya.

Keempat, seperti pesan lagu ini: Pilihlah hidup.

Choose to live.

Choose to stay.